Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MAKALAH

FILSAFAT FENOMENOLOGI DAN EKSISTENSIALISME

( Proses Interpretasi Menurut Hans-George Gadamer )

Disusun oleh :

Dea Arianti 15000120120006

Hanifah Tursani Oktavianti 15000120140348

Drajat Baskoro Jati 15000120140093

Fadhilla Rizki 15000120120046

Dosen Pengampu : Drs. Zaenal Abidin, M. Si.

Kelas 3

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Pengaruh Fenomenologi Heidegger terhadap Teori Penafsiran
(hermeneutika) Gadamer” ini tepat pada waktunya. Makalah ini dapat kami susun
dengan baik atas bantuan dari berbagai referensi. Untuk itu, kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang sudah ikut berkontribusi dalam membantu
pembuatan makalah ini.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat Fenomenologis dan Eksistensialisme dengan dosen
pengampu Bapak Drs. Zaenal Abidin, M. Si. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang pengaruh Fenomenologi Heidegger
terhadap Teori Penafsiran (hermeneutika) Gadamer, lingkaran hermeneutika, dan
tentang proses fusi horizon (penyatuan cakrawala) dalam interpretasi bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Zaenal Abidin, M.


Si. selaku dosen di mata kuliah Filsafat Fenomenologis dan Eksistensialisme yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami menyadari bahwa makalah
yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Baik dalam segi bahasa,
pengetikan maupun isi yang terkandung. Kami sebagai tim penyusun
menyampaikan permintaan maaf sebesar-besarnya. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 1 Maret 2021

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................5
1.3 Tujuan................................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN................................................................................................................6
2.1 Biografi Hans-George Gadamer.........................................................................6
2.2 Pengaruh Fenomenologi Heidegger terhadap Teori Penafsiran Gadamer..........7
2.3 Lingkaran Penafsiran..........................................................................................8
2.4 Fusi Horizon dalam Interpretasi.......................................................................15
BAB III............................................................................................................................17
PENUTUP.......................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................19
REFLEKSI INDIVIDU....................................................................................................20

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setidaknya ada empat fase pemikiran filsafat yang menghiasi panggung


sejarah umat manusia dari dulu hingga sekarang ini yaitu kosmosentris, teosentris,
antroposentris dan logosentris. Fase "kosmosentris" adalah fase di mana alam
dipandang sebagai objek discourse. Ini terjadi pada masa klasik. Pada fase
"teosentris", Tuhan menjadi objek pembicaraan. Ini berlangsung pada abad
pertengahan. Di abad modern yang merupakan fase antroposentris, wacana yang
penting dan dominan dalam kajiannya adalah seputar manusia terutama kekuatan
akal atau rasionya. Dan akhirnya di abad mutakhir ini, abad 20 adalah fase
"logosentris", bahasa menjadi pusat objek perbincangan yang menarik.

Hermeneutika berada pada fase keempat, sebab berbicara hermeneutika


tidak terlepas dari bahasa. Ilmu hermeneutika lahir, akibat dari kondisi
desentralisasi manusia, di mana manusia-sebelum fase logosentris – tidak lagi
dipandang sebagai subjek bahasa, subjek pemikiran, subjek tindakan dan pusat
sejarah. Manusia tidak lagi dilihat sebagai subjek atas pemaknaan realitas. Di sini,
manusia tidak “berbicara sendiri”, melainkan “dibicarakan”, baik oleh struktur-
struktur bahasa, sosial-ekonomi, politik dan seterusnya. Manusia benar-benar
tidak lagi mengendalikan atau mencetak bahkan membentuk struktur dan sistem,
tetapi justru dikendalikan, dicetak atau dibentuk oleh struktur dan sistem.

Berkembangnya hermeneutika sebagai bagian dari upaya memahami karya


manusia, setidaknya telah membangun kesadaran ilmiah bahwa penafsiran
bukanlah hal sederhana karena hakekatnya ia adalah upaya untuk memahami
makna. Metode yang awalnya menempatkan teks sebagai objek sebagaimana
layaknya objek dalam science, dinilai telah mereduksi makna teks dan
menempatkan teks sebagai eksistensi yang terpisah dari realitas.

1
Istilah hermeneutika dalam konteks tafsir pertama kali muncul pada abad
ke-17 dengan dua pengertian yaitu hermenetika sebagai perangkat prinsip
metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat
dan kondisi yang tidak bisa dihindarkan dalam kegiatan memahami (Mudjia
Raharjo, 2008: 29). Pengertian pertama menempatkan kajian hermeneutika dalam
ruang epistemologi dan pengertian kedua pada ruang ontologis.

Satu titik tolak yang perlu dicatat adalah bahwa pemikiran Gadamer
merupakan titik penting yang mengalihkan kajian hermeneutika dari ruang
epistemologis menjadi ontologis. Ia menolak hermeneutika sebagai metode, sebab
menurutnya kebenaran menerangkan metode, sementara metode justru merintangi
atau menghambat kebenaran karena upaya pencarian kebenaran menjadi tidak
luwes dan terbatas karena terikat metode.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana biografi singkat tokoh Hans-George Gadamer?
2. Apa pengaruh fenomenologi Heidegger terhadap teori penafsiran
(hermeneutika) Gadamer?
3. Apa yang dimaksud dengan lingkaran penafsiran (hermeneutic circle) ?
4. Bagaimana proses fusi horizon (penyatuan cakrawala) dalam interpretasi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui bagaimana biografi singkat Hans-George Gadamer.
2. Mengetahui bagimana pengaruh fenomenologi Heidegger terhadap teori
penafsiran (hermeneutika) Gadamer.
3. Mengetahui secara jelas apa itu lingkaran penafsiran.
4. Mengetahui bagimana proses fusi horizon dalam interpretasi.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biografi Hans-George Gadamer


Hans-George Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Ia belajar
filsafat pada universitas di kota asalnya, antara lain pada Nikolai Hartmann dan
Martin Heidegger dan mengikuti kuliah juga pada Rodolf Bultmann, seorang
teolog protestan. Pada tahun 1922 ia meraih gelar “doktor filsafat”. Sembilan tahun
kemudian ia menjadi privatdozent di Marburg. Setelah selama tiga tahun mengajar,
tepatnya tahun 1937 ia menjadi profesor. Tetapi dua tahun kemudian Gadamer
pindah ke Leipzig. Pada tahun 1947 ia pindah lagi ke Frankfurt am Main. Akhirnya
di tahun 1949 ia mengajar di Heidelberg sampai pensiunnya [ CITATION Doz20 \l
1033 ].
Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg, Jerman, pada tanggal 11 Februari
1900 dan meninggal di Heidelberg, Jerman, pada tanggal 13 Maret 2002.18 Dia
adalah seorang filsuf Jerman yang paling terkenal dengan karya monumentalnya
Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode). [ CITATION Doz20 \l 1033 ]
Gadamer memulai studinya di perguruan tinggi pada tahun 1918 di
Universitas Breslau dan kemudian pindah ke Universitas Marburg. Di dua
universitas inilah dia pertama kali berkenalan dengan ilmu filsafat melalui
beberapa orang tokoh seperti Richard Hönigswald dan Nicolai Hartmann. Pada
tahun 1922 Gadamer berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu filsafat
dengan judul disertasi “Das Wesen der Lust nach den Platonischen Dialogen” (The
Essence of Pleasure according to Plato‘s Dialogues) [ CITATION Doz20 \l 1033 ].
Karir akademik Gadamer mencapai puncuknya di Universitas Leipzig,
yang diawali pada tahun 1939 dia diangkat menjadi profesor dalam bidang filsafat.
Dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Filologi dan Sejarah pada
Fakultas Filsafat, serta direktur Institut Psikologi. Puncaknya adalah pada tahun
1946 dia diangkat menjadi rektor di universitas tersebut. Di samping itu, dia juga

1
mengajar di Frankfurt pada tahun 1948, dan di Heidelberg pada tahun 1949 sampai
pensiun pada tahun 1968 [ CITATION Doz20 \l 1033 ].
2.2 Pengaruh Fenomenologi Heidegger terhadap Teori Penafsiran Gadamer
Fenomenologi merupakan kajian filosofis yang melukiskan segala bidang
pengalaman manusia. Manusia mengalami pengalaman hidupnya dalam sebuah
kesadaran. Bagi Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian yang tidak
pernah berakhir, sehingga ia menjuluki dirinya sebagai pemula yang abadi. Oleh
karena itu, fenomenologi, kini telah banyak dikupas dan diberi penjelasan yang
begitu luas dan beragam . Husserl sendiri bercita-cita, fenomenologi menjadi ilmu
rigorous, yakni ilmu yang “ketat” yang penjelasannya punya batasan, tidak
meragukan. Setiap konsep terdefinisikan dengan jelas [ CITATION Has081 \l 1033 ]
Pemikiran Gadamer secara umum banyak dipengaruhi fenomenologi
Heiddeger. Karya penting Gadamer Wahrheit und Methode: philosophical
hermeneutics, dialogue and dialectic, philosophical apprenticeships, the idea of the
good in platonic-aristotelian pshilosophy, gadamer and hermeneutics, the gadamer
reader.
Interpretative phenomenological analysis (IPA) atau analisis
fenomenologi interpretative merupakan metode analisis dengan pendekatan
fenomenologis. Analisis itu tidak mengikuti pendapat Husserl, tetapi mengikuti
pandangan Martin Heidegger, yang menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk
yang terlempar ke dunia. Sebagai makhluk yang terlempar ke dunia, manusia tidak
tahu berasal dari mana dan akan kemana. Dalam analisis tersebut, peneliti ingin
memahami partisipan dalam menafsirkan fenomena yang dialaminya. Peneliti
punya pikiran dan perasaannya sendiri. Pikiran dan perasaan antara partisipan dan
peneliti bertemu. Peneliti perlu jujur melihat pikiran dan perasaannya sendiri.
Sepanjang penelitian, peneliti harus terus merevisi pandangannya sampai muncul
pemahaman yang jernih terhadap pengalaman partisipannya. Dalam cara itu
penafsiran menjadi semakin dalam dan semakin tajam [ CITATION Pra20 \l 1033 ]
Dalam menjelaskan aspek baru hermeneutik, Gadamer banyak
mengembangkan pemikiran Heidegger. Gadamer melihat bahwa terobosan radikal
Heidegger ke masalah pemahaman ontologis hermeneutik memberi sumbangan

1
yang sangat berharga bagi ilmu hermeneutik. Secara tegas Gadamer menyetujui
pendapat Heidegger bahwa Ada selalu dimengerti melalui bahasa dan dalam
dimensi waktu. Maka untuk sampai pada Ada, kita perlu mengenal Ada itu sendiri,
yang berarti kita harus memahami. Memahami berarti memahami di dalam waktu
dan menurut historisitasnya.
Gadamer juga terpengaruh oleh metode fenomenologi Heidegger dan
melihat makna sebagai pengalaman. Ia mempertahankan relasi post-struktural
terhadap kajian bahasa yang mengandung pengalaman manusia. Meskipun begitu,
ia tidak setuju terhadap sikap post-struktural dan dekonstruksi yang menyatakan
adanya kegagalan bahasa dalam menyampaikan makna. Menurutnya, bahasalah
yang sebenarnya menjadi sumber makna. Ia mendebat Derrida terkait persoalan ini.
Ia berargumen bahwa manusia adalah pemilik bahasa dan dengannya upaya
memahami diantara orang dan lintas sejarah terbentuk.
2.3 Lingkaran Penafsiran
Satu model yang menunjuk kesejarahan pemahaman adalah model
lingkaran hermeneutik, khususnya sebagaimana dikembangkan oleh Heidegger.
Secara tradisional, lingkaran hermeneutik mengandung makna bahwa teks harus
ditafsirkan secara sirkular: bagian-bagian harus dilihat dalam keseluruhan dan
sebaliknya keseluruhan harus dipandang juga menurut bagian-bagiannya. Ini
berarti bahwa proses pemahaman memerhitungkan kaitan erat antara keseluruhan
dengan masing-masing bagiannya.
Teori hermeneutik abad sembilan belas sering berbicara mengenai struktur
pemahaman melingkar tersebut namun selalu dalam kerangka hubungan formal
antara keseluruhan dan masing-masing bagian. Menurut terori ini, gerak
pemahaman melingkar atau sirkulasi maju mundur sepanjang proses pemahaman
akan menghilang saat teks tersebut dimengerti. Berlawanan dengan hal itu,
Heidegger memberikan gambaran mengenai lingkaran hermeneutik yang menjadi
titik balik yang sangat menentukan dalam diskusi hermeneutik. Heidegger
menggambarkan proses pemahaman melingkar itu sedemikian rupa sehingga
pemahaman teks secara permanen ditentukan oleh adanya pra-pemahaman terlebih
dahulu. Lagi pula, lingkaran antara keseluruhan dan masing-masing bagian

1
tidaklah selesai dengan muncul pengertian. Dari pernyataan tersebut Heidegger
ingin menyatakan bahwa pemahaman yang tuntas itu tidak akan pernah terjadi.
Hal itu akan lebih jelas jika dilihat pada uraian Gadamer atas
penyingkapan konsep pra-struktur pemahaman Heidegger yang terdiri dari tiga
unsur yaitu Vorhabe, Vorsicht, dan Vorgrif. Menurut Gadamer, Heidegger
mendiskusikan lingkaran hermeneutik pertama-tama bukan sebagai usaha
pemahaman praktis, melainkan dimaksudkan untuk memberikan deskripsi cara
pencapaian pemahaman melalui interpretasi. Heidegger mengatakan bahwa jika
seseorang ingin memahami sesuatu ia membawa latar belakang tradisi yang telah
ia miliki sebelumnya. Unsur pertama dalam lingkaran hermeneutik itu disebut
dengan Vorhabe (fore-have.) Selanjutnya dalam membuat penafsiran, orang itu
selalu dibimbing oleh cara pandang tertentu. Maka dari itu dalam setiap tindak
pemahaman ia selalu didasari oleh apa yang telah dilihat sebelumnya. Itulah unsur
yang dinamakan Vorsicht (fore-sight.) Unsur ketiga yang menjadi syarat
pemahaman adalah konsep-konsep yang memberi kerangka awal yang diistilahkan
dengan Vorgrif (fore-conception.)
Ketiga unsur tersebut menjadi syarat pemahaman dalam lingkaran
hermeneutik yang bertitik tolak dari konsep ontologis Heidegger yang lebih
mendasar yaitu ‘Berada di’ (Being there) dari Dasein yang terikat pada
temporalitasnya. Gadamer menandaskan apa yang telah dikatakan Heidegger
bahwa lingkaran hermeneutik bukanlah suatu lingkaran setan yang tidak berujung
pangkal dan sia-sia belaka. Namun justru dalam gerak maju melingkar itu
terkandung kapasitas primodial pemahaman manusia yang positif karena pra-
pengertian demi pra-pengertian akan diperbaiki terus menerus.
Dengan demikian, proses pemahaman melalui lingkaran hermeneutik
memerhitungkan kaitan antara keseluruhan dan masing-masing bagian dan
sebaliknya, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya mengandaikan adanya
keterbukaan untuk menerima pemahaman-pemahaman baru. Gadamer memerjelas
proses itu dengan mengatakan bahwa seseorang yang ingin berusaha untuk
mengerti sebuah teks selalu dibimbing oleh suatu tindak proyeksi. Artinya, saat ia
berhadapan dengan sebuah teks, ia akan merancang makna-makna bagi

1
keseluruhan teks tersebut begitu ia mulai menangkap beberapa makna ketika mulai
mencermati teks. Dengan beberapa makna yang menjadi proyeksi awal itu, ia akan
melanjutkan proses pemahaman. Pemahaman demi pemahaman akan diperbarui
secara terus menerus dan kadang harus menyingkirkan pemahaman yang tidak
benar. Penggambaran proses di atas memang kasar, namun dapat menegaskan apa
yang dimaksud oleh Heidegger.
Proses terus menerus dari pra-pemahaman satu ke berikutnya itu adalah
gerak dari proses pemahaman dan interpretasi. Selanjutnya ditandaskan oleh
Heidegger bahwa gerak lingkaran pemahaman bukanlah suatu lingkaran
metodologis melainkan sebuah elemen mendasar atau ontologis dalam setiap
pemahaman.
Gadamer kemudian menunjukkan kritiknya terhadap gagasan lingkaran
hermeneutik Schleiermacher yang menyatakan bahwa suatu pemahaman hanya
dapat terjadi dalam keseluruhan aspek obyektif dan subyektif. Kalau
Schleiermacher membedakan lingkaran hermeneutik atas bagian dan keseluruhan
menurut aspek obyektif dan Subyektifnya, ini berarti ia mengandaikan bahwa
pemahaman harus masuk ke dalam realitas intensi pengarang atau masuk ke dalam
batin hidup pengarang. Menurut Heidegger, juga disetujui Gadamer, pemahaman
total dan tuntas itu tidak pernah terjadi. Bahkan penafsir pun tidak semata-mata
hanya tergantung pada obyek pemahamannya saja. Dengan demikian proses ini
memerhitungkan juga aspek kesejarahannya. Jadi yang terjadi bukan hanya sekedar
reproduksi melainkan juga produksi makna. Sehubungan dengan hal itu Gadamer
menulis:
Every age has to understand transmitted text in its own way, for the text is
part of the whole of the tradition in which the age takes an objective interest and in
which it seeks to understand itself. Te real meaning of a text, as it speaks to the
interpreter, does not depend on the contingencies of the author and whom he
originally wrote for.
Konsekuensi logis dari pernyataan di atas adalah bahwa jarak temporal
(temporal distance) yang membentang antara penafsir dan teks atau peristiwa masa
lampau, bukanlah jurang yang menghambat penafsiran dan harus dihindari karena

1
dianggap negatif. Sesungguhnya rentang waktu itu menjadi dasar pendukung
proses di mana kekinian berakar. Tetapi harus tetap dingat bahwa penemuan
makna-makna atas suatu teks adalah proses yang tidak pernah selesai.
Heidegger mengatakan bahwa waktu merupakan basis yang mendukung
proses berakar kekinian kita. Sekaligus juga sebagai tempat berlangsung
pemahaman dan interpretasi serta model ontologisme yang paling fundamental.
Singkatnya, waktu menjadi faktor yang mutlak bagi pengetahuan dan juga
produktif. Menurut Gadamer, waktu dapat dikatakan sebagai ‘flter’ penyaring
untuk menghapus interpretasi-interpretasi yang tidak sesuai. Kita sadar akan ide ini
khususnya dalam memelajari ilmu sejarah, karena peristiwa-peristiwa sejarah
hanya dipelajari ketika ada jarak temporal dengan kita.
1. Schleiermacher
Schleiermacher mengajukan dua teori pemahaman hermeneutik, yaitu:
pemahaman ketatabahasaan (grammatical understanding) terhadap semua
ekspresi dan pemahaman psikologis terhadap pengarang.
Seseorang tidak dapat memahami bagian-bagian tanpa memahami
keseluruhan dan sebaliknya. Karena itu interpretasi psikologis dan interpretasi
gramatis saling mengandaikan dalam memahami teks. Interpretasi gramatis
fokus pada unsur-unsur bahasa teks, sedangkan interpretasi psikologis pada isi
pikiran penulis, yakni intensi awalnya untuk menulis teks itu. Esensi lingkaran
hermeneutis adalah bagian-bagian menjelaskan keseluruhan, dan keseluruhan
menjelaskan bagian-bagian.
Di dalam salah satu bagian tulisan Schleiermacher, dia menulis pernyataan
tentang tugas interpretasi yang kerap dikutip, yakni: “Memahami teks
pertama-tama dan juga kemudian bahkan lebih baik daripada pengarang teks
itu”. Pernyataan itu tidak dimaksudkan bahwa pembaca lebih benar
memahami teks daripada penulisnya. Sebaliknya, pembaca tidak memiliki
akses langsung ke dalam dunia mental penulis, maka ia perlu mengerti banyak
hal lain yang terkait dengan teks itu agar dapat memasuki isi pikiran penulis.
Dua jenis interpretasi yang disarankan oleh Schleiermacher kiranya dapat
menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan memahami teks lebih baik

1
daripada penulisnya. Yang pertama interpretasi gramatis atau interpretasi
teknis. Kanon pertama Schleiermacher berbunyi: “Segala hal dalam sebuah
tuturan yang memerlukan sebuah penentuan yang lebih tepat hanya dapat
ditentukan dari area bahasa yang sama bagi si pengarang dan pendengar
langsungnya”. Masalah dalam setiap tugas interpretasi adalah kesenjangan
waktu antara penulis dan pembacanya. Kanon pertama menyarankan agar
pembaca menjangkau makna asli sebelum kata mengalami perubahan arti
lewat waktu, yakni artinya sebagaimana dipahami oleh penulis dan pembaca
awalnya.
Kanon kedua berbunyi: “Makna tiap kata sebuah kalimat harus ditentukan
dengan konteks kata itu berasal” Sebuah kata bisa memiliki berbagai arti,
maka arti yang dimaksudkan oleh penulis dapat dipahami dengan memeriksa
konteks munculnya kata itu. Menurut Schleiermacher kita tidak dapat
sepenuhnya menjelaskan arti suatu kata sebagaimana dipakai penulis di masa
lalu.
2. Wilhem Dilthey (Hermeneutika Metodis)
Pemikiran hermeneutika Schleiermacher dikritik oleh Wilhem Dilthey
seorang filosof, kritikus sastra dan ahli sejarah dari jerman. Menurutnya
manusia bukan hanya sekedar makhluk berbahasa, seperti yang sangat
ditonjolkan oleh Schleiermacher, tetapi makhluk eksistensial. Menurut Dilthey
sejak awal manusia tidak pernah hidup hanya sebagai makhluk linguistic yang
hanya mendengar, menulis, dan membaca untuk kemudian memahami dan
menafsirkan. Lebih dari itu, manusia adalah makhluk yang memahami dan
menafsirkan dalam setiap aspek kehidupannya. Namun demikian, dalam
proses memahami teks, Dilthey berpandangan bahwa makna teks harus
ditelusuri dari maksud subyektif pengarangnya. Bagi Dilthey, hermeneutika
adalah teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam
bentuk tulisan”. Oleh karena itu, ia menekankan pada peristiwa dan karya-
karya sejarahyang merupakan ekspresi dari pengalaman masa lalu. Untuk
memahami pengalaman tersebut, interpreter harus memiliki kesamaan yang
intens dengan pengarang. Berbeda dengan Schleiermacher yang memandang

1
bahwa kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam
pikiran pengarang. Menurut Dilthey, pikiran seseorang selalu berkembang
karena situasi eksternal dan pengalaman-pengalaman barunya.

3. Edmund Husserl (hermeneutika fenomenologis)


Berbeda dengan hermeneutikawan sebelumnya, Husserl menganggap
bahwa pengetahuan dunia obyektif itu bersifat tidak pasti. Menurutnya, apa
yang kita andaikan sebagai dunia obyektif sesungguhnya adalah dunia yang
sudah diwarnai oleh aparatur sensor yang tidak sempurna dari tubuh manusia
dan dari aktivitas-aktivitas rasional maupun abstraksi pikiran.
Husserl menawarkan sebuah “ilmu” tentang kesadaran untuk melacak
keteraturan sistemik dalam persepsi dan pemahaman melalui kepastian
terhadap pengetahuan dunia obyektif yang menjadi niscaya. Menurutnya,
proses penafsiran harus kembali pada data, bukan pada pemikiran. Jadi, bagi
hermeneutika Husserl, pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam
kesadaran budi, bukan rekasa pikiran untuk membuat teori.
4. Martin Heidegger (hermeneutika dialektis)
Heidegger mementang gagasan fenomenologis Husserl walaupun dia
pernah menjadi murid Husserl. Heidegger menolak gagasan Husserl menegnai
netralitas sang penafsir, sebab kerja penafsiran hanya bisa dilakukan dengan
didahului prasangka-prasangka mengenai obyek. Menurut Heidegger
prasangka-prasangka historis atas obyek merupakan sumber-sember
pemahaman, karena prasangka adalah bagian dari eksistensi yang harus
dipahami.
Menurut perspektif ini, pemahaman adalah sesuatu yang muncul dan
sudah ada mendahului kognisi. Untuk memahami teks, kita tidak mungkin
bisa mencapainya dengan melacak makna tertentu yang ditempatkan di sana
oleh pengarang.keberadaan kita harus dikaitkan dengan apa yang bisa
ditunjukkan oleh teks, implikasinya, tidak ada lagi makna yang tunggal dan

1
tetap. Sebaliknya yang ada adalah keragaman makna dan dinamika
eksistensial.
5. Georg Gadamer (hermeneutika dialogis)
Gadamer tidak memaknai hermeneutika sebagai penerjemah eksistensi,
tetapi pemikiran dalam tradisi filsafat. Sebenarnya ia tidak menganggap
hermeneutika sebagai metode, karena baginya pemahaman yang benar adalah
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis.
Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui
dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan.
Menurut perspektif ini, dalam proses memahami teks, pikiran penafsir
juga menceburkan diri ke dalam pembangkitan kembali makna teks.
Pengarang dan konteks historis dalam teks dipertimbangkan dalam proses
interpretative bersama dengan prasangka-prasangka penafsir sebagai tradisi,
kepentingan praktis, bahasa dan budaya.
6. Jurgen Hambermas (hermeneutika kritis)
Istilah teori kritis pertama kali dikenalkan oleh Max Horkheimer dan pada
awalanya hanya merujuk secara khusus kepada tradisi Mazhab Frankfurt yang
di antara tokohnya adalah Max Horkheimer (1895-1974), Theodor W. Adorno
(1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979), dan Jurgen Habermas. Seiring
dengan perkembangan ilmu sosial, istilah tersebut mempunyai konotasi yang
lebih luas, termasuk dalam tradisi teori post-modernisme dan feminism, yang
bermazhab tradisi filsafat prancis.
Menurut perspektif ini, hermeneutika dialogis Gadamer dianggap kurang
memiliki kesadaran sosial yang kritis. Kalau bagi Gadamer, pemahaan
didahului oleh pra penilaian (pre-judgement), maka bagi Hambermas
pemahaman didahului oleh kepentingan. Hermeneutika ini lebih
mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan
tradisi. Karena itu, untuk memahami suatu teks seorang penafsir harus mampu
mengambil jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.
7. Paul Ricoeur

1
Garis besar teori hermeneutika Ricoeur adalah ia mencoba mencari
integrasi dialektis dari dikotomi Dilthey, yaitu penjelasan (explanation) dan
pemahaman (understanding). Menurutnya, teks berbeda dengan pecakapan,
karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghasilkannya, niat penulisnya
sudah kabur, audiennya lebih umum, dan referensinya tidak dapat lagi
dideteksi. Konsep utama pandangannya adalah bahwa begitu makna obyektif
diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi
yang dapat diterima menjadi mungkin, makna tidak hanya diambil menurut
pandangan hidup pengarang , tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup
pembacanya.
8. Jacques Derrida (dekonstruksionis)
Derrida dikenal sebagai salah seorang filsuf post-strukturalisme). Derrida
menunjukkan bahwa bahasa dan juga sistem simbol lainnya merupakan
sesuatu yang tidak stabil. Karena itu, maka tulisan (teks) menurutnya selalu
mengalami perubahan, tergantung pada konteks dan pembacanya.
Persperktif ini menolak ambisi untuk menangkap makna esensial yang
tunggal dan utuh. Hermeneutika dekonstruksionis menghendaki agar kita lebih
menekankan pada pencarian makna-makna eksistensial, makna yang disini
dan sekarang. Dekonstruksi Derrida mengingatkan bahwa setiap upaya untuk
menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi
sederhana antara petanda dan penanda. Karena bahwa hanya merujuk pada
dirinya sendiri , maka makna adalah arbitrer dan tidak bisa dipastikan begitu
saja.
2.4 Fusi Horizon dalam Interpretasi
Fusi cakrawala (fusion of horizons) adalah peleburan cakrawala pembaca
dengan cakrawala penulis melalui teks yang telah ditulisnya untuk memaknai
esensi yang terkandung di dalam suatu teks. Dengan demikian, pemakanaan suatu
teks tidak berarti mencari ide-ide penulis yang dituangkan di dalam teks yang
ditulisnya saja (proses reproduksi), melainkan setiap pembaca bisa memperoleh
esensi suatu teks yang berbeda-beda sesuai dengan peleburan cakrawala setiap
pembaca dengan cakrawala si penulis teks tersebut melalui teks yang ditulisnya. Di

1
samping itu, cakrawala pembaca terhadap teks itu sendiri juga dileburkan pada
tahap ini. Maksudnya adalah, kapan sebuah teks ditulis, oleh siapa sebuah teks
ditulis, dan bagaimana kondisi masyarakat di saat teks itu ditulis juga menjadi
bagian yang ikut dileburkan oleh pembaca dalam proses peleburan cakrawala ini
untuk mendapatkan esensi dari sebuah teks. Jadi, suatu teks dipahami tidak untuk
mencari tau ide-ide si penulis saja (proses reproduksi), melainkan suatu sintesa
(proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion of horizons) yang
dilakukan oleh pembaca teks tersebut.
Menurut Gadamer, cakrawala masa kini tidak dapat dilepaskan begitu saja
guna masuk ke masa lalu, sementara masa lalu itu pun tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari masa kini. Dengan demikian, fusi cakrawala ini sebagai puncak
dari pemahaman dan merupakan proses dialetika interaksi “antar waktu”, dan
merupakan pemahaman diri seseorang dengan apa yang dialaminya. Gadamer juga
membedakan cakrawala historis dengan cakrawala masa kini. Cakrawala historis
adalah prasangka-prasangka yang membentuk ekspresi tentang masa lalu,
sedangkan cakrawala masa kini adalah prasangka yang kita bawa, senantiasa
dibentuk dan terus menguji prasangka itu. Prasangka tersebut bukanlah pandangan
atau evaluasi fixed yang menentukan dan membuat cakrawala masa kini, satu hal
penting dalam persoalan menguji adalah perjumpaan dengan masa lalu dan
pemahaman terhadap tradisi. Jadi cakrawala masa kini tidak dapat dibentuk tanpa
masa lalu, dan keduanya berkesinambungan, oleh karena itu pemahaman
senantiasa berupa fusi dari kedua cakrawala, dan dimungkinkan karena adanya
suatu cakrawala mencakup segala hal dalam kesadaran menyejarah.
Dalam kenyataannya cakrawala yang dimiliki seseorang pada masa
sekarang terbentuk sebagai akumulasi berbagai cakrawala di masa lampau dalam
gerak melingkar terus menerus. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa cakrawala
yang dimiliki seseorang sekarang tidak dapat terbentuk tanpa ada cakrawala-
cakrawala di masa lampau. Setiap perjumpaan dengan tradisi pemaknaan tertentu
terjadilah peleburan cakrawala. Hal itu terjadi dalam kesadaran historis yang mau
tidak mau menyertakan dua kutub jagat makna yaitu: teks yang dipahami dan
makna dari seorang penafsir yang akan membentuk cakrawalanya. Tugas

1
hermeneutik bukan untuk menutupi ada ketegangan antara dua kutub makna itu
dengan melakukan asimilasi naif, melainkan dengan kesadaran. Kedua cakrawala
itu tidak berada dalam posisi visà-vis. Kedua mereka hanya dapat dimengerti kalau
dilihat hubungan yang ada di antara mereka. Mencari makna dari masing-masing
per se adalah tindakan sia-sia, yang harus dilakukan adalah dengan
memerlawankan satu sama lain.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fenomenologi merupakan kajian filosofis yang melukiskan segala bidang


pengalaman manusia. Manusia mengalami pengalaman hidupnya dalam sebuah
kesadaran. Bagi Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian yang tidak
pernah berakhir, sehingga ia menjuluki dirinya sebagai pemula yang abadi. Oleh
karena itu, fenomenologi, kini telah banyak dikupas dan diberi penjelasan yang
begitu luas dan beragam .

Konsep dasar hermeneutik Gadamer lebih bersifat ontologis. Gadamer


mendefinisikan hermeneutika filosofis bukan sebagai suatu metode berfilsafat,
melainkan sebagai kesadaran baru dari fenomena pemahaman. Dalam
menjelaskan aspek baru hermeneutik, Gadamer banyak mengembangkan
pemikiran Heidegger. Gadamer melihat bahwa terobosan radikal Heidegger ke
masalah pemahaman ontologis hermeneutik memberi sumbangan yang sangat
berharga bagi ilmu hermeneutik. Secara tegas Gadamer menyetujui pendapat
Heidegger bahwa Ada selalu dimengerti melalui bahasa dan dalam dimensi waktu.
Maka untuk sampai pada Ada, kita perlu mengenal Ada itu sendiri, yang berarti
kita harus memahami. Memahami berarti memahami di dalam waktu dan menurut
historisitasnya.

1
Menurut Gadamer, Heidegger mendiskusikan lingkaran hermeneutik
pertama-tama bukan sebagai usaha pemahaman praktis, melainkan dimaksudkan
untuk memberikan deskripsi cara pencapaian pemahaman melalui interpretasi.
Konsep pra-struktur pemahaman Heidegger yang terdiri dari tiga unsur yaitu
Vorhabe, Vorsicht, dan Vorgrif. Ketiga unsur tersebut menjadi syarat pemahaman
dalam lingkaran hermeneutik yang bertitik tolak dari konsep ontologis Heidegger
yang lebih mendasar yaitu ‘Berada di’ (Being there) dari Dasein yang terikat pada
temporalitasnya.

Dengan demikian, proses pemahaman melalui lingkaran hermeneutik


memerhitungkan kaitan antara keseluruhan dan masing-masing bagian dan
sebaliknya, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya mengandaikan adanya
keterbukaan untuk menerima pemahaman-pemahaman baru

1
DAFTAR PUSTAKA

Attamimi, F. (2012). Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi


Politik. Hunafa: Jurnal Studia Islamika, 9(2), 319-341.

Dozan , W., & Turmuzi, M. (2020). Sejarah Metodologi Tafsir Al-Quran.


Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani.

Darmaji, A. (2013). Dasar-dasar ontologis pemahaman hermeneutik Hans-Georg


Gadamer. Refleksi, 13(4), 469-494.

Hardiman, F. B. (2020). Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher


sampai Derrida.

Hasbiansyah. (2008). Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian


dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi. Jurnal Komunikasi, 163-180.

Kahija, YF La. 2017. Penelitian Fenomenologis: Jalan Memahami Pengalaman


Hidup. Yogyakarta : PT Kanisius.

Pramesti, W. A., Alfiatullail , R. S., & Dewanti , S. I. (2020). Proses Interpretasi


Menurut Hans-George Gadamer . Semarang: Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro.

1
REFLEKSI INDIVIDU

Nama : Dea Arianti

NIM : 15000120120006

Setelah mengerjakan makalah kelompok ini, saya cukup mendapat


pencerahan dan banyak belajar hal-hal yang belum saya ketahui sebelumnya. Dari
sini saya tau bahwa proses pemahaman itu bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini
dapat dibuktikan dengan banyaknya perbedaan yang dikemukakan oleh tokoh-
tokoh mengenai pemahaman. Selain itu, disini saya juga banyak menemukan
istilah-istilah asing, seperti kata “horizon”. Sebenarnya saya pernah beberapa kali
mendengar istilah ini di kehidupan sehari-hari, hanya saja saya tidak mengetahui
arti yang sesungguhnya. Namun setelah mengerjakan makalah ini saya menjadi
tahu bahwa horizon itu sebenarnya adalah pengetahuan kita yang sudah kita
pelajari. Dari Gadamer saya menjadi tahu seberapa pentingnya untuk memaknai
dan memahami pemaknaan dari suatu teks yang kita baca.

Setelah membaca materi ini saya juga menjadi tau bahwa proses
pemahaman memerhitungkan kaitan erat antara keseluruhan dengan masing-
masing bagiannya. Hal ini mengajarkan kepada saya bahwa dalam memahami

1
sesuatu, saya perlu memahami keseluruhan dari bagian bagian yang ada. Di
materi ini juga memuat beberapa pendapat tokoh mengenai hermeneutika, dan
saya setuju dengan pendapat Dilthey yang mengatakan bahwa manusia tidak
pernah hidup hanya sebagai makhluk linguistic yang hanya mendengar, menulis,
dan membaca untuk kemudian memahami dan menafsirkan sebagaimana yang
disampaikan dan ditonjolkan oleh Schleiermacher. Manusia adalah makhluk yang
memahami dan menafsirkan dalam setiap aspek kehidupannya.

Gadamer mengartikan horizon atau cakrawala pandang sebagai jangkauan


pandangan yang mencakup apa saja yang dilihat dari suatu titik tertentu. Dari sini
saya belajar bahwa agar kita memiliki pandangan yang jauh dan luas serta
memiliki penilaian-penilaian yang bukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang
sempit, maka kita harus memiliki horizon.

Nama : Fadhilla Rizki

Nim :15000120120046

Dengan memahami materi ini, saya mengetahui beberapa hal bagaimana


pengaruh fenomenologi Heidegger terhadap teori penafsiran Gadamer, lingkaran
penafsiran. Dan peleburan cakrawala dalam interpretasi. Saya paham bahwa setiap
orang memiliki pandangan dan interpretasi yang berbeda. Ada beberapa orang
yang hanya melihat sesuatu dengan sebelah mata dan ada juga orang yang
mencoba melihat sesuatu dari segala perspektif. Ketika kita menulis sesuatu
mengenai apa yang kita yakini kebenarannya, hal itu belum tentu benar dari
pandangan dan pemahaman orang lain. Saya juga sadar bahwa dalam melakukan
penafsiran, kita harus melihat secara utuh dan keseluruhan terhadap semua bagian
yang diceritakan, begitupun sebaliknya. Lingkup penafsir tidak hanya mengacu
pada pesan/objek yang ditafsir, namun penafsir juga harus berusaha untuk
mengetahui bagaimana pembuat teks/tafsir menyusun perspektifnya.

Materi ini memberi motivasi saya untuk meningkatkan penalaran dan


pemahaman dalam menginterpretasikan sesuatu. Apalagi dengan perkembangan

1
sosial media zaman kini, berita dapat disebarkan dengan luas tanpa mengetahui
kebenarannya atau tidak. Semoga dengan peningkatan penalaran tersebut, saya
dapat menghindari terjadinya kesalah pahaman.

Nama : Hanifah Tursani Oktavianti

Nim : 15000120140348

Dari materi Psikoanalisis Humanistis Erich Fromm ini saya mempelajari


banyak hal. Salah satu pelajaran berkesan yang saya dapatkan dari materi ini
adalah bagaimana kita sebagai manusia membutuhkan kepekaan akan identitas
atau kemampuan untuk menyadari diri sendiri sebagai wujud yang terpisah. Kita
harus bisa membuat sebuah keputusan dan merasa bahwa diri kita merupakan
milik diri sendiri, karena “aku adalah aku”. Disini saya menjadi mengerti bahwa
kita tidak perlu menyerahkan kebebasan dan individualitas demi masuk dan
diterima di dalam masyarakat karena setiap individu memiliki kepekaan akan
identitas yang otentik.

Nama : Drajat Baskoro Jati

Nim : 15000120140093

Setelah mendapatkan materi Proses Interpretasi Menurut Hans-


George Gadamer sebagai salah tugas dari mata kuliah Filsafat Fenomenologi dan
Eksistensialisme, saya menjadi belajar hal baru dari materi yang masih sangat
asing bagi saya. Pada materi ini saya memahami bahwa fenomenologi Heidegger
sangat berpengaruh terhadap teori penafsiran (hermeneutika) Gadamer. Dengan
argumen beliau yang berbunyi “manusia adalah pemilik bahasa dan dengannya
upaya memahami diantara orang dan lintas sejarah terbentuk” saya menjadi
menyadari bahwa pentingnya untuk memahami pemaknaan dari setiap kata yang

1
kita baca. Selain itu saya juga menyadari bahwa kita harus melihat secara utuh
dan keseluruhan terhadap semua bagian yang diceritakan ketika hendak
melakukan penafsiran, begitu juga sebaliknya. Lingkup penafsir tidak hanya
menunjuk pada pesan/objek yang ditafsir, namun juga harus berusaha untuk
mengetahui perspektif dari pembuat teks/tafsir.

LEMBAR KONTRIBUSI

No Nama Kontribusi
1. Dea Arianti  Membuat kata pengantar
(15000120120006)  Membuat pendahuluan
 Materi lingkaran hermeneutika
2. Drajat Baskoro Jati  Membuat daftar isi
(15000120140093)  Membuat rumusan masalah
 Membuat tujuan
 Materi pengaruh fenomenologi
Heidegger terhadap teori
penafsiran (hermeneutika)
Gadamer
3. Fadhilla Rizki  Membuat kesimpulan
(15000120120046)  Materi Fungsi fungsi horizon
(penyatuan cakrawala) dalam
interpretasi
4. -
Hanifah Tursani Oktavianti
(sakit)

1
( 15000120140348)

Anda mungkin juga menyukai