Anda di halaman 1dari 8

Wildan Fahdika Ahmad

Teks sebagai ‘Orang Asing’


Kajian Hermeneutika H.G. Gadamer dan N.H. Abu Zaid

Wildan Fahdika Ahmad


(*) Wildanfadoc@gmail.com
(a) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (21205032023)

Abstract
The study of hermeneutics has become popular recently, both as a material object and as a formal object of study.
This paper briefly discusses what hermeneutics is, and how hermeneutics is offered by Hans-Georg Gadamer.
Furthermore, hermeneutics becomes a formal object of study within the scope of Gadamer's hermeneutics as
manifested by Nasr Hamid Abu Zaid. As a result, both Gadamer and Abu Zaid involve a kind of horizon of text in
understanding the text itself. Text is likened to a 'stranger' whose words are not understood only from what is said,
but also from the horizon that surrounds it.
.
Keywords: Hermeneutic; H.G. Gadamer; N.H. Abu Zaid

Abstrak:
Kajian tentang hermeneutika menjadi sesuatu yang populer belakangan ini, baik sebagai objek material maupun
objek formal kajian. Tulisan ini, secara singkat membahas tentang apa itu hermeneutika, dan bagaimana
hermeneutika yang ditawarkan oleh Hans-Georg Gadamer. Selanjutnya, hermeneutika menjadi objek formal kajian
dalam lingkup hermeneutika Gadamer yang dimanifestasikan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Hasilnya, baik Gadamer
maupun Abu Zaid, sama-sama melibatkan semacam horizon teks dalam memahami teks itu sendiri. Teks diibaratkan
sebagai ‘orang asing’ yang perkataannya tidak dipahami hanya dari apa yang dikatakannya, tetapi juga dari horizon
yang melingkupinya.

Kata Kunci: Hermeneutika; H.G. Gadamer; N.H. Abu Zaid

Pendahuluan

Menurut Wilhelm Dilthey, hermeneutika telah muncul saat lahirnya mazhab


Protestanisme, yaitu sesaat setelah lahirnya prinsip sola scriptura Luther, yang digunakan untuk
meruntuhkan otoritas tradisi Gereja Katolik, yang dikenal sebagai satu-satunya norma penafsiran
Injil.1 Dalam perkembangannya, hermeneutika dipandang sebagai suatu sub-disiplin teologi yang
mencakup kajian metodologis tentang otentifikasi dan penafsiran teks. Inilah arti awal yang
pertama kali muncul dalam bahasa Inggris, sebagaimana tertulis dalam Oxford English
Dictionary, edisi 1937: “Seseorang mengizinkan untuk dirinya sendiri hak-hak tersebut
(otentikasi dan tafsiran teks) dalam membaca kitab suci, yang tidak pernah diizinkan.” Langkah
ini dimulai pada abad ke-19 dengan terbitnya karya Friederich Schleiermacher dan Wilhem
Dilthey, yang menggunakan terminologi hermeneutika dalam hubungannya mencari sebuah teori
pengetahuan bagi kajian data (teks, simbol, ritual, dll.). Mereka menyebutnya sebagai usaha

1
Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik: dari Plato sampai Gadamer, terj. Inyiak Ridwan Muzir, cet. 2,
(Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2010), 45.
1
menemukan suatu “teori pemahaman”.2 Secara singkat, esensi dari hermeneutika adalah proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.3
Di sini, penulis mencoba memaparkan bagaimana Hans Georg Gadamer mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi pemahaman. Hal ini menarik mengingat proses
pemahaman tiap orang berbeda-beda, dan unik. Penulis melihat bahwa Gadamer memperlakukan
teks sebagai seorang ‘pasien’, yang mana berarti teks tidak hanya dipahami, tetapi juga diobati,
disembuhkan, diaplikasikan. Demikian pula, maka ada semacam dialog (dialektika antar dua
pihak dalam rangka saling mengenali horizon kedua-belah pihak), sebelum melakukan ‘aksi’
(menafsirkan). Tentu hal ini menjadi sesuatu yang positif dalam hal kehati-hatian dan
kemenyeluruhan.

Pembahasan
Gadamer dan Karyanya “Wahrheit und Methode”
Hans-Georg Gadamer (1900-2002) adalah seorang filsuf Jerman yang menelurkan
karyanya yang terkenal dan memperkenalkan Gadamer, Wahrheit und Methode (Truth and
Method), pada 1960. Karyanya, membahas luas tentang hermeneutika secara umum, khususnya
hermeneutika filosofis. Ia menyumbangkan pemikiran yang kemudian dianggap sebagai
“hermeneutika filosofis”, suatu usaha filosofis untuk mempertanggungjawabkan pemahaman
(verstehen) sebagai proses ontologis manusia. Selain itu, Gadamer membawa hermeneutika ke
dalam wilayah linguistik, menyadarkan bahwa hermeneutika berhubungan dengan ‘sesuatu’
adalah dengan bahasa, “being that can be understood is language”.4 Ia belajar filsafat pada
universitas Marburg pada beberapa filsuf, seperti Nikolai Hartman, Rudolf Bultmann dan Martin
Heidegger. Pada tahun 1922, memperoleh gelar doktor dalam bidang filsafat, dan pada 1937
memperoleh gelar profesor dari Marburg University. Karirnya, sejak 1949 mengajar di
Heidelberg hingga pensiun.5 Namun, ini hanyalah perkenalan singkat tentang Gadamer. Masih
banyak rentangan horizon Gadamer yang perlu diteliti jika ingin benar-benar memahami
pemikiran Gadamer. Di sini, terlalu panjang untuk melakukan pekerjaan itu, dan jalan keluarnya
adalah dengan memanfaatkan karya-karya yang membahas tentang Gadamer. Kesimpulannya,
yang ingin dipahami adalah metode hermeneutika yang ditawarkan Gadamer, bukan kehidupan
utuh seorang Gadamer.
Adapun metode pemahaman Gadamer yang secara sistematis tersusun dalam empat
tahap, adalah sebagai berikut:
1. kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah (historically effected consciousness)

2
Roy J. Howard, Pengantar Atas Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika; Wacana
Analitik, Psikososial, dan Ontologis, (Bandung: Nuansa, 2001), 23.
3
E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 24.
4
Fahrudin Faiz dan Ali Usman, Hermeneutika Al-Qur’an: Teori, Kritik dan Implementasinya, cet. 1
(Yogyakarta: Dialektika, 2019), 19.
5
Edi Susanto, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar, cet. 1 (Jakarta: Kencana, 2016), 50.
2
Dalam kenyataannya, ketika seseorang memahami atau menafsirkan, pada saat itu pula ia
sedang (telah) dipengaruhi oleh efek-efek kesejarahan, suatu horizon (tradisi, pengalaman hidup,
dan lain sebagainya) yang melingkupinya. Inilah apa yang disebut “subjektivitas” penafsir.
Menurut Gadamer, hal ini harus disadari, dan kemudian diatasi guna mencapai kesempurnaan
pemahaman.
2. pra-pemahaman (pre-understanding/vorverstandnis)
Inilah subjektivitas, bekal intelektual diri, yang ditumbuhkan dari keterpengaruhan
sejarah. Inilah horizon yang nanti berhadapan, berdialektika, dengan horizon teks, ketika
melakukan penafiran.
3. penggabungan horizon (fusion of horizons)
Inilah kelanjutan dari fase pra-pemahaman, di mana horizon penafsir berhadapan,
berdialektika, dengan horizon teks. Inilah fungsi inti hermeneutika, inilah hermeneutika itu
sendiri.
4. penerapan (application)
ketika makna telah dimunculkan dari hasil penggabungan horizon, ketika itu pula aplikasi
berlangsung. Dalam pemahaman terdapat aplikasi. Artinya, dari satu teks yang sama, terdapat
pemahaman yang berbeda-beda. Perbedaan pemahaman itulah yang menunjukkan perbedaan
aplikasi, perbedaan penetapan makna yang bermanfaat (meaningful sense). Sudah pasti, setiap
orang ingin mendapatkan sesuatu yang bermanfaat, termasuk makna atau arti dari suatu teks, dan
itu berbeda-beda dari antar individu.6
Keempat poin tersebut, menunjukkan akan adanya suatu prinsip pemahaman yang
disebut sebagai “efektivitas sejarah” (history of effect). Untuk keperluan penelitian efektivitas
sejarah tersebut, memerlukan dua wilayah kajian, tradisi dan sejarah, sehingga tergambar secara
jelas dan terbuka segala sesuatu apa adanya, sebagaimana makna bawaannya. Inilah apa yang
disebut sebagai “kesadaran historis” (historical consciousness), yang harus menjadi kesadaran
ketika mendekati suatu teks. “We are always affected by history”, kata Gadamer.7 Efektivitas
sejarah akan menuntun seseorang untuk memahami dirinya sendiri dalam segala bentuk
penafsiran, yang di dalamnya, kebermanfaatan sejarah bekerja. 8 Memahami tidak sekedar
memahami sesuatu, melainkan bersamaan dengan memahami situasi pemahaman (hermeneutical
situation, horizon), yang dengan itu diharapkan akan memperluas jarak pandang terhadap makna
sesuatu tersebut.9 Artinya, seorang penafsir sebaiknya menyadari akan horizon yang
melingkupinya, guna menyingkirkan segala sesuatu yang menghalangi ketepatan penafsiran. Di
sisi lain, seorang penafsir juga harus memahami horizon teks, teks sebagai “the past” yang
memiliki makna sejati (own terms) dalam horizon sejarahnya sendiri. Tujuannya, seorang

6
Edi Susanto, Studi Hermeneutika, 52-55.
7
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, terj. Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall, ed. 1
(London dan New York: Bloomsburry Academic, 2013), 311.
8
Ibid., 312.
9
Ibid., 313.
3
penafsir nantinya akan mencapai suatu pemahaman sesuai situasi yang sebenarnya
(kontekstual).10
Metode memahami Gadamer, oleh karenanya, disebut sebagai “aplikasi”, suatu usaha
penggabungan dua horizon dalam menarik makna. Dua horizon, horizon teks dan horizon
penafsir memiliki perbedaan, khususnya karena perbedaan waktu. Dalam proses penafsiran,
terjadi kontekstualisasi makna teks, dari konteks kelampauan teks menuju konteks kekinian
penafsir. Itulah aplikasi hermeneutis yang dimaksud Gadamer. Misalnya, Injil, tidak hanya
dipahami secara tekstual, melainkan melibatkan pemahaman sedemikian rupa sehingga
menghasilkan suatu ‘penyelamatan’.11 Artinya, pemahaman memerlukan suatu pengalaman
hermeneutis, suatu perjumpaan dengan ‘yang lain’ dalam keberlainannya, suatu tegangan antara
keakraban dan keasingan dengan teks.12
Gadamer menggambarkan pentingnya memahami horizon pihak lain dengan perkenalan
dengan orang asing, di mana seseorang berkenalan dengan orang lain untuk mengenalinya, walau
hanya sekedar mencari tahu asal dan horizon yang melingkupinya. Horizon adalah semacam
akumulasi kesadaran-kesadaran kesejarahan (historical consciousness). Tidak harus dan memang
bukan untuk mencari kesepakatan, melainkan memperoleh “a single historical horizon”, “the
one great horizon”, dan membuka jalan bagi seseorang untuk memahami ide-ide pihak lain,
termasuk teks.13 Teks, meskipun ada di tangan seorang penafsir, di depan mata penafsir, memiliki
horizon yang berada di baliknya, yang jika dipahami, akan membuat teks dipahami lebih benar,
dengan keseluruhan yang lebih besar dan proporsi yang lebih tepat.
Produktivitas atau kebermanfaatan hermeneutika, menurut Gadamer, terletak pada proses
refleksi diri atas upaya kritisnya sendiri, atas keterbatasan dan sifat relatifnya. Proses ini,
nantinya akan memunculkan prasangka dan ketergantungan yang mesti disadari dan diwaspadai.
Sehingga, pemahaman yang bebas-murni dari prasangka adalah sesuatu yang naif. Pemahaman,
dengan itu, tidak lebih seperti sebuah ‘penerjemahan’, di mana “yang asing” (the foreign)
menjadi milik pribadi, dengan memperlakukannya dengan horizon dan konsep-konsep pribadi.
Akhirnya, yang asing memiliki validitasnya yang baru.14

Implikasi Filsafat Bahasa Derrida dalam Studi Islam


Metode pemahaman yang ditawarkan Gadamer, nampaknya, mirip dengan apa yang
ditawarkan Nasr Hamid Abu Zaid. Sebagaimana dikatakan oleh Ali Akbar, bahwa Abu Zaid
mengikuti jejak Gadamer, bahwa bahasa tidak hanya memiliki makna dalam komunikasi atau
ekspresi, sejak bahasa digunakan sebagai media, dalam segala bentuk pemahaman (memahami).

10
Ibid., 313.
11
F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleirmacher sampai Derrida , (Yogyakarta:
PT Kanisius, 2015), 188.
12
Ibid., 201.
13
Ibid., 315.
14
Hans-Georg Gadamer, Philosophical Hermeneutics, terj. David E. Linge, (Berkeley, Los Angeles,
London: University of California Press, 2008), 94.
4
The world (of man) is linguistic in nature, dunia manusia sejatinya bersifat kebahasaan.
Kenyataan ini, salah satunya tergambarkan dalam pandangan Abu Zaid tentang Al-Qur’an, di
mana proses pewahyuan sejatinya adalah fenomena kebahasaan, bahwa Al-Qur’an tidak
di’instal’ begitu saja di dalam hati Muhammad yang kemudian ditampilkan dalam bentuk kata-
kata, melainkan diwahyukan melalui media bahasa itu sendiri (tanpa proses pengilhaman, pen.). 15
selain itu, Abu Zaid juga secara keras menuntut pemahaman akan konteks (horizon) yang
melingkupi teks, khususnya Al-Qur’an.
Di antara perhatian Nasr Hamid adalah teori-teori ‘Ulūm al-Qur’ān yang banyak ia kritik
dalam bukunya Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān, salah satunya tentang teori asbāb
al-nuzūl dan nāsikh wa mansūkh. Nasr Hamid berpendapat bahwa asbāb al-nuzūl membantu
penafsir memahami teks dan menghasilkan maknanya, karena darinya akan diketahui tentang
akibat (musābab) dari sebab-sebab tersebut. Selain itu, pengetahuan tentang sebab-sebab
diturunkannya ayat membantu dalam memahami ḥikmah al-tasyrī’ (hikmah pensyariatan),16
seperti dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan pengharaman khamr. Ayat-ayat tersebut
menunjukkan tahap-tahap pelarangan khamr:
a) Q.S. Al-Baqarah:219:
۞ ۗ ‫ما‬ َ ‫ن نَّ ْف ِع ِه‬ ْ ‫ـر ِم‬ ُ ‫م ٓا اَ ْكبَـ‬ َ ‫م ُه‬ ۖ ‫م َكبِ ْي ٌر َّو َم َنــافِ ُع لِل َّن‬
ُ ‫اسِ َواِ ْث‬ ٌ ‫مآ اِ ْث‬
َ ‫ُل فِ ْي ِه‬
ْ ‫س ِرۗ ق‬ َ ‫م ِر َوا ْل‬
ِ ‫م ْي‬ َ ‫ن ا ْل‬
ْ ‫خ‬ ِ ‫ك َع‬
َ َ‫سـَٔ ُل ْون‬
ْ َ‫ي‬
ۙ َ‫ُم تَ َت َفك َُّر ْون‬
ْ ‫ك‬َّ ‫ل‬‫ع‬ َ
َ ِ‫ل‬ ‫ت‬ ٰ ‫ي‬ ٰ ‫اْل‬ ‫ا‬ ‫م‬ُ ‫ك‬
ُ َ ‫ل‬ ‫ه‬
ُ ٰ ّ ‫ل‬‫ال‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ي‬
ُ ِّ َ ُ َ ِ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ذ‬
ٰ َ
‫ك‬ ۗ ‫و‬ ‫ف‬ ‫ع‬ ْ
‫ل‬
َ ْ َ ِ ‫ا‬ ‫ُل‬ ‫ق‬ ‫ە‬
ۗ َ‫ن‬ ‫و‬ ‫ق‬ ‫ف‬ ‫ن‬
ْ ُ ِ ُْ ‫ي‬ ‫َا‬
‫ذ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫و‬‫ل‬
َ َ َْ ْ ََُ َ ٔ
‫ـ‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫و‬
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah,
“Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih
besar daripada manfaatnya.” Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus)
mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.17
b) Q.S. An-Nisā: 43:
‫ي‬ ُ ‫مـ ْوا َما تَ ُق ْو ُلـ ْونَ َواَل‬
ْ ‫ج ُن ًبا اِاَّل َعـ ابِ ِر‬ ُ َ‫حتّٰى تَ ْعل‬ َ ‫كارٰى‬ َ ‫سـ‬ ُ ‫م‬ ْ ‫الصـلٰو َة َواَ ْن ُت‬
َّ َ ‫ٰي ٓاَيُّ َها الَّ ِذ ْي‬
‫ن ٰا َم ُنـ ْوا اَل تَ ْق َر ُبــوا‬
‫سـاۤ َء‬ َ ّ‫م ال ِن‬ ُ ‫سـ ُت‬
ْ ‫م‬ َ ‫ط اَ ْو ٰل‬ِ ‫ن ا ْلغَإِۤىـ‬
َ ‫ُم ِّم‬ ْ ‫ح ٌد ِّم ْنك‬ َ َ‫ج ۤا َء ا‬
َ ‫س َف ٍر اَ ْو‬َ ‫م َّم ْرضٰ ٓى اَ ْو َعلٰى‬ ْ ‫س ُل ْوا ۗ َواِنْ ُك ْن ُت‬ ِ ‫حتّٰى تَ ْغ َت‬ َ ‫ل‬ ٍ ‫س ِب ْي‬َ
‫ُم ۗ اِنَّ الل ّٰ َه َكانَ َع ُف ًوّا َغ ُف ْو ًرا‬ ‫ك‬ ‫ي‬‫د‬ِ
ْ ْ ْ َ ْ ‫ي‬َ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ُم‬ ‫ك‬ ‫ه‬ِ ‫و‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ب‬ ‫ا‬
ْ ُ ُِ ْ ُ َ ْ ‫و‬‫ح‬ ‫س‬ ‫م‬‫ا‬ َ
‫ف‬ ‫ا‬‫ب‬
ً ِّ ‫ي‬َ ‫ط‬ ‫ا‬ ‫د‬
ً ‫ي‬ ‫ع‬
ِ ‫ص‬ ‫ا‬
ْ َ ْ ُ َّ َ َ ‫و‬‫م‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫ت‬‫ف‬َ ‫ء‬
ً ۤ ‫ا‬‫م‬ ‫ا‬
َ ْ ُ‫و‬ ‫د‬ ‫ج‬
ِ َ ‫ت‬ ‫م‬
ْ َ ‫ل‬‫ف‬َ
Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam
keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri
masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu
mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang
air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka

15
Ali Akbar, Contemporary Perspectives on Revelation and Qur’ānic Hermeneutics: an Analysis of
Four Discourses, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2020), 139-140.
16
Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, cet. 1 (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2016), 121.
17
https://quran.kemenag.go.id/sura/2/219, diakses pada 3 April 2022.
5
bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan
(debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.18
c) Q.S. Al-Maidah: 90:

ْ ‫ن َفـ‬
‫ـاج َتنِ ُب ْو ُه‬ ِ ٰ‫الشـ ْيط‬
َّ ‫ـل‬
ِ ‫مـ‬
َ ‫ن َع‬
ْ ‫س ِّم‬ ْ ‫اب َوااْل َ ْزاَل ُم ِر‬
ٌ ‫ج‬ َ ‫سـ ُر َوااْل َ ْن‬
ُ ‫صـ‬ َ ‫م ُر َوا ْل‬
ِ ‫م ْي‬ َ ‫ما ا ْل‬
ْ ‫خ‬ َ ‫يٰ ٓاَيُّ َها الَّ ِذ ْي‬
َ َّ‫ن ٰا َم ُن ْوٓا اِن‬
َ‫ح ْون‬
ُ ‫ُم ُت ْف ِل‬ ْ ‫لَ َعلَّك‬
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.19
Tiga tahap pensyariatan keharaman khamr tersebut menunjukkan adanya dialektika
hubungan antara teks dan realitas. Ayat pertama menunjukkan adanya tekanan realitas yang kuat,
yang mengharuskan teks cukup hanya mengisyaratkan adanya muḍārah yang terkandung di
dalamnya, tanpa memaksakan larangan yang kiranya belum bisa diterima masyarakat. Tahap
kedua, larangan meminum khamr ditetapkan menjelang masuk waktu shalat, sebagai terapi
bertahap terhadap situasi sosial yang kecanduan. Dalam tahap terakhir, khamr diharamkan secara
mutlak. Penahapan tasyrī’ tersebut menegaskan dialektika wahyu dan realitas, juga menunjukkan
bagaimana teks mengubah realitas dan memberikan terapi terhadap cacat-cacatnya.20
Namun, aspek asbāb al-nuzūl dalam proses penafsiran nampaknya hanya ditampilkan
oleh Nasr Hamid untuk mempertegas keunikannya, mengingat kecenderungan umum dalam
pemikiran keagamaan mengabaikan aspek asbāb al-nuzūl ini demi fokus pada keumuman kata.21
Nasr Hamid lebih mengedepankan aspek bahasa sebagai sistem budaya yang unik, seperti “ada
kata yang umum, namun maknanya khusus”. Ia juga mengutip perkataan-perkataan ulama yang
mendukung sifat kebahasaan tersebut seperti perkataan: “di antara kebiasaan bangsa Arab
(dalam berbahasa) adalah menyukai ungkapan secara mutlak untuk makna tertentu dengan
maksud supaya ringkas.” Begitu juga perkataan Imam Syafi’i: “makna kata sudah jelas, namun
ia mengandung maksud lain.” Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa makna bahasa bukan
makna logika, makna suatu perkataan terwujud dari hubungan struktural dan kontekstual.
Kesimpulannya, yang menjadi ukuran adalah teks itu sendiri, sedangkan asbāb al-nuzūl hanyalah
sebagai pendukung yang turut membentuk teks tersebut.22

Kesimpulan

Setiap orang memiliki cara memahami sesuatu masing-masing. Gadamer, menawarkan


caranya dengan apa yang disebut “the fusion of horizons”. Pemahaman selalu menuntut
tercapainya konsep-konsep historis masa lalu, sekaligus pemahaman sendiri terhadap konsep-

18
https://quran.kemenag.go.id/sura/4/43, diakses pada 3 April 2022.
19
https://quran.kemenag.go.id/sura/5/90, diakses pada 3 April 2022.
20
Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, 123-124.
21
Ibid., 128.
22
Ibid., 127.
6
konsep tersebut. Tugas hermeneutika menurutnya kemudian menjadi tugas untuk memperluas
kesatuan makna yang dipahami secara mengembang. Keserasian antar detail-detail dengan
keseluruhan adalah ciri pemahaman yang benar. Seseorang, dengan begitu, harus memahami
keseluruhan dalam hal-hal detail, dan tidak meninggalkan pemahaman akan detail-detail dalam
keseluruhan.
Dalam sejarah intelektual Islam, Nasr Hamid Abu Zaid muncul sebagai tokoh atau
peminat teori-teori hermeneutika yang mengkaji Al-Qur’an. Mungkin karena faktor
perkembangan zaman yang terus berubah dan menuntut adanya dinamisasi teori dalam segala
bidang, atau memang setiap penafsir memiliki kecenderungan tersendiri dalam menafsirkan Al-
Qur’an. Meskipun teori hermeneutika sangat populer di zaman modern-kontemporer ini, tidak
semua sarjana Muslim menggunakannya. Apalagi dalam penggunaannya untuk menafsirkan Al-
Qur’an, ada pro dan kontra. Nasr Hamid dengan ‘alat’ hermeneutisnya seolah-olah muncul
dengan wajah anarkisme yang anti kemapanan sekaligus menjadi sosok yang kritis dan liberalis
yang menuntut adanya suatu perubahan.
Kesamaan antara Gadamer dan Abu Zaid utamanya terletak pada perhatiannya kepada
horizon pihak lain, objek yang dihadapi, dipahami, ditafsirkan. Oleh karenanya, hermeneutika
akhirnya tidak hanya diterapkan pada teks-teks kekristenan, melainkan juga teks-teks keislaman,
tidak hanya bagi teks-teks umum, tetapi juga teks-teks keagamaan.

7
Daftar Pustaka

Abror, Robby H.. “Kritik Epistemologi Mohammed Arkoun”, dalam Epistemologi Kiri. Ed.
Listiyono Santoso, Sunarto, Abd. Qodir Shaleh. Cet. 1. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003.
Akbar, Ali. Contemporary Perspectives on Revelation and Qur’ānic Hermeneutics: an Analysis
of Four Discourses, Edinburgh: Edinburgh University Press, 2020.
Fahruddin, Faiz, dan Ali Usman. Hermeneutika Al-Qur’an: Teori, Kritik dan Implementasinya,
cet. 1, Yogyakarta: Dialektika, 2019.
Gadamer, Hans-Georg. Philosophical Hermeneutics, terj. David E. Linge, Berkeley, Los
Angeles, London: University of California Press, 2008.
__________________. Truth and Method, terj. Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall, ed. 1,
London dan New York: Bloomsburry Academic, 2013.
Grondin, Jean. Sejarah Hermeneutik: dari Plato sampai Gadamer, terj. Inyiak Ridwan Muzir,
cet. 2, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2010.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleirmacher sampai Derrida,
Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.
Howard, Roy J.. Pengantar Atas Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika; Wacana
Analitik, Psikososial, dan Ontologis, Bandung: Nuansa, 2001.
https://quran.kemenag.go.id
Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Susanto, Edi. Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2016.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, cet. 1 Yogyakarta:
IRCiSoD, 2016.

Anda mungkin juga menyukai