Anda di halaman 1dari 5

Tugas Hermeneutik dan Semiotik

Nama : Muhammad Amin Husaini NIM : 11200340000031 Kelas : 6D

MARTIN HEIDEGGER
Martin Heidegger lahir di Messkirch pada tanggal 26 September 1889. Ia tumbuh dan
dibesarkan dalam tradisi Katolik Roma yang ketat. Ayahnya bertugas sebagai koster pada
gereja Katolik Santo Martinus. Ia menempuh sekolah menengahnya di Konstansz dan Freiburg
im Breisgau. Pada tahun 1909 ia masuk Universias Freiburg untuk belajar di Fakultas Teologi.
Setelah mempelajari teologi selama 4 semester, ia mengubah haluan dan mengarahkan seluruh
perhatiannya kepada studi filsafat, ditambah dengan kuliah-kuliah tentang ilmu pengetahuna
alam dan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Professor termashur di Fakultas Filsafat pada waktu
itu adalah Heinrich Rickret.
Heidegger memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1913 dengan disertasi tentang
Die Lehre vom Urteil im Psychologismus (ajaran tentang putusan psikologisme). Pada tahun
1916 Edmund Hussrel datang ke Freiburg sebagai pengganti Rickert. Kedatangannya adalah
suatu kejadian yang penting sekali untuk Heidegger. Sejak awal ia memang tertarik pada faham
fenomenologis Hussrel. Tidak mengherankan kemudian Heidegger menekuni filsafat
fenomonologi walaupun ia sendiri bukan penganut setia faham tersebut. di samping itu selama
tahun 1916-19199, Heidegger mencoba mengkaji dogma-dogma Katolik yang rigid dan
menggerakkann dogma-dogma tersebut ke faham Protestan liberal.
Martin Heidegger dalam bukunya yang sangat populer, Being and Time ia menjelaskan
menegaskan bahwa dasarnya dasar untuk menjeaskan “Ada” itu adalah Sein : Ada dan Zeit :
Waktu. Dua struktur dasar atau kategori “Ada” ini bibahas dalam adanya manusia secara
fenomonologis. Adanya manusia (Da-Sein) di dunia bila ditelaah nanti akan membawa
renungan filsafat menuju sang “Ada” itu.
Menurut Heidegger, satu-satunya yang ada dalam arti yang sesungguhnya adalah
keberadaan manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengna yang lain, sedang beradanya
manusia, mengambil tempat tengah-tengah dunia sekitarnya. Keberadaan manusia tersebut
dasein (berada di sana, di tempat). Berada artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk
itu, manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri di tengah-tengah segala yang berada. Dasein
manusia disebut juga eksistensi.
Pertanyaan tentang Auslegung, penjernihan (explication) atau interpretasi, terkait erat
dengan pertanyaan tentang penafsiran (exegesis) yang dikait-kaitkan dengan pertanyaan
tentang “yang ada” (being) yang terlupakan, sebagaimana yang diuraikan dalam pengantar
buku Being and Time, yang menjadi isu disini adalah persoalan makna “yang ada.” Namun
dalam mengemukakan pertanyaan ini kita sudah di bimbing oleh apa yang kita cari. Semenjak
awal teori pengetahuan telah diputarbalikkan oleh pengujian silang yang mendahuluinya dan
menaruh perhatian pada cara bagaimana ‘yang ada’ berhadapan dengan ‘yang ada’ yang lain
sebagai objek yang berhadapan dengan subjek. Bahkan seandainya Being and Time
memberikan penekanan pada Dasein, yaitu ‘ke-di-sana-an’ yang menjadi hakikat kita (the
being-there that we are), lebih banyak ketimbang dalam karya Heidegger selanjutnya, tetap
saja Dasein ini bukanlah subjek yang memiliki objek, akan tetapi lebih merupakan sesuatu
‘yang ada’ di dalam ‘ke-ber-ada-an’ (a being within being).
Dasein tidak pernah ada dan hidup hanya di masa tertentu, melainkan ia hidup dan
selalu diketemukan dalam kepadatan atau kerangka waktu: yang lampau sebagai
Befindilikchkeit, sekarang sebagai Ride dan yang akan datang sebagai Verstehen. Di dalam
kepadatan waktu diketemukan waktu yang tidak menentu (kacau). Manusia otentik yaitu
Dasein, memiliki ciri khas dalam masa lampaunya sebagai Befindilikchkeit (dalam kondisi
ditemukan) atau ditemukan dalam kebebasannya. Dasein kemudian secara mendadak sadar
akan beban yang sangat berat, karena ia dilahirkan di dunia. Kekinian Dasein dan Ride (ucapan
bahasa) adalah artikulasi dari penemuan diri di masa lampau dan antisipasi ke masa depan.
Tapi kekinian menemukan Dasein tersembunyi dalam situasi dan manusia hanya dapat
mempertahankan autentisitasnya dengan melakukan aktivitas dalam kerangka waktu sekarang.
Masa depan Dasein atau Verstehen (pemahaman) menjadi Dasein sadar bahwa masa depannya
itu bergantung kepada dirinya sendiri, atau bukan pada nasib atau kemajuan.
Dari awal sampai akhir Heidegger sangat concern dengan proses hermeneutika di mana
kebenaran dapat diuangkap. Ini didekatinya dalam Being and Time sebagai fenomonologi
Dasein. Dalam bukunya itu Heidegger menemukan suatu bentuk akses dalam kenyataan bahwa
seseorang memiliki eksistensi dirinya, yang selaras dengan adanya pemahaman tertentu
tentang apa sebenarnya keberadaan itu. Ia bukanlah pemahaman yang dibentuk, namun secara
historis terbentuk, terakumulasi dalam pemahaman perjumpaan fenomena yang sebenarnya.
Dengan begitu, keberadaan tentu saja dapat dipertanyakan melalui suatu analisis bagaimana
kemunculan itu terjadi. Ontologi harus menjadi fenomenologi. Ontologi harus beralih kepada
proses pemahaman dan interpretasi melalui apa sesuatu itu muncul. Ia harus dapat membuka
minat dan arah eksistensi manusia, ia harus dapat memperlihatkan struktur keberadaan di dunia
secara jelas.
“Makna metodologis dari deskripsi fenomenologis adalah interpretasi (Auslegung).
Logos fenomenologi Dasein memiliki karakter hermeneuien, struktur keberadaan dirinya
sendiri dan makna otentik keberadaan yang ditentukan dalam pemahaman keberadaan dibuat
dikenal terhadap Dasein. Fenomenologi Dasein adalah hermeneutika dalam makna kata yang
orisinal yang menunjuk persoalan interpretasi.”
Dalam satu langkah ini hermeneutika menjadi “interpretasi keberadaan Dasein.” Secara
filosofis ia membentuk arah struktur dasar posibilitas bagi Dasein. Ia merupakan “analisis
eksistensialitas eksisten” yaitu kemungkinan otentik dari hal yang berada untuk menjadi ada.
Heidegger menjelaskan, hermeneutika adalah fungsi penjelasan fundamental di mana Dasein
membuat hakikat keberadaan menjadi diketahui bagi dirinya sendiri. Hermeneutika sebagai
metodologi interpretasi bagi kemanusiaan merupakan suatu bentuk derivatif yang terletak dan
tumbuh pada fungsi ontologis utama interpretasi. Ia merupakan ontologi regional yang harus
didasarkan pada ontologi yang lebih fundamental.
Menurut Heidegger, dapat dikatakan bahwa Hidup pada hakikatnya dapat dicapai
hanya dalam Dasein. Ontologi Dasein membawa ke dalam ilmu interpretasi “hermeneutik”
Dasein. Dalam analisa fenomenologis mengenai Dasein sebagai Ada-dari-umat-manusia,
Heidegger tidak hanya memperdalam analisa epistemologis Dilthey dan Husserl, namun juga
menyediakan sebuah kritik mengenai tubuh yang menegaskan asumsi bahwa mereka berbagi
dengan seluruh tradisi filosofis Barat yang diidentifikasikan Heidegger sebagai “metafisika.

HANS GEORG GADAMER


Hans Georg Gadamer dilahirkan pada tanggal 11 Febuary 1900 di Marburg, Jerman
dan wafat pada tanggal 13 maret 2002 dari pasangan Johannes Gadamer dan Johanna Geisse.
Ayahnya seorang pakar bidang farmasi dan kimia yang menduduki tempat terhormat di
Marburg. Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya. Menurut ayah
Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan
ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia
berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat.
Petualangan intelektual Gadamer di bidang filsafat dimulai di Universitas
Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke kota
tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp
dan Nicolai Hartmann. Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger di Freiburg.
Berbicara pemikiran Gadamer tidak terlepas oleh pengaruh gurunya, Heidegger. Ia
sebagian pemikirannya adalah lanjutan dari pemikiran Heidegger akan tetapi tidak sedikit juga
karya dia yang berasal dari pemikirannya sendiri. Secara umum seseorang dalam memahami
sesuatu menghasilkan pemahaman yang bersifat kognitif, namun bagi Gadamer itu adalah
sesuatu yang salah. Ia berpendapat bahwa proses pemahaman adalah wujud dari keberaaan
manusia (ontologis). Manusia bisa disebut sebagai manusia jika melakukan kegiatan
memahami, sehingga bukan manusia memiliki pemahaman akan tetapi kita sendiri adalah
pemahaman.
Ketika orang memahami bukan dari tidak tahu menjadi tahu, akan tetapi dari
pemahaman yang lama menuju pemahaman yang baru, ini dikenal dengan istilah pra-
pemahaman. Menurut Heidegger, pemahaman itu terdiri dari faktisitas (keterlemparan) dan
pra-struktur. Gadamer setuju dengan pemikiran Heidegger tersebut, namun menurutnya ada
satu hal lain yang tidak dapat dilupakan yaitu dimensi sosial pemahaman (dialektika sosial).
Bagi Gadamer pra-pemahaman kita tidak hanya memahami sendirian melainkan ada dialektika
disekitar kita seperti budaya. Ia berusaha membebaskan hermeneutika dari tokoh-tokoh
sebelumnya, sehingga hermeneutika tidak lagi sebagai seni atau metode melainkan sebagai
kemampuan universal manusia untuk memahami. Karena itu hermeneutika Gadamer bisa
disebut “hermeneutik filosofis” (philosophische hermeneutik).
Bagi Scheleiermacher, hermeneutika merupakan upaya untuk mengatasi
kesalahpahaman. Ia berusaha membaca teks seobyektif mungkin dengan cara penafsir
memasuki horizon pengarang. Namun bagi Gadamer itu mustahil, sebab yang membunyikan
teks adalah kita, sehingga tidak mungkin orang memahami sesuatu dengan pemahaman
kosong. Maka yang dicari adalah bukan sekalahpahaman melainkan kesepemahaman yang
nanti melahirkan produksi makna baru.
Selain kritik terhadap Scheleiermacher ia juga melihat adanya ketidaksempurnaan pada
hermeneutika Dilthey. Sejarah bagi Dilthey dapat dijelaskan secara obyektif tanpa kepentingan
sehingga muncul dengan sendirinya sejarah yang bersifat obyektif universal. Yang disebut
pengetahuan obyektif adalah pengetahuan yang bebas dari prasangka. Menurut Gadamer, tidak
mungkin ada pengetahuan tanpa prasangka, sebab kesadaran kita tidak berada di luar sejarah
melainkan bergerak di dalam sejarah. dengan ungkapan lain, pemahaman kita berada dalam
fusi yang menghasilkan pemahaman baru.
Pra-stuktur terdiri dari Vorhabe, Vorsicht dan Vorgriff, dipakai oleh Gadamer untuk
merehabilitasi konsep prasangka. Pertama Vorhabe adalah kesan awal yang dipahami. Kedua
Vorsicht adalah visi yang ingin dicapai. Dan yang terakhir Vorgriff adalah kerangka teori atau
perspektif. Istilah pra-struktur itu bersifat wajar dan justru merupakan kondisi yang
memungkinkan pemahaman. Prasangka juga ada yang legitim dan yang tidak legitim,
bagaimana membedakan kedua hal ini? Untuk menjawab ini Gadamer memberikan parameter
yaitu tradisi dan otoritas.
Sejarah pengaruh (Wirkungsgedchichte), digunakan untuk bisa memahami lebih tepat
dialektis sosial. Keadaanya menjadi semakin rumit karena kesadaran Wirkungsgedchichte
menjadi berlapis-lapis. Grodin membantu kita untuk membedakan menjadi empat lapis
kesadaran Wirkungsgedchichte diantaranya; kesadaran peneliti akan ketersituasian, kesadaran
akan bekerjanya atau berpengaruhnya sejarah dan tradisi di dalam setiap pemahaman,
kesadaran seorang yang mengambil bagian dalam kesadaran suatu zaman, dan yang terakhir
refleksi diri.
Proses pemahaman yang terjadi disini melalui dialektika peleburan antar horizon
(Horizontverschmelaung). Misalnya ketika saya membaca Alquran itu berarti pemahaman saya
dibatasi oleh Alquran dan kandungan Alquran yang luas itu terbatasi oleh saya maka hasil
pemahaman terhadap Alquran itu nilainya tidak sama persis dengan Alqurannya dan juga tidak
sama persis dengan saya, dia sudah berupa fusi. Alquran dibaca Imam Syafi’i lahirlah madzah
Syafi’i dan itu adalah fusi. Yang dimaksud adalah bahwa interpretasi bukanlah rekontruksi
ataupun representasi makna dari masa silam, melainkan hasil dari peleburan horizon-horizon
menjadi suatu yang baru.
Aplikasi secara umum adalah bagian dari wujud kongkrit dari pemahaman, sehingga
ada dualitas antara pemahaman dan aplikasi. Menurut Gadamer, aplikasi adalah bagian dari
pemahaman atau upaya memahami. Ketika kita sedang mengaplikasikan suatu pemahaman di
situ pula lah ada suatu proses pemahaman baru, sehingga terkadang aplikasi dan pemahaman
itu berbeda. Sehingga aplikasi bukan hanya sekedar metode namun pengalaman dialog antar
horizon yang melahirkan horizon baru atau dikenal dengan ‘pengalaman hermenetik’.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengalaman kita sehari-hari tidak terlepas dari
hermenetika.
Hasil pengalaman hermenetik menghasilkan empat hal diantaranya; Bildung, Sensus
Komunis (Common Sense), Pertimbangan, dan Selera. Bildung dihubungkan erat dengan
kebudayaan terutama menunjukkan cara manusia yang benar dalam mengembangkan salah
satu bakat dan kemampuannya. Sensus komunis adalah tidak memiliki arti yang sesuai dalam
bahasa Indonesia, menurut Vico ini bercorak apologetik. Ia secara langsung mengakui konsep
pengetahuannya yang baru tentang kebenaran dalam fakta tersebut bahwa ia mempertahankan
kebaikan dari yang mungkin. Selanjtunya adalah pertimbangan, adalah kemampuan
melahirkan pertimbangan-pertimbangan atau alternatif-alternatif. Dan yang terakhir, selera
adalah sesuatu seperti sebuah perasaan sangat erat kaitannya dengan mode (fasion).

Anda mungkin juga menyukai