Disusun Oleh :
2019
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Ia
kemudian di adopsi oleh orang-orang Kristen untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks
Bible. Dalam tradisi intelektual Barat ilmu ini berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai
sebuah ilmu ia berkembang menurut latar belakang budaya, pandangan hidup, politik, eknomi
dan lain-lain. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir
dengan latar belakang pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat. Makalah ini akan
membuktikan bahwa hermeneutika hermeneutika adalah ilmu yang merupakan produk dari
pandangan hidup dan peradaban tersebut.
B. Rumusan Masalah
Pembahasan
1 Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Khomas
Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153
dari Parmenindes dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama filsafat
Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah
memudar karena pengaruh tradisi metafisika Plato. Heidegger juga mengkritik Descrates
“aku berpikir, maka aku ada”. Menurut Heidegger baigaman seseorang bisa berpikir,
apabila dia tidak ada?. Maka, kalimat yang tepat bagi Heidegger adalah “Aku ada, maka
aku berpikir”.
Heidegger mengarah pada metakritik atas kritik-kritik Kant, Heidegger
menganggapnya sebagai sebuah tugas penyelidikan yang lebih bersifat ontologism
dibandingkan logis. Konsep fundamental ontologis Heidegger menyediakan sebiah re-
orientasi yang utuh dan sebuah solusi yang jauh lebih radikal dengan mengembangkan
sejumlah Existtentialien (eksistensiale-eksistensiale) yang, dalam hubungannya dengan
“kategori-kategori khas ada bagi entitas-entitas yang karakternya bukan Dasein”,
“menjadi dua kemungkinan dari karakter-karakter Ada”.2
C. Pemikiran Hermenutika Heidegger
Hakikat eksistensi menurut Heidegger melampaui dan berada di atas kesadaran
subjektifitas. Karena kesadaran ini bersifat historis dan sekalipun mulai mempersepsikan
subjektivisme bagi eksistensi, maka ia merupakan pemahaman yang tidak henti. Terdapat
indikasi dihubungkan dengan hermenutik bahwa Heidegger menganggap hermenutik
sebagai fenomena (hermeneutic of Facticity) dengan segala dimensinya yang asli. Ia
menganggap bahwa tugasnya dalam buku Being and Time adalah menjelaskan
hermenutik eksistensi. Tetapi Heidegger membatasi filsafat fenomenologinya dan ia
kembali pada sumber Yunani untk istilah fenomenologi dan memandangnya disusun oleh
dua unsure, phenomenon dan logos. Bagian pertama menunjuk pada “sekumpulan yang
nampak karena cahaya siang” atau “objek yang terlihat karena ada cahaya”. Kejelasan
atau penampakan bagi objekini tidak mesti berinteraksi dengannya atas dasar bahwa ia
menjadi unsure kedua yang menunjukan pada objek yang lain dibelakangnya. Ia bukanlah
penampakan dari berbagai indikasi objek, tetapi nampaknya objek sebagaimana adanya.
Dengan kata lain, eksistensi objek itu bukanlah unsure kedua atau manifestasinya
dalam persepsi melainkan objek itu sendiri, tetapi ia merupakan hakikat aslinya.3
5 Jean Grondin 1994, Introduction to Philosophical Hermeneutics, New Haven & London: Yale
6 Palmer, Richard E. 1969, Hermeneutic: Interpretation Theory In Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and
Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 126.
7 Martin Heidegger 1999, Ontology—The Hermeneutics of Facticity, diterjemahkan oleh John van Buren,
Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 53.
(phainomenon) dan logos, fenomenologi berarti membiarkan benda-benda menampakkan
dirinya sebagaimana adanya dengan tanpa memaksakan kategori-kategori kita
kepadanya. Pikiran tidak memberikan makna pada fenomena tetapi apa yang nampak
merupakan manifestasi ontologis dari benda itu sendiri.
Bagi Heidegger, Husserl dalam bukunya Logical Investigation, membatasi
penyelidikannya pada objek logis, seperti konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan
sebagainya. Pusat kajiannya adalah di mana letaknya objek kajian logika dan bagaimana
objek tersebut menjadi objek bagi logika. Dengannya, objek fenomenologi dalam kajian
Husserl direduksi sebagai semata-mata apa yang ditemukan dalam pengalaman sadar.
Konsekuensinya, bagi Heidegger, praksis fenomenologis dipersempit menjadi kesadaran
sebagai objeknya dan bahasa yang digunakan adalah bahasa matematis. Bagi Husserl
bahasa tersebut dapat menjamin objektivitas penyelidikan fenomenologisnya.
Di satu sisi, Heidegger memuji Husserl yang membuka kemungkinan baru dalam melihat
objek sebagai ia yang memberikan dirinya yang tidak terdapat dalam pemikiran sebelum
Husserl. Tetapi di sisi lain, Heidegger tidak setuju dengan Husserl yang mereduksi
fenomena menjadi sekedar objek kesadaran dan mengangkat fenomenologi ke dalam
keketatan bahasa matematis. Untuk dapat menggunakan metode fenomenologi tetapi
tidak terjatuh pada sifat reduktif , Heidegger memutuskan untuk mengkaji ulang makna
etimologis kata “fenomena” dan menjauhkan metode fenomenologi dari metode ilmu-
ilmu alam dan keinginan untuk mencapai status universalitas seperti yang ingin diraih
oleh Husserl.
Menurut Heidegger sebagaimana yang terdapat dalam Ontology The
hermeneutics of Facticity, fenomena sebagai “something that shows itself from itself as
an object in a distinctive mode” hanya bisa sebagai sebuah materi dalam ruang. Dengan
pemahaman fenomena tersebut, investigasi fenomenologis seharusnya tidak dimulai dari
pengalaman sadar atas objek, tetapi merujuk pada pengalaman keseharian manusia
dengan objek material dalam ruang. Heidegger memberikan contoh sebuah meja keluarga
(di kemudian Heidegger cenderung menggunakan palu sebagai contoh) untuk investigasi
fenomenologisnya. Sebuah meja keluarga yang menampakkan dirinya tidak semata
merupakan sebuah gambaran mental atau sebagai sebuah konsep sebagai objek
kesadaran, tetapi hadir sebagai benda material yang mempunyai karakteristik dan fungsi
tertentu bagi sebuah keluarga yang memilikinya. Jadi, pertama-tama sebuah benda
(misalnya sebuah meja keluarga) tertentu nampak tidak sebagai objek kesadaran dan
intensionalitas, tetapi sebagai mengada-di-dalam-dunia yang bersifat temporal dan
memiliki fungsi dan sifat tertentu sebagaimana sebuah keluarga (yang memilikinya)
melihatnya di waktu tertentu. Dengan demikian, sifat esensial dari sebuah meja keluarga
terletak pada temporalitas kesehariannya yang dengannya seseorang dapat berbuat
sesuatu.8 Istilah keseharian menjadi kata kunci pada pemikiran Heidegger. Hal tersebut
membawa konsekuensi pada sifat menyejarahnya pemahaman manusia. Pemahaman
selalu muncul dari kerangka ruang dan waktu. Adanya kesejarahan dalam pemahaman ini
menuntut fenomenologi untuk bersifat hermenutis.
Dalam hal ini, Heidegger mengambil tujuan yang berbeda dari proyek Husserl
sebagaimana dalam Logical Investigation. Sementara Husserl bertujuan untuk
mengidentifikasi objek pengalaman sadar dan berusaha untuk mendapatkan sebuah dasar
yang valid secara universal bagi sains, Heidegger berusaha untuk membebaskan objek
dari kungkungan mental dan kesadaran dengan menempatkannya dalam cara mengada
yang temporal dan kongkret dan dengan demikian menghilangkan tujuan Husserl untuk
meraih universalitas. Bagi Heidegger, objek kajian fenomenologi hanya berkaitan dengan
objek yang berada dalam ruang dan waktu yang tertentu seperti saat ia menampakkan diri
saat investigasi berlangsung.
8 Ibid, 91-92.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga
Revolusi Sains ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153
Hamid Abu Zayd, Nasr. Al-Quran, Hermeneutik dan Kekuasaan. Bandung: RQiS, 2003