A. Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama
hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan,
memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari
nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman
kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus.
Hermeneutik secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi
makna. Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuin, yang
berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermenia, “interpretasi”. Sedangkan pengertian hermeneutik
secara istilah adalah sebuah teori tentang operasi-operasi pemahaman dalam hubungannya dengan teks.
Secara sederhana, hermeneutika diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks yang punya
otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai
sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks
keagamaan. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan untuk
memahami teks suci melainkan meluas untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya seni maupun tradisi
masyarakat.
B. Sejarah Hermeneutika
Secara teologis pesan Hermes ini bisa dinisbatkan sebagaimana peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed
Hoseen Nashr memiliki hipotesis bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut
dalam al-Quran, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun,
kedokteran, astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat yang beredar di lingkungan pesantren, Nabi Idris
adalah orang yang ahli di bidang pertenunan (tukang tenun/memintal). Sedangkan di lingkungan agama
Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, yang dalam mitologi mesir dikenal dengan Nabi Musa. Intinya,
persoalan krusial yang harus diselesaikan oleh Hermes adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang
berbicara dengan bahasa “langit” agar dapat dipahami oleh manusia yang “berbahasa bumi”. Dari sini
makna metaforis dari profesi tukang tenun/memintal muncul, yaitu merangkai kata Tuhan agar dapat
ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia. Dengan demikian kata hermeneutika yang diambil dari
peran Hermes adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks.
Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencapai makna
rasional dan dapat diuji sebagai sebuah seni, ia harus menampilkan sesuatu yang baik dan indah tentang
sesuatu penafsiran.
Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar
logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas
diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis. Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa agama
ketika memasuki abad pertengahan (medieval age). Hermeneutika diartikan sebagai tindakan
memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional. Dalam tradisi Kristen,
sejak abad 3 M , Gereja yang kental dengan tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran Aristoteles
ini untuk menginterpretasikan al-kitab. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, ulama kalam
menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat
Mutasyabbihat.
Ketika Eropa memasuki masa pencerahan(rennaisance), dari akhir abad 18 M sampai awal 19 M, kajian-
kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan
upaya para ahli filologi klasik. Empat tingkatan interpretasi yang berkembang pada abad pertengahan,
yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis, tropologikal eksegegis, dan eskatologis eksegesis, direduksi
menjadi literal dan gramatikal eksegesis. Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli filologi bernama
Ernesti pada tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friedrich August Wolf dan Friedrich Ast.
Schleiermacher menyatakan bahwa proses interpretasi jauh lebih umum dari sekadar mencari makna
dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan hermeneutika sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal tersebut
disetujui dan dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M. Ia memadukan konsep sejarah
dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan pemahaman yang baru terhadap
Hermeneutika. Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika adalah sesuatu yang menyejarah,
sehingga harus terus-menerus berproses di setiap generasi. Walaupun melahirkan pemahaman yang
tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat berperan untuk menyatukan kembali
pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif.
Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern dalam sejarah filsafat barat, fenomenologi lahir sebagai
paham baru yang merambah dunia hermeneutika. Adalah Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa
proses Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi manusia
yang sesungguhnya. Usahanya mendapat respon positif dari Hans-Georg Gadamer yang kemudian
memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep estetika. Keduanya sama-sama sepakat bahwa
Yang-Ada berusaha menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia,
terutama bahasa.
https://lathevha.wordpress.com/2017/09/20/pengertian-dan-sejarah-hermeneutika/
BAB 2
1. Manfaat Hermeneutika
Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas hermeneutika. Lingkup bahasa
yang membantu hermeneutika dapat mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah
semantik, semiotik, pragmatik, masalah expression dan indikation serta masalah logika yang
terkandung dalam teks.
Metodologi Filologi
Perkembangan rasionalisme pada abad ke-18 juga berpengaruh pada pemahaman tentang
hermeneutika. Hermeneutika pun, yang tadinya hanya digunakan di dalam proses penafsiran
Kitab Suci, ternyata juga dapat diterapkan pada bidang-bidang lainnya, yang non Kitab Suci.
“Norma-norma penafsiran Kita Suci”, demikian tulis Spinoza, “hanya dapat menjadi cahaya bagi
rasionalitas yang cocok untuk semua.”
Sebagai fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk mengerti latar
belakang sejarah dari teks yang ditafsirkannya. “Setiap penafsir”,tulis J.S Semler,”haruslah
mampu berbicara tentang teks yang ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang
berbeda, serta situasi yang berbeda…” Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang
“sejarahwan”, yang mampu mengerti dan memahami “roh” historis dari teks yang dianalisanya,
sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.
Sistem Interpretasi
Paul Ricoeur mau mendefinisikan hermeneutika dengan kembali pada analisis tekstual, yang
memiliki konsep-konsep serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,”
demikian tulis Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses penafsiran,
yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga dapat disebut
sebagai teks.
Dalam konteks ini, hermeneutika tidaklah diartikan sebagai ilmu ataupun aturan tentang
penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi sebagai eksplisitasi
eksistensi manusia itu sendiri. Heidegger berpendapat bahwa “penafsiran” dan “pemahaman”
merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari Heidegger,
terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian, jugalah merupakan
hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika untuk menafsirkan Dasein secara
fenomenologis.
Gadamer dan Heidegger mengangkat hermeneutika sampai pada level “linguistik”, di mana Ada
sesungguhnya hanya dapat dimengerti melalui bahasa. Hermeneutika adalah pertemuan sang
penafsir dengan Ada melalui bahasa. Dengan demikian, mereka memberikan arti lain bagi kata
hermeneutika, yakni sebagai problem filosofis tentang relasi antara bahasa dengan Ada,
pemahaman manusia, sejarah, eksistensi, dan realitas. Hermeneutika pun ditempatkan sebagai
salah satu refleksi filsafat yang cukup sentral dewasa ini, yang tidak dapat dilepaskan begitu saja
dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ontologis maupun epistemologis, karena proses
manusia memahami itu sendiri adalah persoalan ontologis dan epistemologis.
Bab 3
Jika membahas paradigma kontenporer dalam hermeneutika, maka tentunya kita tak lepas dari
beberapa pendapat tokoh-tokoh hermeneutika kontenporer. Sebagai berikut.
C. Fazlur Rahman
Mekanisme Double movement hermeneutic ala Rahman dapat diuraikan sebagai berikut :
Gerak Pertama Gerakan pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa Al- Qur'an diturunkan,
terdiri dari dua langkah. Langkah pertama, merupakan tahap pemahaman arti atau makna dari
suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan Al-Qur'an
tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinar- an
situasi-situasi spesifiknya, kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat
agama, adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di
Arabia pada saat turunnya Islam dan khususnya di Mekkah akan dilakukan. Jadi, langkah
pertama dari gerakan pertama adalah memahami makna Al-Qur'an sebagai suatu keseluruhan di
samping dalam batas-batas ajaran yang khusus yang merupakan respons terhadap situasi-situasi
khusus. Langkah kedua adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan
menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan vang memiliki tujuan moral sosial umum yang dapat
disaring dari teks-teks spesifik dalam sinaran latar belakang sosiohis- toris adan ratio legis (illat
hukm) yang sering dinyatakan.
Gerakan kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan khusus
yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Yakni yang umum harus diwujudkan dalam
konteks sosiohistoris konkret sekarang Ini sekali lagi memerlukan kajian teliti terhadap situasi
sekarang dan analisis terhadap berbagai berbagai unsur komponen sehingga kita dapat menilai
situasi mutakhir dan mengubah yang sekarang sejauh yang diperlukan, sehingga kita dapat
menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-Quran secara
baru.
Dengan demikian, metodologi hermeneutika yang diperkenalkan Rahman adalah metode
berpikir yang bersifat reflektif, mondar-mandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik.
Metodologi semacam ini berimplikasi bahwa yang namanya hukum Allah dalam pengertian yang
dipahami oleh manusia tidak ada yang abadi. Yang ada dan abadi hanyalah prinsip moral.
Dengan demikian, hukum potong tangan misalnya, hanyalah salah satu model hukuman yang
digali dari prinsip moral.
Jika dicermati, hermeneutika double movement Rahman tampaknya mencoba
mendialektikakan texs, author, dan reader. Sebagai author, Fazlur Rahman tidak memaksa teks
berbicara sesuai dengan keinginan author, melainkan membiarkan teks berbicara sendiri. Untuk
mengajak teks berbicara,Rahman menelaah historisitas teks. Historisitas yang dimak sudkan
bukan sekadar asbab al-Nuzul sebagaimana dipahami ulama konvensional, melainkan lebih luas
yaitu setting sosial masyarakat Arab di mana Al-Qur'an diturunkan. Tujuan telah historis tersebut
adalah mencari nilai-nilai universal (ideal moral), sebab nilai ideal moral berlaku sepanjang masa
dan tidak akan berubah.
Lebih jauh, Rahman membedakan antara ideal moral dengan legal spesifik. Ideal moral
adalah tujuan dasar moral yang dipesankan Al-Qur'an. Adapun legal spesifik adalah ketentuan
hukum yang diterapkan secara khusus. Ideal moral lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan
legal spesifik, sebab ideal moral bersifat universal, sedang legal spesifik bersifat partikular.
Bab 4
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher atau yang biasa dikenal dengan F.D.E Schleiermacher.
Beliau dilahirkan di Breslau, Silesia, Prusia, Jerman pada tanggal 21 November 1768 dari keluarga
yang sangat taat dalam agama Protestan. Dia adalah seorang filsuf dan teolog Jerman.
pada tahun 1783 beliau mengikuti pendidikn menengah di sekolah Moravian di Niesky. Alasan
memasuki sekolah Moravian, selain mengikuti tradisi keluarganya, adalah terutama karena motivasi
yang sangat kuat untuk mencari pengalaman iman yang mendalam dalam hidup Kristen. Di sekolah
Moravian itu, pelajaran bahasa latin dan Yunani dijadikan sebagai dasar pendidikan humanistic,
disamping pelajaran matematika, botani dan bahasa inggris. Di sana Schleiermacher berkenalan
dengan kepustakaan ilmiah dan filosofis serta roman-roman non-religius, antara lain yang ditulis oleh
Goethe, sehingga ia mulai bimbang untuk menjadi pengkotbah atau ilmuwan.
Tahun 1785 dia bersama dengan teman-temannya pergi ke Barby dan melanjutkan studi
teologi di sana. Pada tahun 1787 Schleiermacher menjalani matrikuasi di Universitas Halle,
sebuah universitas yang berkembang di bawah filsafat Christian Wolf dan Semler. Dia dikenal sebagai
mahasiswa yang tekun dan pandai. Di bawah bimbingan Johann August Eberhard, dia mempelajari
filsafat Kant melalui tulisannya yang berjudul Kritik atas Akal Murni dan mengevaluasinya. Dia juga
menerjemahkan tulisan Aristoteles yang berjudul EthicaNicomachea. Dan di bawah bimbingan filsuf
muda F.A.Wolf dia mempelajari gagasan-gagasan filsuf-filsuf Yunani.
Pada musim dingin tahun 1789-1790, setelah dia pindah ke Drossen, dia bersikap skeptik
terhadap semua ajaran yang dipelajarinya. Namun karena desakan yang kuat dari ayah dan
pamannya, pada tahun 1790 dia pindah ke Berlin untuk mengikuti ujian teologi di Direktorat
Gereja Reformasi selama 6 hari. Ternyata semua hasil yang diperolehnya berpredikat “sangat
memuaskan”. Selanjutnya dia tinggal di Schlobitten di wilayah Prusia Timur di mana kehidupan
religiusnya tumbuh kembali dan bahkan semakin menguat. Pada tahun 1796 dia diangkat menjadi
pendeta di Rumah Sakit Charite di Berlin.
Tahun 1802 Schleiermacher pindah ke Stolp, sebuah kota di dekat daerah pantai laut Baltik dan
mulai tahun 1803 mengajar etika dan teologi pastoral di Universitas Wurzburg. Kemudia dia
masuk dalam kelompok dosen Lutheran di Universitas Halle dan menjadi pengkhotbah universitas
itu. Dengan hadirnya Schleiermacher di Universitas Halle, maka sejak 1780 perkembangan intelektual
cukup menonjol di sana. Perkembangan itu terjadi karena adanya 4 serangkai pemikir yang mencoba
mengatasi dan merubah alam pikiran “pencerahan” (Aufklarung), yaitu: F.A. Wolf sebagai
philologis klasik, Reil sebagai professor kedokteran, Steffens sebagai filsuf Alam Kodrat dan
schleirmacher sendiri.
Hermeneutika Schleiermacher harus dilihat sebagai bagian dari pergerakan romantik awal, 1795
– 1810, yang merevolusi kehidupan intelektual dipusat Eropa. Schleiermacher hidup di masa ketika
monopoli kognisi, estetika, dan etika Gereja yang amat pervasive dalam kehidupan sehari-hari mulai
memudar. Pada masa ini, Immanuel Kant muncul dan mempertanyakan daya jangkau kognitif akal
budi terhadap ‘yang transenden’—yang kemudian melahirkan aliran romantisisme. Pada masa inilah
sistem-sistem kritisisme, protestantisme, dan romantisisme membentuk latar hermeneutika
Schleiermacher.
Sumbangan romantisisme bagi hermeneutika Schleiermacher adalah hermeneutika sebagai upaya
pemahaman teks, bukan sebagai objek intelektual dengan memetakan aturan-aturan sintaksis semata,
melainkan sebagai upaya memeroleh kembali yang subjektif-individual dari balik teks tersebut dengan
kebebasan imajinasi intuisi.
Menurut Schleiermacher, hermeneutika merupakan kecakapan atau ‘seni memahami’ (the art of
understanding). Schleiermacher yakin bahwa pada zamannya seni memahami ini ‘tidak ada lagi yang
berupa hermeneutika umum, melainkan hanya ada sebagai hermeneutika-hermeneutika khusus’. Jadi
apa pun macam, ciri-corak dan objek hermeneutika itu, semua hermeneutika adalah seni memahami
pikiran atau maksud orang lain dalam bentuk lisan atau tulisan. Dengan demikian, Hermeneutika
mencari intensi-intensi spesifik yang individual di dalam konteks ucapan (bahasa).
Hermeneutika Schleiermacher pada intinya meyakini bahwa tidak ada pemahaman yang berjarak
(understanding at a distance). Pemahaman artinya memiliki keterlibatan internal dengan apa yang
dipahami. Menurut Schleiermacher; ‘memahami suatu teks adalah memahami sebaik dan bahkan lebih
baik dari pengarangnya’. Hal ini berarti menempatkan teks pada waktu dan tempat penyusunannya,
seperti yang dikemukakan Schleiermacher, “Penafsir dapat menempatkan dirinya ‘di dalam’
pengarang.”
Hermeneutika Schleiermacher tidak terlepas dari konsepsi Schleiermacher tentang bahasa dan
praktik penafsiran. Memahami berarti mengarahkan perhatian pada suatu objek, yaitu bahasa. Bahasa
dapat dipahami sebagai dimensi supra-individual dan dimensi individual. Bahasa sebagai dimensi
supra-individual berarti bahasa dipahami sebagai aturan-aturan sintaksis pengungkapan makna yang
dianut oleh suatu komunitas bahasa tertentu. Setiap ungkapan berupa bahasa haruslah tunduk pada
aturan-aturan sintaksis yang ada. Bahasa sebagai dimensi individual adalah bahasa sebagai media
pengungkapan suatu interioritas batin yang unik—individual, dimana manusia tidak selalu berpikir
tentang hal yang sama pada saat berhadapan dengan kata yang sama. Bahasa sebagai dimensi
individual tidak lagi dipandang sebagai aturan-aturan sintaksis yang umum, supra-individual,
melainkan sebagai media pengungkapan muatan batin manusia.
Schleiermacher sendiri memandang bahasa sebagai dimensi individual dimana upaya
pemahaman memerlukan suatu hermeneutika filosofis yang memandang teks tidak semata-mata
sebagai suatu yang objektif-berjarak, sebagaimana terjadi dalam hermeneutika tradisional yang
menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan ayat-ayat yang tak jelas. Praktik penafsiran
yang dimaksud Schleiermacher bukan praktik penafsiran yang melalui intuitif yang tidak mentaati
aturan atau seni (sewenang-wenang), melainkan suatu praktik penafsiran yang mengikuti suatu aturan
dari teknik penafsiran. Hal itu disebabkan karena apabila hanya mengandalkan kesewenangan intuitif
semata maka pemahaman akan menjadi suatu yang labil karena keterbatasan, kontingensi, hipotesis,
dan perspektifis suatu upaya pemahaman. Dalam setiap pemahaman, kita tidak pernah bisa menafikan
kemungkinan adanya kesalah pengertian
Bab 5
Paul Ricoeur adalah filsuf yang sangat berjasa pada perkembangan hermeneutika. Ia
menggunakan metode fenomeologis untuk menyingkap permasalahan hermeneutika. Ricoeur
menjembatani perdebatan sengit dalam peta hermeneutika antara tradisi metodologis dan tradisi
filosofis Emilio Betti dan Hans-George Gadamer. Dalam menjembatani kedua model
hermeneutika tersebut, Ricoeur sependapat dengan Betti bahwa hermeneutika adalah kajian
untuk menyingkap makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dan waktu dari
pembaca, namun lain sisi ia juga sependapat dengan hermeneutika Gadamer bahwa cakrawala
penafsir merupakan acuan utama dalam memahami teks meskipun secara subjektif.
Ricoeur mengemukakan bahwa hermeneutika adalah teori yang mengatur tentang metode
penafsiran, yaitu interpretasi terhadap teks, serta tanda-tanda lain yang dapat dianggap sebagai
sebuah teks. Rocoeur telah menyumbangkan gagasan-gagasan baru dalam perkembangan
hermeneutika. Tugas hermeneutika adalah menguraikan apa yang berasal dari makna dan isi
yang kelihatan dan makna yang tersembunyi.
Objek interpretasi hermeneutika adalah teks dalam pengertian yang paling luas, bisa berupa
simbol-simbol dalam impian, bahkan mitos dan simbol dalam masyarakat. Konsep teks
menurutnya bukan hanya pada bahasa yang mengendap pada tulisan, tetapi juga kepada setiap
tindakan manusia yang memiliki makna, yakni setiap tindakan yang disengaja untuk mencapai
tujuan tertentu. Realitas sosial memiliki kesamaan karakter dengan teks. Persamaan itu ditandai
oleh beberapa hal. Pertama, realitas sosial baru dapat dijadikan objek kajian ilmiah bila
terbakukan dalam mekanisme maupun struktur, seperti terbakukannya wacana dalam tulisan.
Sementara realitas sosial yang belum terbakukan adalah peristiwa-peristiwa yang datang dan
pergi, yaitu pengetahuan tentang ‘bagaimana’ dari realitas sosial dan bukan ‘apa’. Kedua,
tindakan sosial memiliki makna objektif dan bukan hanya semata tergantung kepada maksud kita
belaka, sebagaimana makna teks yang tidak lagi tergantung kepada intensitas psikologis sang
pengarang. Ketiga, sebuah teks tidak lagi harus dipahami berdasarkan konteks awalnya,
demikian juga nilai penting. Keempat, keterbukaan terhadap makna-makna baru. Sebuah teks
tidak lagi terikat kepada audiens awal dalam proses dialogis bahasa lisan, demikian juga sebuah
perbuatan tidak hanya dapat dinilai oleh orangorang yang menjadi saksi mata.
Ada tiga langkah pemahaman yang ditawarkan Ricoeur. Pertama, memahami simbol ke simbol.
Kedua, pemberian makna simbol serta ‘pengalian’ yang cermat atas makna. Ketiga, berpikir
dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut berhubungan erat
dengan langkah-langkah pemahaman bahasa, yaitu semantik, refleksi, dan eksistensial atau
ontologis. Langkah semantik adalah pemahaman pada tingkat aplikasi kebahasaan yang berperan
menjaga hubungan antara hermeneutika dengan metode di satu sisi dan ontologis di sisi lain.
Langkah refleksi adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu mendekati tingkat
ontologis. Langkah eksistensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau
keberadaan makna itu sendiri.
Ketiga langkah pemahaman terhadap teks yang berhubungan erat dengan langkah-
langkah pemahaman bahasa, yaitu semantik, refleksi, dan eksistensial. Keberhasilan seorang
penafsir sangat dipengaruhi oleh historis/pengalaman (istilah Dilthey dan Palmer). Teks dalam
karya ilmiah mengandung unsur yang bersifat pribadi dan khusus. Jika hal yang pribadi dan
khusus itu tidak terpecahkan di dalam dialog pembacapengarang, maka teks itu tidak dapat
dipahami.
Bab 6
B. Pemikiran jasques
Perbedaan kedua kata tersebut hanya dalam satu huruf saja. Kedua kata tersebut sama-
sama diturunkan dari bahasa Latin differre yang dapat diartikan baik berbeda, menunda, atau
menangguhkan. Jadi, perbedaan pokok antara kata difference dan differance hanya terdapat di
dalam kerangka ruang dan waktu. Derrida menghubungkan kerangka ruang dan waktu dengan
pengertian 'tanda dan penulisannya'. Tanda menyatakan kehadiran sesuatu yang belum hadir.
Menurut Derrida, tanda menunjukkan 'kehadiran yang tertunda'.
Makna, juga seperti tanda, tidak mudah untuk dimengerti. Untuk memahami makna
kita harus 'menangguhkan' atau menunda dulu sampai ada orang atau benda yang merasa
layak atau pantas untuk memilikinya. Tetapi apa dan siapa yang pantas memiliki makna itu,
masih belum jelas. Oleh karena itu, pemahaman makna harus ditunda dulu. Proses ini dalam
istilah Derrida disebut 'temporisasi' atau pemberian waktu (untuk menunda).
Menurut Derrida, tulisan adalah barang mati, hanya merupakan jalan tengah antara
maksud dan makna, atau antara ucapan dan pemahaman. Bahwa tulisan mendahului ucapan
dan merupakan syarat awal sebuah bahasa.
- 'Bahasa' sebelum bahasa
Derrida menyatakan bahwa 'tulisan' adalah impersonal, jauh dari kehidupan, tidak
seperti 'bicara'. Menulis adalah pengelompokan kata-kata yang sifatnya mekanis manurut tata
bahasa dan struktur Latonya.
Tentang makna menulis, Derrida menyatakan bahwa makna itu seakan-akan keluar
atau diturunkan dari tulisan, entah benar atau hanya khayalan saja. Hal itu hanya mungkin
dengan syarat bahasa yang asli dan alamiah tidak pernah ada, jadi tidak pernah berkontak atau
terjamah oleh tindakan menulis. Istilah gagasannya ini ialah archi-writing. Yang dimaksudkan
archi-writing Oleh Derrida, untuk membicarakan tentang 'waktu' sebelum waktu yang kita
alami, atau 'bahasa' sebelum bahasa yang kita pakai saat-saat ini. Archi-writing merupakan
syarat utama untuk memungkinkan sebuah bahasa dinyatakan sebagai sebuah sistem, dan
melalui archi-writing ini kita dapat memahami pernyataan atau artikulasi yang benar dari
ucapan dan tulisan. Dengan kata lain, archi-writing adalah 'formasi bentuk' yang terdapat Di
dalam bahasa. Menurut Derrida, bahasa pada dasarnya sudah merupakan tulisan, Oleh karena
itu pasangan konsep ucapan-tulisan harus diubah menjadi tulisan-ucapan.
Bab 7