HABERMAS
Tugas artikel untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika
Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
IAIBAFA
Oleh
Azizatun Nisa
Naflah
Via Nailis S
Abstrak
Dalam artikel ini akan membahas hermeneutika dalam pandangan Martin Heidegger dan
Jurgen Habermas. Filsafat Eksistensialisme Martin Heidegger Menurut Martin Heidegger
keberadaan hanya akan akan dapat dijawab melalui ontologi artinya jika persoalan ini
dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Eksistensialisme
berpendapat bahwa, setiap orang memiliki tanggung jawab terhadap kemauan bebas dimiliki
tanpa memikirkan yang benar dan yang salah. Ia menggambarkan Teori kritis sebagai suatu
metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan
(sosiologi). Ia menggambarkan Teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam
ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Lain hal dengan
Jurgen Habermas, menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang biasa
dikenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita.
Kata Kunci : Hermeneutika, Martin Heidegger, Jurgen Habermas
Latar Belakang
Episteme historis modernisasi mampu menggerakkan dari arah tekstual menuju arah
kontekstual dan rasional. Dengan begitu makna tidak lagi dianggap sebagai suatu yang statis
melainkan suatu yang dinamis yang merupakan hasil dari perkembangan zaman.1
1
Islah Gusmian, “Khazanah Tafsir al-Quran Indonesia”, (Yogyakarta : Pustaka Salwa, 2021), IX
1
Ranah baru metode penafsiran al-Quran setidaknya ada beberapa tawaran, antara lain
adalah hermeneutika dan tafsir maqasid. Kedua metode tersebut sama-sama mengandung
kecurigaan pada hasil penafsiran, akan tetapi kalau hermeneutika lepas dari batasan syari’at
dan pendapat para ulama’. Lain hal dengan Tafsir maqasid. Tafsir Maqashid tidak bisa lepas
dari batasan syariat serta pendapat ulama..
Quraish Shihab, seorang pakar tafsir nusantara memaparkan bahwa tidak semua ide
yang diketengahkan oleh berbagai aliran dan pakar hermeneutika menuai ide yang keliru atau
berbau negatif. Pasti diantaranya ada sesuatu yang bernilai positif dan merupakan suatu hal
yang baru yang juga dapat dimanfaatkan untuk memperluas wawasan, bahkan untuk
memperkaya khazanah penafsiran, termasuk penafsiran al-Quran. Akan tetapi harus tetap
digaris bawahi bahwa masih ada sesuatu yang patut dicurigai mengandung kesalahan dalam
penerapannya.
Dalam artikel ini akan membahas hermeneutika dalam pandangan Martin Heidegger
dan Jurgen Habermas. Kemunculan nama Martin Heidegger kerap ditandai dengan era baru
hermeneutika, yaitu hermeneutika filosofis. Ia berusaha mengalihkan filsafat barat dari
pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan ontologis, yakni pertanyaan
tentang makna wujud dan apa artinya manusia untuk meng”ada”. Filsafat eksistensialisme
merupakan gagasan paling fenomenal dari buah pemikiran Martin Heidegger. Lain hal
dengan Jurgen Habermas, menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang
2
Quraish Shihab, “Kaidah Tafsir”, (Tanggerang : Lentera Hati, 2019), 367.
2
biasa dikenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Ia menggambarkan Teori
kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan
ilmu pengetahuan (sosiologi). Teori Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif,
yang umumnya dianut oleh aliran positivistik, tetapi Teori kritis berusaha menembus realitas
sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang
melampaui data empiris.
MARTIN HEIDEGGER
A. Biografi
Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di sebuah kota kecil
Messkirch. Keluarganya merupakan keluarga sederhana, dan ayahnya bekerja sebagai koster
pada Gereja Katolik Santo Martinus di kota kecil tersebut. Ia menjalani sekolah menengah di
Konstanz dan Freiburg im Breisgrau. Pada tahun 1909 ia masuk Fakultas Teologi di
Universitas Freiburg, walau tidak bertahan lama. Setelah empat semester ia beralih perhatian
dan mengarahkan diri kepada studi filsafat dan mengikuti kuliah tentang ilmu alam dan ilmu
kemanusiaan. Heidegger memperoleh gelar "doktor filsafat" pada tahun 1913 dengan
disertasi tentang "Die Lehre vom Urteil im Psikologismus" (Ajaran tentang Putusan dalam
Psikologisme). Dua tahun kemudian, ia mempertahankan "Habilitation Schrift"-nya yang
berjudul "Die Kategorien und Bedeutungslehre des Duns Scotus" (Ajaran Duns Scotus
tentang Kategori dan Makna), yang kemudian digubah di bawah bimbingan Rickert dan
diterbitkan pada tahun 1916.3
Karya Heidegger cukup banyak, baik yang berasal dari ceramah maupun kuliah. Di
antaranya yang penting adalah Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Kant und das Problem der
Metaphysik (Kant dan Problem Metafisika), Was ist Metaphysik? (Apa itu Metafisika?),
Platons Lehre von der Wahrheit (Ajaran Pato tentang kebenaran), Brief Über den
Humanismus (Surat tentang Kemanusiaan), Einführung in die Metaphysik (Pengantar ke
dalam Metafisika dan beberapa karangan lain. Setelah tahun 1962 karya Heidegger yang
dipublikasikan sedikit. Dari yang sedikit itu dapat disebut Zur Sache des Denkens, yang
dalam bahasa Inggris menjadi "On Time and Being" (alih bahasa oleh: Joan Stambaugh).
Satu tahun berikutnya terbit Phanomenologie und Theologie (Fenomenologi dan Teologi).
3
Sindung Tjahyadi, “Manusia dan Historisnya Menurut Martin Heidegger”, Jurnal Filsafat, Vol : 18,
No. 1, April, 2008. 48
3
Ada juga usaha untuk menerbitkan secara lengkap semua karangan Heidegger seperti yang
dikerjakan oleh Penerbit Klostermann di Frankfurt am Main. Seluruh edisi akan meliputi 70
jilid yang masing-masing berisi 400 halaman. Jilid pertama diterbitkan tahun 1975 dengan
judul Die Grunde Probleme der Phenomenologie (Problem-problem dasar Fenomenologi).
B. Hakikat Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dari kata dasar ”existence” yaitu
“exist”. Kata exist adalah bahasa latin yang artinya ex, keluar dan “sistare” Artinya berdiri.
Jadi, “eksistensi” adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Dalam hal ini menunjukkan
isyarat bahwa manusia harus keluar dari dalam dirinya yang semula dia berdiri pada titik
yang stagnan. Dalam membuat definisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidak sama.4
Namun demikian ada sesuatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.(Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad
Saebani, 2020, p. hlm.333.) Sedangkan dalam istilah term eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi Ahmad Tafsir
mengatakan bahwa filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang
dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu
filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Ini adalah satu ragam
filsafat. Tokoh-tokoh yang dapat digolongkan ke dalam filsafat eksistensi lebih banyak
terdapat sebelum lahirnya filsafat eksistensialisme. Adapun yang dimaksud dengan filsafat
eksistensialisme, rumusan lebih sulit daripada eksistensi. Sejak muncul filsafat eksistensi,
cara wujud manusia telah dijadikan tema Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Dalam filsafat istilah eksistensi
memiliki beberapa pengertian yaitu pertama, apa yang ada. Kedua, apa yang memiliki
aktualitas (ada). Ketiga, segala sesuatu yang dialami manusia. Yang penting bahwa sesuatu
itu ada sehingga jelas berbeda dengan esensialisme. Keempat, kesempurnaan sehingga
sesuatu menjadi eksisten. Jadi jelas bahwa pusat perhatian eksistensialisme adalah sentral
pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal
menghadapkan manusia kepada manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.5
4
Ensiklopedi Sastra Indonesia, dikutip dari laman
https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Eksistensialisme
5
Eksistensi Martin Herdeigger, dikutip dari laman https://www.kompasiana.com/filsafatmanusia
4
yaitu pertama, apa yang ada. Kedua, apa yang memiliki aktualitas (ada). Ketiga, segala
sesuatu yang dialami manusia. Yang penting bahwa sesuatu itu ada sehingga jelas berbeda
dengan esensialisme. Keempat, kesempurnaan sehingga sesuatu menjadi eksisten. Jadi jelas
bahwa pusat perhatian eksistensialisme adalah situasi manusia. Karena itu eksistensi dapat
dipahami sebagai cara manusia berada di dunia.
6
Eksistensialisme Martin Heidegger , dikutip dari laman
https://kumparan.com/barbie-gunawan/lgbt-menurut-perspektif-martin-heidegger
5
Manusia menghadapi dunia dan mengerti apa arti dan guna benda-benda. Itulah yang
membedakan manusia dengan benda-benda yang lain manusia selalu berusaha untuk
memberikan arti dalam kehidupanya. Dengan demikian manusia adalah subjek. Manusia
menjadi sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan objek-objek yang dihadapinya. Karena itu
barang-barang tersebut disebut sebagai objek, yang berarti terletak didepan kita.
Aliran filsafat klasik seperti idealisme, realisme dan thomisme, menekankan kepada
kodrat manusia sebagai “animal rationale” implikasinya, yang lebih diperhatikan adalah
mengembangkan sisi kognitif sebagai tujuan utama pendidikan. Tetapi, eksistensialis
memandang manusia lebih bervariasi, tidak harus satu makna dalam suatu rumusan definisi
yang tepat seperti kaum realis. Eksistensialisme mendefinisikan diri manusia secara
individual. Manusia itu adalah persona yang rasional sekaligus irrasional, persona yang
berfikir juga merasakan, persona yang kognitif juga afektif. Karenanya, situasi manusia
dibangun dari hal-hal yang rasional dan irasional.7
Secara garis besar, ada dua tren pemikiran filsafat eksistensialisme. Pertama,
eksistensialisme yang menggarisbawahi pentingnya tuhan dalam kehidupan manusia
(theistic). Kedua, eksistensialis yang menolak adanya tuhan (atheis). Berikut penjelasannya
Tren eksistensialis pertama dirintis oleh Soren A. Kierkegaard yang menegaskan bahwa
7
Nariska Ananda, dkk. “Makalah Filsafat Pendidikan Islam”, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, 5
6
eksistensi menggejala sebagai keberadaan menuju kehampaan belaka (being toward
nothingness): pencarian makna eksistensi akan selalu menyibukkan manusia, dan setiap
usaha itu akhirnya akan membawanya pada kesimpulan betapa hidupnya hampa makna
sehingga menimbulkan kecemasan yang berlarut-larut. Perjalanan manusia mencari dan
menemukan makna eksistensi tidak membawa manusia menemukan makna hidupnya.
Kendati demikian, manusia harus menjalaninya eksistensinya. Gagasan teistik hanya terlihat
pada penampilan manusia mengalami tiga tahap, yaitu tahap esthetic, tahap etic, dan tahap
religious.
Eksistensialis berikutnya adalah Karl Jaspers yang berpandangan bahwa dalam gerak,
manusia menuju kepenuhan dirinya, dan dalam kebebasannya, manusia menjadi sadar pula
akan keterbatasan. Manusia sekaligus sadar pula akan kemampuan dirinya untuk mengatasi
keterbatasannya. Situasi batas itu dialami manusia secara mendalam, terutama dalam
fenomena kematian. Manusia mengalaminya secara pribadi dan menyadari adanya sesuatu
yang mendasari hidupnya yaitu being yang transenden yaitu tuhan, dijumpai pada saat
manusia dapat melampaui dirinya dan keterbatasan dirinya.dalam lompatan menuju
kelakuannya yang sejati, manusia menemukan tuhan.
Jadi, Filsafat Eksistensialisme sebuah filsafat yang mana secara khusus didalamnya
menjelaskan tentang eksistensial serta pengalaman manusia bagaimana cara mereka berada
dan beradaptasi. Eksistensialisme adalah suatu tanggapan yang mengenai materialism dan
idealism. Pendapat materialisme dalam memandang manusia yang bahwasanya manusia
merupakan objek harta yang dimiliki dunia, manusia merupakan sebuah materi yang tetap
ada tanpa menjadi subjek terlebih dahulu. Pendapat idealisme dalam memandang manusia
yaitu, bahwasanya manusia hanya dianggap sebagai subjek yang artinya hanya dianggap
sebagai suatu kesadaran semata. Eksistensialisme memiliki keyakinan bahwa situasi yang
dipunyai manusia selalu berakhir pada eksistensi. Eksistensialisme berpendapat bahwa, setiap
orang memiliki tanggung jawab terhadap kemauan bebas dimiliki tanpa memikirkan yang
benar dan yang salah. Dalam artian ini sebenarnya bukan berarti tak memikirkan /
mengetahui benar salahnya sesuatu. Akan tetapi, eksistensialisme dalam memandang suatu
kebenaran bersifat relatif. Karena itu, setiap individu tidak dibatasi dalam menentukan
sesuatu yang dianggap benar.
8
Maya Yunita, dkk. “Makalah Filsafat Modern” STAIN Kudus : 2015, 25
7
Menurut Martin Heidegger keberadaan hanya akan akan dapat dijawab melalui
ontologi artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam
hubungan itu. Metode untuk ini adalah metodologi fenomenologis. Jadi, yang penting adalah
menemukan arti keberadaan itu.
8
keberadaannya itu. Manusia harus merealisasikan kemungkinan kemungkinannya, tetapi
dalam kenyataannya tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah fakta keberadaan manusia, yang
timbul dari Gowerfenheid atau situasi terlemparnya itu(Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad
Saebani, 2020, p. hlm.335.).
Kepekaan diungkapkan dalam suasana batin di dalam perasaan dan emosi. Diantara
suasana batin atau perasaan-perasaan itu yang terpenting adalah rasa cemas (angst). Latar
belakang kecemasan ini adalah pengalaman umum yang menjadikan kita tiba-tiba merasa
sendirian. Dikepung oleh kekosongan hidup, dimana kita merasa bahwa seluruh hidup kita
telah tiada artinya. Oleh karena itu, dalam hidup sehari-hari, manusia bereksistensi, tidak
yang sebenarnya. Akan tetapi, justru karena itu, manusia memiliki kemungkinan untuk keluar
dari eksistensi yang tidak sebenarnya itu,keluar dari belenggu oleh pendapat orang banyak
dan menemukan dirinya sendiri. Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya
menghadapi hidup yang semu. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan. Dengan
ketekunan mengikuti kata hatinya itulah, cara bereksistensi yang sebenarnya. Inilah
menemukan diri sendiri. Disini , orang akan mendapatkan pengertian dan pemikiran yang
benar tentang manusia dan dunia.
JURGEN HABERMAS
A. Biografi
Adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Ia dilahirkan pada tanggal 18 juni
1929, di kota Dusseldorf, Jerman dan dibesarkan di kota Gummersbach. Ketika memasuki
masa remaja di akhir perang dunia II, ia baru menyadari bersama bangsanya akan kejahatan
rezim nasional-sosialis di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Mungkin hal ini yang
mendorong pemikiran Habermas tentang pentingnya demokrasi di negaranya.9 Kemudian ia
melanjutkan studinya di Universitas Gottingen, ia mempelajari kesusastraan, sejarah, dan
filsafat (Nicolai Hartmann) serta mengikuti kuliah psikologi dan ekonomi. Setelah itu, ia
meneruskan studi filsafat di Universitas Bonn yang mana pada tahun 1954 ia meraih gelar
“doktor filsafat” dengan sebuah disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte (Yang
Absolut dan Sejarah) merupakan studi tentang pemikiran Schelling. Bebarengan dengan itu
juga, ia mulai lebih aktif dalam diskusi-diskusi politik. Hal ini juga yang mendorong
Habermas untuk masuk ke partai National Socialist Germany.10
9
Bertens, ”Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman”, (Jakarta: Gramedia. 2002). hlm 236.
10
Listiyono (dkk) Epistemologi Kiri. (Jogjakarta: AR-Ruzz Media. 2007),. hlm 220.
9
Pada tahun 1956, Jurgen Habermas berkenalan dengan Institut Penelitian
Frankfurt di Frankfurt dan menjadi asisten dari Theodor Adorno. Habermas belajar
tentang Sosiologi dari Theodor Adorno. Kemudian, ia mengambil bagian dalam suatu proyek
penelitian mengenai sikap politik mahasiswa di Universitas Frankfurt. Pada tahun 1964, hasil
penelitiannya dipublikasikan dalam sebuah buku Student und Politik (Mahasiswa dan
Politik). Ketika Jurgen Habermas bekerja di Institut Penelitian Sosial tersebut, ia makin
berkenalan dengan pemikiran Marxisme.
Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir marxis adalah
peranannya di kalangan mahasiswa Frankfurt. Seperti halnya Adorno dan Horkheimer,
Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left),
meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis, Ia menjadi populer
di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistische Deutsche Studenten Und
(Kelompok Mahasiswa Sosialis Jerman). Dalam hal ini ia mendapat reputasi sebagai pemikir
baru yang diharapkan dapat melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse.
Namun pada tahun 1969, di dalam bukunya yang berjudul Protes Bewegung und Hochschule
Reform (Gerakan oposisi dan pembahasan perguruan tinggi), Jurgen Habermas mengkritik
secara pedas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa kiri. Bagi Habermas,
aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa kiri tersebut dikecam sebagai ‘revolusi palsu’,
bentuk-bentuk pemerasan yang diulang kembali, dan counterproductive.12
Namun Konfrontasi itu agaknya membuka tahapan baru dalam posisi Habermas
sebagai pemikir neo-Marxis. Pada tahun 1970 ia mengajukan pengunduran diri dari Frankfurt
11
Budi Hardiman. ”Kritik Ideologi”. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2009), hlm 33.
12
Bertens, ”Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman”. (Jakarta: Gramedia. 2002), 35.
10
dan bergabung pada Institut lain, yaitu Max Planck Institute zur Erforschung der
Lebensbedingungen Wissenschaftlich technischen Welt (Institut Max Planck Untuk
Penelitian Kondisi-Kondisi Hidup dari Dunia Teknis-Ilmiah) di Starnberg bersama dengan
C.F.von Weizsacker, bahkan Jurgen Habermas pada tahun 1972 sempat menjabat sebagai
direkturnya. Di tempat inilah ia diangkat sebagai professor filsafat dan pensiun tahun 1994.
Di tempat ini, ia juga memiliki keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar teori kritisnya
yang berbeda dengan gaya, isi dan jalan dari pendahulu-pendahulunya, seperti Adorno,
Hokheimer dan Marcuse dan juga sangat berbeda warna dengan pemikir marxis pada
umumnya.13
Menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang biasa dikenal di
kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Ia menggambarkan Teori kritis sebagai
suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu
pengetahuan (sosiologi). Teori Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif, yang
umumnya dianut oleh aliran positivistik, tetapi Teori kritis berusaha menembus realitas sosial
sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang
melampaui data empiris. Dapat dikatakan, Teori kritis merupakan kritik ideologi. Teori kritis
ini dilahirkan oleh Mazhab Frankfurt memiliki maksud membuka seluruh selubung ideologis
dan rasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia
modern.15 Akan tetapi, semua konsep Teori Kritis itu yang ditawarkan oleh para pendahulu
13
Ibid : 75
14
Zuhri, “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas” Jurnal Refleksi Vol. 4. No.1 Januari 2004. hlm. 15-16
15
Budi Hardiman, ”Kritik Ideologi”. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2009), 67.
11
Jurgen Habermas (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse) mengalami
sebuah kemacetan atau berakhir dengan kepesimisan.16 Sehingga Jurgen Habermas sebagai
penerus Mazhab Frankfurt akan membangkitkan kembali teori tersebut dengan sebuah
paradigma baru.
16
F.Budi “Hardiman Menuju Masyarakat Komunikatif”. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2009). 17.
17
Ibid., Hal 21
12
Walaupun gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutik, namun
gagasan-gagasannya itu mendukung pustaka hermeneutik. Dalam konteks ini dapat dijelaskan
bahwa konstruksi dari hermeneutika Habermas membentuk beberapa metode pemahaman
dan jenis pemahaman.
Kesimpulan
13
Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu
filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sejak muncul filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal
pada eksistensi. Jadi jelas bahwa pusat perhatian eksistensialisme adalah sentral pembahasan
filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal menghadapkan manusia
kepada manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme. Dari pemaparan arti eksistensi
diatas dapat memberikan pemahaman bahwa eksistensialisme adalah aliran yang berpendirian
bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang konkret, yaitu manusia sebagai
eksistensi.
Lain hal dengan Jurgen Habermas, menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah
teori ilmiah, yang biasa dikenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita.. Teori
Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif, yang umumnya dianut oleh aliran
positivistik, tetapi Teori kritis berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis,
untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Secara
sederhana teori ini dapat diartikan sebagai rumusan konsep yang diarahkan untuk menguji
kembali konsepsi pengetahuan sosial yang sudah mapan pada waktu itu. Ia menggambarkan
Teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara
filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi).
Teori kritis ini dilahirkan oleh Mazhab Frankfurt memiliki maksud membuka seluruh
selubung ideologis dan rasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan
berpikir manusia modern. Akan tetapi, semua konsep Teori Kritis itu yang ditawarkan oleh
para pendahulu Jurgen Habermas (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse)
mengalami sebuah kemacetan atau berakhir dengan kepesimisan.
Daftar Pustaka
Bertens. 2002. ”Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman”. (Jakarta: Gramedia), 35.
14
Budi. F. 2009. “Hardiman Menuju Masyarakat Komunikatif”. (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius). 17.
https://kumparan.com/barbie-gunawan/lgbt-menurut-perspektif-martin-heidegger
https://www.kompasiana.com/filsafatmanusia
https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Eksistensialisme
Salwa), IX
Listiyono (dkk). 2007. ”Epistemologi Kiri”. (Jogjakarta: AR-Ruzz Media),. hlm 220.
Sidoarjo
Zuhri, 2004. “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas” Jurnal Refleksi Vol. 4. No.1
15