Disusun oleh :
Kelas 3
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Pengaruh Fenomenologi Heidegger terhadap Teori Penafsiran
(hermeneutika) Gadamer” ini tepat pada waktunya. Makalah ini dapat kami susun
dengan baik atas bantuan dari berbagai referensi. Untuk itu, kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang sudah ikut berkontribusi dalam membantu
pembuatan makalah ini.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat Fenomenologis dan Eksistensialisme dengan dosen
pengampu Bapak Drs. Zaenal Abidin, M. Si. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang pengaruh Fenomenologi Heidegger
terhadap Teori Penafsiran (hermeneutika) Gadamer, lingkaran hermeneutika, dan
tentang proses fusi horizon (penyatuan cakrawala) dalam interpretasi bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................5
1.3 Tujuan................................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN................................................................................................................6
2.1 Biografi Hans-George Gadamer.........................................................................6
2.2 Pengaruh Fenomenologi Heidegger terhadap Teori Penafsiran Gadamer..........7
2.3 Lingkaran Penafsiran..........................................................................................8
2.4 Fusi Horizon dalam Interpretasi.......................................................................15
BAB III............................................................................................................................17
PENUTUP.......................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................19
REFLEKSI INDIVIDU....................................................................................................20
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
Istilah hermeneutika dalam konteks tafsir pertama kali muncul pada abad
ke-17 dengan dua pengertian yaitu hermenetika sebagai perangkat prinsip
metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat
dan kondisi yang tidak bisa dihindarkan dalam kegiatan memahami (Mudjia
Raharjo, 2008: 29). Pengertian pertama menempatkan kajian hermeneutika dalam
ruang epistemologi dan pengertian kedua pada ruang ontologis.
Satu titik tolak yang perlu dicatat adalah bahwa pemikiran Gadamer
merupakan titik penting yang mengalihkan kajian hermeneutika dari ruang
epistemologis menjadi ontologis. Ia menolak hermeneutika sebagai metode, sebab
menurutnya kebenaran menerangkan metode, sementara metode justru merintangi
atau menghambat kebenaran karena upaya pencarian kebenaran menjadi tidak
luwes dan terbatas karena terikat metode.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
mengajar di Frankfurt pada tahun 1948, dan di Heidelberg pada tahun 1949 sampai
pensiun pada tahun 1968 [ CITATION Doz20 \l 1033 ].
2.2 Pengaruh Fenomenologi Heidegger terhadap Teori Penafsiran Gadamer
Fenomenologi merupakan kajian filosofis yang melukiskan segala bidang
pengalaman manusia. Manusia mengalami pengalaman hidupnya dalam sebuah
kesadaran. Bagi Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian yang tidak
pernah berakhir, sehingga ia menjuluki dirinya sebagai pemula yang abadi. Oleh
karena itu, fenomenologi, kini telah banyak dikupas dan diberi penjelasan yang
begitu luas dan beragam . Husserl sendiri bercita-cita, fenomenologi menjadi ilmu
rigorous, yakni ilmu yang “ketat” yang penjelasannya punya batasan, tidak
meragukan. Setiap konsep terdefinisikan dengan jelas [ CITATION Has081 \l 1033 ]
Pemikiran Gadamer secara umum banyak dipengaruhi fenomenologi
Heiddeger. Karya penting Gadamer Wahrheit und Methode: philosophical
hermeneutics, dialogue and dialectic, philosophical apprenticeships, the idea of the
good in platonic-aristotelian pshilosophy, gadamer and hermeneutics, the gadamer
reader.
Interpretative phenomenological analysis (IPA) atau analisis
fenomenologi interpretative merupakan metode analisis dengan pendekatan
fenomenologis. Analisis itu tidak mengikuti pendapat Husserl, tetapi mengikuti
pandangan Martin Heidegger, yang menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk
yang terlempar ke dunia. Sebagai makhluk yang terlempar ke dunia, manusia tidak
tahu berasal dari mana dan akan kemana. Dalam analisis tersebut, peneliti ingin
memahami partisipan dalam menafsirkan fenomena yang dialaminya. Peneliti
punya pikiran dan perasaannya sendiri. Pikiran dan perasaan antara partisipan dan
peneliti bertemu. Peneliti perlu jujur melihat pikiran dan perasaannya sendiri.
Sepanjang penelitian, peneliti harus terus merevisi pandangannya sampai muncul
pemahaman yang jernih terhadap pengalaman partisipannya. Dalam cara itu
penafsiran menjadi semakin dalam dan semakin tajam [ CITATION Pra20 \l 1033 ]
Dalam menjelaskan aspek baru hermeneutik, Gadamer banyak
mengembangkan pemikiran Heidegger. Gadamer melihat bahwa terobosan radikal
Heidegger ke masalah pemahaman ontologis hermeneutik memberi sumbangan
1
yang sangat berharga bagi ilmu hermeneutik. Secara tegas Gadamer menyetujui
pendapat Heidegger bahwa Ada selalu dimengerti melalui bahasa dan dalam
dimensi waktu. Maka untuk sampai pada Ada, kita perlu mengenal Ada itu sendiri,
yang berarti kita harus memahami. Memahami berarti memahami di dalam waktu
dan menurut historisitasnya.
Gadamer juga terpengaruh oleh metode fenomenologi Heidegger dan
melihat makna sebagai pengalaman. Ia mempertahankan relasi post-struktural
terhadap kajian bahasa yang mengandung pengalaman manusia. Meskipun begitu,
ia tidak setuju terhadap sikap post-struktural dan dekonstruksi yang menyatakan
adanya kegagalan bahasa dalam menyampaikan makna. Menurutnya, bahasalah
yang sebenarnya menjadi sumber makna. Ia mendebat Derrida terkait persoalan ini.
Ia berargumen bahwa manusia adalah pemilik bahasa dan dengannya upaya
memahami diantara orang dan lintas sejarah terbentuk.
2.3 Lingkaran Penafsiran
Satu model yang menunjuk kesejarahan pemahaman adalah model
lingkaran hermeneutik, khususnya sebagaimana dikembangkan oleh Heidegger.
Secara tradisional, lingkaran hermeneutik mengandung makna bahwa teks harus
ditafsirkan secara sirkular: bagian-bagian harus dilihat dalam keseluruhan dan
sebaliknya keseluruhan harus dipandang juga menurut bagian-bagiannya. Ini
berarti bahwa proses pemahaman memerhitungkan kaitan erat antara keseluruhan
dengan masing-masing bagiannya.
Teori hermeneutik abad sembilan belas sering berbicara mengenai struktur
pemahaman melingkar tersebut namun selalu dalam kerangka hubungan formal
antara keseluruhan dan masing-masing bagian. Menurut terori ini, gerak
pemahaman melingkar atau sirkulasi maju mundur sepanjang proses pemahaman
akan menghilang saat teks tersebut dimengerti. Berlawanan dengan hal itu,
Heidegger memberikan gambaran mengenai lingkaran hermeneutik yang menjadi
titik balik yang sangat menentukan dalam diskusi hermeneutik. Heidegger
menggambarkan proses pemahaman melingkar itu sedemikian rupa sehingga
pemahaman teks secara permanen ditentukan oleh adanya pra-pemahaman terlebih
dahulu. Lagi pula, lingkaran antara keseluruhan dan masing-masing bagian
1
tidaklah selesai dengan muncul pengertian. Dari pernyataan tersebut Heidegger
ingin menyatakan bahwa pemahaman yang tuntas itu tidak akan pernah terjadi.
Hal itu akan lebih jelas jika dilihat pada uraian Gadamer atas
penyingkapan konsep pra-struktur pemahaman Heidegger yang terdiri dari tiga
unsur yaitu Vorhabe, Vorsicht, dan Vorgrif. Menurut Gadamer, Heidegger
mendiskusikan lingkaran hermeneutik pertama-tama bukan sebagai usaha
pemahaman praktis, melainkan dimaksudkan untuk memberikan deskripsi cara
pencapaian pemahaman melalui interpretasi. Heidegger mengatakan bahwa jika
seseorang ingin memahami sesuatu ia membawa latar belakang tradisi yang telah
ia miliki sebelumnya. Unsur pertama dalam lingkaran hermeneutik itu disebut
dengan Vorhabe (fore-have.) Selanjutnya dalam membuat penafsiran, orang itu
selalu dibimbing oleh cara pandang tertentu. Maka dari itu dalam setiap tindak
pemahaman ia selalu didasari oleh apa yang telah dilihat sebelumnya. Itulah unsur
yang dinamakan Vorsicht (fore-sight.) Unsur ketiga yang menjadi syarat
pemahaman adalah konsep-konsep yang memberi kerangka awal yang diistilahkan
dengan Vorgrif (fore-conception.)
Ketiga unsur tersebut menjadi syarat pemahaman dalam lingkaran
hermeneutik yang bertitik tolak dari konsep ontologis Heidegger yang lebih
mendasar yaitu ‘Berada di’ (Being there) dari Dasein yang terikat pada
temporalitasnya. Gadamer menandaskan apa yang telah dikatakan Heidegger
bahwa lingkaran hermeneutik bukanlah suatu lingkaran setan yang tidak berujung
pangkal dan sia-sia belaka. Namun justru dalam gerak maju melingkar itu
terkandung kapasitas primodial pemahaman manusia yang positif karena pra-
pengertian demi pra-pengertian akan diperbaiki terus menerus.
Dengan demikian, proses pemahaman melalui lingkaran hermeneutik
memerhitungkan kaitan antara keseluruhan dan masing-masing bagian dan
sebaliknya, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya mengandaikan adanya
keterbukaan untuk menerima pemahaman-pemahaman baru. Gadamer memerjelas
proses itu dengan mengatakan bahwa seseorang yang ingin berusaha untuk
mengerti sebuah teks selalu dibimbing oleh suatu tindak proyeksi. Artinya, saat ia
berhadapan dengan sebuah teks, ia akan merancang makna-makna bagi
1
keseluruhan teks tersebut begitu ia mulai menangkap beberapa makna ketika mulai
mencermati teks. Dengan beberapa makna yang menjadi proyeksi awal itu, ia akan
melanjutkan proses pemahaman. Pemahaman demi pemahaman akan diperbarui
secara terus menerus dan kadang harus menyingkirkan pemahaman yang tidak
benar. Penggambaran proses di atas memang kasar, namun dapat menegaskan apa
yang dimaksud oleh Heidegger.
Proses terus menerus dari pra-pemahaman satu ke berikutnya itu adalah
gerak dari proses pemahaman dan interpretasi. Selanjutnya ditandaskan oleh
Heidegger bahwa gerak lingkaran pemahaman bukanlah suatu lingkaran
metodologis melainkan sebuah elemen mendasar atau ontologis dalam setiap
pemahaman.
Gadamer kemudian menunjukkan kritiknya terhadap gagasan lingkaran
hermeneutik Schleiermacher yang menyatakan bahwa suatu pemahaman hanya
dapat terjadi dalam keseluruhan aspek obyektif dan subyektif. Kalau
Schleiermacher membedakan lingkaran hermeneutik atas bagian dan keseluruhan
menurut aspek obyektif dan Subyektifnya, ini berarti ia mengandaikan bahwa
pemahaman harus masuk ke dalam realitas intensi pengarang atau masuk ke dalam
batin hidup pengarang. Menurut Heidegger, juga disetujui Gadamer, pemahaman
total dan tuntas itu tidak pernah terjadi. Bahkan penafsir pun tidak semata-mata
hanya tergantung pada obyek pemahamannya saja. Dengan demikian proses ini
memerhitungkan juga aspek kesejarahannya. Jadi yang terjadi bukan hanya sekedar
reproduksi melainkan juga produksi makna. Sehubungan dengan hal itu Gadamer
menulis:
Every age has to understand transmitted text in its own way, for the text is
part of the whole of the tradition in which the age takes an objective interest and in
which it seeks to understand itself. Te real meaning of a text, as it speaks to the
interpreter, does not depend on the contingencies of the author and whom he
originally wrote for.
Konsekuensi logis dari pernyataan di atas adalah bahwa jarak temporal
(temporal distance) yang membentang antara penafsir dan teks atau peristiwa masa
lampau, bukanlah jurang yang menghambat penafsiran dan harus dihindari karena
1
dianggap negatif. Sesungguhnya rentang waktu itu menjadi dasar pendukung
proses di mana kekinian berakar. Tetapi harus tetap dingat bahwa penemuan
makna-makna atas suatu teks adalah proses yang tidak pernah selesai.
Heidegger mengatakan bahwa waktu merupakan basis yang mendukung
proses berakar kekinian kita. Sekaligus juga sebagai tempat berlangsung
pemahaman dan interpretasi serta model ontologisme yang paling fundamental.
Singkatnya, waktu menjadi faktor yang mutlak bagi pengetahuan dan juga
produktif. Menurut Gadamer, waktu dapat dikatakan sebagai ‘flter’ penyaring
untuk menghapus interpretasi-interpretasi yang tidak sesuai. Kita sadar akan ide ini
khususnya dalam memelajari ilmu sejarah, karena peristiwa-peristiwa sejarah
hanya dipelajari ketika ada jarak temporal dengan kita.
1. Schleiermacher
Schleiermacher mengajukan dua teori pemahaman hermeneutik, yaitu:
pemahaman ketatabahasaan (grammatical understanding) terhadap semua
ekspresi dan pemahaman psikologis terhadap pengarang.
Seseorang tidak dapat memahami bagian-bagian tanpa memahami
keseluruhan dan sebaliknya. Karena itu interpretasi psikologis dan interpretasi
gramatis saling mengandaikan dalam memahami teks. Interpretasi gramatis
fokus pada unsur-unsur bahasa teks, sedangkan interpretasi psikologis pada isi
pikiran penulis, yakni intensi awalnya untuk menulis teks itu. Esensi lingkaran
hermeneutis adalah bagian-bagian menjelaskan keseluruhan, dan keseluruhan
menjelaskan bagian-bagian.
Di dalam salah satu bagian tulisan Schleiermacher, dia menulis pernyataan
tentang tugas interpretasi yang kerap dikutip, yakni: “Memahami teks
pertama-tama dan juga kemudian bahkan lebih baik daripada pengarang teks
itu”. Pernyataan itu tidak dimaksudkan bahwa pembaca lebih benar
memahami teks daripada penulisnya. Sebaliknya, pembaca tidak memiliki
akses langsung ke dalam dunia mental penulis, maka ia perlu mengerti banyak
hal lain yang terkait dengan teks itu agar dapat memasuki isi pikiran penulis.
Dua jenis interpretasi yang disarankan oleh Schleiermacher kiranya dapat
menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan memahami teks lebih baik
1
daripada penulisnya. Yang pertama interpretasi gramatis atau interpretasi
teknis. Kanon pertama Schleiermacher berbunyi: “Segala hal dalam sebuah
tuturan yang memerlukan sebuah penentuan yang lebih tepat hanya dapat
ditentukan dari area bahasa yang sama bagi si pengarang dan pendengar
langsungnya”. Masalah dalam setiap tugas interpretasi adalah kesenjangan
waktu antara penulis dan pembacanya. Kanon pertama menyarankan agar
pembaca menjangkau makna asli sebelum kata mengalami perubahan arti
lewat waktu, yakni artinya sebagaimana dipahami oleh penulis dan pembaca
awalnya.
Kanon kedua berbunyi: “Makna tiap kata sebuah kalimat harus ditentukan
dengan konteks kata itu berasal” Sebuah kata bisa memiliki berbagai arti,
maka arti yang dimaksudkan oleh penulis dapat dipahami dengan memeriksa
konteks munculnya kata itu. Menurut Schleiermacher kita tidak dapat
sepenuhnya menjelaskan arti suatu kata sebagaimana dipakai penulis di masa
lalu.
2. Wilhem Dilthey (Hermeneutika Metodis)
Pemikiran hermeneutika Schleiermacher dikritik oleh Wilhem Dilthey
seorang filosof, kritikus sastra dan ahli sejarah dari jerman. Menurutnya
manusia bukan hanya sekedar makhluk berbahasa, seperti yang sangat
ditonjolkan oleh Schleiermacher, tetapi makhluk eksistensial. Menurut Dilthey
sejak awal manusia tidak pernah hidup hanya sebagai makhluk linguistic yang
hanya mendengar, menulis, dan membaca untuk kemudian memahami dan
menafsirkan. Lebih dari itu, manusia adalah makhluk yang memahami dan
menafsirkan dalam setiap aspek kehidupannya. Namun demikian, dalam
proses memahami teks, Dilthey berpandangan bahwa makna teks harus
ditelusuri dari maksud subyektif pengarangnya. Bagi Dilthey, hermeneutika
adalah teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam
bentuk tulisan”. Oleh karena itu, ia menekankan pada peristiwa dan karya-
karya sejarahyang merupakan ekspresi dari pengalaman masa lalu. Untuk
memahami pengalaman tersebut, interpreter harus memiliki kesamaan yang
intens dengan pengarang. Berbeda dengan Schleiermacher yang memandang
1
bahwa kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam
pikiran pengarang. Menurut Dilthey, pikiran seseorang selalu berkembang
karena situasi eksternal dan pengalaman-pengalaman barunya.
1
tetap. Sebaliknya yang ada adalah keragaman makna dan dinamika
eksistensial.
5. Georg Gadamer (hermeneutika dialogis)
Gadamer tidak memaknai hermeneutika sebagai penerjemah eksistensi,
tetapi pemikiran dalam tradisi filsafat. Sebenarnya ia tidak menganggap
hermeneutika sebagai metode, karena baginya pemahaman yang benar adalah
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis.
Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui
dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan.
Menurut perspektif ini, dalam proses memahami teks, pikiran penafsir
juga menceburkan diri ke dalam pembangkitan kembali makna teks.
Pengarang dan konteks historis dalam teks dipertimbangkan dalam proses
interpretative bersama dengan prasangka-prasangka penafsir sebagai tradisi,
kepentingan praktis, bahasa dan budaya.
6. Jurgen Hambermas (hermeneutika kritis)
Istilah teori kritis pertama kali dikenalkan oleh Max Horkheimer dan pada
awalanya hanya merujuk secara khusus kepada tradisi Mazhab Frankfurt yang
di antara tokohnya adalah Max Horkheimer (1895-1974), Theodor W. Adorno
(1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979), dan Jurgen Habermas. Seiring
dengan perkembangan ilmu sosial, istilah tersebut mempunyai konotasi yang
lebih luas, termasuk dalam tradisi teori post-modernisme dan feminism, yang
bermazhab tradisi filsafat prancis.
Menurut perspektif ini, hermeneutika dialogis Gadamer dianggap kurang
memiliki kesadaran sosial yang kritis. Kalau bagi Gadamer, pemahaan
didahului oleh pra penilaian (pre-judgement), maka bagi Hambermas
pemahaman didahului oleh kepentingan. Hermeneutika ini lebih
mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan
tradisi. Karena itu, untuk memahami suatu teks seorang penafsir harus mampu
mengambil jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.
7. Paul Ricoeur
1
Garis besar teori hermeneutika Ricoeur adalah ia mencoba mencari
integrasi dialektis dari dikotomi Dilthey, yaitu penjelasan (explanation) dan
pemahaman (understanding). Menurutnya, teks berbeda dengan pecakapan,
karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghasilkannya, niat penulisnya
sudah kabur, audiennya lebih umum, dan referensinya tidak dapat lagi
dideteksi. Konsep utama pandangannya adalah bahwa begitu makna obyektif
diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi
yang dapat diterima menjadi mungkin, makna tidak hanya diambil menurut
pandangan hidup pengarang , tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup
pembacanya.
8. Jacques Derrida (dekonstruksionis)
Derrida dikenal sebagai salah seorang filsuf post-strukturalisme). Derrida
menunjukkan bahwa bahasa dan juga sistem simbol lainnya merupakan
sesuatu yang tidak stabil. Karena itu, maka tulisan (teks) menurutnya selalu
mengalami perubahan, tergantung pada konteks dan pembacanya.
Persperktif ini menolak ambisi untuk menangkap makna esensial yang
tunggal dan utuh. Hermeneutika dekonstruksionis menghendaki agar kita lebih
menekankan pada pencarian makna-makna eksistensial, makna yang disini
dan sekarang. Dekonstruksi Derrida mengingatkan bahwa setiap upaya untuk
menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi
sederhana antara petanda dan penanda. Karena bahwa hanya merujuk pada
dirinya sendiri , maka makna adalah arbitrer dan tidak bisa dipastikan begitu
saja.
2.4 Fusi Horizon dalam Interpretasi
Fusi cakrawala (fusion of horizons) adalah peleburan cakrawala pembaca
dengan cakrawala penulis melalui teks yang telah ditulisnya untuk memaknai
esensi yang terkandung di dalam suatu teks. Dengan demikian, pemakanaan suatu
teks tidak berarti mencari ide-ide penulis yang dituangkan di dalam teks yang
ditulisnya saja (proses reproduksi), melainkan setiap pembaca bisa memperoleh
esensi suatu teks yang berbeda-beda sesuai dengan peleburan cakrawala setiap
pembaca dengan cakrawala si penulis teks tersebut melalui teks yang ditulisnya. Di
1
samping itu, cakrawala pembaca terhadap teks itu sendiri juga dileburkan pada
tahap ini. Maksudnya adalah, kapan sebuah teks ditulis, oleh siapa sebuah teks
ditulis, dan bagaimana kondisi masyarakat di saat teks itu ditulis juga menjadi
bagian yang ikut dileburkan oleh pembaca dalam proses peleburan cakrawala ini
untuk mendapatkan esensi dari sebuah teks. Jadi, suatu teks dipahami tidak untuk
mencari tau ide-ide si penulis saja (proses reproduksi), melainkan suatu sintesa
(proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion of horizons) yang
dilakukan oleh pembaca teks tersebut.
Menurut Gadamer, cakrawala masa kini tidak dapat dilepaskan begitu saja
guna masuk ke masa lalu, sementara masa lalu itu pun tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari masa kini. Dengan demikian, fusi cakrawala ini sebagai puncak
dari pemahaman dan merupakan proses dialetika interaksi “antar waktu”, dan
merupakan pemahaman diri seseorang dengan apa yang dialaminya. Gadamer juga
membedakan cakrawala historis dengan cakrawala masa kini. Cakrawala historis
adalah prasangka-prasangka yang membentuk ekspresi tentang masa lalu,
sedangkan cakrawala masa kini adalah prasangka yang kita bawa, senantiasa
dibentuk dan terus menguji prasangka itu. Prasangka tersebut bukanlah pandangan
atau evaluasi fixed yang menentukan dan membuat cakrawala masa kini, satu hal
penting dalam persoalan menguji adalah perjumpaan dengan masa lalu dan
pemahaman terhadap tradisi. Jadi cakrawala masa kini tidak dapat dibentuk tanpa
masa lalu, dan keduanya berkesinambungan, oleh karena itu pemahaman
senantiasa berupa fusi dari kedua cakrawala, dan dimungkinkan karena adanya
suatu cakrawala mencakup segala hal dalam kesadaran menyejarah.
Dalam kenyataannya cakrawala yang dimiliki seseorang pada masa
sekarang terbentuk sebagai akumulasi berbagai cakrawala di masa lampau dalam
gerak melingkar terus menerus. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa cakrawala
yang dimiliki seseorang sekarang tidak dapat terbentuk tanpa ada cakrawala-
cakrawala di masa lampau. Setiap perjumpaan dengan tradisi pemaknaan tertentu
terjadilah peleburan cakrawala. Hal itu terjadi dalam kesadaran historis yang mau
tidak mau menyertakan dua kutub jagat makna yaitu: teks yang dipahami dan
makna dari seorang penafsir yang akan membentuk cakrawalanya. Tugas
1
hermeneutik bukan untuk menutupi ada ketegangan antara dua kutub makna itu
dengan melakukan asimilasi naif, melainkan dengan kesadaran. Kedua cakrawala
itu tidak berada dalam posisi visà-vis. Kedua mereka hanya dapat dimengerti kalau
dilihat hubungan yang ada di antara mereka. Mencari makna dari masing-masing
per se adalah tindakan sia-sia, yang harus dilakukan adalah dengan
memerlawankan satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1
Menurut Gadamer, Heidegger mendiskusikan lingkaran hermeneutik
pertama-tama bukan sebagai usaha pemahaman praktis, melainkan dimaksudkan
untuk memberikan deskripsi cara pencapaian pemahaman melalui interpretasi.
Konsep pra-struktur pemahaman Heidegger yang terdiri dari tiga unsur yaitu
Vorhabe, Vorsicht, dan Vorgrif. Ketiga unsur tersebut menjadi syarat pemahaman
dalam lingkaran hermeneutik yang bertitik tolak dari konsep ontologis Heidegger
yang lebih mendasar yaitu ‘Berada di’ (Being there) dari Dasein yang terikat pada
temporalitasnya.
1
DAFTAR PUSTAKA
1
REFLEKSI INDIVIDU
NIM : 15000120120006
Setelah membaca materi ini saya juga menjadi tau bahwa proses
pemahaman memerhitungkan kaitan erat antara keseluruhan dengan masing-
masing bagiannya. Hal ini mengajarkan kepada saya bahwa dalam memahami
1
sesuatu, saya perlu memahami keseluruhan dari bagian bagian yang ada. Di
materi ini juga memuat beberapa pendapat tokoh mengenai hermeneutika, dan
saya setuju dengan pendapat Dilthey yang mengatakan bahwa manusia tidak
pernah hidup hanya sebagai makhluk linguistic yang hanya mendengar, menulis,
dan membaca untuk kemudian memahami dan menafsirkan sebagaimana yang
disampaikan dan ditonjolkan oleh Schleiermacher. Manusia adalah makhluk yang
memahami dan menafsirkan dalam setiap aspek kehidupannya.
Nim :15000120120046
1
sosial media zaman kini, berita dapat disebarkan dengan luas tanpa mengetahui
kebenarannya atau tidak. Semoga dengan peningkatan penalaran tersebut, saya
dapat menghindari terjadinya kesalah pahaman.
Nim : 15000120140348
Nim : 15000120140093
1
kita baca. Selain itu saya juga menyadari bahwa kita harus melihat secara utuh
dan keseluruhan terhadap semua bagian yang diceritakan ketika hendak
melakukan penafsiran, begitu juga sebaliknya. Lingkup penafsir tidak hanya
menunjuk pada pesan/objek yang ditafsir, namun juga harus berusaha untuk
mengetahui perspektif dari pembuat teks/tafsir.
LEMBAR KONTRIBUSI
No Nama Kontribusi
1. Dea Arianti Membuat kata pengantar
(15000120120006) Membuat pendahuluan
Materi lingkaran hermeneutika
2. Drajat Baskoro Jati Membuat daftar isi
(15000120140093) Membuat rumusan masalah
Membuat tujuan
Materi pengaruh fenomenologi
Heidegger terhadap teori
penafsiran (hermeneutika)
Gadamer
3. Fadhilla Rizki Membuat kesimpulan
(15000120120046) Materi Fungsi fungsi horizon
(penyatuan cakrawala) dalam
interpretasi
4. -
Hanifah Tursani Oktavianti
(sakit)
1
( 15000120140348)