Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH

“ISU YANG DIHADAPI OLEH KONSELOR PEMULA”


"Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Pribadi dan Profesi Konselor”
Dosen Pengampu : Rizqi Isnaeni Fajri, S.Pd.I., M.Psi

Di Susun Oleh:

Fitri Wulandari

Haelsa Nanda Pramesti

Risnali Jaman

Rizqi Bahrul

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
Jl.Widarasari III Tuparev – Cirebon, Telp. (0231) 246215
Email: staibbc.cirebon@gmail.com
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Isu yang
Dihadapi Oleh Konselor Pemula” Kami juga berterima kasih pada Ibu Rizqi Isnaeni Fajri,
S.Pd.I., M.Psi selaku Dosen mata kuliah Pengembangan Pribadi dan Profesi Konselor Institut
Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai ”Isu yang Dihadapi Oleh Konselor Pemula”. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga malakah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya.

Cirebon, Januari 2022

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................5
C. Tujuan......................................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
A. Permasalahan yang Sering Muncul Pada Konselor Pemula...................................................6
B. Isu- Isu Etika Dalam Konseling..............................................................................................9
BAB III..........................................................................................................................................14
PENUTUP.....................................................................................................................................14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bimbangan dan konseling ebagai sebuah kegiatan professional tentulah
kegiatannya dilakukan oleh orang-orang yang sudah professional. Hal ini menunjukkan
bahwa kegiatan konseling dalam praktiknya dilakukan atas dasar keilmuan. Pelayanan
konseling menuntut para praktisinya untuk memahami dan mampu melaksanakan
kegiatan konseling sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Mortensen dan Schmuller bahwa konseling adalah jantung hatinya program bimbingan
(Mortensen dan Schmuller, 1976).
Oleh karena itu, para petugas bimbingan dan konseling perlu memahami dan
dapat melaksanakan usaha layanan konseling dengan sebaik-baiknya. Sebelum menjadi
seorang konselor profesional, biasanya seseorang mengalami kebingungan dan berbagai
kecemasan saat menjalani profesi konseling. konselor yang telah lulus dari
pendidikannya tentu telah memiliki sertifikat, lisensi, pengakuan dan segudang ilmu yang
siap untuk diaplikasikan. Namun tak bisa dipungkiri bahwa ketika hendak memasuki
dunia praksis, banyak konselor pemula menghadapi berbagai masalah yang mengganggu
proses konseling.
Permasalahan ini muncul ketika mereka baru menyelesaikan program studi dan
mulai menghadapi proses konseling. Mereka mulai berpikir bagaimana menerapkan apa-
apa yang mereka telah pelajari pada bangku pendidikan. Pada titik ini muncul
kekhawatiran-kekhawatiran yang menyangkut kelayakan mereka sebagai terapis dan
sebagai pribadi serta mengenai apa yang bisa dibawa dari diri mereka sendiri ke dalam
hubungan konseling (Corey, 2010).
Umumnya konselor pemula akan merasakan adanya kecemasan, keraguan pada
diri, dan ketakutan tidak mampu memenuhi ekspektasi dirinya (Corey, 2007). Hal ini
tentunya berdampak pada munculnya perasaan tidak kompeten yang melahirkan
konsekuensi berupa terganggunya proses konseling, dan munculnya rasa penurunan nilai
diri (Theriault, Gazzola, & Richardson, 2009). Masalah-masalah tersebut secara
psikologis dapat menyebabkan terganggunya pelayanan yang diberikan oleh konselor

4
kepada klien. Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai isu-isu yang sering
terjadi pada konselor pemula.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana permasalahan secara umum yang terjadi pada konselor pemula?
2. Apakah yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan yang terjadi sebelum
memulai proses konseling?
3. Bagaimana isu-isu etik yang terjadi pada konselor pemula?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui permasalahan umum yang terjadi pada konselor pemula.
2. Untuk mengetahui penyebab permasalahan yang terjadi sebelum memulai proses
konseling.
3. Untuk mengetahui isu-isu etik yang terjadi pada konselor pemula.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Permasalahan yang Sering Muncul Pada Konselor Pemula

Pada dasarnya konselor juga hanyalah seorang manusia yang memiliki potensi sama
dengan kliennya dalam hal mengalami ketakutan, kecemasan, dan stres. Konselor pemula,
meskipun telah dibekali dengan teori, tentunya belum banyak memiliki pengalaman
mengenai kerja dan pengaturan-pengaturan dalam profesi konseling secara praktis. Hal ini
membuat konselor pemula kerap memiliki masalah-masalah spesifik dan berada dalam masa-
masa krisis. Sebenarnya masalah-masalah ini merupakan hal wajar, namun jika terus
dibiarkan maka akan menjadi hambatan dalam melaksanakan perbantuan kepada klien.

Masalah Umum yang dihadapi oleh konselor pemula umumnya mengalami masalah
seperti kecemasan, ketakutan, dan perasaan tidak kompeten pada masa awal ia bekerja
(Corey, 2007; Theriault, Gazzola, & Richardson, 2009; Corey, 2010). Meskipun kecemasan-
kecemasan ini bersifat wajar, namun jika terlampau berlebihan, maka dapat menyebabkan
stres. Stres ini selain karena faktor eksternal, juga dapat disebabkan oleh faktor internal atau
pribadi seperti mengalami kecemasan kinerja akut, ketakutan akan ekspektasi orang lain,
batas emosional diri yang rapuh atau kaku, pengalaman praktis yang kurang kuat dan tidak
lengkap, penguasaan konseptual teori yang tidak memadai, harapan yang berlebihan tentang
profesi, dan kebutuhan akut untuk memiliki mentor (Skovholt & Rønnestad, 2003).

Secara khusus, permasalahan yang sering muncul bagi konselor pemula dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Sebelum memulai hubungan konseling Menurut Corey (2010) ada beberapa
permasalahan yang dihadapi oleh konselor pemula ketika memulai hubungan konseling.
Diantaranya adalah adanya kecemasan ketika hendak memulai konseling.
Kecemasan ini biasanya hadir pada diri konselor pemula. Konselor pemula berpikir
bahwa bagaimana nanti memulai konseling, apa yang harus dikatakan, bagaimana langkah-
langkah selanjutnya dalam melaksanakan konseling yang efektif, serta bagaimana kalau

6
ternyata konseli lebih banyak tahu daripada konselor. Ungkapan-ungkapan seperti itulah
yang biasanya hadir pada diri konselor pemula.

Hal ini menyebabkan mereka memiliki rasa cemas yang berlebihan. Sebenarnya jika
memiliki rasa cemas yang wajar itu perlu,namun jika saja konselor pemula memiliki
perasaan yang terlalu cemas bisa menghancurkan rasa percaya diri konselor yang mungkin
membuat konselor pemula tersebut menjadi beku (Corey, 2010). Konselor yang cenderung
terjebak dengan dengan pemikirannya sendiri sering dikuasai oleh self-talk negatif. Perhatian
konselor yang seharusnya terpusat penuh pada diri konseli berubah menjadi berpusat pada
diri konselor sendiri. Langkah yang akhirnya diambil oleh konselor adalah melaksanakan sesi
konseling seperti percakapan biasa atau hanya sekedar pemberian nasehat yang tidak
terapeutik (Mulawarman, 2010) .

2. Dalam proses konseling penelitian menyebutkan bahwa dalam proses dan hubungan
konseling, konselor pemula teridentifikasi mengalami masalah.

Adapun mengenai kecemasan terhadap peran konselor dalam hubungan terapeutik,


persepsi tentang hubungan terapeutik yang kurang direktif dengan hubungan di luar
konseling, percobaan dengan gaya komunikasi interpersonal, kesadaran akan
kontratransferensi, dan dampak proses terapeutik yang telah dilaksanakan dengan kondisi di
luar proses konseling (Schwing, LaFollette; Steinfeldt; & Wong, 2011).

Ketakutan-ketakutan ini dirasakan karena konselor pemula seringkali memiliki


ekspektasi yang kurang realistis terhadap proses konseling itu sendiri. Konselor pemula
seringkali menganggap bahwa klien langsung akan mampu menjadi lebih baik setelah
menjalani proses konseling dengan dirinya. Ini jelas merupakan anggapan yang irasional,
mengingat perubahan tidak mungkin didapatkan dalam waktu yang singkat. Sikap
perfeksionis atau sikap ingin sempurna adalah sebuah harapan yang setiap orang miliki.

Apapun yang dilakukan orang pasti menginginkan hasil yang sempurna. Tak jauh
beda dengan seorang konselor pemula. Ia pun menginginkan proses dan hasil yang sempurna
dari proses konseling. Sering sekali konselor pemula ingin tampil sempurna, melakukan
proses konseling dengan sempurna, walaupun sebenarnya keinginan tersebut bertolak
belakang dengan rasional manusia bahwa tidak ada yang sempurna. Pemikiran ini yang justru

7
banyak menjebak konselor pemula dalam praktik konseling yang mereka lakukan. Padahal
Kotler dan Blau (Corey, 2010) menyebutkan ketidaksempurnaan tersebut mendorong
konselor pemula untuk mau merenung, merefleksikan diri dan belajar kembali serta
mendiskusikan kesalahan mereka dalam proses konseling. Sehingga mereka dapat
memperbaiki kesalahan mereka pada kesempatan yang lain. Sikap jujur akan keterbatasan
sering sekali tidak diperhatikan oleh konselor pemula. Konselor pemula merasa takut jika ia
diketahui tidak memiliki kompetensi tertentu yang bisa membantu konselinya. Ia khawatir
jika konselinya tidak menaruh rasa hormat atas dirinya.

Sehingga konselor pemula umumnya menampilkan pribadi yang palsu. Pribadi palsu
berarti konselor tidak jujur dengan keadaan dirinya terkait kemampuannya dalam membantu
konselinya. Keengganan konselor pemula dalam mengalihkan konseli pada konselor lain
dianggap sebagai sesuatu yang amat tabu. Untuk itu, ketidakjujuran konselor terkait
keterbatasannya menjadi salah satu penyebab gagalnya proses konseling yang ia alami.
Padahal kesadaran diri mengenai keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh konselor
merupakan hal penting untuk menciptakan hubungan yang dilandasi oleh pribadi yang
genuine (Kottler & Balkin, 2017). Kesadaran ini akan menghindarkan konselor dari
munculnya resistensi dalam diri pribadi yang dapat mengganggu jalannya hubungan dan
proses konseling.

Selanjutnya ada juga konselor pemula mengalami masalah dalam proses konseling
bahwa ia tidak menjadi dirinya sendiri. Tidak menjadi diri sendiri ini didefinisikan bahwa ia
memiliki ekspektasi yang terlalu besar dalam menjalankan tugasnya sebagai konselor seperti
ia harus selalu menunjukkan sikap peduli, ia harus bisa menyelesaikan semua masalah
konselinya, ia harus bisa terus-menerus bersikap empati dan ungkapan lainnya yang tidak
rasional. Memang dalam teori konseling itu sendiri setiap konselor dituntut untuk memiliki
sikap peduli dan empati.

Namun perlu juga dipahami bahwa proses konseling juga tidak mengenyampingkan
kondisi diri. Hal ini bermaksud agar konselor juga secara jujur harus menjadi diri sendiri dan
mau mengungkapkan diri. Menjadi diri sendiri artinya tidak terjebak pada peran yang harus
ia jalankan dan pengungkapan diri berfokus pada pengungkapan tentang diri dan apa yang
konselor rasakan. Misalnya jika konseli meminta proses konseling saat konselor dalam

8
keadaan yang tidak fit, maka konselor harus terbuka untuk mengungkapkan bahwa ia dalam
keadaaan tidak fit.

Terakhir masalah umum yang dihadapi para konselor pemula yang berasal dari
pikiran mereka adalah mereka cenderung menganggap bahwa gaya konseling guru
pembimbing mereka yang lebih baik. Masalah ini terkait dengan kebutuhan akut konselor
pemula terhadap keberadaan mentor (Skovholt & Rønnestad, 2003). Acapkali konselor
pemula masih kesulitan dalam melepaskan keterikatannya dengan status sebagai pelajar
konseling, bahkan pada saat memulai karir sebagai konselor profesional. Akibatnya mereka
tidak memiliki gaya konseling mereka sendiri.

Mereka lebih suka meniru gaya konseling guru mereka, dengan harapan bahwa apa
yang ditampilkan oleh guru pembimbing mereka adalah yang terbaik dan paling efektif
dalam konseling. Seharusnya mereka menyadari bahwa hubungan konseling sebagai
hubungan teraputik adalah hubungan antara manusia yang membimbing manusia. Manusia
sebagai individu yang dinamis tidak bisa disamakan penanganannya pada individu yang lain.
Sebab penyamaan ini berdampak buruk pada proses dan hasil yang diinginkan.
Sebaliknya cara konselor dalam menangangi konseli juga tidak bisa disamakan antara
satu dan yang lain. Untuk itu konselor pemula harus sudah menemukan gaya konseling
tersendiri dari dirinya yang ia nyaman dengan hal tersebut dan akhirnya sesuai untuk konseli
yang ia hadapi (Corey, 2010; Gladdng, 2012). Masalah-masalah tersebut hanya sebagian
kecil dari permasalahan umum yang dihadapi oleh konselor terkait pemikiran yang tidak
rasional. Pemikiran-pemikiran tersebut sebenarnya sangat berdampak dari efektivitas
pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor khususnya konselor pemula

B. Isu- Isu Etika Dalam Konseling


Setiap klien yang mempercayakan semua masalah yang ia hadapi kepada konselor
pasti ingin mengetahui sejauh mana perlindungan yang akan diperolehnya dengan
mempercayakan masalahnya tersebut. Dengan menceritakan masalahnya kepada orang lain
(konselor), ia ada dalam posisi yang “tidak aman” dari segala penyalah gunaan dan
manipulasi. Konselor sebagai seorang professional juga tidak mudah mengintepretasikan
panduan etik dari organisasi profesinya, dan menerapkan dalam situasi-situasi tertentu.

9
Hal ini membutuhkan sensivitas etis yang memadai. Walaupun terdapat kode etik
yang sudah mengatur bagaimana konselor bertindak dalam menjalankan tugasnya terkadang
juga tidak dapat memberi jawaban terhadap dilema yang dihadapi konselor. Dengan
demikian konselor harus memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk kliennya. Corey dkk
(2005: 3940) telah mengidentifikasi langkah-langkah membuat keputusan etik yang
muaranya dapat membantu para konselor untuk memikirkan masalah-masalah etis.
a) Identifikasi maslah atau dilema. Kumpulkan informasi yang akan memberikan
penjelasan tentang masalah. Hal ini akan membantu konselor menentukan apakah
masalah utamanya etis, legal, professional, klinis atau moral.
b) Identifikasi isu-isu potensial. Nilailah hak, tanggugjawab dan kesejahteraan dari
semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut.
c) Lihatlah kode etik yang relevan dengan permasalahan untuk dipakai sebagai
penuntun umum. Perimbangkan pakah nilai-nilai dan etika yang dianut adalah
sejalan atau berkonflik dengan penuntun tersebut.
d) Pahamilah hukum dan aturan yang berlaku. Penting untuk menentukan apakah
ada hukum atau aturan yang terkait dengan dilemma etik ini.
e) Carilah konsultasi dari lebih dari satu sumber untuk mendapatkan berbagai
perspektif tentang dilema tersebut. Lakukanlah konsultasi dengan ahli atau para
professional yang paham tentang isu yang tercakup dalam situasi yang
dipertanyakan tersebut.
f) Lakukan brainstorming mengenai berbagai macam tindakan yang dapat
dijalankan. Lanjutkan untuk mendiskusikan alternative/opsi/pilihan dengan
professional lain. Sertakan klien dalam proses pertimbangan opsi tindakan.
g) Jelaskan (tetap sertakan klien) konsekuensi dari berbagai macam tindakan, dan
refleksikan implikasi dari setiap tindakan untuk klien anda.
h) Tentukan apa langkah yang kemungkinannya paling baik. Sekali tindakan telah
diimplementasikan, tindak lanjutilah untuk menilai hasilnya dan menentukan
apakah diperlukan tindakan selanjutnya.
Dalam pengambilan langkah-langkah etis ini konselor perlu memahami bahwa
perlu pemikiran yang matang untuk melakukannya. Dengan kata lain kematangan
professional sebagai landasan pengambilan keputusan etis ini menyiratkan bahwa

10
konselor bertanya tentang kesulitan-kesulitan yang dialami kepada kolega. Hal ini
dikarenakan bukan dibuat semata-mata untuk konselor namun adanya keterlibatan antara
konselor dank lien dalam proses membuat keputusan etis ini. Berikut ini beberapa isu-isu
etik yang berkembang dalam praktik konseling :
1. Isu konfidensialitas (kerahasiaan)

Dengan kata lain privasi itu berhubungan dengan hak individu untuk kehidupannya
sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Sementara konfidensialitas berhubungan
dengan pengendalian informasi yang diterima sesorang. Sebuah informasi dikatakan
konfidensial jika dianggap tidak perlu dan seharusnya tidak disampaikan ke pihak lain atau
publik (Latipun, 2004: 214).

Menurut Baruth dan Robinson III (1987) penyampaian informasi tanpa izin klien
dianggap pelanggaran privasi klien, karena apa yang disampaikan klien kepada konselor
dianggap sebagai privileged communication (Lesmana, 2006:200). Privileged
communication adalah komunikasi yang memberi suatu hak legal kepada klien dan
melindungi klien dari kemungkinan penyampaian secara publik informasi-informasi yang
telah diberikan klien tanpa ijinnya.

Seiring dengan beberapa penjelasan mengenai konfidensialitas tersebut, maka


permasalahannya adalah apakah seluruh informasi yang dinyatakan oleh klien bersifat
konfidensial?. Dengan kata lain, apa yang menjadi tolak ukur atau pedoman bahwa sesuatu
(informasi) yang disampaikan klien itu dapat bersifat rahasia? apakah konfidensialitas dapat
dibatalkan?.

Schneiders dalam Latipun (2004) mengungkapkan bahwa prinsip kewajiban konfidensial


itu adalah relatif, karena ada kondisi-kondisi yang dapat mengubahnya dari semula konselor
wajib merahasiakan pada situasi yang lain menjadi sangat mungkin dan perlu diungkapkan.
Corey (2005: 41) menyebutkan beberapa keadaan yang menyebabkan pembatalan
konfidensialitas dan konselor harus melaporkannya secara hukum:

a. Ketika klien merupakan bahaya bagi orang lain atau bagi dirinya sendiri.
b. Bila terapis percaya bahwa klien dibawah usia 16 adalah korban dari incest,
perkosaan, penganiayaan anak, atau kejahatan lainnya.

11
c. Bila terapis menentukan bahwa klien memerlukan hospitalisasi (pengobatan)
d. Bila informasi menjadi isu dalam tidakan pengadilan
e. Bila klien meminta catatannya diserahkan kepada dirinya sendiri atau kepada orang
ketiga lainnya. Menjaga konfidensialitas merupakan kewajiban primer dari
hubungan terapeutik yang terbangun antara konselor dan klien.

Hal ini dimaksudkan untuk melindungi apa yang disampaikan klien. Ketika menjelaskan
kepada klien bahwa apa yang mereka sampaikan dalam sesi konseling umumnya akan dijaga
konfidensialitasnya, maka konselor sebaiknya mengatakan kepada klien batasan (limitasi)
terhadap konfidensialitas ini.

2. Isu etika berkaitan dengan penggunaan sentuhan

Menurut Leod (2006: 456) ketakutan utama yang mendasari penggunaan sentuhan
adalah sentuhan akan mengarah kepada pemuasan seksual dipihak klien, konselor (terapis)
atau keduanya. Masalah etika lainnya adalah klien dapat merasa teraniaya, dan disentuh
berarti berlawanan dengan keinginan sebenarnya.

Selain itu ada larangan dari agama atau budaya untuk disentuh oleh orang asing atau jenis
kelamin yang berbeda. Bagi konselor masalah lain muncul dari kekhawatiran akan dituntut
klien dengan tuduhan terlalu mengintimidasi atau eksploitatif. Walaupun demikian, jelas
semua ittu bergantung kepada integritas terapis, dan seberapa jauh eksplorasinya terhadap
makna sentuhan bagi mereka secara pribadi.

Berkaitan dengan hal ini Hunter dan Struve (1998) dalam Leod (2006) membuat
beberapa rekomendasi tentang penggunaan sentuhan dalam konseling. Sentuhan adalah tepat
secara klinis ketika:

a. klien ingin disentuh atau disentuh

b. tujuan dari sentuhan jelas

c. sentuhan tersebut jelas demi kepentingan klien

d. terapis/konselor memiliki pengetahuan cukup tentang pengaruh penggunaan


sentuhan

12
e. batasan yang mengatur penggunaan sentuhan jelas dipahami oleh klien dan
terapis (konselor)

f. hubungan terapis-klien telah berkembang dengan cukup

g. sebtuhan dapat ditawarkan kepada semua tipe klien

h. konsultasi atau supervisi tersedia dan dapat digunakan

i. terapis merasa nyaman dengan sentuhan (tidak canggung/tidak bertentangan


dengan nilai-nilai yang dianutnya)

j. batasan yang mengatur penggunaan sentuhan jelas dipahami oleh klien dan
terapis.

 Sentuhan tidak disarankan ketika:


a. fokus dari terapi tersebut melibatkan kandungan seksual yang berkaitan
dengan sentuhan
b. adanya risiko kekerasan
c. sentuhan tersebut terjadi secara sembunyi-sembunyi
d. konselor/terapis meragukan klien untuk mengatakan ”tidak”
e. konselor/terapis telah dimanipulasi atau dirayu untuk melakukan sentuhan
f. sentuhan digunakan untuk mengganti terapi verbal
g. klien tidak ingin menyentuh atau disentuh
h. konselor/terapis tidak nyaman menggunakan sentuhan

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

14
DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. (2010). Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama

Corey, M.S. 2007. Becoming a Helper. USA: Thomson Brooks/Cole.

Gladding, S.T. (2012). Konseling (Profesi Yang Menyeluruh). Edisi bahasa Indonesia. Jakarta:
PT.Indeks Hidayah

Leod. J.M. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Terjemahan oleh A.K Anwar. 2006.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press

Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo
Persada.

15

Anda mungkin juga menyukai