Originally, the term 'Hermeneutics' was employed in reference to the field of study
concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis.
During the early years of the nineteenth century, 'Hermeneutics' became 'General
Hermeneutics' at the hands of philosopher and Protestant theologian Friedrich
Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics into a philosophical field
of study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological
field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its
understanding (Asalnya, istilah Hermeneutika digunakan dalam bidang studi yang
berkaitan dengan pengembangan metode dan aturan yang dapat memandu
penafsiran kitab Injil. Selama tahun-tahun pertama abad ke sembilan belas,
Hermeneutika menjadi Hermeneutika Umum oleh filsuf dan teolog Protestan,
Friedrich Schleiermacher.
Perubahan makna hermeneutika dari konteks teologi ke dalam konteks filsafat telah
dibidani oleh filsuf Jerman, Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Filsuf Protestan
inilah yang dianggap sebagai pendiri Hermeneutika Umum yang bisa diaplikasikan
pada semua bidang kajian. Ketika hermeneutika itu telah menjadi subjek filsafat,
lahirlah berbagai aliran pemikiran, yang menempatkan hermeneutika Schleiermacher
hanya sebagai salah satu aliran hermeneutika yang ada. Selain hermeneutika
Schleiermacher, ada Hermeneutics of Betti yang digagas oleh Emilio Betti (1890-
1968), seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; juga ada Hermeneutics of
Hirsch yang digagas oleh Eric D. Hirsch (1928- ) seorang kritikus sastra berbangsa
Amerika; ada juga Hermeneutics of Gadamer yang digagaskan oleh Hans-Georg
Gadamer (1900- ) seorang filsuf dan ahli bahasa, serta aliran-aliran hermeneutika
yang lain, seperti Hermeneutics of Dilthey, yang digagas oleh Dilthey (m 1911), dan
Hermeneutics of Heidegger, yang digagas oleh Heidegger (m 1976), dan lain-lain.
Dalam konteks yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki wilayah
epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist (orang yang pandangannya
tersesat), yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Filsafat hermeneutika
berakhir dengan kesimpulan umum, bahwa all understanding is interpretation,
semua pemahaman itu hanyalah penafsiran, dan karenanya tergantung kepada
subyektivitas orangnya. Pada titik inilah, A. Karim Sourosh, menurunka n teori al-
qabdh wa al-basth (penyusutan dan pemuaian) interpretasi agama, yang
menurutnya masih menjadi bagian dari teori interpretasi-epistemologis, atau
hermeneutika ini. Dengan teori ini, dia berkesimpulan, bahwa pemahaman agama,
bukanlah agama itu sendiri. Pemahaman agama itu subyektif, bisa mengalami
perkembangan dan penyusutan, sementara agama tidak.
Dalam konteks al-Qur’an, metode hermeneutika, atau --- meminjam istilah Arkoun---
metode interpretasi-epistemologis baru, digunakan untuk mengkaji asal-usul wahyu
atau kalam Allah, dan al-Qur’an. Diakui, bahwa wahyu itu berasal dari Tuhan. Hanya
saja, menurut Arkoun, wahyu Tuhan itu tak terbatas. Untuk melengkapi data
historisnya, dia ---yang memang sarjana sastra Arab itu--- kemudian menggunakan
teori linguistik untuk membuktikan kesimpulannya. Dari sanalah, Arkoun ---yang
dipengaruhi pandangan Paul Ricoeur yang populer dengan bukunya, The Rule of
Metaphor (1977) itu--- kemudian memilah tahap-tahap: kalam Allah (KL), Wacana
Qur’ani (WQ), Korpus Resmi Tertutup (KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Menurutnya,
wahyu atau kalam Allah, sebagai logos (pengetahuan) tidak terbatas, namun ketika
kalam itu disampaikan kepada Nabi ---untuk disampaikan kepada ummatnya--- itu
hanyalah penggalan dari kalam Allah yang tak terbatas. Dari sinilah muncul
pemilahan wahyu verbal (dilisankan) dan non-verbal. Dengan menggunakan teori
yang sama, Arkoun berkesimpulan, bahwa wacana al-Qur’an (WQ) telah direduksi
menjadi Corpus officiel clos (korpus resmi tertutup), yang menurutnya, karena faktor
sosial dan political will, bukan karena kehendak tuhan. Dan, setelah menjadi Corpus
officiel clos, yang kini dibukukan dalam Mushaf Utsmani, maka umumnya
pemahaman kaum Muslim dibentuk melalui Corpus officiel clos ini, bukan dengan
wacana Qur’an yang pertama (WQ). Dari sinilah lahir Korpus Tertafsir (KT), yang
berupa kitab-kitab tafsir.
Dengan epistema ini, keabsahan al-Qur’an sebagai sumber otoritatif digugat. Melalui
pendekatan sosio-historis dan linguistik, Arkoun berkesimpulan, bahwa al-Qur’an is
subject to historicity (tunduk pada sejarah), dan karenanya harus didekonstruksi,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacques Derrida. Sedangkan Fazlur Rahman
mengklaim, al-Qur'an adalah both the Word of God and the word of Muhammad
(kompilasi Kata Allah dan kata Muhammad). Sementara, Nashr Abu Zayd mengklaim
bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Metode yang sama juga digunakan Arkoun
untuk menggugat otoritas dan keabsahan tafsir al-Qur’an:
Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan... Yang saya katakan adalah
bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha’ untuk menafsirkan al-
Qur’an tidak relevan. Sebab, sekarang ilmu baru seperti antropologi, tidak mereka
kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak
mereka kuasai. Dengan epistema yang sama, yakni berdasarkan karakter teksnya,
al-Qur’an yang berbahasa Arab, dianggap mempunyai persamaan dengan teks-teks
sastra, atau kitab suci lainnya. Dari sinilah Arkoun menurunkan metode tafsirnya:
Keinginan kami adalah membuat mungkin suatu penanganan yang solider terhadap
kitab-kitab suci oleh ora ng-orang “ahlu kitab”. Untuk itu, kami mengajak pembaca
untuk membaca al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat
diterapkan pada semua teks doktrinal besar.
Lebih jauh, teori pembacaan Arkoun ini dijabarkan melalui tiga moment, yaitu
moment linguistik, antropologis, dan historis. Dengan moment linguistik, kata (lafadz
al-Qur’an) dibaca sebagai tanda (dilâl), sedangkan dengan moment antropoligis,
kata yang sama dibaca sebagai simbol (isyârah), atau analisis mistis. Dengan
moment historis, batas-batas tafsir logiko-leksikografis (logika perkamusan), atau
teks dan konteks, dikembangkan dengan apa yang disebutnya dengan tafsir
imajiner. Pendek kata, hermeneutika --- sebagaimana klaim mereka--- bisa
memadukan subjektivitas dan objektivitas. Konon, karena itulah metode ini mereka
gunakan.
Realitas ini tidak dihadapi ummat Islam. Ummat Islam tidak pernah menghadapi
problem seperti ummat Yahudi maupun Kristiani, baik menyangkut soal pemalsuan
kitab suci maupun monopoli penafsiran. Di dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak
pernah disentuh oleh hermeneutika. Dengan ilmu ini, autentisitas al-Qur’an dan
Hadits bisa dibuktikan. Dengan ilmu ini, riwayat Ahad dan Mutawatir bisa diuji; dan
dengannya, mana mushaf yang bisa disebut al-Qur’an dan tidak bisa dibuktikan.
Dengannya, historitas tanzîl, atau asbâb an-nuzûl ---dan juga asbâb al-wurûd--- bisa
dianalisis. Begitu juga, periodisasi tanzîl, atau Makki dan Madani, bisa dirumuskan
dengan bantuan ilmu tersebut. Dengannya juga, bisa disimpulkan, bahwa
pembukuan al-Qur’an itu karena perintah Allah, bukan karena faktor sosial atau
politik. Pengetahuan tersebut kemudia n disistematikan oleh para ulama’ dalam
kajian ‘Ulûm al-Qur’ân.
Padahal, al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dengan menggunakan bahasa Arab untuk menjelaskan kepada ummat manusia,
tentang apa saja ihwal kehidupan mereka. Kitab ini telah diturunkan secara
mutawatir, dan tersimpan di antara dua ujung mushaf. Inilah anggapan ---tepatnya
realitas--- yang melatarbelakangi lahirnya tafsir al-Qur’an sebagai kajian yang
berusaha menjelaskan makna- makna yang digali dari lafadz-lafadz kitab suci
tersebut. Dari sinilah, dengan tegas Ibn Khaldûn (w. ) menyatakan, bahwa tafsir al-
Qur’an merupakan bagian dari al-‘ulûm an-naqliyyah, ilmu yang berpijak pada
informasi dari pembuat syariat. Karena bidang tafsir adalah makna lafadz al-Qur’an,
sementara al-Qur’an sendiri adalah kitab at-tasyrî’ yang berbahasa Arab, maka
metode tafsir tidak bisa dipisahkan dari dua sumber tersebut, bahasa dan syara’.
Dari sinilah, Ibn Khaldûn membagi tafsir menjadi dua: tafsîr naqlî, atau yang kini
populer dengan istilah tafsîr bi al- ma’tsûr, dan tafsîr yarjî’ ilâ al-lisân, atau ---
meminjam istilah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhâni--- tafsîr bi ar-ra’y. Jenis tafsir yang
pertama adalah tafsir yang berpijak pada riwayat, termasuk nâsikh- mansûkh, asbâb
an-nuzûl, dan maksud ayat. Sedangkan jenis yang kedua berpijak pada pengetahuan
bahasa Arab, i’râb, dan balâghah sesuai dengan maksud dan gaya bahasa al-Qur’an.
Kedua jenis tafsir ini jelas sangat ditentukan oleh informasi yang dikumpulkan oleh
mufasir, baik yang bersumber dari sumber syara’ maupun bahasa. Dan, hanya dua
model tafsir inilah yang diterima oleh para ulama’ sebagai tafsir yang representatif
dan obyektif. Adapun tafsîr isyârî atau tafsîr ‘irfâni, tafsir yang dibangun berdasarkan
pembacaan simbolis dan mistis --- seperti yang digagas oleh kaum Sufi--- atau tafsir
imaginer --- seperti yang digagas Arkoun--- adalah tafsir yang dianggap tidak
obyektif. Karena tafsir yang terakhir ini tunduk pada akal, atau pengalaman esoteris
pembacanya.
Dengan kata lain, obyektivitas tafsir al-Qur’an itu ditentukan oleh tunduk dan
tidaknya akal dalam melakukan pembacaan terhadap teks berdasarkan kedua
sumber tersebut. Karena akal hanya berfungsi untuk memahami, maka dikatakan
obyektif, jika tafsiran akal tunduk pada kedua sumber ---syara’ dan bahasa---
tersebut. Jika akal tidak tunduk pada kedua sumber tersebut, berarti al-Qur’an ---
seperti yang dituduhkan Arkoun--- hanya menjadi alat justifikasi. Justru inilah yang
menyandera tafsir hermeneutika Fazlur Rahman, Arkoun, Nash Abû Zayd dan
kawan-kawannya. Di sinilah letak persoalan metode tafsir hermeneutika yang
mereka kembangkan, ketika anggapan-anggapan dasar yang seharusnya digunakan
dalam menafsirkan al-Qur’an semuanya dibuang, seperti akidah dan syariat Islam,
misalnya. Justru anggapan-anggapan kufur sengaja dikembangkan dan menjadi
asumsi dasar tafsir hermeneutika mereka, misalnya: al-Qur’an adalah produk
budaya, al-Qur’an adalah kompilasi Kata Tuhan dan kata Muhammad, al-Qur’an
sudah tereduksi menjadi korpus resmi tertutup, dan karenanya harus didekonstruksi.
Akibatnya, apa saja yang berbau syara’ harus dibuang, demi --- apa yang mereka
klaim sebagai--- obyektivitas.
Maka, teori hermeneutika yang memang lahir dari ranah budaya Yahudi dan Kristen
itu, tentu tidak mampu untuk menjangkau apa yang dimaksud oleh al-Qur’an itu
sendiri. Sebagai contoh, klasifikasi kata (lafadh) Arab, seperti majâz (kiasan) dan
haqîqah (hakiki), memang dibahas oleh teori hermeneutika, sebagaimana kajian
ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, seperti
lafadz al-jihâd, as-shalâh dan sebagainya. Padahal, realitas tersebut ada di dalam al-
Qur’an, ketika lafadz tersebut telah direposisi oleh sumber syara’ dari makna bahasa
menjadi makna syara’. Karena teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah
syar’iyyah, maka kedua lafadz tersebut tetap diartikan sebagai haqîqah lughawiyah,
sehingga masing- masing diartikan dengan kerja keras untuk jihâd, dan berdoa untuk
shalâh. Tidak dimasukkannya, atau lebih tepat ditolaknya, keberadaan haqîqah
syar’iyyah dalam teori hermeneutika adalah, karena teori ini lahir bukan dari teks
syara’.
Dengan kerangka epistema seperti ini, teori hermeneutika juga tidak menyentuh
nâsikh- mansûkh, atau penggunaan teks di luar konteks historisitasnya, sebagaimana
yang dibakukan dalam kaidah: al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafdh[i] la bi khushûs[i] as-
sabab. Sebab, keduanya bersumber dari sumber syara’. Dengan teori ini, ayat-ayat
yang telah dinasakh dianggap masih berlaku, misalnya, surat Ali ‘Imrân [03]: 130,
yang membolehkan riba, asal tidak berlipat ganda. Padahal, ayat ini sudah dinasakh
dengan surat al-Baqarah [02]: 278. Kasus yang sama juga berlaku pada ayat-ayat
khame r, sehingga baik riba maupun khamer menjadi boleh. Inilah produk tafsir
hermeneutika. Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq- muqayyad,
seperti dalam kasus as-sâriq[u] wa as-sâriqat[u] surat al-Mâ’idah [05]: 38, yang
muthlaq kemudian di-taqyîd dengan hadits: majâ’ah mudhtharr (kelaparan yang
mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul hanya dianggap
sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-Syâri’. Akibatnya, tindakan
‘Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik
(‘âm ar-ramâdah) dianggap sebagai tidak menerapkan hukum potong tangan.
Padahal, ini bagian dari konteks muthlaq- muqayyad. Dengan Rasul yang diposisikan
sebagai tokoh historis, berarti konteks mujmal- mubayyan juga tidak bisa mereka
terima.
Dari sini jelas, bahwa kebobrokan tafsir hermeneutika justru terletak pada kerangka
epistemologisnya, ketika menolak anggapan yang justru terjebak dengan anggapan.
Dan, ini yang mereka akui sendiri, atau seperti yang mereka sebut dengan
hermeneutic circle. Masalah ini terjadi, karena tafsir hermeneutika merupakan
bagian dari metode berfikir rasional, bukan metode ilmiah. Metode berfikir rasional,
tidak bisa dipisahkan dari anggapan atau informasi. Maka, kebobrokan tafsir
hermeneutika justru terjadi karena kebobrokan metode berfikirnya. Akibatnya,
bangunan pemikiran yang lahir dari kebobrokan ini penuh dengan kontradiksi dan
inkonsistensi. Seperti membangun obyektivitas tafsir, yang justru terjebak dengan
subyektivitas kontemplatif dan imaginer. Di sisi lain, teori interpretasi-epistemologis
yang lahir dari sumber non-syara’ ini tidak cukup untuk membaca teks al-Qur’an
yang bukan saja kitab berbahasa Arab, tetapi juga kitab tasyrî’. Maka, pemaksaan
al-Qur’an hanya sebagai kitab berbahasa Arab, atau buku sastra, dan bukan kitab
tasyrî’, bisa dipahami sebagai upaya untuk menundukkan al-Qur’an agar bisa
didekati dengan teori yang miskin ini.
Kesimpulan
Di atas semuanya itu, seperti keinginan Arkoun, semuanya itu dimaksud untuk
melakukan sinkritisme, agar nilai kebenaran kitab suci itu bisa diterima oleh semua
“ahli kitab” (Yahudi, Nasrani dan Islam), atau mengkompromikan Islam dengan
kekufuran.