Anda di halaman 1dari 10

Pemikiran Martin Heidegger

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Hermeneutika

Dosen Pengampu : Pak Zainul Adzfar

Disusun Oleh :

Aji Yoga Anindita (1604026008)

Fauzan Setyawan (1604026098)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2019
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Ia
kemudian di adopsi oleh orang-orang Kristen untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks
Bible. Dalam tradisi intelektual Barat ilmu ini berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai
sebuah ilmu ia berkembang menurut latar belakang budaya, pandangan hidup, politik, eknomi
dan lain-lain. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir
dengan latar belakang pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat. Makalah ini akan
membuktikan bahwa hermeneutika hermeneutika adalah ilmu yang merupakan produk dari
pandangan hidup dan peradaban tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Biografi Martin Heidegger?


2. Bagaimana Latar Belakang Pemikiran Martin Heidegger?
3. Bagaimana Pemikiran Martin Heidegger?
BAB II

Pembahasan

A. Biografi Martin Heidegger


Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden,
jerman. Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik Santo Mortus. Martin
Heidegger mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika
Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Freiburg dimana
ia belajar dan menjadi asisten Edm und Husserl (penggagas fenomelogi). Sebelumnya
ia kuliah di fakultas Teologi sampai empat semester, lau pindah filsafat di bawah
bimbingan Heinrich Rickert, penganut filsafat Neo-Kantianisme yang juga banyak
memberi pengaruh padanya. Ia pernah menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas
Masburg dan berkenalan dengan teolog protestan kenamaan Rodolf Bultmann, kemudian
kembali ke Freiburg untukk menggantikan Huserl. Di Marburg ia sempat menyelesaikan
karya monumental Sein und Zeit (Being and Time). Pada 1993, ia di angkat oleh gerakan
Nazi menjadi rektor pertama di Universitas Freiburg.Sadar kalau dirinya dieksploitasi,
setahun kemudian ia meletakkan jabatan rektornya, tapi tetap mengajar sampai pensiun
1957. Selain Sein and Zeit dan Einfuhrung in die Methaphisic, masih banyak lagi
karyanya. Kebanyakan tulisannya membahas maslah seperti “What is Being”,“Why is
there something rather than nothing at all?” demikian juga dengan judul-judul megenai
eksistens imanusia, kegelisahan, keterasingan, dan mati.1
B. Latar Belakang Pemikiran Heidegger
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Kaum fenomenologi
menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh
pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoritis abstrak. Edmund Husserl adalah
pendiri dan tokoh utama aliran ini.sementara Heidegger adalah mahasiswa dan sekaligus
asistennya. Hal ini lah yang mempengaruhi pemikiran Heidegger. (Rifqi K. Anam)
Heidegger menjadi tertarik mengenai pertanyaan “Ada”. Karyanya yang terkenal Being
and Time dicirikan sebagai sebuah karya fenomenologis. Gagasan tentang ada berasal

1 Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Khomas
Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153
dari Parmenindes dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama filsafat
Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah
memudar karena pengaruh tradisi metafisika Plato. Heidegger juga mengkritik Descrates
“aku berpikir, maka aku ada”. Menurut Heidegger baigaman seseorang bisa berpikir,
apabila dia tidak ada?. Maka, kalimat yang tepat bagi Heidegger adalah “Aku ada, maka
aku berpikir”.
Heidegger mengarah pada metakritik atas kritik-kritik Kant, Heidegger
menganggapnya sebagai sebuah tugas penyelidikan yang lebih bersifat ontologism
dibandingkan logis. Konsep fundamental ontologis Heidegger menyediakan sebiah re-
orientasi yang utuh dan sebuah solusi yang jauh lebih radikal dengan mengembangkan
sejumlah Existtentialien (eksistensiale-eksistensiale) yang, dalam hubungannya dengan
“kategori-kategori khas ada bagi entitas-entitas yang karakternya bukan Dasein”,
“menjadi dua kemungkinan dari karakter-karakter Ada”.2
C. Pemikiran Hermenutika Heidegger
Hakikat eksistensi menurut Heidegger melampaui dan berada di atas kesadaran
subjektifitas. Karena kesadaran ini bersifat historis dan sekalipun mulai mempersepsikan
subjektivisme bagi eksistensi, maka ia merupakan pemahaman yang tidak henti. Terdapat
indikasi dihubungkan dengan hermenutik bahwa Heidegger menganggap hermenutik
sebagai fenomena (hermeneutic of Facticity) dengan segala dimensinya yang asli. Ia
menganggap bahwa tugasnya dalam buku Being and Time adalah menjelaskan
hermenutik eksistensi. Tetapi Heidegger membatasi filsafat fenomenologinya dan ia
kembali pada sumber Yunani untk istilah fenomenologi dan memandangnya disusun oleh
dua unsure, phenomenon dan logos. Bagian pertama menunjuk pada “sekumpulan yang
nampak karena cahaya siang” atau “objek yang terlihat karena ada cahaya”. Kejelasan
atau penampakan bagi objekini tidak mesti berinteraksi dengannya atas dasar bahwa ia
menjadi unsure kedua yang menunjukan pada objek yang lain dibelakangnya. Ia bukanlah
penampakan dari berbagai indikasi objek, tetapi nampaknya objek sebagaimana adanya.
Dengan kata lain, eksistensi objek itu bukanlah unsure kedua atau manifestasinya
dalam persepsi melainkan objek itu sendiri, tetapi ia merupakan hakikat aslinya.3

2 Bleicher, Josef. Hermeneutikan Kontemporer. Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2013.


3 Hamid Abu Zayd, Nasr. Al-Quran, Hermeneutik dan Kekuasaan. Bandung: RQiS, 2003
Berangkat dari hal di atas, dalam Ontology Hermeneutics of Facticity. Heidegger
merumuskan proyek penyelidikan fenomenologis yang ia sebut sebagai “hermeneutic of
facticity”. Heidegger mengunakan istlah ontology bagi proyeknya. Ontology dalam
pemikirian Heidegger tidak dimaksud untuk mempelajari Ada dalam arti metafisika
tradisonal. Heidegger ingin kembali pada Ada yang paling asli ketika Ada belum
disalahpahami. Ada Heidegger bertolak dari “ada” partikuler yang menanyakan Ada. Ada
partikuler tersebut dinama Dasein. Jadi ontology disini dimaksudkan sebagai kajian yang
bertolak dari Dasein.
Dasein yang secara harfiah berarti “ada-di-sana” memiliki makna “a being-in-the-
world, capable of being with itself (at-home-in), as well as with others (there involved
in), for a period of temporal spatial duration.”.4 Kehadiran Dasein tidak bersifat statis dan
konstan tetapi bersifat dinamis. Dasein memiliki sebuah kehidupan yang disebut
Heideger sebagai faktis (factical). Bagi Heidegger, Dasein sebagai “ada” yang faktis
berarti ke-di-sana-an Dasein berada dalam temporalitas waktu tertentu. Jadi ontology
yang dimaksud Heidegger disini adalah sebuah penyelidikan mengenai kehidupan faktis
Dasein sebagai “ada”particular dalam temporalitasnya. Penyelidikan ini ia sebut sebagai
hermeneutic faksitas. Dalam hal ini, Heidegger melakukan pengubahan secara mendasar
tidak hanya pada disiplin ontology tetapi juga bidang hermeneutic denga mengganti
objek penyelidikan yang semula bersifat konstan dan statis dengan sesuatu yang bergerak
dalam temporalitas.
Contoh fenomena ini adalah hermeneutic . bidang hermeneutic dengan
menguraikan perjalanan sejarah dimana hermeneutic didefinisikan dan didefinisikan
ulang sejak masa klasikgga sekarang . artinya hermeneutic bahwa pemahaman tidak
didasarkan pada berbagai kategori dan kesadaran kemanusiaan. Tetapi muncul dari
manifestasi-manifestasi objek yang kita hadapi yang berupa kebenaran yang kita
persepsikan—pahami. Manusia,dalam eksistensinya dan atas dasar jangkauan
eksistensinya ini menemukan pemahaman terbatas terhadap hakikat eksistensi yang
sempurna. Pemahaman ini bukanlah pemahaman yang stabil, tetapi pemahaman yang
terbentuk secara historis dan berkembang dalam menghadapi berbagai fenomena.
Eksistensi manusia menurut pemahaman ini merupakan praktek berkesinambungan

4 Richard E. Palmer. Hermeneutic. Evanstone: Northwestern University Press, 1969.


dalam memahami berbagai fenomena dan eksistensi tersebut sekaligus.
Dengan demikian fenomenologi menjadi hermeneutic. Dan hermeneutic-- praktek
pemahaman –menjadi eksistensi. Pemahaman adalah kemampuan untuk mempersepsikan
berbagai kemungkinan eksistensi bagi individu dalam konteks kehidupannya dan
eksistensinya di dunia. Pemahaman bukanlah potensi atau bakat untuk merasakan
pemahaman pribadi lain, sebagaimana pemahaman bukanlah kemampuan untuk
mencerna makna berbagai ekspresi hidup yang dalam. Pemahaman bukanlah sesuatu
yang dapat dihasilkan atau dimiliki, namun merupakan salah satu bentuk eksistensi di
dunia ini, atau satu elemen yang mendasari dunia ini. Karean inilah--dari segi
eksistensi—pemahaman adalah dasar dan yang mendahului segala aktifitas eksistensialis
(menjadi atau being). Fenomena alam dan ketersingkapannya hanya terjadi dalam bahasa
(pembicaraan).
Secara alami teks tiadaklah dianggap sebagai ekpresi dari “kebenaran internal”
sebagaimana syair tidak mengungkapkan sisi-sisi internal kepada kita. Tetapi lebih tepat
dianggap sebagai pengalaman eksistensial. Teks merupakan keterlibatan dalam
kehidupan “sebagaimana pengalaman ekistensi” yang melampaui subjektivitas dan
objektivitas.
Dalam pemahaman dan interprestasi terhadap teks , kita tidak berawal dari
kekosongan, tetapi kita mulai sebagaimana pemahaman eksistensi dari pengetahuan awal
tentang teks dan jenis-jenisnya. Bahkan mereka yang tidak memiliki konsep adanya
eksistensi seperti pengetahuan ini atau menyangkalnya, juga mereka mulai dengan
gambaran bnahwa teks ini misalnya merupakan lirik. Disisi lain, kita tidak menemukan
teks diluar bingkai ruang dan waktu, tetapi kita menemuinya dalam situasi yang terbatas.
Kita tidak menemui teks dengan keterbukaan yang statis, tetapi kita menemuinya dengan
saling mempertanyakan. Pertanyaan seperti ini merupakan dasar eksistensi dalam
memahami teks, kemudian menginterprestasikannya secara sempurna sebagaimana
persepsi kita terhadap eksistensi yang sempurna dengan eksistensi subjektif kita, maka
eksistensi subjektif itu juga yang menjadi dasar pemahaman kita terhadap ekistensi alam
semesta.
Heidegger membuat perubahan drastis pada bidang hermeneutika. Ia tidak lagi
memahami hermeneutika sebagai salah satu bidang pengetahuan instrumental khususnya
sebagai metodologi penafsiran pada kawasan ilmu-ilmu sosial. Heidegger menjadikan
hermeneutika sebagai pusat bagi kegiatan filsafatnya.5 Heidegger memahami
hermeneutika sebagai bentuk ontologi mengada-di-dalam-dunia (a form of ontology of
being-in-the-world) dan sebagai cara memandang dunia. Teori hermeneutikanya bersifat
ontologis dan merupakan sebuah uraian penjelasan fenomenologis atas eksistensi
manusia sebagai Dasein. Pusat kajian hermeneutika Heideggerian adalah faktisitas
Dasein.
Makalah ini akan membahas hermeneutika dalam pemikiran Heidegger awal
khususnya dalam karyanya Ontology The hermeneutics of Facticity dan Being and Time.
Kedua karya tersebut dengan jelas menunjukkan pemikiran Heidegger mengenai
hermeneutika yang berada dalam konteks ontologi eksistensi manusia. Setelah Being and
Time, Heidegger banyak menafsir pemikiran filsuf-filsuf (seperti Kant, Hegel, dan
Nietzsche) dan puisi-puisi dari Rilke, Trakl, atau Hölderlin. Pemikirannya menjadi lebih
bersifat hermeneutis dalam arti tradisional yang menekankan penafsiran teks.6
D. Berangkat dari Fenomenologi Husserl
Pemikiran awal Heidegeer sangat dipengaruhi oleh Husserl meski di sisi lain
tampak usaha Heidegger untuk keluar dari bayang-bayang gurunya. Di dalam Ontology
The hermeneutics of Facticity, Heidegger mengembangkan beberapa kemungkinan
melalui evaluasi ulang fenomenologi Huserlian, yang terdapat dalam bukunya Logical
Investigation, untuk membangun sebuah proyek hermeneutika baru. Heidegger mulai
dengan mengevaluasi akar kata fenomena dalam bahasa Yunani. Akar kata Yunani untuk
fenomena berarti “show itself from itself” dalam sebuah “distinctive mode of being-an-
object”.7 Secara lebih mendalam Heidegger mengulangi penggalian ke akar kata Yunani
untuk istilah fenomenologi di dalam Being and Time. Bagi Heidegger fenomenologi
berakar pada kata phainomenon atau phainesthai, dan logos. Phainomenon berarti “yang
menampakkan dirinya”. Jadi fenomena berarti membuat sesuatu tampak sebagaimana
adanya. Suffix-ology dari istilah phenomenology berasal dari istilah Yunani logos. Logos
berarti pembicaraan untuk membuat sesuatu menampak. Dengan gabungan phainesthai

5 Jean Grondin 1994, Introduction to Philosophical Hermeneutics, New Haven & London: Yale
6 Palmer, Richard E. 1969, Hermeneutic: Interpretation Theory In Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and
Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 126.
7 Martin Heidegger 1999, Ontology—The Hermeneutics of Facticity, diterjemahkan oleh John van Buren,
Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 53.
(phainomenon) dan logos, fenomenologi berarti membiarkan benda-benda menampakkan
dirinya sebagaimana adanya dengan tanpa memaksakan kategori-kategori kita
kepadanya. Pikiran tidak memberikan makna pada fenomena tetapi apa yang nampak
merupakan manifestasi ontologis dari benda itu sendiri.
Bagi Heidegger, Husserl dalam bukunya Logical Investigation, membatasi
penyelidikannya pada objek logis, seperti konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan
sebagainya. Pusat kajiannya adalah di mana letaknya objek kajian logika dan bagaimana
objek tersebut menjadi objek bagi logika. Dengannya, objek fenomenologi dalam kajian
Husserl direduksi sebagai semata-mata apa yang ditemukan dalam pengalaman sadar.
Konsekuensinya, bagi Heidegger, praksis fenomenologis dipersempit menjadi kesadaran
sebagai objeknya dan bahasa yang digunakan adalah bahasa matematis. Bagi Husserl
bahasa tersebut dapat menjamin objektivitas penyelidikan fenomenologisnya.
Di satu sisi, Heidegger memuji Husserl yang membuka kemungkinan baru dalam melihat
objek sebagai ia yang memberikan dirinya yang tidak terdapat dalam pemikiran sebelum
Husserl. Tetapi di sisi lain, Heidegger tidak setuju dengan Husserl yang mereduksi
fenomena menjadi sekedar objek kesadaran dan mengangkat fenomenologi ke dalam
keketatan bahasa matematis. Untuk dapat menggunakan metode fenomenologi tetapi
tidak terjatuh pada sifat reduktif , Heidegger memutuskan untuk mengkaji ulang makna
etimologis kata “fenomena” dan menjauhkan metode fenomenologi dari metode ilmu-
ilmu alam dan keinginan untuk mencapai status universalitas seperti yang ingin diraih
oleh Husserl.
Menurut Heidegger sebagaimana yang terdapat dalam Ontology The
hermeneutics of Facticity, fenomena sebagai “something that shows itself from itself as
an object in a distinctive mode” hanya bisa sebagai sebuah materi dalam ruang. Dengan
pemahaman fenomena tersebut, investigasi fenomenologis seharusnya tidak dimulai dari
pengalaman sadar atas objek, tetapi merujuk pada pengalaman keseharian manusia
dengan objek material dalam ruang. Heidegger memberikan contoh sebuah meja keluarga
(di kemudian Heidegger cenderung menggunakan palu sebagai contoh) untuk investigasi
fenomenologisnya. Sebuah meja keluarga yang menampakkan dirinya tidak semata
merupakan sebuah gambaran mental atau sebagai sebuah konsep sebagai objek
kesadaran, tetapi hadir sebagai benda material yang mempunyai karakteristik dan fungsi
tertentu bagi sebuah keluarga yang memilikinya. Jadi, pertama-tama sebuah benda
(misalnya sebuah meja keluarga) tertentu nampak tidak sebagai objek kesadaran dan
intensionalitas, tetapi sebagai mengada-di-dalam-dunia yang bersifat temporal dan
memiliki fungsi dan sifat tertentu sebagaimana sebuah keluarga (yang memilikinya)
melihatnya di waktu tertentu. Dengan demikian, sifat esensial dari sebuah meja keluarga
terletak pada temporalitas kesehariannya yang dengannya seseorang dapat berbuat
sesuatu.8 Istilah keseharian menjadi kata kunci pada pemikiran Heidegger. Hal tersebut
membawa konsekuensi pada sifat menyejarahnya pemahaman manusia. Pemahaman
selalu muncul dari kerangka ruang dan waktu. Adanya kesejarahan dalam pemahaman ini
menuntut fenomenologi untuk bersifat hermenutis.
Dalam hal ini, Heidegger mengambil tujuan yang berbeda dari proyek Husserl
sebagaimana dalam Logical Investigation. Sementara Husserl bertujuan untuk
mengidentifikasi objek pengalaman sadar dan berusaha untuk mendapatkan sebuah dasar
yang valid secara universal bagi sains, Heidegger berusaha untuk membebaskan objek
dari kungkungan mental dan kesadaran dengan menempatkannya dalam cara mengada
yang temporal dan kongkret dan dengan demikian menghilangkan tujuan Husserl untuk
meraih universalitas. Bagi Heidegger, objek kajian fenomenologi hanya berkaitan dengan
objek yang berada dalam ruang dan waktu yang tertentu seperti saat ia menampakkan diri
saat investigasi berlangsung.

8 Ibid, 91-92.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga
Revolusi Sains ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153

Bleicher, Josef. Hermeneutikan Kontemporer. Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2013.

Hamid Abu Zayd, Nasr. Al-Quran, Hermeneutik dan Kekuasaan. Bandung: RQiS, 2003

Richard E. Palmer. Hermeneutic. Evanstone: Northwestern University Press, 1969.

Martin Heidegger 1999, Ontology—The Hermeneutics of Facticity, diterjemahkan oleh John


van Buren, Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 53.

Anda mungkin juga menyukai