Anda di halaman 1dari 15

HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN MARTIN HEIDEGGER DAN JURGEN

HABERMAS
Tugas artikel untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika
Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
IAIBAFA
Oleh
Azizatun Nisa
Naflah
Via Nailis S
Abstrak
Dalam artikel ini akan membahas hermeneutika dalam pandangan Martin Heidegger dan
Jurgen Habermas. Filsafat Eksistensialisme Martin Heidegger Menurut Martin Heidegger
keberadaan hanya akan akan dapat dijawab melalui ontologi artinya jika persoalan ini
dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Eksistensialisme
berpendapat bahwa, setiap orang memiliki tanggung jawab terhadap kemauan bebas dimiliki
tanpa memikirkan yang benar dan yang salah. Ia menggambarkan Teori kritis sebagai suatu
metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan
(sosiologi). Ia menggambarkan Teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam
ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Lain hal dengan
Jurgen Habermas, menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang biasa
dikenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita.
Kata Kunci : Hermeneutika, Martin Heidegger, Jurgen Habermas
Latar Belakang

Episteme historis modernisasi mampu menggerakkan dari arah tekstual menuju arah
kontekstual dan rasional. Dengan begitu makna tidak lagi dianggap sebagai suatu yang statis
melainkan suatu yang dinamis yang merupakan hasil dari perkembangan zaman.1

Dinamika realitas sosial menuntut adanya pengembangan dalam pelbagai lini


kehidupan. termasuk juga dalam ranah ilmu pengetahuan. sudah menjadi sebuah keniscayaan
bahwa Ilmu Pengetahuan terus terjadi pembaharuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh
modernitas.

1
Islah Gusmian, “Khazanah Tafsir al-Quran Indonesia”, (Yogyakarta : Pustaka Salwa, 2021), IX

1
Ranah baru metode penafsiran al-Quran setidaknya ada beberapa tawaran, antara lain
adalah hermeneutika dan tafsir maqasid. Kedua metode tersebut sama-sama mengandung
kecurigaan pada hasil penafsiran, akan tetapi kalau hermeneutika lepas dari batasan syari’at
dan pendapat para ulama’. Lain hal dengan Tafsir maqasid. Tafsir Maqashid tidak bisa lepas
dari batasan syariat serta pendapat ulama..

Hermeneutika kali pertama digunakan oleh cendekiawan Kristen Protestan kisaran


tahun 1654 M. Mereka merasa tidak puas dengan penafsiran gereja terhadap Perjanjian Lama
dan Baru. Cendekiawan umat Kristiani mengadopsi hermeneutika dijadikan alat atau seni
interpretasi teks karena para tokoh dan pemikir kristen sepakat bahwa Bible itu bukan kalam
Tuhan. Diduga keras bahasa asli dari Bible adalah Hebrew untuk perjanjian lama dan bahasa
Greek untuk Perjanjian Baru. Sementara itu Yesus sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic.
Para cendekiawan barat menilai bahwa Bible seperti produk budaya yang mengandung
kesalahan-kesalahan dalam sebagian informasinya, tetapi enggan ditafsir ulang oleh gereja.
Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya perbedaan pengarang yang secara otomatis
melahirkan gaya yang berbeda, bahkan dapat melahirkan informasi yang bertolak belakang.
Sikap para ilmuwan tersebut mengantarkan pada sikap tidak segan untuk menyatakan bahwa
terdapat kekeliruan dalam Bible dan otentisitasnya diragukan.2

Quraish Shihab, seorang pakar tafsir nusantara memaparkan bahwa tidak semua ide
yang diketengahkan oleh berbagai aliran dan pakar hermeneutika menuai ide yang keliru atau
berbau negatif. Pasti diantaranya ada sesuatu yang bernilai positif dan merupakan suatu hal
yang baru yang juga dapat dimanfaatkan untuk memperluas wawasan, bahkan untuk
memperkaya khazanah penafsiran, termasuk penafsiran al-Quran. Akan tetapi harus tetap
digaris bawahi bahwa masih ada sesuatu yang patut dicurigai mengandung kesalahan dalam
penerapannya.

Dalam artikel ini akan membahas hermeneutika dalam pandangan Martin Heidegger
dan Jurgen Habermas. Kemunculan nama Martin Heidegger kerap ditandai dengan era baru
hermeneutika, yaitu hermeneutika filosofis. Ia berusaha mengalihkan filsafat barat dari
pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan ontologis, yakni pertanyaan
tentang makna wujud dan apa artinya manusia untuk meng”ada”. Filsafat eksistensialisme
merupakan gagasan paling fenomenal dari buah pemikiran Martin Heidegger. Lain hal
dengan Jurgen Habermas, menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang

2
Quraish Shihab, “Kaidah Tafsir”, (Tanggerang : Lentera Hati, 2019), 367.

2
biasa dikenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Ia menggambarkan Teori
kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan
ilmu pengetahuan (sosiologi). Teori Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif,
yang umumnya dianut oleh aliran positivistik, tetapi Teori kritis berusaha menembus realitas
sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang
melampaui data empiris. 

MARTIN HEIDEGGER

A. Biografi

Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di sebuah kota kecil
Messkirch. Keluarganya merupakan keluarga sederhana, dan ayahnya bekerja sebagai koster
pada Gereja Katolik Santo Martinus di kota kecil tersebut. Ia menjalani sekolah menengah di
Konstanz dan Freiburg im Breisgrau. Pada tahun 1909 ia masuk Fakultas Teologi di
Universitas Freiburg, walau tidak bertahan lama. Setelah empat semester ia beralih perhatian
dan mengarahkan diri kepada studi filsafat dan mengikuti kuliah tentang ilmu alam dan ilmu
kemanusiaan. Heidegger memperoleh gelar "doktor filsafat" pada tahun 1913 dengan
disertasi tentang "Die Lehre vom Urteil im Psikologismus" (Ajaran tentang Putusan dalam
Psikologisme). Dua tahun kemudian, ia mempertahankan "Habilitation Schrift"-nya yang
berjudul "Die Kategorien und Bedeutungslehre des Duns Scotus" (Ajaran Duns Scotus
tentang Kategori dan Makna), yang kemudian digubah di bawah bimbingan Rickert dan
diterbitkan pada tahun 1916.3

Karya Heidegger cukup banyak, baik yang berasal dari ceramah maupun kuliah. Di
antaranya yang penting adalah Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Kant und das Problem der
Metaphysik (Kant dan Problem Metafisika), Was ist Metaphysik? (Apa itu Metafisika?),
Platons Lehre von der Wahrheit (Ajaran Pato tentang kebenaran), Brief Über den
Humanismus (Surat tentang Kemanusiaan), Einführung in die Metaphysik (Pengantar ke
dalam Metafisika dan beberapa karangan lain. Setelah tahun 1962 karya Heidegger yang
dipublikasikan sedikit. Dari yang sedikit itu dapat disebut Zur Sache des Denkens, yang
dalam bahasa Inggris menjadi "On Time and Being" (alih bahasa oleh: Joan Stambaugh).
Satu tahun berikutnya terbit Phanomenologie und Theologie (Fenomenologi dan Teologi).

3
Sindung Tjahyadi, “Manusia dan Historisnya Menurut Martin Heidegger”, Jurnal Filsafat, Vol : 18,
No. 1, April, 2008. 48

3
Ada juga usaha untuk menerbitkan secara lengkap semua karangan Heidegger seperti yang
dikerjakan oleh Penerbit Klostermann di Frankfurt am Main. Seluruh edisi akan meliputi 70
jilid yang masing-masing berisi 400 halaman. Jilid pertama diterbitkan tahun 1975 dengan
judul Die Grunde Probleme der Phenomenologie (Problem-problem dasar Fenomenologi).

B. Hakikat Eksistensialisme

Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dari kata dasar ”existence” yaitu
“exist”. Kata exist adalah bahasa latin yang artinya ex, keluar dan “sistare” Artinya berdiri.
Jadi, “eksistensi” adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Dalam hal ini menunjukkan
isyarat bahwa manusia harus keluar dari dalam dirinya yang semula dia berdiri pada titik
yang stagnan. Dalam membuat definisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidak sama.4
Namun demikian ada sesuatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.(Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad
Saebani, 2020, p. hlm.333.) Sedangkan dalam istilah term eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi Ahmad Tafsir
mengatakan bahwa filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang
dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu
filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Ini adalah satu ragam
filsafat. Tokoh-tokoh yang dapat digolongkan ke dalam filsafat eksistensi lebih banyak
terdapat sebelum lahirnya filsafat eksistensialisme. Adapun yang dimaksud dengan filsafat
eksistensialisme, rumusan lebih sulit daripada eksistensi. Sejak muncul filsafat eksistensi,
cara wujud manusia telah dijadikan tema Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Dalam filsafat istilah eksistensi
memiliki beberapa pengertian yaitu pertama, apa yang ada. Kedua, apa yang memiliki
aktualitas (ada). Ketiga, segala sesuatu yang dialami manusia. Yang penting bahwa sesuatu
itu ada sehingga jelas berbeda dengan esensialisme. Keempat, kesempurnaan sehingga
sesuatu menjadi eksisten. Jadi jelas bahwa pusat perhatian eksistensialisme adalah sentral
pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal
menghadapkan manusia kepada manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.5

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan


berpangkal pada eksistensi. Dalam filsafat istilah eksistensi memiliki beberapa pengertian

4
Ensiklopedi Sastra Indonesia, dikutip dari laman
https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Eksistensialisme
5
Eksistensi Martin Herdeigger, dikutip dari laman https://www.kompasiana.com/filsafatmanusia

4
yaitu pertama, apa yang ada. Kedua, apa yang memiliki aktualitas (ada). Ketiga, segala
sesuatu yang dialami manusia. Yang penting bahwa sesuatu itu ada sehingga jelas berbeda
dengan esensialisme. Keempat, kesempurnaan sehingga sesuatu menjadi eksisten. Jadi jelas
bahwa pusat perhatian eksistensialisme adalah situasi manusia. Karena itu eksistensi dapat
dipahami sebagai cara manusia berada di dunia.

Dari pemaparan arti eksistensi diatas dapat memberikan pemahaman bahwa


eksistensialisme adalah aliran yang berpendirian bahwa filsafat harus bertitik tolak pada
manusia yang konkret, yaitu manusia sebagai eksistensi. Sehubungan dengan titik tolak ini
maka bagi manusia, eksistensi itu mendahului esensi. Definisi ini sangat terkait dengan
sejarah kelahiran filsafat eksistensialisme yang merupakan reaksi terhadap materialisme.
Eksistensialisme bertujuan melawan pandangan yang yang materialistik terhadap manusia.
Menurut materialisme, manusia itu sama dengan benda lain yang ada di dunia. Menurut
bentuknya, manusia memang lebih unggul dibanding makhluk lain, namun hakikatnya tetap
sama-sama materi. Manusia hanya resultante atau akibat dari proses unsur kimiawi. Itulah
kesalahan fatal materialisme dalam memandang manusia. Materialisme memandang manusia
tidak sebagai keseluruhan (detotalisasi). Bahwa benar manusia memiliki unsur yang bersifat
material layaknya benda atau makhluk lain di alam semesta akan tetapi, jangan lupa sifat
material atau jasmani manusia itu hanya salah satu aspek sehingga tidak berarti keseluruhan.6

Bukan hanya materialisme yang dikritik penganut eksistensialisme. Filsafat idealisme


juga dikritik karena berpandangan sama ekstrimnya dengan materialisme terutama berkaitan
dengan manusia dan kehidupannya. Materialisme hanya memandang manusia dari sudut
pandang materialnya atau jasmaniah nya. Pandangan ini mengakibatkan manusia hanya
dilihat sebagai objek. Materialisme lupa bahwa segala benda didunia objek karena adanya
subjek. Berbeda dengan materialisme, filsafat idealisme justru melihat manusia hanya sebagai
subjek, kesadaran, pemikiran atau rohaniyahnya. Tetapi idealisme lupa bahwa manusia
menjadi subjek karena menghadapi objek. Jadi manusia bereksistensi sebagai manusia karena
berinteraksi dengan realitas sekitarnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa eksistensialisme dapat dikatakan bahwa


eksistensialisme merupakan filsafat yang berupaya untuk memandang manusia secara
keseluruhan. Penganut eksistensialisme menyerukan bahwa manusia jelas berbeda dengan
benda-benda lain. Manusia itu bukan hanya di dunia, melainkan juga menghadapi dunia.

6
Eksistensialisme Martin Heidegger , dikutip dari laman
https://kumparan.com/barbie-gunawan/lgbt-menurut-perspektif-martin-heidegger

5
Manusia menghadapi dunia dan mengerti apa arti dan guna benda-benda. Itulah yang
membedakan manusia dengan benda-benda yang lain manusia selalu berusaha untuk
memberikan arti dalam kehidupanya. Dengan demikian manusia adalah subjek. Manusia
menjadi sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan objek-objek yang dihadapinya. Karena itu
barang-barang tersebut disebut sebagai objek, yang berarti terletak didepan kita.

Aliran filsafat klasik seperti idealisme, realisme dan thomisme, menekankan kepada
kodrat manusia sebagai “animal rationale” implikasinya, yang lebih diperhatikan adalah
mengembangkan sisi kognitif sebagai tujuan utama pendidikan. Tetapi, eksistensialis
memandang manusia lebih bervariasi, tidak harus satu makna dalam suatu rumusan definisi
yang tepat seperti kaum realis. Eksistensialisme mendefinisikan diri manusia secara
individual. Manusia itu adalah persona yang rasional sekaligus irrasional, persona yang
berfikir juga merasakan, persona yang kognitif juga afektif. Karenanya, situasi manusia
dibangun dari hal-hal yang rasional dan irasional.7

Eksistensialisme dapat dikategorikan sebagai sebuah corak filsafat yang menekankan


kepada keunikan dan kebebasan pribadi individu terhadap khalayak ataupun masyarakat
umum. Setiap manusia bertanggung jawab secara penuh untuk memaknai eksistensi dirinya
dan menciptakan eksistensi diri atau definisi dirinya sendiri. Epistemologi eksistensialisme
beranggapan bahwa individu itu bertanggung jawab terhadap pengetahuannya sendiri.
Pengetahuan itu berasal dari dalam diri, yaitu kesadaran individu dan perasaan-perasaan
sebagai hasil pengalaman masing-masing individu. Manusia menghadapi situasi yang
dibangun dari komponen yang rasional maupun yang irrasional. Keabsahan suatu
pengetahuan ditentukan oleh nilai dan maknanya bagi individu secara khusus. Pemahaman
epistemologis kaum eksistensialis seperti ini didasarkan pada pandangan bahwa pengalaman
dan pengetahuan manusia bersifat subjektif, personal, rasional, dan irasional. Bila kaum
pragmatis lebih memilih menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan masalah, kaum
eksistensialis lebih menyukai memecahkan masalah kehidupan dengan memperhatikan sisi
estetik, moral, dan emosional disamping yang kognitif.

Secara garis besar, ada dua tren pemikiran filsafat eksistensialisme. Pertama,
eksistensialisme yang menggarisbawahi pentingnya tuhan dalam kehidupan manusia
(theistic). Kedua, eksistensialis yang menolak adanya tuhan (atheis). Berikut penjelasannya
Tren eksistensialis pertama dirintis oleh Soren A. Kierkegaard yang menegaskan bahwa

7
Nariska Ananda, dkk. “Makalah Filsafat Pendidikan Islam”, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, 5

6
eksistensi menggejala sebagai keberadaan menuju kehampaan belaka (being toward
nothingness): pencarian makna eksistensi akan selalu menyibukkan manusia, dan setiap
usaha itu akhirnya akan membawanya pada kesimpulan betapa hidupnya hampa makna
sehingga menimbulkan kecemasan yang berlarut-larut. Perjalanan manusia mencari dan
menemukan makna eksistensi tidak membawa manusia menemukan makna hidupnya.
Kendati demikian, manusia harus menjalaninya eksistensinya. Gagasan teistik hanya terlihat
pada penampilan manusia mengalami tiga tahap, yaitu tahap esthetic, tahap etic, dan tahap
religious.

Eksistensialis berikutnya adalah Karl Jaspers yang berpandangan bahwa dalam gerak,
manusia menuju kepenuhan dirinya, dan dalam kebebasannya, manusia menjadi sadar pula
akan keterbatasan. Manusia sekaligus sadar pula akan kemampuan dirinya untuk mengatasi
keterbatasannya. Situasi batas itu dialami manusia secara mendalam, terutama dalam
fenomena kematian. Manusia mengalaminya secara pribadi dan menyadari adanya sesuatu
yang mendasari hidupnya yaitu being yang transenden yaitu tuhan, dijumpai pada saat
manusia dapat melampaui dirinya dan keterbatasan dirinya.dalam lompatan menuju
kelakuannya yang sejati, manusia menemukan tuhan.

Jadi, Filsafat Eksistensialisme sebuah filsafat yang mana secara khusus didalamnya
menjelaskan tentang eksistensial serta pengalaman manusia bagaimana cara mereka berada
dan beradaptasi. Eksistensialisme adalah suatu tanggapan yang mengenai materialism dan
idealism. Pendapat materialisme dalam memandang manusia yang bahwasanya manusia
merupakan objek harta yang dimiliki dunia, manusia merupakan sebuah materi yang tetap
ada tanpa menjadi subjek terlebih dahulu. Pendapat idealisme dalam memandang manusia
yaitu, bahwasanya manusia hanya dianggap sebagai subjek yang artinya hanya dianggap
sebagai suatu kesadaran semata. Eksistensialisme memiliki keyakinan bahwa situasi yang
dipunyai manusia selalu berakhir pada eksistensi. Eksistensialisme berpendapat bahwa, setiap
orang memiliki tanggung jawab terhadap kemauan bebas dimiliki tanpa memikirkan yang
benar dan yang salah. Dalam artian ini sebenarnya bukan berarti tak memikirkan /
mengetahui benar salahnya sesuatu. Akan tetapi, eksistensialisme dalam memandang suatu
kebenaran bersifat relatif. Karena itu, setiap individu tidak dibatasi dalam menentukan
sesuatu yang dianggap benar.

C. Filsafat Eksistensialime Martin Heidegger8

8
Maya Yunita, dkk. “Makalah Filsafat Modern” STAIN Kudus : 2015, 25

7
Menurut Martin Heidegger keberadaan hanya akan akan dapat dijawab melalui
ontologi artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam
hubungan itu. Metode untuk ini adalah metodologi fenomenologis. Jadi, yang penting adalah
menemukan arti keberadaan itu.

Satu-satunya yang berada dalam arti sesungguhnya adalah beradanya manusia.


Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil
tepat di tengah-tengah dunia sekitarnya. Keberadaan manusia disebut desein (berada disana,
ditempat) berada artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk itu manusia harus keluar
dari dirinya dan berdiri ditengah-tengah segala yang yang berada. Dsesin manusia disebut
juga desein. Keberadaan manusia, berada didalam dunia maka ia dapat memberi tempat
kepada benda-benda yang disekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu dan
manusia-manusia lain. Dapat bergaul dan berkomunikasi dengan yang semuanya.

Keberadaan manusia (desein),juga metsein (berada bersama-sama). Karena itu,


manusia terbuka bagi dunianya dan bagi semuanya. Keterbukaan bersandar pada tiga hal
asasi, yaitu befindichkeit (kepekaan), verstecken (memahami), dan rede (kata-kata, bicara).
Berikut uraian tiga asasi yang menjadi sandaran keterbukaan manusia yaitu : Pertama,
Kepekaan diungkapkan dalam bentuk perasaan : senang, kecewa atau takut. Perasaan timbul
karena kebersamaanya dengan yang lain, ia dihadapkan kepada dunia sebagai nasib, dimana
sekaligus menghayati kenyataan eksistensi kita serba terbatas. Kedua, mengerti atau
memahami ialah bahwa manusia yang dengan kesadaran akan beradanya di antara
keberadaan lain-lainya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan
kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya bagi memberi arti dan manfaat pada dunia
dalam kemungkinan-kemungkinannya. Dengan begitu, manusia, dengan pengertianya,
merencanakan dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan sendiri dan sekaligus juga
kemungkinan-kemungkinan dunia. Ketiga, Bicara adalah asas yang eksistensial bagi
kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi bagi manusia. Secara apriori, manusia telah
memiliki daya untuk berbicara. Ia adalah makhluk yang dapat berbicara. Sambil berbicara, ia
mengungkapkan diri. Pengungkapanya adalah satu pemberitahuan dalam rangka rencana
yang diarahkan ke arah tertentu.

Menurut heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya, tetapi ia dilemparkan ke


dalam keberadaan. Walaupun keberadaan manusia tidak mengadakan sendiri, bahkan
merupakan keberadaan yang terlempar, manusia tetap harus bertanggung jawab atas

8
keberadaannya itu. Manusia harus merealisasikan kemungkinan kemungkinannya, tetapi
dalam kenyataannya tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah fakta keberadaan manusia, yang
timbul dari Gowerfenheid atau situasi terlemparnya itu(Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad
Saebani, 2020, p. hlm.335.).

Kepekaan diungkapkan dalam suasana batin di dalam perasaan dan emosi. Diantara
suasana batin atau perasaan-perasaan itu yang terpenting adalah rasa cemas (angst). Latar
belakang kecemasan ini adalah pengalaman umum yang menjadikan kita tiba-tiba merasa
sendirian. Dikepung oleh kekosongan hidup, dimana kita merasa bahwa seluruh hidup kita
telah tiada artinya. Oleh karena itu, dalam hidup sehari-hari, manusia bereksistensi, tidak
yang sebenarnya. Akan tetapi, justru karena itu, manusia memiliki kemungkinan untuk keluar
dari eksistensi yang tidak sebenarnya itu,keluar dari belenggu oleh pendapat orang banyak
dan menemukan dirinya sendiri. Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya
menghadapi hidup yang semu. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan. Dengan
ketekunan mengikuti kata hatinya itulah, cara bereksistensi yang sebenarnya. Inilah
menemukan diri sendiri. Disini , orang akan mendapatkan pengertian dan pemikiran yang
benar tentang manusia dan dunia.

JURGEN HABERMAS

A. Biografi

Adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Ia dilahirkan pada tanggal 18 juni
1929, di kota Dusseldorf, Jerman dan dibesarkan di kota Gummersbach. Ketika memasuki
masa remaja di akhir perang dunia II, ia baru menyadari bersama bangsanya akan kejahatan
rezim nasional-sosialis di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Mungkin hal ini yang
mendorong pemikiran Habermas tentang pentingnya demokrasi di negaranya.9 Kemudian ia
melanjutkan studinya di Universitas Gottingen, ia mempelajari kesusastraan, sejarah, dan
filsafat (Nicolai Hartmann) serta mengikuti kuliah psikologi dan ekonomi. Setelah itu, ia
meneruskan studi filsafat di Universitas Bonn yang mana pada tahun 1954 ia meraih gelar
“doktor filsafat” dengan sebuah disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte (Yang
Absolut dan Sejarah) merupakan studi tentang pemikiran Schelling. Bebarengan dengan itu
juga, ia mulai lebih aktif dalam diskusi-diskusi politik. Hal ini juga yang mendorong
Habermas untuk masuk ke partai National Socialist Germany.10

9
Bertens,  ”Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman”, (Jakarta: Gramedia. 2002). hlm 236.
10
Listiyono (dkk) Epistemologi Kiri. (Jogjakarta: AR-Ruzz Media. 2007),. hlm 220.

9
Pada tahun 1956, Jurgen Habermas berkenalan dengan Institut Penelitian
Frankfurt di Frankfurt dan menjadi asisten dari Theodor Adorno. Habermas belajar
tentang Sosiologi dari Theodor Adorno. Kemudian, ia mengambil bagian dalam suatu proyek
penelitian mengenai sikap politik mahasiswa di Universitas Frankfurt. Pada tahun 1964, hasil
penelitiannya dipublikasikan dalam sebuah buku Student und Politik (Mahasiswa dan
Politik). Ketika Jurgen Habermas bekerja di Institut Penelitian Sosial tersebut, ia makin
berkenalan dengan pemikiran Marxisme.

Sementara ia melibatkan diri di dalam kesibukan-kesibukan Institut, ia


mempersiapkan sebuah Habilitations-Schrift yang berjudul Strukturwandel der
Oeffentlichkeit (perubahan dalam Struktur Pendapat Umum, 1962), Fokus utama dari tulisan
itu adalah tentang berfungsi tidaknya pendapat umum dalam masyarakat modern dan menjadi
salah satu karya yang termasyhur diantara karya-karya awalnya sebagai anggota Institut.
Habilitation itu dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga
memberikan kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah
mengakhiri tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan
kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat.11

Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir marxis adalah
peranannya di kalangan mahasiswa Frankfurt. Seperti halnya Adorno dan Horkheimer,
Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left),
meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis, Ia menjadi populer
di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistische Deutsche Studenten Und
(Kelompok Mahasiswa Sosialis Jerman). Dalam hal ini ia mendapat reputasi sebagai pemikir
baru yang diharapkan dapat melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse.
Namun pada tahun 1969, di dalam bukunya yang berjudul Protes Bewegung und Hochschule
Reform (Gerakan oposisi dan pembahasan perguruan tinggi), Jurgen Habermas mengkritik
secara pedas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa kiri. Bagi Habermas,
aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa kiri tersebut dikecam sebagai ‘revolusi palsu’,
bentuk-bentuk pemerasan yang diulang kembali, dan counterproductive.12

Namun Konfrontasi itu agaknya membuka tahapan baru dalam posisi Habermas
sebagai pemikir neo-Marxis. Pada tahun 1970 ia mengajukan pengunduran diri dari Frankfurt

11
Budi Hardiman. ”Kritik Ideologi”. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2009), hlm 33.
12
Bertens, ”Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman”. (Jakarta: Gramedia. 2002), 35.

10
dan bergabung pada Institut lain, yaitu Max Planck Institute zur Erforschung der
Lebensbedingungen Wissenschaftlich technischen Welt (Institut Max Planck Untuk
Penelitian Kondisi-Kondisi Hidup dari Dunia Teknis-Ilmiah) di Starnberg bersama dengan
C.F.von Weizsacker, bahkan Jurgen Habermas pada tahun 1972 sempat menjabat sebagai
direkturnya. Di tempat inilah ia diangkat sebagai professor filsafat dan pensiun tahun 1994.
Di tempat ini, ia juga memiliki keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar teori kritisnya
yang berbeda dengan gaya, isi dan jalan dari pendahulu-pendahulunya, seperti Adorno,
Hokheimer dan Marcuse dan juga sangat berbeda warna dengan pemikir marxis pada
umumnya.13

B. Aliran dan Pemikiran Jurgen Habermas

Sebagai generasi kedua mazhab Frankfurt, Habermas berupaya mengatasi kebuntuan


dan merekonstruksi ulang bangunan pemikiran yang telah dibangun oleh generasi
pertamanya. Madzhab ini dikenal dengan teori kritisnya. Teori ini sebenarnya dirumuskan
oleh Horkheimer. Secara sederhana teori ini dapat diartikan sebagai rumusan konsep yang
diarahkan untuk menguji kembali konsepsi pengetahuan sosial yang sudah mapan pada waktu
itu. Kelompok mapan ini tidak lain adalah aliran positivistic-kapitalistik dengan topangan
metode-metode tradisionalnya dan bahkan di dalam kelompok sosialis itu sendiri. Kondisi
social seperti itu perlu ditelaah kembali karena dalam dataran realitasnya mereka tidak
mampu lagi menjawab problem dan tantangan yang dihadapi masyarakat pada waktu itu.14

Menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang biasa dikenal di
kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Ia menggambarkan Teori kritis sebagai
suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu
pengetahuan (sosiologi). Teori Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif, yang
umumnya dianut oleh aliran positivistik, tetapi Teori kritis berusaha menembus realitas sosial
sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang
melampaui data empiris. Dapat dikatakan, Teori kritis merupakan kritik ideologi. Teori kritis
ini dilahirkan oleh Mazhab Frankfurt memiliki maksud membuka seluruh selubung ideologis
dan rasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia
modern.15 Akan tetapi, semua konsep Teori Kritis itu yang ditawarkan oleh para pendahulu

13
Ibid : 75
14
Zuhri, “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas” Jurnal Refleksi Vol. 4. No.1 Januari 2004. hlm. 15-16
15
Budi Hardiman, ”Kritik Ideologi”. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2009), 67.

11
Jurgen Habermas (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse) mengalami
sebuah kemacetan atau berakhir dengan kepesimisan.16 Sehingga Jurgen Habermas sebagai
penerus Mazhab Frankfurt akan membangkitkan kembali teori tersebut dengan sebuah
paradigma baru.

Jurgen Habermas menambahkan konsep komunikasi di dalam Teori Kritis


tersebut. Menurutnya, komunikasi dapat menyelesaikan kemacetan Teori kritis yang
ditawarkan oleh pendahulunya, dengan membedakan antara pekerjaan dan komunikasi
(interaksi). Pekerjaan merupakan tindakan instrumental, jadi sebuah tindakan yang bertujuan
untuk mencapai sesuatu. Sedangkan komunikasi adalah tindakan saling pengertian. Dalam
tradisi Mazhab Frankfurt, teori dan praksis tidak dapat dipisahkan. Praksis dilandasi
kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan-kegiatan yang bekerja melulu,
melainkan interaksi dengan orang lain menggunakan bahasa sehari-hari. Selain itu juga, para
pendahulunya memandang rasionalitas sebagai penaklukan, kekuasaan. Kedua hal itulah
yang membuat kemacetan dalam Teori Kritis. Pandangan ini telah membuat sudut pandang
masyarakat tentang kritik dengan penaklukan itu sama dan praksis dengan penaklukan itu
sama. Jurgen Habermas berpendapat bahwa kritik hanya dapat maju dengan rasio
komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikatif atau tindakan
komunikatif. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui
revolusi atau kekerasan, tetapi melalui argumentasi. Kemudian Habermas membedakan dua
macam argumentasi, yaitu: perbincangan atau diskursus dan kritik.

Pada tataran perkembangan konsep selanjutnya, tidak banyak bicara tentang


hermeneutika. Konsentrasi Habermas lebih pada tema-tema kesaling-pahaman atau
understanding sebagai dasar pemikiran untuk mewujudkan cita-citanya yaitu terwujudnya
suatu sistem kemasyarakatan yang komunikatif. Tema tentang pemahaman atau
saling-pemahaman itu diawali dengan konsep Dept Hermeneutic yang bertujuan pada upaya
penemuan berbagai sebab terjadinya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi atau
tepatnya adalah dilema pemahaman.17

C. Metode Jurgen Habermas

16
F.Budi “Hardiman Menuju Masyarakat Komunikatif”. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2009). 17.
17
Ibid., Hal 21

12
Walaupun gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutik, namun
gagasan-gagasannya itu mendukung pustaka hermeneutik. Dalam konteks ini dapat dijelaskan
bahwa konstruksi dari hermeneutika Habermas membentuk beberapa metode pemahaman
dan jenis pemahaman.

Dalam “metode memahami” Habermas membedakan antara pemahaman dan


penjelasan. Ia memperingatkan kita bahwa; kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna
sesuatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat
menginterpretasikan fakta secara tuntas. Habermas menyatakan bahwa selalu ada makna
yang bersifat lebih, yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu yang terdapat di dalam
hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisis kan’, ‘tidak dapat dijabarkan’, bahkan di luar pikiran
kita. Semua hal tersebut mengalir secara terus-menerus didalam hidup kita.

Dapat dikatakan bahwa proyek hermeneutika Habermas adalah proyek hermeneutik


sosio-kritis (sosial-critical hermeneutic) yang dapat diberangkatkan dari sisi epistemologis
pemahaman manusia maupun sisi metodologis dan pendekatan komunikatif baik dalam teks,
tradisi maupun institusi masyarakat.

D. Karya Jurgen Habermas

Beberapa karya Jurgen Habermas yaitu :

a. Legitimation Crisis (Beacon Press, 1975)


b. Between Facts and Norms (The MIT Press, 1996)
c. Teori Tindakan Komunikatif (Kreasi Wacana, 2006 & 2019)
d. Pengantar Metodologi Ilmu Sosial (UGM Press Official)
e. Konstelasi Paska Bangsa (Kreasi Wacana)
f. Dsb.

Kesimpulan

Filsafat Eksistensialisme Martin Heidegger, Menurut Martin Heidegger keberadaan


hanya akan akan dapat dijawab melalui ontologi artinya jika persoalan ini dihubungkan
dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Sedangkan dalam istilah term
eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada
eksistensi Ahmad Tafsir mengatakan bahwa filsafat eksistensi tidak sama persis dengan
filsafat eksistensialisme.

13
Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu
filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.

Sejak muncul filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal
pada eksistensi. Jadi jelas bahwa pusat perhatian eksistensialisme adalah sentral pembahasan
filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal menghadapkan manusia
kepada manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme. Dari pemaparan arti eksistensi
diatas dapat memberikan pemahaman bahwa eksistensialisme adalah aliran yang berpendirian
bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang konkret, yaitu manusia sebagai
eksistensi.

Lain hal dengan Jurgen Habermas, menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah
teori ilmiah, yang biasa dikenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita.. Teori
Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif, yang umumnya dianut oleh aliran
positivistik, tetapi Teori kritis berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis,
untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Secara
sederhana teori ini dapat diartikan sebagai rumusan konsep yang diarahkan untuk menguji
kembali konsepsi pengetahuan sosial yang sudah mapan pada waktu itu. Ia menggambarkan
Teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara
filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi).

Teori kritis ini dilahirkan oleh Mazhab Frankfurt memiliki maksud membuka seluruh
selubung ideologis dan rasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan
berpikir manusia modern. Akan tetapi, semua konsep Teori Kritis itu yang ditawarkan oleh
para pendahulu Jurgen Habermas (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse)
mengalami sebuah kemacetan atau berakhir dengan kepesimisan.

Dapat dikatakan bahwa proyek hermeneutika Habermas adalah proyek hermeneutik


sosio-kritis (sosial-critical hermeneutic) yang dapat diberangkatkan dari sisi epistemologis
pemahaman manusia maupun sisi metodologis dan pendekatan komunikatif baik dalam teks,
tradisi maupun institusi masyarakat.

Daftar Pustaka

Bertens. 2002. ”Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman”. (Jakarta: Gramedia), 35.

14
Budi. F. 2009. “Hardiman Menuju Masyarakat Komunikatif”. (Yogyakarta: Penerbit

Kanisius). 17.

Eksistensialisme Martin Heidegger , dikutip dari laman

https://kumparan.com/barbie-gunawan/lgbt-menurut-perspektif-martin-heidegger

Eksistensi Martin Herdeigger, dikutip dari laman

https://www.kompasiana.com/filsafatmanusia

Ensiklopedi Sastra Indonesia, dikutip dari laman

https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Eksistensialisme

Gusmian, Islah. 2021. “Khazanah Tafsir al-Quran Indonesia”, (Yogyakarta : Pustaka

Salwa), IX

Hardiman, Budi. 2009. ”Kritik Ideologi”. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 67.

Listiyono (dkk). 2007.  ”Epistemologi Kiri”. (Jogjakarta: AR-Ruzz Media),. hlm 220.

Maya Yunita, dkk. 2015. “Makalah Filsafat Modern” STAIN Kudus.

Nariska Ananda, dkk. “Makalah Filsafat Pendidikan Islam”, Universitas Muhammadiyah

Sidoarjo

Shihab, Quraish. 2019. “Kaidah Tafsir”, (Tanggerang : Lentera Hati), 367.

Tjahyadi,Sindung. “Manusia dan Historisnya Menurut Martin Heidegger”, Jurnal Filsafat,

Vol : 18, No. 1, April, 2008. 48

Zuhri, 2004. “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas” Jurnal Refleksi Vol. 4. No.1

Januari. . hlm. 15-16

15

Anda mungkin juga menyukai