Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemampuan sosial-emosional dan moral berkembang dalam suatu


interaksi. Interaksi ini mencakup interaksi dengan orang tua, guru, teman sebaya
dan lingkungan masyarakat. Sesuai dengan perkembanganya, anak usia Sekolah
Dasar (SD) mulai menjadi bagian dari teman sebayanya (peer group) dan sudah
mulai berinteraksi dengan teman sebayanya. Hurlock (2001:155-156)
menyatakan bahwa akhir masa kanak-kanak sering disebut sebagai “usia
berkelompok” karena ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-
teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota
suatu kelompok, dan merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
Anak tidak lagi puas bermain sendiri di rumah atau dengan saudara-saudara
kandung atau melakukan kegitan dengan anggota-anggota keluarga. Anak
akan memperluas interaksi sosial dengan teman sebaya di lingkungannya.
Hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang sangat penting bagi
perkembangan pribadi anak.
Anak usia SD rentan terhadap pengaruh sosial yang positif maupun
negatif. Anak dapat berperilaku prososial atau sebaliknya. Banyak permasalahan
yang muncul kaitannya dengan interaksi sosial pada anak usia SD. Salah satu
gangguan perilaku yang berkaitan dengan interaksi sosial anak adalah perilaku
antisosial. Perilaku antisosial adalah perilaku agresif yang selalu melanggar hak
orang lain, tanpa rasa sesal, pandai menampilkan diri untuk meyakinkan orang
lain (menipu), perkembangan moral terlambat, tidak mampu mencontoh
perbuatan-perbuatan yang diterima di masyarakat (socially desirable behaviors)
Supratiknya (2012: 56-57).
Perilaku antisosial dapat menjadi permasalahan yang serius pada anak
jika dikaitkan dengan tugas perkembangannya. Anak-anak yang kekurangan
keterlibatan dengan teman sebaya dapat kehilangan kesempatan untuk
membangun rasa sosial dan kepercayaan diri mereka hingga besar nanti.
1
Beberapa penelitian telah menjelaskan mengenai penyebab perilaku antisosial.
Snyder, et. al. (2012: 1117) berpendapat bahwa penolakan teman sebaya dan
ketidakmampuan orang tua akan memberikan kontribusi untuk perkembangan
perilaku antisosial selama usia prasekolah atau pada tahun keempat usia anak.
Caldeira & Woodin (2012: 287) mengungkapkan bahwa perilaku
antisosial selama masa kanak-kanak dikarenakan oleh perilaku agresif yang
dilakukan anak dan depresi yang dialami anak. Hal tersebut ditunjukkan dengan
sekitar 75, 5% penyebab perilaku antisosial pada anak laki-laki dan 50%
penyebab perilaku antisosial pada anak perempuan adalah perilaku agresif dan
depresi pada anak. Fortin (2003: 684) berpendapat bahwa perilaku antisosial
yang dilakukan pada masa kanak-kanak menunjukkan adanya faktor-faktor
risiko awal dari pribadi dan keluarga. Perilaku antisosial pada masa kanak-kanak
juga menunjukkan permulaan munculnya kestabilan perilaku di masa yang akan
datang.
Carr (2001) menjelaskan mengenai pentingnya mengembangkan
perilaku sosial pada anak. Carr menemukan bahwa 50% atau lebih anak usia 4-
5 tahun telah menunjukkan beberapa simptom gangguan perilaku eksternal yang
dapat berkembang menjadi gangguan perilaku yang tetap. Anak usia SD yang
berperilaku antisosial juga mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan
antisosial personality disorder pada masa dewasanya. Hal itu didukung
pernyataan dari Walters & Knight (2010: 258) yang mengungkapkan bahwa
menurut American Psychiatric Association (APA) menetapkan bahwa gangguan
axis I (gangguan perilaku anak) akan ditunjukkan sebelum gangguan axis II
(antisosial personality disorder) yang akan berpengaruh pada masa dewasanya.
Berdasarkan hasil observasi awal siswa kelas 1 dan 2 di SD Negeri
Gandekan Surakarta dan juga hasil wawancara awal dengan guru pada tanggal 1
Mei 2018 diketahui bahwa terdapat anak berperilaku antisosial. Perilaku
antisosial yang terlihat adalah mencuri barang milik orang lain, suka berkelahi,
suka mengamuk, kasar, suka berbohong, dan suka melanggar peraturan. Selain
itu, berdasarkan wawancara dengan kepala sekolah diketahui bahwa banyak
siswa di sekolah tersebut yang berasal dari keluarga broken home. Lebih lanjut,
2
berdasarkan wawancara dengan penjaga sekolah yang asli warga setempat,
diketahui bahwa lingkungan sosial di sekitar sekolah kurang baik. Sebagian
warga berprofesi sebagai psk, beberapa warga mantan narapidana, dan ada
kecenderungan bertindak kriminal dan berkelahi diantara pemuda dan orang tua
di lingkungan setempat.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menggali faktor munculnya
perilaku antisosial pada siswa kelas 1 dan 2 SD Negeri Gandekan tersebut.
Setelah faktor tersebut diketahui, maka akan dimungkinkan dapat memberikan
cara penanganan untuk anak berperilaku antisosial pada proses pembelajaran di
sekolah. Dari pernyataan di atas maka peneliti akan melakukan penelitian
dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Antisosial
pada siswa kelas 1 dan 2 SD Negeri Gandekan Surakarta Tahun Ajaran
2017/2018”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan dalam penelitian sebagai berikut :
1. Faktor apa sajakah yang berperan dalam timbulnya perilaku antisosial pada
siswa kelas 1 dan 2 SD Negeri Gandekan Surakarta Tahun Ajaran 2017/2018?
2. Bagaimana faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap timbulnya perilaku
antisosial pada siswa kelas 1 dan 2 SD Negeri Gandekan Surakarta Tahun
Ajaran 2017/2018?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya perilaku
pada siswa kelas 1 dan 2 SD Negeri Gandekan Surakarta Tahun Ajaran
2017/2018.

3
2. Mendeskripsikan cara dan proses faktor tersebut dapat mempengaruhi
timbulnya perilaku antisosial pada siswa kelas 1 dan 2 SD Negeri Gandekan
Surakarta Tahun Ajaran 2017/2018.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam dunia pendidikan baik


secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian
ini sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini secara teoritis bermanfaat untuk memberikan
pengetahuan dan informasi tentang faktor yang mempengaruhi dan cara serta
proses faktor tersebut dapat mempengaruhi timbulnya perilaku antisosial
pada anak usia 4-5 Tahun di Ra (Raudlatul Athfal) Se-Kecamatan Telukan
Sukoharjo Tahun Ajaran 2014/2015.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat penelitian bagi guru
1) Guru dapat mengetahui faktor penyebab anak yang berperilaku
antisosial sehingga dapat meminimalkan munculnya perilaku
antisosial tersebut.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu guru untuk dapat
menemukan cara penanganan perilaku antisosial dalam proses
pembelajaran.
b. Manfaat penelitian bagi anak
1) Anak yang berperilaku antisosial memperoleh arahan atau
bimbingan yang tepat terkait tingkat perkembangannya oleh orang
tua dan guru.
2) Anak yang berperilaku antisosial memperoleh penanganan yang
baik dan tepat di sekolah maupun di rumah.
c. Manfaat penelitian bagi sekolah atau lembaga

4
1) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai perbaikan dan
peningkatan program pelayanan untuk penanganan anak berperilaku
antisosial.
2) Melalui penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hakekat Perilaku Antisosial


Perilaku antisosial adalah kepribadian seseorang yang menunjukkan
keacuhan, ketidakpedulian dan permusuhan kepada orang lain, serta menunjukkan
ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sosialnya (Setiadi, 2011:
229). Hal ini sesuai dengan studi Fortin (2003) yang menyebutkan:
Antisocial behavior is defined as behaviors resulting from an individual’s
inability to respect the rights of others (assault, vandalism, setting fires,
theft), conform to social norms (prolonged runaway, crime), or meet the
expectations of authorities (opposition, defiance, arguing).

Menurut Fortin (2003) perilaku antisosial didefinisikan sebagai perilaku


yang dihasilkan dari ketidakmampuan seorang individu untuk menghormati hak-
hak yang dimiliki orang lain, sehingga ia cenderung bersifat menyerang,
melakukan vandalisme (merusak), melakukan pembakaran, melakukan
pencurian, ketidaksesuaian dengan norma-norma sosial (melarikan diri secara
berkepanjangan/ menutup diri, melakukan kejahatan), atau tidak dapat memenuhi
harapan otoritas (oposisi, menentang, berdebat).
Supratiknya (2012: 56-57) mengungkapkan bahwa perilaku antisosial
adalah perilaku yang selalu melanggar hak orang lain lewat perilaku agresif, tanpa
rasa sesal, pandai menampilkan diri untuk meyakinkan orang lain (menipu),
perkembangan moral terlambat, tidak mampu mencontoh perbuatan-perbuatan
yang diterima di masyarakat (socially desirable behaviors). Rahman (2011: 207)
perilaku antisosial merupakan perilaku agresif (kekerasan) yang bertentangan
dengan norma sosial. Supratiknya (2012: 86) mengungkapkan bahwa ciri-ciri
perilaku antisosial pada masa kanak-kanak (usia 4-8 tahun) adalah sebagai
berikut:
1. Sulit diatur
2. Suka berkelahi
3. Menunjukkan sikap bermusuhan
4. Tidak patuh
5. Agresif baik secara verbal maupun behavioral
6
6. Senang membalas dendam
7. Senang merusak (vandalisme)
8. Suka berdusta
9. Mencuri
10. Temper-tantrums atau mengamuk.
Snyder, et. al. (2012: 1118) bahwa perilaku antisosial tampak (overt)
adalah agresif dan perilaku antisosial tak tampak (covert) adalah berbohong dan
mernyangkal. Hal tersebut didukung oleh pendapat dari Burt, Donnellan, Iacono
& McGue (2011: 634) berpendapat bahwa perilaku antisosial adalah sebagai
perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-norma, baik aturan keluarga,
sekolah, masyarakat, maupun hukum. Perilaku antisosial dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu perilaku antisosial tampak (overt) dan tak tampak (covert). Perilaku
antisosial yang tampak (overt) berupa perilaku agresif dan perilaku antisosial
yang tak tampak (covert) berupa perilaku non-agresif serta perilaku melanggar
peraturan dengan berbohong.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku antisosial adalah
perilaku/perbuatan seseorang yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang
berlaku di lingkungannya, baik aturan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Antisosial


Supratiknya (2012: 86-89) berpendapat bahwa penyebab perilaku
antisosial adalah frustasi karena keluarga tidak rukun, penolakan sosial, orang tua
kurang memberi bimbingan, dan pengaruh teman. Ingolds (2002) juga
mengungkapkan mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku antisosial, ia
berpendapat bahwa lingkungan tetangga dan lingkungan sekolah dapat
mengembangkan perilaku antisosial anak. Chen, Symons & Reynolds (2011: 6)
berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku antisosial adalah faktor
individual, faktor keluarga, dan faktor sekolah.
Sejalan dengan pendapat di atas, Fortin (2003: 682) juga mengemukakan
bahwa faktor risiko yang dihadapi oleh anak-anak yang dapat mempengaruhi
perilaku antisosialnya. Faktor-faktor tersebut dikategorikan menjadi empat
kategori, yaitu: faktor pribadi (personal risk factors), keluarga (family risk

7
factors), berkaitan dengan sekolah (school-related risk factors), dan sosial
(social risk factors).
Setiadi (2011: 232) yang mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
mendorong perilaku antisosial antara lain:
1. Adanya gangguan mental
2. Faktor keturunan
3. Stres dan sosiokultural
4. Faktor lingkungan
5. Kegagalan belajar moral dan etika kehidupan awal mereka
Mash & Wolfe (dalam Yuniardi, 2009: 22-23) mengungkapkan bahwa
penyebab perilaku antisosial yaitu sebagai berikut:
1. Faktor biologis, mencakup: early temperament, genetik, dan neurobiologis.
2. Faktor kognitif sosial, mencakup: egosentrisme dan ketidakmatangan dalam
berfikir, defisiensi kognitif karena kegagalan anak menggunakan perantara
verbal dalam meregeluasi tingkah laku, dan distorsi dalam interpretasi
informasi.
3. Faktor keluarga, mencakup: konflik pernikahan, perpisahan dari keluarga,
kekerasan dalam rumah tangga, penerapan disiplin yang lemah, kebiasaan
memberi hukuman, dan kurangnya pengawasan orang tua.
4. Faktor sosial, mencakup: pengaruh lingkungan tempat tinggal, sekolah, dan
media.
5. Faktor budaya dan etnis: perbedaan budaya dalam mengekspresikan tingkah
laku agresif sangat beragam, sosialisasi terhadap agresi ditemukan sebagai
salah satu yang paling kuat untuk memprediksi tingkah laku antisosial.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku antisosial dikategorikan menjadi
empat faktor, yaitu: faktor pribadi, faktor keluarga, faktor berkaitan dengan
sekolah, dan faktor sosial. Setiap kategori terdiri dari berbagai faktor sebagai
berikut:
1. Faktor pribadi, mencakup: agresivitas dan intelektual rendah.

8
2. Faktor keluarga, mencakup: hubungan orang tua dan kurangnya pengawasan
orang tua terhadap kegiatan anak.
3. Faktor berkaitan dengan sekolah, mencakup: pengaruh teman sebaya, sikap
negatif anak di sekolah, dan disiplin yang berlebihan.
4. Faktor sosial, mencakup: pengaruh lingkungan, media, dan status sosial
ekonomi rendah.
Selanjutnya penelitian ini akan dilakukan dengan melakukan observasi
dan wawancara mendalam terhadap empat faktor di atas.

C. Anak Usia SD
Masa kanak-kanak akhir sering disebut sebagai masa usia sekolah atau
masa sekolah dasar. Masa ini dialami anak pada usia 6 tahun sampai masuk ke
masa pubertas dan masa remaja awal yang berkisar pada usia 11-13 tahun. Pada
masa ini anak sudah matang bersekolah dan sudah siap masuk sekolah dasar.
Masuk sekolah untuk pertama kalinya memberikan pengalaman baru
yang menuntut anak untuk mengadakan penyesuaian dengan lingkungan
sekolah. Menjadi siswa kelas satu merupakam peristiwa penting bagi kehidupan
anak sehingga mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai dan perilaku. Pada
awal masuk sekolah sebagian anak mengalami gangguan keseimbangan dalam
penyesuain diri dengan lingkungan sekolah.
1. Perkembangan Fisik
Pertumbuhan fisik cenderung lebih stabil atau tenang sebelum
memasuki masa remaja yang pertumbuhannya begitu cepat. Masa yang
tenang ini diperlukan oleh anak untuk belajar berbagai kemampuan
akademik.Anak menjadi lebih tinggi, lebih berat, lebih kuat serta belajar
berbagai keterampilan. Kenaikan tinggi dan berat badan bervariasi antara
anak yang satu dengan yang lain. Peran kesehatan dan gizi sangat penting
dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Jaringan lemak berkembang lebih cepat daripada jaringan otot yang
berkembang pesat pada masa pubertas. Perubahan nyata terlihat pada system
tulang, otot dan keterampilan gerak. Keterampilan gerak mengalami
9
kemajuan pesat, semakin lancar dan lebih terkoordinasi dibanding dengan
masa sebelumnya. Berlari, memanjat, melompat, berenang, naik sepeda,
main sepatu roda adalah kegiatan fisik dan keterampilan gerak yang banyak
dilakukan oleh anak. Untuk kegiatan yang melibatkan kerja otot besar anak
laki-laki lebih unggul daripada anak perempuan.
Kegiatan fisik sangat perlu untuk mengembangkan kestabilan tubuh
dan kestabilan gerak serta melatih koordinasi untuk menyempurnakan
berbagai keterampilan. Kebutuhan untuk selalu bergerak perlu bagi anak
karena energi yang terumpuk pada anak perlu penyaluran. Di samping itu
kegiatan jasmani diperlukan untuk lebih menyempurnakan berbagai
keterampilan menuju keseimbangan tubuh, bagaimana menendang bola
denagan tepat sasaran, mengantisipasi gerakan. Pada prinsipnya selalu aktif
bergerak penting bagi anak. Perbedaan seks dalam pertumbuhan fisik
menonjol dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hampir tidak nampak

2. Perkembangan Kognitif
Dalam tahapan perkembangan kognitifnya Piaget, masa kanak-kanak
akhir berada dalam tahap operasi konkret dalam berfikir (usia 7-11 tahun),
dimana konsep yang pada awal masa kanak-kanak merupakan konsep yang
samar-samar dan tidak jelas sekarang lebih konkret.
Perkembangan kognitif menggambarakn bagaimana kemampuan
berfikir anak berkembang dan berfungsi. Kemampuan berfikir anak
berkembang dari tingkat yang sederhana dan konkret ketingkat yang lebih
rumit dan abstrak. Pada masa ini anak sudah dapat memecahkan masalah-
masalah yang bersifat konkret. Anak memahami volume suatu benda padat
atau cair meskipun ditempatkan pada tempat yang berbeda bebtuknya.
Kemampuan berfikir ditandai dengan adanya aktivitas-aktivitas
mental seperti mengingat, memahami dan mampu memecahkan masalah.
Pengalaman hidupnya memberikan andil dalam mempertajam konsep. Anak
sudah lebih mampu berfikir, belajar, mengingat, dan berkomunikasi, karena
proses kognitifnya tidak lagi egosentrisme, dan lebih logis. Anak mampu
mengklasifikasikan dan mengurutkan suatu benda berdasarkan cirri-ciri sutu
10
objek. Misalnya mengelompokkan buku berdasarkan warna maupun ukuran
buku.

Jean Piaget (1896-1980) seorang ahli psikologi berkebangsaan Swiss


melakukan studi mengenai perkembangan kognitif anak secara intensif
dengan pengamatan yang cermat selama bertahun-tahun. Piaget
mengembangkan teori bagaimana kemampuan anak untuk berfikir melalui
satu rangkaian tahapan. Masa kanak-kanak akhir berada pada tahapan
Operasional (konkret) yang berlangsung pada usia 7-11 tahun.
Pada masa ini anak mampu berfikir logis mengenai objek dan
kejadian, meskipun masih terbatas pada hal-hal yang sifatnya konkret, dapat
digambarkan atau pernah dialami. Meskipun sudah mampu berfikir logis,
tetapi cara berfikir mereka masih berorientasi pada kekinian. Baru pada masa
remajalah anak dapat benar-benar berfikir abstrak, membuktikan
hipotesisnya dan melihat berbagai kemungkinan dimana anak sudah
mencapai tahapan berfikir operasi formal. Anak telah mampu menggunakan
simbol-simbol untuk melakukan suatu kegiatan mental, mulailah digunaka
logika.
Misalnya : Seorang anak yang berusia 8 tahun diberi 3 balok yang
saling berbeda ukurannya, yaitu balok X,Y dan Z. Anak akan dengan tepat
mengatakan bahwa balok X lebih besar daripada balok Y, balok Y lebih besar
daripada balok Z, dan balok X lebih besar daripada balok Z. Anak dapat
berfikir secara logis tanpa harus membandingkan pasang demi pasang secara
langsung.
Sebaliknya bila ia ditanya dengan permasalahan yang sama tetapi
dalam bentuk abstrak anak akan mengalami kesulitan untuk menjawabnya.
Misalnya : A lebih tua daripada B, B lebih tua daripada C. Manakah yang
paling tua? Manakah yang paling muda ?. Pertanyaan semacam ini masih
menimbulkan kesulitan karena sifatnya yang abstrak.
Pada masa ini umumnya egosentrisme mulai berkurang. Anak mulai
memperhatikan dan menerima pandangan orang lain. Berkurang rasa egonya
dan mulai bersikap social. Materi pembicaraan mulai lebih ditujukan kepada
11
lingkungan social, tidak pada dirinya saja Terjadi peningkatan dalam hal
pemeliharaan, misalnya mulai mau memelihara alat permaianannya.
Mengelompokkan benda-benda yang sama ke dalam dua atau lebih kelompok
yang berbeda. Anak mampu mengklasifikasikan objek menurut beberapa
tanda dan mampu menyusunnya dalam suatu seri berdasarkan satu dimensi,
seperti misalnya tinggi dan berat. .
Mulai timbul pengertian tentang jumlah, panjang, luas dan besar.
Anak dapat berfikir dari banyak arah atau dimensi pada satu objek.
Mengalami kemajuan dalam pengembangan konsep. Pengalaman langsung
sangat membantu dalam berfikir. Oleh karenanya Piaget menamakan tahapan
ini sebagai tahapan operasional konkret.

3. Perkembangan Bicara
Berbicara merupakan alat komunikasi terpenting dalam berkelompok.
Anak belajar bagaimana berbicara dengan baik dalam berkomunikasi dengan
orang lain. Bertambahnya kosa kata yang berasal dari berbagai sumber
menyebabkan semakin banyak perbendaharaan kata yang dimiliki. Anak
mulai menyadari bahwa komunikasi yang bermakna tidak dapat dicapai bila
anak tidak mengerti apa yang dikatakan oleh orang lain. Hal ini mendorong
anak untuk meningkatkan pengertiannya.
Anak bicara lebih terkendali dan terseleksi. Anak menggunakan
kemampuan bicara sebagai bentuk komunikasi, bukan semata-mata sebagai
bentuk latihan verbal. Bila pada masa kanak-kanak awal anak berada pada
tahap mengobrol, maka kini banyaknya bicara makin lama makin berkurang.
Pada umumnya anak perempuan berbicara lebih banyak daripada anak laki-
laki. Anak laki-laki berpendapat bahwa terlalu banyak berbicara kurang
sesuai dengan perannya sebagai laki-laki. Kemampuan berbicara ditunjang
oleh perbendaharaan kosa kata yang dimiliki.
4. Kegiatan bermain
Dibanding dengan masa sebelumnya, anak pada masa kanak-kanak
akhir sudah masuk sekolah, sehingga mau tidak mau akan mengarungi waktu

12
bermain daripada masa sebelumnya. Hal ini ditunjang dengan banyaknya
acara di TV, radio serta buku-buku bacaan yang banyak disajikan untuk anak
kelompok usia ini. Bermain sangat penting bagi perkembangan fisik, psikis
dan social anak. Dengan bermain anak berinteraksi dengan teman main yang
banyak memberikan berbagai pengalaman berharga. Bermain secara
berkelompok memberikan peluang dan pelajaran kepada anak untuk
berinteraksi, bertenggang rasa dengan sesama teman.
Permainan yang disukai cenderung kegiatan bermain yang dilakukan
secara berkelompok, kecuali bagi anak-anak yang kurang diterima
dikelompoknya dan cenderung memilih bermain sendiri. Bermain yang
sifatnya menjelajah, ketempat-tempat yang belum pernah dikunjungi baik
dikota maupun di desa sangat mengasyikkan bagi anak. Permainan
konstruktif yaitu membangun atau membentuk sesuatu adalah bentuk
permainan yang juga disukai anak serta mampu mengembangkan kreativitas
anak. Bernyanyi merupakan bentuk kegiatan kreatif lainnya. Selain itu bentuk
permainan kelompok yang disenangi merupakan permainan olah raga seperti
basket, sepak bola, volley dan sebagainya. Jenis permainan ini membantu
perkembangan otot dan pembentukan tubuh.
5. Perkembangan Moral
Perkembangan moral ditandai dengan kemampuan anak untuk
memahami aturan, norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Perkembangan moral terlihat dari perilaku moralnya di masyarakat yang
menunjukkan kesesuaian dengan nilai dan norma di masyarakat. Perilaku
moral ini banyak diengaruhi oleh pola asuh orang tuanya serta perilaku moral
dari orang-orang disekitarnya.Perkembangan moral ini juga tidak terlepas
dari perkembangan kognitif dan emosi anak.
Menurut Piaget, antara usia 5 sampai 12 tahun konsep anak mengenai
keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku tentang benar dan salah yang
telah dipelajari dari orang tua menjadi berubah. Piaget menyatakan bahwa
relativisme moral menggantikan moral yang kaku. Misalnya : bagi anak usia
5 tahun, berbohong adalah hal yang buruk, tetapi bagi anak yang lebih besar
13
sadar bahwa dalam beberpa situasi, berbohong adalah dibenarkan, dan oleh
karenanya berbohong tidak terlalu buruk. Piaget berpendapat bahwa anak
yang lebih muda ditandai dengan moral yang heteronomous sedangkan anak
pada usia 10 tahun mereka sudah bergerak ke tingkat yang lebih tinggi yang
disebut moralitas autonomous.
Kohlberg memperluas teori Piaget dan menyebut tingkat kedua dari
perkembangan moral masa ini sebagai tingkat moralitas dari aturan-aturan
dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini oleh
Kohlberg disebut moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk
mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan
yang baik. Dalam tahap kedua Kohlberg menyatakan bahwa bila kelompok
social menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota
kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari
penolakan kelompok dan celaan (Hurlock, 199S : 16S).
Kohlberg (Duska & Whelan, 19B1 : 59-61) menyatakan adanya enam
tahap perkembangan moral. Keenam tahap tersebut terjadi pada tiga
tingkatan, yakni tingkatan : (1) pra-konvensional; (2) konvensional dan (S)
pasca konvensional. Pada tahap pra-konvensional, anak peka terhadap
peraturan- peraturan yang berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian
baik buruk, benar-salah tetapi anak mengartikannya dari sudut akibat fisik
suatu tindakan.
Pada tahap konvensional, memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok
atau agama dianggap sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri,
anak tidak peduli apapun akan akibat-akibat langsung yang terjadi. Sikap
yang nampak pada tahap ini terlihat dari sikap ingin loyal, ingin menjaga,
menunjang dan memberi justifikasi pada ketertiban. Pada tahap pasca-
konvensional ditandai dengan adanya usaha yang jelas untuk mengartikan
nilai-nilai moral dan prinsip- prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan,
terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang memegang prinsip-prinsip
tersebut terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu
atau tidak.
14
Pengembangan moral termasuk nilai-nilai agama merupakan hal yang
sangat penting dalam membentuk sikap dan kepribadian anak. Mengenalkan
anak pada nilai-nilai agama dan memberikan pengarahan terhadap anak
tentang hal-hal yang terpuji dan tercela.

D. Penelitian yang Relevan

Henrik Larsson, Essi Viding, Fruhling Risjdijk & Robert Plomin (2008),
jurnalnya yang berjudul “Relationship between Parental Negativity and
Chlidhood Antisocial Behavior Over Time: A Bidirectional Effects Model in a
Longitudinal Genetically Informative Design”. Jurnal Psikologi Abnormal
Anak. Studi ini meneliti hubungan antara sifat negatif orang tua dan perilaku
antisosial anak usia SD menggunakan model efek dua arah dalam desain
longitudinal informasi genetik. Subjek penelitian ini adalah anak usia 4 dan 7
tahun dengan perilaku antisosial. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
hubungan antara orang tua dan perilaku antisosial anak usia SD dijelaskan oleh
kedua efek, yaitu: dorongan orang tua dan dorongan anak sendiri. Sifat negatif
orang tua terhadap anak-anak mereka akan menjembatani risiko lingkungan
yang dapat mempengaruhi anak untuk berperilaku antisosial. Selain itu perilaku
antisosial anak usia SD dipengaruhi pula oleh genetik orang tua anak.

E. Kerangka Berpikir

Dari kajian pustaka di atas maka dapat dibuat kerangka berpikir seperti
berikut: Perilaku antisosial tidak dapat muncul dengan sendirinya. Perilaku
antisosial muncul dikarenakan oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi
perilaku antisosial terdiri dari empat kategori faktor, yaitu: faktor pribadi, faktor
keluarga, faktor yang berkaitan dengan sekolah, dan faktor sosial. Setiap
kategori terdiri dari berbagai faktor sebagai berikut:
1. Faktor pribadi, mencakup: genetik, psikis, intelektual rendah, gangguan
perhatian/ hiperaktif, dan tidak dapat mengendalikan diri.

15
2. Faktor keluarga, mencakup: konflik pernikahan (broken home), hubungan
orang tua dan anak yang kurang, kekerasan dalam rumah tangga, penerapan
disiplin yang lemah, dan kurangnya pengawasan orang tua.
3. Faktor berkaitan dengan sekolah, mencakup: pengaruh teman sebaya, sikap
negatif anak di sekolah, performa sekolah yang buruk, disiplin yang
berlebihan, dan kurangnya keterlibatan dalam aktivitas sekolah.
4. Faktor sosial, mencakup: pengaruh lingkungan, bergabung dengan
kelompok antisosial, media, dan status sosial ekonomi rendah. .
Dari beberapa kategori faktor tersebut akan dapat diketahui faktor yang
mempengaruhi perilaku antisosial siswa kelas 1 dan 2 SD Negeri gandekan
Surakarta Tahun Ajaran 2018/2019. Secara sederhana kerangka pemikiran dari
penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Perilaku Antisosial

Faktor yang mempengaruhi


perilaku antisosial

Pribadi Keluarga Sekolah Sosial

Faktor yang mempengaruhi


perilaku antisosial siswa SD Gandekan
Surakarta Kelas 1 dan 2

Gbr.1. Kerangka Berpikir

16
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian


Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif (qualitative research). Bogdan dan Taylor (Moleong,
2007: 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada
latar dari individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak
boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau
hipotesis, tapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada
penggunaan metode studi kasus. Sebagaimana pendapat Lincoln dan Guba
(Sayekti Pujosuwarno, 1992: 34) yang menyebutkan bahwa case study yaitu
penelitian yang mendalam dan mendetail tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan subjek penelitian. Lebih lanjut Sayekti Pujosuwarno
(1986: 1) mengemukakan pendapat dari Moh. Surya dan Djumhur yang
menyatakan bahwa studi kasus dapat diartikan sebagai suatu teknik
mempelajari seseorang individu secara mendalam untuk membantunya
memperoleh penyesuaian diri yang baik.
B. Setting Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SD Negeri Gandekan Surakarta kelas
1 dan 2 pada Tahun Ajaran 2017/2018. Peneliti melakukan penelitian di SD
tersebut dengan pertimbangan peneliti mendapat keluhan dari guru yang
menyatakan bahwa terdapat beberapa anak yang berperilaku antisosial. Oleh
karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian di tempat tersebut.
C. Partisipan Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas 1 dan 2 SD Negeri Gandekan
Surakarta Tahun Ajaran 2017/2018 yang memiliki kecenderungan perilaku anti
sosial. Kecenderungan perilakuk anti sosial tersebut dapat diidentifikasi dari

17
perilaku siswa yang melakukan tindakan tindakan berikut ini: Sulit diatur, Suka
berkelahi, Menunjukkan sikap bermusuhan, Tidak patuh, Agresif baik secara
verbal maupun behavioral, Senang membalas dendam, Senang merusak
(vandalisme), Suka berdusta, Mencuri, Temper-tantrums atau mengamuk.
Sedangan objek dari penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi perilaku
anti sosial yang dilakukan oleh siswa.
Dalam penelitian ini, pengambilan subjek sebagai sumber data penelitian
menggunakan teknik “purpose sampling”. Sampel yang dipilih karena memang
menjadi sumber dan kaya dengan informasi tentang fenomena yang ingin
diteliti. sampling bersifat purposive yaitu tergantung pada tujuan fokus
penelitian. Pengambilan sampel ini didasarkan pada pilihan peneliti tentang
aspek apa dan siapa yang dijadikan fokus pada saat situasi tertentu dan
terus-menerus sepanjang penelitian.
D. Pengumpulan Data
Data pada penelitian ini dikumpulkan dengan teknik pengumpulan data
interaktif. Teknik pengumpulan data interaktif memungkinkan peneliti dapat
mempengaruhi sumber datanya (Sutopo, 2006: 66). Teknik pengumpulan data
interaktif yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari observasi, wawancara,
dan dokumen untuk memperoleh keterangan atau pendapat dari anak, teman
anak, guru, orang tua, dan orang di sekitar rumah anak mengenai topik yang
diteliti. Adapun rincian teknik pengumpulan data interaktif yang dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data berupa
peristiwa, aktivitas, perilaku, tempat atau lokasi, benda, dan rekaman gambar
(Sutopo, 2006: 75). Observasi perilaku dalam penelitian ini menggunakan
observasi naturalistik sehingga dapat mendiskripsikan perilaku yang biasanya
muncul secara alamiah (Shaughnessy, Zechmeister, B. dan Zechmeister,
2012: 87-99). Observasi dilakukan terhadap anak yang berperilaku antisosial
baik dari segi pribadi anak, lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah
anak yang dapat mempengaruhi anak dapat berperilaku antisosial.

18
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu (Moleong,
2010: 186). Wawancara di dalam penelitian ini menggunakan pertanyaan
terbuka dan mendalam (indepht interview). Dalam penelitian ini wawancara
dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara bebas terpimpin.
Wawancara bebas terpimpin yaitu cara mengajukan pertanyaan yang
dikemukakan bebas, artinya pertanyaan tidak terpaku pada pedoman
wawancara tentang masalah-masalah pokok dalam penelitian kemudian
dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi di lapangan (Sutrisno Hadi,
1994: 207). Dalam melakukan wawancara ini, pewawancara membawa
pedoman yang hanya berisi garis besar tentang hal-hal yang akan
ditanyakan.
3. Dokumentasi dan Arsip
Pengumpulan data kualitatif selain menggunakan teknik observasi dan
wawancara, dilakukan pula teknik dokumen (Ulfatin, 2013: 217).
Dokumentasi dan arsip yang digunakan dalam pengumpulan data dalam
penelitian ini antara lain berupa catatan lapangan, catatan guru mengenai
perilaku antisosial anak, dan foto serta rekaman saat penelitian berlangsung.
E. Uji Validitas Data
Data atau informasi yang digunakan dalam penelitian perlu diperiksa
validitasnya sehingga data atau informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Kriteria validitas data dalam penelitian kualitatif antara lain
derajat kepercayaan (kredibility), keteralihan, kebergantungan, dan kepastian.
Setiap kriteria tersebut menggunakan teknik validitas sendiri-sendiri (Moleong,
2010: 330). Validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber,
review informan kunci (pengecekan anggota) dan teknik audit, yaitu sebagai
berikut:
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber adalah teknik validitas data yang dilakukan oleh
seorang peneliti dengan membandingkan dan mengecek balik informasi atau
data yang diperoleh dari sumber/informan lain yang berbeda. Triangulasi sumber

19
dilakukan dengan membandingkan data hasil wawancara kepada orang tua,
guru, dan orang di lingkungan sekitar anak (significant others). Dengan
demikian peneliti dapat memperoleh data yang akurat dan memenuhi kriteria
derajat kepercayaan (kredibility) dalam penelitian ini.
2. Review Informan Kunci (Pengecekan Anggota)
Review informan kunci (pengecekan anggota) pada penelitian ini adalah
teknik pemeriksaan data dengan cara mengonfirmasikan data kepada informan,
sehingga data diperoleh dari kesepakatan antara peneliti dan informan. Informan
yaitu orang tua, guru dan orang di sekitar anak. Data yang diperoleh melalui
teknik review informan kunci (pengecekan anggota) akan memenuhi kriteria
derajat kepercayaan (kredibility).
3. Teknik Audit
Teknik audit adalah teknik validitas data yang dilakukan dengan
menggunakan pendapat atau pertimbangan dari para ahli. Teknik audit dalam
penelitian ini digunakan pada pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam
wawancara, transkrip wawancara, dan hasil wawancara secara keseluruhan.
Dalam hal ini peneliti akan meminta pertimbangan dari ahli Psikologi (dosen
psikologi).
F. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah model
analisis interaktif Miles dan Huberman. Model analisis interaktif Miles dan
Huberman dalam Ulfatin (2013: 250) terdiri 4 komponen pokok, yaitu:
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi. Adapun skema analisis kualitatif menurut Miles dan Huberman yang
digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Pengumpulan Penyajian
Data Data

Reduksi Data

Penarikan
Kesimpulan

20
Gbr.2. Skema analisis interaksi data kualitatif
Berikut rincian model analisis interaktif yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Pengumpulan Data
Proses awal dari penelitian ini adalah pengumpulan data dengan
mencatat semua data hasil observasi dan wawancara mendalam kepada
guru, orang tua dan orang-orang disekitar rumah anak secara objektif.
Observasi diwujudakan dalam catatan-catatan dan dokumen gambar,
sedangkan wawancara direkam dengan alat perekam dan ditandai (diberi
kode) untuk memudahkan analisis.
2. Reduksi Data
Data yang diperoleh dari lapangan selalu berkembang, maka peneliti
membuat reduksi data. Reduksi data merupakan proses pemilihan
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan tranformasi
data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Dari
reduksi data akan dapat diketahui data yang akan digunakan dan data yang
tidak akan digunakan serta untuk data yang tidak digunakan dapat dibuang.
Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan membuang data apabila
hasil wawancara yang mendalam ada hal-hal yang tidak digunakan. Reduksi
data dilakukan melalui horizonalization dengan mendaftar pernyataan
responden dan memperlakukan pernyataan dengan seimbang sesuai dengan
asumsi bahwa setiap pernyataan memiliki nilai yang sama. Hal tersebut juga
dapat mengembangkan daftar pernyataan yang tidak berulang dan tidak
tumpang tindih.
3. Penyajian Data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Penyajian data
dalam penelitian ini adalah dalam bentuk kualitatif. Data yang sudah didapat
dalam penelitian ini kemudian disusun menjadi deskripsi dan sinopsis
berdasarkan berbagai topik atau tema penelitian.

21
4. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Peneliti membuat dan menarik kesimpulan dengan verifikasi semua
hal yang terdapat dalam reduksi data dan penyajian data. Kemudian diikuti
dengan penyusunan data yang berupa deskripsi atau uraian secara
sistematis.
G. Prosedur Penelitian
Prosedur Penelitian merupakan langkah-langkah yang harus dilalui
peneliti. Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
rangkuman prosedur penelitian kualitatif dari (Tohirin, 2012: 55-59) dan
(Moleong, 2010: 126-148) yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap
pralapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis atau interpretasi data.
Adapun rincian tahap-tahap dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Tahap Pralapangan
Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini adalah:
a. Menyusun rencana penelitian atau membuat desain penelitian.
b. Menentukan lapangan penelitian.
c. Mengurus perizinan untuk melakukan penelitian kepada pihak-pihak yang
terkait dengan penelitian yang akan dilakukan.
d. Menilai lapangan atau melakukan studi pendahuluan
1) Pemahaman atas petunjuk dan cara hidup subjek penelitian.
2) Memahami pandangan hidup subjek penelitian.
3) Penyesuaian diri dengan keadaan lingkungan atau latar penelitian.
e. Memilih dan memanfaatkan subjek penelitian.
f. Menyiapkan perlengkapan penelitian seperti alat-alat tulis, kamera, tape
recorder, dan peralatan lain yang dapat mendukung kelancaran penelitian
di lapangan atau menentukan dan membuat instrumen penelitiannya.
g. Memperhatikan etika penelitian termasuk di dalamnya menghargai dan
menghormati pandangan subjek.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan peneliti meliputi:
a. Memahami latar penelitian dan persiapan diri.

22
1) Membatasi latar penelitian.
2) Menjaga penampilan dengan menyesuaikan kebiasaan latar penelitian.
b. Pengenalan hubungan peneliti di lapangan.
Peneliti menjaga keakraban dengan informan atau anggota penelitian
lain, namun juga harus mengetahui batas-batas hubungan antara peneliti
dengan informan sehingga dapat menghindari subjektivitas data atau hasil
penelitian.
c. Menjelaskan kepada informan atau subjek penelitian waktu penelitian.
d. Melakukan penelitian di lapangan dengan memperhatikan etika penelitian.
e. Menjelaskan kepada informan atau subjek penelitian batas-batas
penelitian yang dilakukan.
f. Mencatat data ketika mengadakan pengamatan, wawancara, atau
menyaksikan kejadian tertentu.
g. Membuat petunjuk cara mengingat data agar dapat mengingat data yang
dikumpulkan di lapangan dengan pengkodean.
h. Analisis di lapangan.
3. Tahap Analisis dan Interpretasi Data
Dalam tahap ini analisis yang digunakan penelitian adalah analisis
interaktif. Analisis interaktif terdiri dari 4 tahap, yaitu: pengumpulan data,
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Analisis
dilakukan terhadap data yang diperoleh melalui pengamatan berperan serta
atau wawancara atau pengamatan deskriptif yang terdapat dalam catatan
lapangan. Setelah melakukan analisis data, selanjutnya peneliti melakukan
interpretasi data atau penafsiran data untuk memperoleh arti dan makna yang
mendalam terhadap hasil penelitian. Peneliti membahas hasil penelitian
dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan
dan informasi akurat yang diperoleh dari lapangan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, K. & Hikmah (2005). Perlindungan dan Pengasuhan Anak Usia SD.
Jakarta: DEPDIKNAS.

Burt, S. A., Donnellan, M. B., Iacono, W. G., & McGue M. (2011). Age-of-Onset
or Behavioral Sub-Types? A Prospective Comparison of Two
Approaches to Characterizing the Heterogeneity within Antisocial
Behavior. Journal Abnormal Child Psychology, 3, 633-644.
Caldeira, V. & Woodin, E. M. (2012). Childhood Exposure to Aggression and
Adult Relationship Functioning: Depression and Antisocial Behavior as
Mediators. Jounal Fam Viol, 27, 687-696.

Carr, A. (2001). Abnormal Psychology : Psychology Focus. East Sussex:


Psychology Press.

Chen, C., Symond, F. J., & Reynolds, A. J. (2011). Prospective Analyses of


Childhood Factors and Antisocial Behavior for Students with High-
Incidence Dishilities. Journal of Behavior Disorder, 37(1), 5-18.

Damin, Sudarwan. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV. PUSTAKA


SETIA.

Fikriyati, Mirroh. (2013). Perkembangan Anak Usia Emas (Golden Age).


Yogyakarta: Laras Media Prima.

Fortin, Laurier. (2003). Students’ Antisocial and Aggressive Behavior:


Development and Prediction. Journal of Educational Administration,
41(6), 669-682.

Goleman, Daniel. (2009). Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia.

Gunawan, Heri. (2012). Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung:


ALFABETA.

Hasan, Maimunah. (2010). PAUD (Pendidikan Anak Usia SD). Yogyakarta: DIVA
Press.

Ingolds, Erin. (2002). Neighborhood Contextual Factors and Early-Starting


Antisocial Pathways, Clinical Child and Family Psychology Review,
5(1), 1.

Khairani, Makmun. (2013). Psikologi Perkembangan. Yogjakarta: Aswaja


Pressindo.

Moleong, Lexy J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya

24
Mulyasa, H. E. (2012). Manajemen PAUD. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nur Anisa.(2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku antisocial anak usia


4-5 tahun di TK Eka Puri Mandiri Manahan Banjarsari Surakarta tahun
ajaran 2013/2014

Pratisti, W. D. (2008). Psikologi Anak Usia SD. Jakarta: PT. INDEKS.

Rahman, A. A. (2011). Psikologi Sosial: Integrasi Pengetahuan Wahyu dan


Pengetahuan Empirik. Jakarta: Rajawali Press.

Ramli, M. (2005). Pendampingan Perkembangan Anak Usia SD. Jakarta:


DEPDIKNAS.

Rumini, Sri & Sundari, Siti. (2013). Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.

Runtukahu, J. T. (2013). Analisis Perilaku Terapan untuk Guru. Yogyakarta: Ar-


Ruzz Media.

Seefeldt, C. & Wasik, B. A. (2006). Pendidikan Anak Usia SD: Menyiapkan Anak
Usia Tiga, Empat, dan Lima Tahun Masuk Sekolah. Jakarta: PT.
INDEKS.

Setiadi, E. M & Kolip, U. (2011). Pengantar Sosiologi. Jakarta: KENCANA


PRENADA MEDIA GROUP.

Shaughnessy, J. J., Zechmeister, E. B., & Zechmeister, J. S. (2012). Metode


Penelitian dalam Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika.

Slavin, R. E. (2011). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik. Terj. Marianto


Samosir. Jakarta: PT. INDEKS.

Snyder, et. al. (2012). Covert Antisocial Behavior, Peer Deviancy Training,
Parenting Processes, and Sex Differences in The Development of
Antisocial Behavior During Childhood. Development and
Psychopathology, 24 (2012), 1117–1138.

Supratiknya. (2012). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: KANISIUS.

Sutanto, Ahmad. (2012). Perkembangan Anak Usia SD. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.

Sutopo. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas


Maret.

Suyadi. (2010). Psikologi Belajar PAUD. Yogyakarta: PEDAGOGIA.

25
Tohirin. (2012). Metode Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan dan Bimbingan
Konseling. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Ulfatin, Nurul. (2013). Metode Penelitian Kualitatif di Bidang Pendidikan: Teori


dan Aplikasinya. Malang: Bayumedia.

Walgito, Bimo. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI.

Walters, G. D. & Knight, R. A. (2010). Antisocial Personality Disorder with and


without Antecedent Childhood Conduct Disorder: Does It Make a
Difference?. Journal of Personality Disorders, 24(2), 258-271.

26

Anda mungkin juga menyukai