Anda di halaman 1dari 11

Pengetahuan Bahasa dan Tradisi (Hermeneutika Gadamer)

dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan

A. Pendahuluan

Pada dasarnya, hermeneutika berusaha memahami apa yang dikatakan dengan


kembali pada motivasinya atau kepada konteksnya, diperlukan konsep kuno yang
bernama “kata batin” – inner word. Hermeunetika, yang dalam bahasa Inggrisnya
adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneutine dan hermeneia yang
masing – masing berarti “menafsirkan dan “ penafsiran”. Istilah ini didapat dari
sebuah tulisan yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang Penafsiran). Hermeneutica
juga bermuatan pandangan hidup dari penggagasnya.

Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes


(Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas
menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut
mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan
kata-kata manusia. Oleh karena itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan atau
menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan oleh pendengarnya.1 Dalam
proses menerjemahkan pesan dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut terdapat
faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah
sesungguhnya rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi,
proses hermeneutik tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan
sebuah pesan. Di balik proses hermeneutik berjubel elemen-elemen lain yang saling
berkait dan berkelindan, seperti praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.

B. Kehidupan Hans-Georg Gadamer

Hans-Georg Gadamer dilahirkan di kota Breslau2 pada 11 Februari 1900.


Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya yang berprofesi
sebagai seorang profesor kimia di sebuah universitas. Menurut ayah Gadamer,
filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan
ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan
ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi
sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat menyaksikan
keberhasilan Gadamer sebagai seorang filosuf, karena sudah meninggal pada tahun
1928.3

1
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang
Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37. Bandingkan dengan E.
Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23-24.
2

Menurut sumber lain, Gadamer dilahirkan di kota Marburg. Lihat “Hans-Georg Gadamer”,
dalam www.id.wikipedia.org, 18 Mei 2010
Petualangan intelektual Gadamer di bidang filsafat dimulai di Universitas
Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke
kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di
antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922,
Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi tentang Plato.
Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger di Freiburg. Pada tahun
1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam
sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat harus
membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di universitas. Di
bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat
Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya, Gadamer pun diangkat menjadi
dosen pada Universitas Marburg.4 Selain dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut,
Gadamer juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant,
G.W.F. Hegel, Søren Kierkegaard, F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Edmund
Husserl, dan Karl Jaspers.5

Pada periode nasional-sosialisme Hitler, Gadamer tidak melibatkan diri dalam


kancah politik. Walaupun demikian, ketika pada tahun 1933 muncul anjuran kepada
para profesor dan tenaga pengajar di Jerman supaya menandatangani pernyataan
dukungan terhadap Hitler, Gadamer tidak menolaknya. Akhirnya, pada tahun 1936,
Gadamer diangkat menjadi profesor di bidang filsafat. Selanjutnya, pada tahun 1939,
Gadamer dipanggil ke Universitas Leipzig di Jerman Timur untuk diangkat sebagai
guru besar penuh. Setelah selesai Perang Dunia II (1945), kota Leipzig termasuk
wilayah yang ada di bawah pengawasan Uni Soviet dan dimasukkan ke dalam
wilayah Jerman Timur yang komunis. Berkat keuletannya bekerja sebagai guru besar,
akhirnya Gadamer diangkat sebagai dekan fakultas filsafat, untuk selanjutnya
diangkat sebagai rektor universitas.6

Akan tetapi, Gadamer tidak dapat bertahan lama memegang jabatan tersebut.
Karena tekanan rezim komunis sehingga membuat penelitian dipersulit, Gadamer
hijrah ke Jerman Barat. Pada tahun 1948, Gadamer bekerja di Frankfurt am Main.
Selanjutnya, pada tahun 1949, Gadamer menggantikan posisi Karl Jaspers di
Universitas Heidelberg. Akhirnya, Heidelberg menjadi tempat yang kondusif bagi
karier Gadamer sampai memasuki masa pensiun pada tahun 1968. Setelah pensiun,
Gadamer sering mengisi ceramah di Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa tempat
lain. Walaupun telah memasuki usia lanjut, Gadamer tetap sering mengikuti diskusi-
diskusi filosofis dan termasuk salah seorang filsuf yang paling populer di Jerman.

3
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.
254.
4
Ibid., hlm. 254-255.
5
“Hans-Georg Gadamer”, dalam www.id.wikipedia.org, 18 Mei 2010.
6
K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 255-256. Bandingkan dengan “Hans-Georg Gadamer”,
dalam www.id.wikipedia.org, 18 Mei 2010
Setelah melewati petualangan filosofis yang demikian panjang dan melelahkan,
Gadamer akhirnya meninggal di kota Heidelberg pada 13 Maret 2002 di usia 102
tahun.

C. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer

Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika).
Di dalam sejarahnya retorika dan hermeneutika memang selalu terkait. Retorika
adalah seni untuk memaparkan pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni
untuk memahami teks. Teks ini memang dalam bentuk tulisan. Akan tetapi teks juga
bisa memiliki arti luas, yakni realitas itu sendiri. Dalam arti ini juga dapat dikatakan,
bahwa hermeneutika dan retorika saling membutuhkan satu sama lain. Retorika
mengandaikan orang memahami teks. Sementara pemahaman tidak boleh berhenti di
dalam diri seseorang saja, melainkan juga dapat disampaikan dengan jernih kepada
orang lain. Gadamer sendiri berulang kali menegaskan, bahwa hermeneutika dan
retorika lebih merupakan seni, dan bukan ilmu pengetahuan.

Di dalam beberapa tulisannya, termasuk Truth and Method, yang merupakan


karya terbesarnya, Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika dari wilayah
ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial. Untuk melakukan itu ia kemudian
kembali membaca tulisan-tulisan Plato. Menurut Gadamer hubungan antara pembaca
dengan teks mirip seperti hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara.
Dalam arti ini dialog kehilangan dimensi rigorus saintifiknya, dan menjadi
percakapan rasional untuk memahami suatu persoalan. Selain itu Gadamer juga
membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika. Gadamer
menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan utamanya tetap yakni
melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik,
dan sifatnya instrumental.7

Jika membaca tulisan-tulisan Gadamer langsung, anda akan mendapatkan


kesan bahwa ia senang sekali bermain kreatif dengan bahasa untuk menciptakan
pemahaman-pemahaman baru. Menurutnya bahasa tidak pernah bermakna tunggal.
Yang pertama, bahasa selalu memiliki beragam makna, dan itu justru harus diakui dan
dirayakan. Beragam makna di dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang
bersifat esensial, tetap, dan universal di dalam bahasa itu sendiri. Artinya bahasa itu
memiliki sesuatu yang sifatnya khas pada dirinya sendiri, dan lepas dari pikiran
manusia. Di dalam bahasa terdapat pengertian, dan tugas hermeneutika adalah
memahami pengertian tersebut, dan membuka kemungkinan bagi pemahaman-
pemahaman baru. Di dalam tradisinya hermeneutika berfokus pada upaya untuk
memahami teks-teks kuno, terutama teks kitab suci. Konsep hermeneutika Gadamer
juga berakar pada tradisi tafsir teks-teks kitab suci ini.

7
Georgia Warnke, Gadamer, Hermeneutics, Tradition and Reason, (Polity Press: Georgia,
1987), hlm. 7.
Yang kedua hermeneutika selalu terkait dengan pengertian yang bersifat
praktis. Dalam arti ini orang yang mengerti bukan hanya ia memahami pengetahuan
tertentu, tetapi juga memiliki ketrampilan praktis untuk menerapkannya. Misalnya
anda adalah seorang guru yang baik. Artinya anda tidak hanya memahami
pengetahuan teoritis tentang cara mengajar dan arti pengajaran itu sendiri, tetapi
mampu mengajar dengan baik. Seorang koki yang baik tidak hanya memahami
konsep teoritis bumbu, tetapi juga mampu mengolahnya menjadi sebuah masakan
yang enak. Untuk memahami tidak hanya selalu mengandaikan tetapi juga mampu
menerapkan.8

D. Bahasa dan Tradisi sebagai Perantara Pengalaman Hermeneutik

Bagi Gadamer, bahasa merupakan suatu realitas yang tidak dapat dipisahkan
dari pengalaman, pemahaman, maupun pikiran manusia. Karena untuk mengerti
sesuatu kita tidak mungkin lepas dari bahasa, begitu juga halnya dengan pengalaman
hermeneutik pun tidak lepas dari bahasa. Bagi Gadamer, bahasa merupakan medium
pengalaman hermeneutik.

Menurut Gadamer, bahasa yang umum harus dicari dalam setiap pengalaman
hermeneutik. Sebab jika para filsuf berbicara dengan menggunakan suatu bahasa yang
tidak seorangpun mengerti, ini berarti sama saja mereka tidak berbicara apa-apa
(nihil). Dengan ini Gadamer mau menegaskan bahwa persoalan bahasa adalah tugas
hemeneut. Pemahaman hanya mungkin dimulai bila bermacam-macam pandangan
menemukan satu bahasa umum untuk saling bercakap-cakap.

Orang yang mampu menjembatani jurang antara dua bahasa, memberi titik
terang yang penting. Terjemahan bagaikan interpretasi dan penerjemahnya, seperti
juga pada hermeneut, akan menggunakan bahasa untuk menentukan bahasa.
Sebagaimana disebutkan bahwa tugas hermeneutik adalah terutama memahami teks,
maka pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan yang fundamental dengan
bahasa.9 Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari
pemahaman, sehingga para pembicara asli (native speaker) tidak akan gagal untuk
menangkap nuansa-nuansa bahasanya sendiri. Memang kita akui juga memindahkan
konsep dalam bahasa yang satu ke bahasa yang lain bukanlah perkara yang gampang.
Kita ambil contoh kata pain (bahasa Inggris). Dalam bahasa Indonesia tidak
ditemukan istilah yang dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan
atau sifat yang dimaksud dengan kata Pain. Maka dicari istilah dalam bahasa
serumpun yang lazim. Untuk itu, kata pain (Inggris) lebih tepat diterjemahkan nyeri
(bahasa Sunda).

8
Jean Grondin, “Gadamer’s Basic Understanding of understanding”, dalam Cambridge
Companion to Gadamer, Cambridge: Cambridge University Press, 36-40.

9
Hans–Georg Gadamer, Kebenaran dan Methode, Pengantar Filsafat Hermeneutika,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 470
Jadi bahasa adalah medium penting dalam pengalaman hermeneutik. Dalam
percakapan misalnya Gadamer menekankan bahwa keseluruhan proses percakapan-
berkaitan dengan bahasa. Bahasa adalah pertengahan daerah dalam makna pengertian
dan persetujuan mengenai objek, mengambil tempat di antara dua orang yang
melakukan percakapan. Gadamer memberi contoh yang kedua ini yakni dalam hal
menerjemahkan sebuah percakapan yang dilakukan dalam dua bahasa berbeda (tadi
contoh pertama adalah tentang teks). Penerjemah dalam hal ini tentu saja tidak secara
bebas mengartikan apa yang orang lain katakan. Arti percakapan-itu lagi-lagi harus
dipelihara dan juga harus dimengerti dalam sebuah bahasa baru dan dengan cara yang
baru, agar dua orang dapat saling mengerti dalam percakapan dibutuhkan suatu
bahasa (umum) yang oleh keduanya bahasa tersebut dapat dimengerti. Dalam hal ini
bahasa merupakan perantara untuk saling mengerti. Ciri-ciri khas dari setiap
percakapan yang benar adalah masing-masing individu membuka dirinya sendiri
kepada individu yang lain.

Dari semua uraian di atas Gadamer mau memperlihatkan – bahwa pemahaman


(pengertian) adalah interpretasi, dan interpretasi itu terjadi dengan perantara bahasa.
Bahasa sebagai perantara pengalaman hermeneutik berkaitan erat dengan teks yang
mau dipahami. Dalam hal ini Gadamer tidak mencari pengarang yang bersembunyi di
belakang teks melainkan mencari apa yang terjadi di antara teks dan juru tafsir.
Penafsiran teks-teks dapat disebut suatu percakapan dimana bahasa berfungsi sebagai
perantara antara teks dan si penafsir.10

Kenyataan bahwa tradisi bercirikan linguistik mempunyai konsekuensi-


konsekuensi hermeneutik. Pemahaman terhadap tradisi linguistik mempertahankan
prioritas khusus terhadap semua tradisi yang lain. Tradisi linguistik adalah tradisi di
dalam pengertian harfiah, yakni sesuatu yang diwariskan. Ia bukan hanya sesuatu
yang dibiarkan, diselidiki dan ditafsirkan sebagai sisa masa lalu. Apa yang datang
pada diri kita melalui jalan tradisi linguistik tidak dibiarkan, tetapi diberikan kepada
kita, menceritakan kepada kita, atau di dalam bentuk tradisi tertulis, tanda-tanda
segera jelas bagi setiap pembaca yang bisa membacanya.11

Sebuah tradisi tertulis bukan merupakan fragmen tentang masa lalu, tetapi
selalu mengangkat dirinya melampaui ini kedalam ruang makna yang ia ungkapkan.
Ia adalah idealitas kata, yang mengangkat obyek-obyek linguistik melampaui
keterbatasan dan kefanaan sisa-sisa lain dari masa lalu. Di sisi lain, teks-teks selalu
mengungkapkan keseluruhan, seberapa banyak bahkan kesewenang-wenangan tradisi
yang keliru bisa dibiarkan jika konteksnya secara keseluruhan dipahami.12 Di sini
terlihat Gadamer membawa problem hermeneutik ke wilayah linguistik, lebih dari

10
Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans-Georg Gadamer”, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2003), hlm. 134-135.

11
Hans–Georg Gadamer, Kebenaran dan Methode...,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 473.
sekedar pemahaman historis secara filosofis. Bahasa, bagi Gadamer adalah endapan
tradisi sekaligus media untuk memahaminya. Proses hermeneutik untuk memahami
tradisi melalui bahasa lebih dari metode.

Gadamer melihat suatu proses hermeneutis, terutama terhadap teks-teks


historis, berlaku apa yang ia sebut effective history. Konsep dimaksudkan untuk
melihat kerangka waktu yang mengitari wilayah teks-teks historis. Pertama, masa
lampau, dimana teks itu dilahirkan atau dipublikasikan. Dari sini makna teks bukan
hanya milik sipenyusun melainkan milik setiap orang yang menginterpretasikannya.
Kedua masa kini, dimana penafsir datang dengan prasangka-prasangka selanjutnya
akan berdialog dengan masa sebelumnya sehingga akan muncul penafsiran yang
sesuai dengan konteks penafsir. Ketiga, masa depan, dimana di dalamnya terdapat
nuansa baru yang produktif. Di sinilah terkandung effektive history jadi aktivitas
hermeneutik tidak boleh dibatasi hanya pada apa yang dimaksud oleh pengarang saja
atau hanya pada situasi yang mengitari saat teks diciptakan.13

E. Kritik Hans-Georg Gadamer terhadap Sistem Pengetahuan

Secara umum, dunia hermeneutik adalah dunia pemahaman atau penafsiran


(verstehen). Dalam perkembangannya, metode pemahaman ini dari generasi ke
generasi terus berkembang. Pada tingkat awal, dunia hermeneutik dibuka dengan
gagasan Schleiermacher dan Dilthey yang biasa dikenal dengan hermeneutika
romantis.14 Dalam pandangan Schleiermacher dan Dilthey, mengerti atau memahami
suatu teks adalah menemukan arti asli teks tersebut atau menampilkan apa yang
dimaksud oleh pengarang teks, yakni pikiran, pendapat, visi, perasaan, dan maksud
pengarang teks. Oleh karena itu, seorang penafsir harus memiliki pengetahuan yang
luas tentang sejarah dan psikologi. Bagi kedua pemikir perintis hermeneutik ini,
interpretasi suatu teks merupakan pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang benar
dan genuine dari suatu teks adalah kembali kepada apa yang dihayati dan mau
dikatakan oleh sang pengarang. Singkatnya, kerja interpretasi adalah kerja
rekonstruksi sebuah teks demi mendulang sebuah makna asli.

Selain itu, dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey, seorang interpretator


harus sanggup melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah dapat “pindah”
ke zaman lain. Artinya, seorang interpretator tidak boleh terikat dengan suatu horison
historis yang melingkupinya. Tegasnya, ia keluar dari situasi dan kondisi zamannya
untuk kemudian menjelajah ke situasi dan kondisi penulis teks.

12
Hans–Georg Gadamer, Kebenaran dan Methode..., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 474.

13
Mohammad Moeslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2005), hlm. 141-143.

14
K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 261.
Walaupun Gadamer termasuk pengagum Schleiermacher dan Dilthey, dan
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi Gadamer
juga banyak memberikan kritik terhadap pemikiran dua tokoh romantik ini. Pertama,
Gadamer keberatan dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menerangkan
bahwa hermeneutik bertugas menemukan makna asli sebuah teks. Menurut Gadamer,
interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang
dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Bagi Gadamer, arti suatu teks tetap terbuka
dan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tersebut.15 Karena itu, interpretasi
tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif.

Kedua, Gadamer juga mengkritik pendapat hermeneutika romantis tentang


waktu, yakni bahwa seorang interpretator harus dapat melepaskan diri dari dimensi
waktu yang melingkupinya dan berziarah ke dimensi waktu pengarang teks. Menurut
Gadamer, kita sebagai interpretator tidak dapat melepaskan diri dari situasi historis di
mana kita berada. Arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau waktu teks tersebut
ditulis, tetapi juga mempunyai keterbukaan makna untuk masa sekarang dan masa
yang akan datang. Oleh karena itu, memahami dan menginterpretasikan suatu teks
merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai. Setiap zaman memiliki beban tugas
untuk menginterpretasikan suatu teks.16

Ketiga, Gadamer juga mengkritik secara tajam konsep “tradisi’ dan


“prasangka” yang digagas para pengusung hermeneutika romantis. Menurut tradisi
hermeneutika romantis, dalam menafsirkan suatu teks, prasangka harus dihindarkan
jauh-jauh. Menurut para pemikir hermeneutika romantis, prasangka (prejudice) hanya
memiliki arti kurang baik dan bertentangan dengan kebenaran. Gadamer menolak
pandangan ini. Menurut Gadamer, dalam memahami suatu teks, kita tidak dapat
melepaskan diri dari prasangka. Akan tetapi, bukan berarti interpretasi menjadi suatu
usaha yang subjektif dan tidak kritis. Oleh karena itu, kita harus membedakan antara
prasangka yang legitim dan prasangka yang tidak legitim, serta antara prasangka yang
sah dan prasangka yang tidak sah. Demikian pula, sementara hermeneutika romantis
menafikan otoritas suatu tradisi, Gadamer justru mengakuinya. Menurut Gadamer,
walaupun kita mengakui otoritas suatu tradisi dan bahkan menjadi bagian dari tradisi,
tetapi hal itu tidak akan menghambat pengenalan kita terhadap suatu teks. Sebaliknya,
tradisi justru akan membantu kita dalam proses pemahaman.17

15
Paul Ricoeur menyebutnya dengan istilah otonomi teks. Dalam hal ini, Ricoeur terkenal
dengan jargon “Matinya sang penulis”. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 109.

16
Tentang hal ini, Gadamer memiliki konsep penerapan (application). Istilah mudahnya
adalah kontekstualisasi. Artinya, setiap generasi punya tugas untuk mengkontekstualisasikan
(memahami dan menerapkan) makna sebuah teks bagi masa dan zamannya masing-masing.
Bandingkan dengan F. Budi Hardiman,Melampaui Positivisme dan Modernitas, hlm. 48-49.

17
K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 264-265.
Selain mengkritisi beberapa konsep hermeneutika romantis yang digagas oleh
Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer juga mengkritik epistemologi hermeneutika
romantis yang cenderung metodologis. Yakni, bahwa ilmu pengetahuan apa pun baru
diakui sebagai ilmiah jika memiliki basis empirisme. Dengan pola pikir ini,
hermeneutika menjadi bagian dari alam positivisme yang mensyaratkan objektivisme.
Oleh karena itu, model hermeneutik yang diusung oleh Schleiermacher dan Dilthey,
juga Betti, ini sering juga disebut hermeneutika objektivis.18

Pandangan ini dibantah oleh Gadamer. Gadamer berpendapat bahwa upaya


objektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapa pun yang akan
menafsirkan sebuah teks. Sebab, jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak
mungkin disatukan lagi. Selain itu, penafsir juga tidak dapat dikosongkan dari
pengaruh kulturalnya. Oleh karena itu, menurut Gadamer, upaya objektivisme murni
dalam hermeneutik hanya akan menjadi kesia-siaan. Hal yang mungkin dilakukan
adalah memproduksi makna yang dikandung oleh teks sehingga teks tersebut akan
menjadi lebih kaya makna. Gadamer menegaskan bahwa jurang waktu dan jurang
tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan.

F. Sistem dan Metode Ilmu yang Ditawarkan oleh Hans-Georg Gadamer

Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan


peristiwa historis, dialektik, dan linguistik.19 Dengan demikian, dalam sistem dan
metode pengetahuan yang digagas oleh Gadamer, kebenaran diperoleh melalui proses
dialektika. Tujuan dari proses dialektika adalah menggelitik realitas yang dijumpai,
dalam hal ini teks, supaya mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan
Gadamer, tugas hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan
mengembalikannya ke dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa
kini.20

Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai macam


aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar objektif”, tetapi untuk
mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami
bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan
keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan
dengan metodologi, tetapi dengan dialektika.21 Dalam proses dialektika, teks dan

18
Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans-Georg Gadamer”, Hermeneutika
Transendental...,(Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 134-135.

19
Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery
dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 255.

20
Ponsa, “Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai
Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam www.ponsa.wordpress.com, 18 Mei 2010

21
Richard E. Palmer, Hermeneutika, hlm. 255.
penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling
memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman
yang baru. Dalam membangun sistem pengetahuannya ini, Gadamer banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Oleh karena itu, dialektika dan spekulativitas
dalam sistem pengetahuan yang dibangun oleh Gadamer merujuk pada pemikiran
Hegel.

Dalam proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika ini,


Gadamer meniscayakan empat faktor yang tidak boleh
diabaikan. Pertama, bildung atau pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya
22

dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks,
maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan.
Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan,
usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses
penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat
memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang
tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.

Kedua, sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan
yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan
sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”. Istilah
mudahnya adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus
communis untuk memahami latar belakang yang mendasari pola sikap manusia.

Ketiga, pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar


pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk
dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus
yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Orang
bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah
dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut
dengan benar.

Keempat, taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan
macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan
intelektual. Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera
tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas
sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya.
22
E. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 71-77 dan 84. Bandingkan dengan Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2005), hlm. 142-143. Penjelasan gamblang Gadamer terhadap
keempat faktor ini dapat dilihat dalam Hans-Georg Gadamer,Kebenaran dan Metode: Pengantar
Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 10-48.
G. Penutup

Gagasan Gadamer tentang hermeneutika filosofis merupakan sebuah gebrakan


dalam lapangan hermeneutik. Seni pemahaman yang dibangun Gadamer merupakan
kesadaran dialogis dan dialektis antar berbagai cakrawala tradisi ( masa lampau, masa
kini, dan masa depan). Itulah sebabnya, bagi Gadamer, kebenaran sebagai sesuatu
yang pluralistik sesuai dengan cakrawala tradisi-tradisi yang berdialog. Progresivitas
pemikiran hermeneutik ala Gadamer, memberikan masukan positif terhadap
perubahan tradisi sebagian umat Islam dalam menafsirkan teks-teks ayat yang terasa
agak kaku. Tentu saja untuk mewujudkan hal ini perlu upaya mendiskusikan
pemikiran Gadamer secara luas di kalangan umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,


1999)

Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans-Georg Gadamer”,


(Yogyakarta: IRCiSoD, 2003)

F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus


Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius,
2003)

Georgia Warnke, Gadamer, Hermeneutics, Tradition and Reason, (Polity


Press: Georgia, 1987)
Hans–Georg Gadamer, Kebenaran dan Methode, Pengantar Filsafat
Hermeneutika,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)

Jean Grondin, “Gadamer’s Basic Understanding of understanding”,


dalam Cambridge Companion to Gadamer, Cambridge: Cambridge University Press

K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia,


2002)

Mohammad Moeslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma


dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2005).

Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj.


Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)

- “Hans-Georg Gadamer”, dalam www.id.wikipedia.org, 18 Mei 2010.

- www.ponsa.wordpress.com, 18 Mei 2010.

- wordpress.com/2010/05/18/hermeneutika-gadamer.

Anda mungkin juga menyukai