Anda di halaman 1dari 9

TUGAS KELOMPOK

TEORI DAN TEKNIK KONSELING ISLAM


KONSEP DAN MENGAPLIKASIKAN TEORI KONSELING REFRAIMING, EMPTHY CHAIR
Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Teori dan Teknik Konseling
Islam

Dosen Pengampu:
Naeila Rifatil Muna, M.Pd.I., M.Psi., Psi.

Disusun Oleh:
Kelompok 10 (BKI-5B)

Moh. Yunus (1908306044)


Puji Damayanti (1908306045)
Fatiha Soraya (1908306051)

JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH (FUAD)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Telp. (0231) 481264 Faks. (0231) 489926 Cirebon 45132
Website: www.syekhnurjati.ac.id Email: info@syekhnurjati.ac.id

2021
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar teknik reframing?
2. Bagaimana cara mengaplikasikan teori reframing?
3. Bagaimana konsep dasar dari teknik empty chair?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan materi ini adalah agar mahasiswa memahami konsep dari teknik
reframing dan empty chair beserta pengaplikasiaannya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teknik Reframing
1. Konsep Dasar
Reframing berasal dari kata re-frame, yang artinya membingkai kembali. Hal ini selaras
dengan pengertian reframing yang dikemukakan oleh Brander & Grinder bahwa
reframing adalah upaya untuk membingkai ulang kejadian, dengan mengubah sudut
pandang tanpa mengubah kejadian/peristiwa yang dialami. Teknik ini digunakan dalam
rangka mengubah bingkai (frame) seseorang dalam menanggapi suatu peristiwa untuk
mengubah makna. (Ratna, 2013; Ummu, 2019). Definisi lain mengenai reframing
menurut Erhawi Woho (2004) adalah suatu upaya membingkai ulang sebuah kejadian
tanpai mengubah kejadian itu sendiri (dalam Zakki, 2017). Sedangkan menurut Kessler,
reframing adalah reformulasi dari suatu permasalahan dengan cara yang berbeda dari
tampilan asli permasalahn sebelumnya (Lilis, 2013; Ummu, 2019)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa reframing
merupakan suatu proses untuk mengubah atau menata ulang sebuah peristiwa,
pengalaman atau kejadian sehingga peristiwa, pengalaman atau kejadian tersebut
mendapat makna yang baru atau berbeda dari sebelumnya.
Reframing merupakan strategi dalam mengubah persepsi klien terhadap suatu peristiwa
atau perilaku, karena pada dasarnya reframing bekerja berdasarkan premis bahwa
masalah perilaku dan emosi bukan disebabkan oleh kejadian-kejadian tetapi oleh
bagaimana cara kita memandang kejadian-kejadian itu. Masalah timbul ketika kejadian
dipersepsi menghalangi tujuan klien atau menginterfensi nilai-nilai, keyakinan, atau
tujuan klien. Teknik reframing juga melibatkan asumsi bahwa orang memiliki semua
sumber daya yang dibutuhkannya untuk membuat perubahan yang diinginkan (Erford,
2016 dalam Habibah, 2019: 22).
Teknik reframing ini termasuk dalam salah satu metode dari pendekatan konseling
kognitif behavior yang bertjuan menyusun emosi yang dipikirkannya dan mengarahkan
kembali ke arah yang lebih positif sehingga dapat mengerti berbagai sudut pandang.
Dengan menggunakan teknik ini, seorang konselor dapat mengubah cara pandang
konseli tanpa mengingkari cara konseli melihat dunianya tetapi menawarkan padanya
wawasan yang lebih luas.
2. Tujuan
Secara umum, tujuan dari teknik reframing ini adalah membantu klien memandang
situasi yang dialaminya dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih tidak problematik
sehingga lebih terbuka terhadap solusi (habibah, 2019:22).
Menurut Zakki (2019:40-41) teknik reframing ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
1) Reframing dimaksudkan untuk memperluas gambaran konseli tentang dunianya
untuk memungkinkannya mempersepsi situasinya secara berbeda dan dengan cara
yang lebih konstruktif.
2) Memberi cara pandang terhadap konseli dengan cara pandang yang baru dan positif.
3) Mengubah keyakinan/pikiran/cara pandang konseli dari negatif irasioanl menjadi
positive rasional.
4) Membingkai ulang cara pandang konseli, dari:
o A problem as an opportunity Sebuah masalah sebagai peluang.
o A weakness as a strength Sebuah kelemahan sebagai kekuatan
o An impossibility as a distant possibility Sebuah kemustahilan sebagai
kemungkinan yang jauh.
o A distant possibility as a near possibility Kemungkinan jauh sebagai
kemungkinan dekat.
o Oppression ('against me') as neutral ('doesn't care about me') Penindasan
('terhadap saya') sebagai netral ('tidak peduli tentang saya')
o Unkindness as lack of understanding Perbuatan buruk karena kurangnya
pemahaman.
3. Macam-macam Reframing
Menurut Cornier (dalam Fatimah, 2016:46) terdapat dua macam reframing, yaitu
meaning reframing dan conteks reframing.
1) Meaning reframing, yaitu menekankan pada proses pemberian istilah baru terhadap
perilaku tertentu yang kemudian menimbulkan perubahan makna. Contohnya, saat
seorang ibu tidak suka apabila sang anak membawa temannya ke rumah karena
rumah menjadi berantakan. Perasaan tidak suka tersebut dapat diubah dengan
mencari makna baru, misalnya bersyukurlah anak tidak bermain jauh di luar
sehingga memudahkan pengawasannya.
2) Context reframing, yaitu menekankan pada proses yang memberikan sebagai
sesuatu yang dapat diterima atau diinginkan dalam satu situasi lain. Konteks itu akan
ketahuan kalau kita menjabarkan apa, siapa dan bagaimana persisnya suatu
kejadian. Contohnya seorang ibu mengatakan: "Anak saya sangat aktif." Coba ajak
orang yang mengeluh anaknya tersebut, untuk berpikir: pada konteks apa aktif itu
menguntungkan? Saat memasuki usia sekolah dan belajar, misalnya.
Jadi, context reframing dilakukan dengan cara mengubah konteks (apa, siapa,
dimana, kapan, bagaimana) dan mencari keuntungan darinya.
4. Tahapan-tahapan Reframing
Tahap-tahap prosedur pelaksanaan teknik reframing:
1. Rasional
Sebelum menggunakan teknik ini, terlebih dahulu dicari rasionalisasinya atau alasan
mengapa menggunakan teknik ini, misalnya melihat melihat banyaknya pikiran-piran
irasiolan yang dimiliki konseli hingga ia mengalami depresi. Pikiran konseli yang selalu
melihat segala sesustunya negative dan tidak menyeluruh ini dapat menjadikan
rasionalisasi mengapa terapi menggunakan teknik ini. Pertimbangan latarbelakang
budaya juga dapat dijadikan rasional penggunaan teknik ini, efektif dan tidaknya.
2. Identifikasi.
Jika pilihan terapi untuk menggunakan teknik ini sudah matang, maka langkah
selanjutnya adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran dan frame berfikir irasional konsei.
3. Menentukan Suatu Penjabaran dari system persepsi.
Tahapan ini adalah tahap yang menguji keterampilan si konselor dalam menentukan
proses konseling. Hal ini didasarkan bahwa teknik ini difokuskan pada aspek kognitif,
sehingga perlu adanya penjabaran secara operasional agar mudah difahami dan
dimengerti oleh kedua belah pihak.
Oleh sebab mengapa perlu adanya keterampilan-keterampilan dasar dalam konseling
seperti lead atau question, paraphrase atau klarifikasi.
4. Mengidentifikasi persepsi alternative
Tahapan ini sudah memulai mencari alternative-alternatif persepsi lain/frame-frame lain
yang terkaita bagaiman mamandang masalah yang dihadapi konseli. Konselor bersama
konseli mencari persepsi-persepsi yang terluapakan atau tidak disadari oleh klien.
5. Modifikasi.
Pada tahapan ini konselor memulai “memodifikasi” atau mempengaruhi pikiran-pikiran
klien dengan persepsi-persepsi baru yang telah mereka temukan.
6. Homework assignment dan Follow up.
Pada tahapan ini konselor memberi “tugas-tugas rumah” atau pekerjaan atas dasar
persepsi-persepi atau sudut pandang yang ditemukan tadi, dimana klien harus atau
diupayakan semaksimal mungkin agar konseli bersedia untuk melakukan atas kesadaran
dan persetujuan klien itu sendiri. Dengan menyadari esensi tugas tersebut klien akan
memilki tujuan yang jelas mengapa ia harus melakukan atau mengerjakan “tugas
rumah” tersebut. Sedangkan follow up adalah tindak lanjut yang diberikan oleh konselor
menyikapi pemberian homework reframing.
5. Pengaplikasian Teknik Reframing
Teknik reframing ini memiliki sasaran kegunaan yang luas dan dapat diterapkan di
berbagai situasi. Reframing dapat digunakan ketika mendefinisikan kembali situasi yang
bermasalah, dapat mengubah pandangan tentang masalahnya sedemikian rupa
sehingga dapat lebih dipahami, lebih diterima, atau bahkan dapat untuk diatasi.
Menurut Wicks & Buck yang dikutip oleh Erford, individu- individu dapat menggunakan
reframing untuk mengkonstruksikan makna baru dari perilaku atau suasana perasaan
yang sebelumnyamembuat stress akibat pemikiran yang irrasional (Habibah, 2019:24).
Reframing digunakan secara efektif dalam pendekatan-pendekatan konseling keluarga.
Davidson dan Horvath yang dikutip oleh Erford, menyatakan bahwa reframing
bermanfaat dalam konseling untuk menangani penyesuaian pasangan suami istri dan
konflik perkawinan. Reframing juga dapat digunakan dalam terapi di keluarga untuk
mengurangi sikap- sikap saling menyalahkan satu sama lainnya pada setiap anggota
keluarga dengan mengatribusikan konsekuensi negatif pada penyebab-penyebab
situasional (Habibah, 2019:24).
Sementara itu, teknik ini juga dapat digunakan di sekolah, sebagaimana menurut Indah
& Muis (2011), mengemukakan bahwa teknik reframing efektif untuk mengurangi
kecemasan siswa dalam menghadapi kelas matematika. Selain itu, reframing juga dapat
digunakan untuk konseling kelompok dengan strategi reframing dalam penanganan
permasalahan motivasi mengikuti pelajaran di kelas yang rendah dengan mengacu
pendapat Cormier ( 1985: 417) yaitu dengan mengubah atau menata pengkodean dan
perasaan konseli, dapat mengurangi pembelaan dan mobilisasi.

B. Teknik Empty Chair


1. Konsep Dasar
Teknik kursi kosong atau teknik kursi kosong termasuk salah satu pendekatan gestalt
yang dikembangkan oleh Frederick Fritz Pearls. Teknik ini merupakan sebuah permainan
peran dengan menggunakan kursi kosong. Konseli akan diminta untuk memainkan dua
peran yaitu sebagai dirinya dan seseorang yang ia representasikan dan bayangkan di
kursi kosong tersbut.
Menurut Levitsky dan Perls yang dikutip oleh Corey (2010) berpendapat bahwa teknik
kursi kosong adalah suatu cara untuk mengajak subjek agar mengeksternalisasi
introyeksinya (Kusumawati, 2019:52).
Dalam teknik empty chair, dua kursi diletakkan di tengah ruangan, berhadapan dengan
konseli. Kemudian konseli diminta untuk membayangkan seseorang yang menjadi
sumber konfliknya lalu mengungkapkan semua pikirannya serta mengekpresikan
perasaannya. Dengan teknik ini, introyeksi akan terlihat dan konseli dapat merasakan
konflik yang ia rasakan secara lebih riil. Menurut Gantina (2011) teknik ini dapat
membantu konseli agar bisa merasakan perasaannya tentang konflik batin dengn penuh,
serta merupakan intervensi yang kuat, yang dapat membantu konseli segala umur yang
memiliki konflik dengan orang ketiga yang tidak hadir dalam proses konseling (Amin,
2017).
2. Tujuan
Tujuan utama dari teknik kursi kosong adalah untuk membantu mengatasi konflik
interpersonal dam intrapersonal konseli. Adapun menurut Safaria yang dikutip oleh
Dyastuti (2012) tujuan penggunaan teknik kursi kosong adalah untuk mengakhiri segala
konflik dengan jalan memutuskan seluruh urusan masa lalu yang belum selesai.
Selain itu Thompson juga mengemukakan pendapatnya, dikutip dari Komalasari (2018)
tujuan teknik kursi kosong adalah untuk membantu mengatasi konflik interpersonal dan
intrapersonal yang mengganggu totalitas kepribadiannya.
Disamping itu, Kusumawati (2019) mengemukakan tujuan yang lainnya yaitu :
1) Agar konseli katarsis (mampu melepaskan emosi yang terpendam)
2) Memperlancar komunikasi
3) Mambantu konseli mencapai kesadaran yang lebih penuh dan menginternalisasi
konflik yang ada pada dirinya.
4) Mengusahakan fungsi yang terpadu dan penerimaan atas aspek yang coba dibuang
atau diingkari.
3. Pengaplikasian
Menurut Mulyana (dalam Suryaman 2017) teknik kursi kosong pada umumnya
digunakan dalam konseling individu terhadap konseli yang mengalami sikap kurang
percaya diri dalam komunikasi verbal. Sedangkan Konghoiro dkk (2017) menjelaskan
juga bahwa teknik kursi kosong sangat cocok dengan permasalahan kelompok yang
dengan menghadirkan kecemasan mereka terhadap lingkungan baik keluarga, pekerjaan
atau lingkungan masyarakat dan dapat diselesaikan dengan penerimaan dan integrasi
antara kedua peran tersebut (Kusumawati, 2019).
4. Tahapan-tahapan Empty Chair
Greenberg dan Malcolm (dalam Ratna 2013) menjelaskan empat langkah dalam
menggunakan teknik kursi kosong, yaitu :
a. Konseli mengidentifikasi orang yang menjadi sumber unfinished business
b. Konseli merespon dengan cara yang sama seperti orang yang menjadi sumber
unfinished business merespon
c. Dialog dilakukan sampai konseli menemukan resolusi penyelesaikan unfinished
business.
d. Melakukan evaluasi.
Secara lebih rinci, prosedur teknik kursi kosong adalah :
a. Konseli diminta untuk mengidentifikasi akan kekurangan-kekurangan dan kelebihan-
kelebihan yang ada pada diri konseli.
b. Konselor memberitahukan bagaimana aturan dalam teknik ini
c. Konseli diminta agar bisa menghadapi suatu situaasi, dimana, kapan, ia harus
berperan sebagai top dog dan kapan ia harus menjadi under dog.
d. Saat ia bermain peran dalam teknik kursi kosong, konseli diminta agar benar-benar
memainkan perannya sesuai dengan kondisi sebenarnya (serius).
e. Setelah permainan peran selesai, konseli diminta untuk mendiagnosis akan perasaan-
perasaan yang dialaminya.
f. Mengevaluasi seberapa efektif akan keberhasilan dalam pengungkapan perasaan
konseli.

Anda mungkin juga menyukai