Makalah A Tradisi
Makalah A Tradisi
A. Pendahuluan
1
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang
Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37. Bandingkan dengan E.
Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23-24.
2
Menurut sumber lain, Gadamer dilahirkan di kota Marburg. Lihat “Hans-Georg Gadamer”,
dalam www.id.wikipedia.org, 18 Mei 2010
Petualangan intelektual Gadamer di bidang filsafat dimulai di Universitas
Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke
kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di
antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922,
Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi tentang Plato.
Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger di Freiburg. Pada tahun
1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam
sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat harus
membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di universitas. Di
bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat
Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya, Gadamer pun diangkat menjadi
dosen pada Universitas Marburg.4 Selain dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut,
Gadamer juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant,
G.W.F. Hegel, Søren Kierkegaard, F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Edmund
Husserl, dan Karl Jaspers.5
Akan tetapi, Gadamer tidak dapat bertahan lama memegang jabatan tersebut.
Karena tekanan rezim komunis sehingga membuat penelitian dipersulit, Gadamer
hijrah ke Jerman Barat. Pada tahun 1948, Gadamer bekerja di Frankfurt am Main.
Selanjutnya, pada tahun 1949, Gadamer menggantikan posisi Karl Jaspers di
Universitas Heidelberg. Akhirnya, Heidelberg menjadi tempat yang kondusif bagi
karier Gadamer sampai memasuki masa pensiun pada tahun 1968. Setelah pensiun,
Gadamer sering mengisi ceramah di Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa tempat
lain. Walaupun telah memasuki usia lanjut, Gadamer tetap sering mengikuti diskusi-
diskusi filosofis dan termasuk salah seorang filsuf yang paling populer di Jerman.
3
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.
254.
4
Ibid., hlm. 254-255.
5
“Hans-Georg Gadamer”, dalam www.id.wikipedia.org, 18 Mei 2010.
6
K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 255-256. Bandingkan dengan “Hans-Georg Gadamer”,
dalam www.id.wikipedia.org, 18 Mei 2010
Setelah melewati petualangan filosofis yang demikian panjang dan melelahkan,
Gadamer akhirnya meninggal di kota Heidelberg pada 13 Maret 2002 di usia 102
tahun.
Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika).
Di dalam sejarahnya retorika dan hermeneutika memang selalu terkait. Retorika
adalah seni untuk memaparkan pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni
untuk memahami teks. Teks ini memang dalam bentuk tulisan. Akan tetapi teks juga
bisa memiliki arti luas, yakni realitas itu sendiri. Dalam arti ini juga dapat dikatakan,
bahwa hermeneutika dan retorika saling membutuhkan satu sama lain. Retorika
mengandaikan orang memahami teks. Sementara pemahaman tidak boleh berhenti di
dalam diri seseorang saja, melainkan juga dapat disampaikan dengan jernih kepada
orang lain. Gadamer sendiri berulang kali menegaskan, bahwa hermeneutika dan
retorika lebih merupakan seni, dan bukan ilmu pengetahuan.
7
Georgia Warnke, Gadamer, Hermeneutics, Tradition and Reason, (Polity Press: Georgia,
1987), hlm. 7.
Yang kedua hermeneutika selalu terkait dengan pengertian yang bersifat
praktis. Dalam arti ini orang yang mengerti bukan hanya ia memahami pengetahuan
tertentu, tetapi juga memiliki ketrampilan praktis untuk menerapkannya. Misalnya
anda adalah seorang guru yang baik. Artinya anda tidak hanya memahami
pengetahuan teoritis tentang cara mengajar dan arti pengajaran itu sendiri, tetapi
mampu mengajar dengan baik. Seorang koki yang baik tidak hanya memahami
konsep teoritis bumbu, tetapi juga mampu mengolahnya menjadi sebuah masakan
yang enak. Untuk memahami tidak hanya selalu mengandaikan tetapi juga mampu
menerapkan.8
Bagi Gadamer, bahasa merupakan suatu realitas yang tidak dapat dipisahkan
dari pengalaman, pemahaman, maupun pikiran manusia. Karena untuk mengerti
sesuatu kita tidak mungkin lepas dari bahasa, begitu juga halnya dengan pengalaman
hermeneutik pun tidak lepas dari bahasa. Bagi Gadamer, bahasa merupakan medium
pengalaman hermeneutik.
Menurut Gadamer, bahasa yang umum harus dicari dalam setiap pengalaman
hermeneutik. Sebab jika para filsuf berbicara dengan menggunakan suatu bahasa yang
tidak seorangpun mengerti, ini berarti sama saja mereka tidak berbicara apa-apa
(nihil). Dengan ini Gadamer mau menegaskan bahwa persoalan bahasa adalah tugas
hemeneut. Pemahaman hanya mungkin dimulai bila bermacam-macam pandangan
menemukan satu bahasa umum untuk saling bercakap-cakap.
Orang yang mampu menjembatani jurang antara dua bahasa, memberi titik
terang yang penting. Terjemahan bagaikan interpretasi dan penerjemahnya, seperti
juga pada hermeneut, akan menggunakan bahasa untuk menentukan bahasa.
Sebagaimana disebutkan bahwa tugas hermeneutik adalah terutama memahami teks,
maka pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan yang fundamental dengan
bahasa.9 Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari
pemahaman, sehingga para pembicara asli (native speaker) tidak akan gagal untuk
menangkap nuansa-nuansa bahasanya sendiri. Memang kita akui juga memindahkan
konsep dalam bahasa yang satu ke bahasa yang lain bukanlah perkara yang gampang.
Kita ambil contoh kata pain (bahasa Inggris). Dalam bahasa Indonesia tidak
ditemukan istilah yang dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan
atau sifat yang dimaksud dengan kata Pain. Maka dicari istilah dalam bahasa
serumpun yang lazim. Untuk itu, kata pain (Inggris) lebih tepat diterjemahkan nyeri
(bahasa Sunda).
8
Jean Grondin, “Gadamer’s Basic Understanding of understanding”, dalam Cambridge
Companion to Gadamer, Cambridge: Cambridge University Press, 36-40.
9
Hans–Georg Gadamer, Kebenaran dan Methode, Pengantar Filsafat Hermeneutika,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 470
Jadi bahasa adalah medium penting dalam pengalaman hermeneutik. Dalam
percakapan misalnya Gadamer menekankan bahwa keseluruhan proses percakapan-
berkaitan dengan bahasa. Bahasa adalah pertengahan daerah dalam makna pengertian
dan persetujuan mengenai objek, mengambil tempat di antara dua orang yang
melakukan percakapan. Gadamer memberi contoh yang kedua ini yakni dalam hal
menerjemahkan sebuah percakapan yang dilakukan dalam dua bahasa berbeda (tadi
contoh pertama adalah tentang teks). Penerjemah dalam hal ini tentu saja tidak secara
bebas mengartikan apa yang orang lain katakan. Arti percakapan-itu lagi-lagi harus
dipelihara dan juga harus dimengerti dalam sebuah bahasa baru dan dengan cara yang
baru, agar dua orang dapat saling mengerti dalam percakapan dibutuhkan suatu
bahasa (umum) yang oleh keduanya bahasa tersebut dapat dimengerti. Dalam hal ini
bahasa merupakan perantara untuk saling mengerti. Ciri-ciri khas dari setiap
percakapan yang benar adalah masing-masing individu membuka dirinya sendiri
kepada individu yang lain.
Sebuah tradisi tertulis bukan merupakan fragmen tentang masa lalu, tetapi
selalu mengangkat dirinya melampaui ini kedalam ruang makna yang ia ungkapkan.
Ia adalah idealitas kata, yang mengangkat obyek-obyek linguistik melampaui
keterbatasan dan kefanaan sisa-sisa lain dari masa lalu. Di sisi lain, teks-teks selalu
mengungkapkan keseluruhan, seberapa banyak bahkan kesewenang-wenangan tradisi
yang keliru bisa dibiarkan jika konteksnya secara keseluruhan dipahami.12 Di sini
terlihat Gadamer membawa problem hermeneutik ke wilayah linguistik, lebih dari
10
Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans-Georg Gadamer”, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2003), hlm. 134-135.
11
Hans–Georg Gadamer, Kebenaran dan Methode...,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 473.
sekedar pemahaman historis secara filosofis. Bahasa, bagi Gadamer adalah endapan
tradisi sekaligus media untuk memahaminya. Proses hermeneutik untuk memahami
tradisi melalui bahasa lebih dari metode.
12
Hans–Georg Gadamer, Kebenaran dan Methode..., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 474.
13
Mohammad Moeslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2005), hlm. 141-143.
14
K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 261.
Walaupun Gadamer termasuk pengagum Schleiermacher dan Dilthey, dan
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi Gadamer
juga banyak memberikan kritik terhadap pemikiran dua tokoh romantik ini. Pertama,
Gadamer keberatan dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menerangkan
bahwa hermeneutik bertugas menemukan makna asli sebuah teks. Menurut Gadamer,
interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang
dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Bagi Gadamer, arti suatu teks tetap terbuka
dan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tersebut.15 Karena itu, interpretasi
tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif.
15
Paul Ricoeur menyebutnya dengan istilah otonomi teks. Dalam hal ini, Ricoeur terkenal
dengan jargon “Matinya sang penulis”. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 109.
16
Tentang hal ini, Gadamer memiliki konsep penerapan (application). Istilah mudahnya
adalah kontekstualisasi. Artinya, setiap generasi punya tugas untuk mengkontekstualisasikan
(memahami dan menerapkan) makna sebuah teks bagi masa dan zamannya masing-masing.
Bandingkan dengan F. Budi Hardiman,Melampaui Positivisme dan Modernitas, hlm. 48-49.
17
K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 264-265.
Selain mengkritisi beberapa konsep hermeneutika romantis yang digagas oleh
Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer juga mengkritik epistemologi hermeneutika
romantis yang cenderung metodologis. Yakni, bahwa ilmu pengetahuan apa pun baru
diakui sebagai ilmiah jika memiliki basis empirisme. Dengan pola pikir ini,
hermeneutika menjadi bagian dari alam positivisme yang mensyaratkan objektivisme.
Oleh karena itu, model hermeneutik yang diusung oleh Schleiermacher dan Dilthey,
juga Betti, ini sering juga disebut hermeneutika objektivis.18
18
Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans-Georg Gadamer”, Hermeneutika
Transendental...,(Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 134-135.
19
Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery
dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 255.
20
Ponsa, “Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai
Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam www.ponsa.wordpress.com, 18 Mei 2010
21
Richard E. Palmer, Hermeneutika, hlm. 255.
penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling
memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman
yang baru. Dalam membangun sistem pengetahuannya ini, Gadamer banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Oleh karena itu, dialektika dan spekulativitas
dalam sistem pengetahuan yang dibangun oleh Gadamer merujuk pada pemikiran
Hegel.
dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks,
maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan.
Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan,
usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses
penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat
memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang
tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
Kedua, sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan
yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan
sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”. Istilah
mudahnya adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus
communis untuk memahami latar belakang yang mendasari pola sikap manusia.
Keempat, taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan
macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan
intelektual. Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera
tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas
sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya.
22
E. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 71-77 dan 84. Bandingkan dengan Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2005), hlm. 142-143. Penjelasan gamblang Gadamer terhadap
keempat faktor ini dapat dilihat dalam Hans-Georg Gadamer,Kebenaran dan Metode: Pengantar
Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 10-48.
G. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
- wordpress.com/2010/05/18/hermeneutika-gadamer.