Anda di halaman 1dari 145

Teori dan Teknik Konseling

Paul Arjanto, S.Pd., M.Pd.

Program Studi Bimbingan dan Konseling


Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Pattimura

i
PRAKATA

Bimbingan dan Konseling sebagai layanan yang memandirikan diharapkan dapat

memberikan perubahan yang berarti bagi perkembangan pribadi-sosial, belajar dan karir peserta

didik yang merupakan sasaran layanan. Layanan Konseling Individual dan Kelompok yang

menjadi “jantung” dari pelayanan konseling memerlukan pijakan teori yang kuat sehingga

diharapkan dapat mengentaskan permasalahan yang dihadapi oleh konseli atau peserta didik.

Pelbagai pijakan teori konseling akan Penulis sajikan melalui Buku Ajar ini yaitu meliputi:

Psikoanalisis, Behavioral, Rational Emotive Behavior, Realitas, Person-centered, dan Post-

modern. Tidak lupa setiap teori konseling juga dilengkapi dengan teknik-teknik umum dan

teknik-teknik khusus yang menyertai setiap teori tersebut.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan membantu

dalam penulisan Buku Ajar ini. Setiap masukan dari seluruh pihak sangat penulis harpakan

dalam rangka pengembangan dan perbaikan terhadap isi, sistematika, dan elaborasi yang terdapat

dalam buku ini. Akhir kata, kiranya buku ajar yang sangat sederhana ini dapat diterima dan

digunakan sebagai sumber bacaan dan informasi bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan

mempelajari tentang teori dan teknik konseling.

Ambon, Agustus 2016


Penulis,

Paul Arjanto, M.Pd.

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ....................................................................................................................... i

Kata Pengantar .......................................................................................................................... ii

Daftar Isi ................................................................................................................................... iii

Bab I. Konsep Dasar Konseling ........................................................................................ 1

Bab II. Teori dan Teknik Konseling Psikoanlisis .............................................................. 4

Bab III. Teori dan Teknik Konseling Behavioral ................................................................ 13

Bab IV. Teori dan Teknik Konseling Rational Emotive behavior Therapy ........................ 24

Bab V. Teori dan Teknik Konseling Realitas ..................................................................... 31

Bab VI. Teori dan Teknik Konseling Person-Centered ...................................................... 45

Bab VII. Teori dan Teknik Konseling Solution-Focused Brief Therapy ............................... 58

Bab VIII. Teori dan Teknik Konseling Narative Therapy ..................................................... 64

Bab IX. Teori dan Teknik Konseling Feminist Therapy ..................................................... 71

Bab X. Teori dan Teknik Konseling Family System Therapy ............................................. 76

Daftar Pustaka ........................................................................................................................... 84

iii
BAB I

KONSEP DASAR KONSELING

A. DEFINISI KONSELING
Sejak konseling mulai diperkenalkan sebagai suatu layanan dan pekerjaan, terdapat banyak
sekali definisi dan konsep dasar konseling yang telah dikemukakan oleh para ahli. Menurut
Burks dan Stefflre (1979), konseling merupakan hubungan professional antara konselor terlatih
dengan konseli. Hubungan ini biasanya bersifat individu ke individu, walaupun terkadang
melibatkan lebih dari satu orang. Konseling didesain untuk menolong konseli untuk memahami
dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu mencapai tujuan
penentuan diri (self-determination). Hal ini dilakukan melalui pemhaman tentang pelbagai
pilihan yang telah dikomunikasi dengan baik dan bermakna bagi konseli, dalam proses konseling
serta melalui pemecahan masalah emosional dan karakter interpersonal (McLeod, 2006)
Berdasarkan tulisannya pada buku Counseling and Psychotherapy (1942), Rogers
mengemukakan bahwa psikoterapi pada awalnya bersifat medis-psikoanalitis, kemudian berubah
menjadi non-psikoanalitis. Rogers (1971) mendefinisikan konseling sebagai hubungan yang
membantu (helping relationship). Dalam hubungan yang membantu terdapat dua kata yang
memiliki definisi tersendiri dan saling berhubungan. Hubungan dalam proses konseling
merupakan hubungan yang sedikitnya satu dari pihak terkait mempunyai tujuan yang
meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, kedewasaan dan jug meningkatkn fungsi serta
kemampuan untuk menghadapi hidup yang lebih baik dari pihak yang lain. Selanjutnya, bantuan
kebutuhan untuk cinta dan respek, harga diri, dapat membuat keputusan, dan aktualisasi diri.
Bantuan juga mengandung arti menyediakan sarana dan keterampilan yang dapat membuat
individu dapat membantu dirinya sendiri. Dalam konseling, konseor dalah yang memberikan
bantuan. Dengan demikian, konselor memiliki kesediaan untuk mendengarkan riwayat hidup
konseli, harapan-harapan hidupnya, kegagalan-kegagalan yang dialami, emosi-emosi dan tragedy
serta masalah-masalah yang dialami konseli. Selain itu konselor memiliki keterampilan
konseling yang digunakan untuk memahami masalah serta mencari alternative penyelesaian
masalah yang paling memungkinkan dan sesuai dengan konseli.

1
Menurut Cavanagh (1982) konseling merupakan hubungan antara helper yang telah
mendapat pelatihan dengan orang yang mencari bantuan helpee yang didasari oleh keterampilan
helper dan atmosfer yang diciptakan untuk membantu helpee belajar membangun relasi dengan
dirinya dan orang lain dengan cara yang produktif. Berdasarkan pendapat Cavanagh dapat
disimpulkan bahwa konseling mengandung tujuh elemen. Pertama, konselor adalah professional.
Konselor adalah orang yang telah memiliki pendidikan dan mengalaman dalam membantu orang
lain yang telah memiliki pendidikan dan pengalaman dalam membantu orang lain dan mampu
mengatasi berbagai masalah dengan berbagai level permasalahan. Kedua, konseling merupakan
sebuah hubungan dengan orang yang dikonseling. Hal ini berarti, hubungan itu mengandung
permahaman, penerimaan, dan kerjasama antara konselor dan konseli. Ketiga, konselor
professional membutuhkan keterampilan konseling dan kepribadian yang membantu.
Keterampilan konseling tanpa kepribadian yang mendukung tidak cukup untuk membantu
konseli. Keempat, konselor membantu individu belajar. Hal ini berarti bahwa konseling adalah
proses belajar, di mana individu belajar untuk mengubah lingkah laku yang maladaptive dan
belajar tingkah laku yang adaptif. Kelima, individu belajar membantu relasi dengan diri sendiri
dan orang lain. Dengan kata lain, konselor membantu individu berrelasi dengan diri sendiri
dengan lebih baik dan terintegrasi. Selain itu juga individu belajar berrelasi dengan orang lain
dengan lebih baik sebagai pemenuhan kebutuhan psikologis. Keenam, individu belajar
membantu relasi dengan cara yang lebih produktif. Cara ini mengandung tiga arti, yaitu: individu
mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal, konseling bertujuan membantu
individu mengembangkan kepribadiannya, dan konseling bermanfaat bukan hanya untuk orang
yang bermasalah tapi juga orang normal yang mengalami masalah dengan perkembangannnya.
Ketujuh, konseling merupakan hubungan antara konselor dan individu yang mencari bantuan.
Hal ini berarti bahwa individu yang masuk ke dalam proses konseling membutuhkan bantuan
dari professional.
Menurut The American Psychological Association, Division of Counseling Psychology,
Committee on Definition (1956), mendefinisikan konseling sebagai “sebuah proses membantu
individu untuk mengatasi masalah-masalahnya dalam perkembangan dan mencapai
perkembangan yang optimal dengan menggunakan sumber-sumber dirinya. Selanjutnya The
National Conference of State Legislatures and The American Counseling Association
mendefinisikan bahwa konseling adalah suatu proses di mana konselor professional yang telah

2
dilatih membentuk hubungan yang penuh dengan kepercayaan dengan orang yang membutuhkan
bantuan. Hubungan ini berfokus pada pengalaman-pengalaman, perasaan, tingkah laku,
alternative, konsekuensi dan tujuan-tujuan personal. Konseling memberikan kesempatan yang
unik kepada individu untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan ide-ide, perasaan dalam
lingkungan yang tidak menilai dan mengancam.
Dari definisi-definisi di atas dapat dilihat bahwa konseling memiliki berbagai variasi
makan. Menurut Burks dan Stefflre (1979) menekankan pad aide hubungan professional dan
pentingnya tujuan penentuan diri. Sedangkan menurut Rogers dan Cavanagh konseling
merupakan hubungan yang membantu yang di dalamnya mengandung sebuah proses yang harus
dibangun oleh konselor professional dan konseli serta melibatkan proses pembelajaran untuk
mencapai tujuan-tujuan konseling.

B. KONSELOR DAN KONSELI


Dalam proses konseling, setidaknya terdapat dua pihak yang terlibat yaitu konselor dan
konseli. Pihak yang memberikan bantuan telah secra luas diseakati disebut konselor. Namun,
pada banyak referensi konselor dapat pula disebut sebagai terapis atau helper. Di Indonesia,
Asosisi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) menyepakati enyebutan konselor sebagai
pihak yang membantu hal ini dapat dilihat pada Keputusan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia No: 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Kode Etik Bimbingan dan
Konseling. Dalam Kode Etik ini disebutkan bahwa konselor diwajibkan memiliki kualifikasi
yang terdiri dari:
1. Nilai, sikap keterampilan, pengetahuan dan wawasan.
 Konselor wajib terus menerus berusaha mengembangkan dan menguasai dirinya. Ia
wajib mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya
sendiri, yang dapat mempengaruhi hubugan dengan orang lain dan mengakibatkan
rendahnya mutu pelayanan professional serta merugikan konseli.
 Konselor wajib memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar,, menepati
janji, dapat dipercaya, jujur tertib dan hormat.
 Konseor wajib memiliki rasa tanggung jawab terhadap saran ataupun peringatan
yang diberikan keadanya, khususnya dari rekan-rekan seprofesi dalam hubungannya

3
dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tingkah laku professional sebagaimana
diatur dalam kode etik ini.
 Konselor wajib mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin dan tidak
mengutamakan kepentingan pribadi, termasuk keuntungan material, financial dan
popularitas.
 Konselor wajib memiliki keterampian menggunakan teknik dan prosedur khusus
yang dikembangkan atas dasar wawasan yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah
2. Memperoleh pengakuan atas kemampuan dan kewenangan sebagai konselor. Untuk dapat
bekerja sebagai konselor diperlukan pengakuan keahlian dan kewenangan oleh organisasi
profesi atas dasar kewenangan yang diberikan kepadanya.

Selain kualifikasi konselor, kode etik bimbingan dan konseling juga mengatur kegiatan
professional konselor yang menyangkut informasi, testing dan riset; proses pada pelayanan,
konsultasi dan hubungan dengan rekan sejawat atau ahli lain; hubungan kelembagaa; praktik
mandiri dan laporan kepada pihak lain; dan ketaatan pada profesi. Dengan demikian, konselor
atau guru bimbingan dan konseling merupakan pfofesi yang telah memliki aturan professional
dalam pelaksanaan pekerjaan secara professional. Hal ini berarti bahwa profesi konseling
melindungi konselor dalam proses konseling.

Selain konselor professional, pengetahuan dan keterampilan konseling digunakan juga oleh
profesi yang lain. Nelson-Jones mengidentifikasi terdapat empat kategori orang yang
menggunnakan pengetahuan dan keterampilan konseling, yaitu: (1) profesi yang berhubungan
dengan layanan bantuan kepada orang lain, yang mencakup: konselor, psikolog, psikiater dan
pekerja sosial, (2) konselor sukarelawan yang telah dilatih keterampilan konseling, yang
termasuk dalam kategori ini adalah: individu yang bekerja di lembaga pelayanan masyarakat
dan Lembaga Swadaya Masyarakat seperti lembaga yang melayani anak jalanan, panti asuhan
dan lembaga pemasyarakatan, (3) orang yang menggunakan keterampilan konseling sebagai
bagian dalam pelaksanaan pekerjaannya, seperti: guru, perawat, pendeta dan dokter, (4) konselor
informal dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Nelson-Jones, setiap orang memiliki peluang
untuk membantu orang lain dalam mengembangkan potensi, menjadi sahabat, bekerjasama
sebagai kolega atau teman.

4
Walaupun keterampilan konseling yang umum dapat digunakan oleh profesi lain dalam
pelaksaan tugas-tugasnya, hal ini tidak cukup memadai untuk melaksnakan tanggung jawab
sebagai konselor professional karena biasanya profesi lain ini hanya mengikuti pelatihan singakt
tentang menjalin hubungan konseling. Untuk itu dibutuhkkan pendidikan formal untuk
mempersiapkan calon konselor professional yang memiliki kualifikasi pendidikan yang
memadai.

Adapun orang yang dibantu secara umum dikenal dengan sebutan konseli atau klien atau
helpee. Pada Keputusan Pengurus Besar ABKIN No. 10 Tahun 2006, orang yang dibantu oleh
konselor disebut dengan klien. Saat ini terdapat wacana yang berkembang di kalangan dunia BK
yang memberikan nama pada klien dengan sebutn konseli. Istilah konseli masuk secara resi
sebagai sebuah kata dalam bahasa inggris pada tahun 1923, namun istilah ini belum banyak
digunakan secaara luas dalam dunia BK. Bila dilihat melalui dunia maya yaitu dengan
penelusuran menggunakan google scholar terdapat kurang lebih 5.480 dokumen dan 40.700
dokuen melalui goolge Indonesia untuk istilah konseli.

Penyebutan nama konseli dimaksudkan untuk membedakan penamaan orang yang mecari
bantuan ke konselor dengan ke profesi lain yang memiliki kesamaan nama seperti pengacara dan
konsultan. Selain itu, penamaan konseli untuk memberikan nama yang spesifik bagi individu
yang mencari bantuan melalui konseling seperti yang terdapat pada dunia kedokteran yaitu
dokter dan pasien. Bila dilihat dari perbedaan pemaknaan antara konseli dank lien, terlihat bahwa
istilah klien mengandung penilaian dini dan prasangka negative sedangkan istilah konseli lebih
bebas nilai. Dalam konseling menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, egaliter, dan bertujuan
untuk memandirikan individu, istilah konseli lebih cocok untuk digunakan.

C. BIMBINGAN, KONSELING DAN PSIKOTERAPI


Istilah bimbingan, konseling dan psikoterapi banyak digunakan secara bersamaan,
ketiganya memiliki makna yang tumpang tindih namun memiliki perbedaan mendasar. Istiah
bimbingan lebih mudah dibedakan dengan konseling dan psikoterapi. Gladding (1992) yang
berpendapat bahwa pembedaan istilh bimbingan dan konseling adalah bahwa bimbingan
berfokus pada membantu individu membuat pilihan hidup yang penting, sedangkan konseling
berfokus pada membantu individu untuk berubah. Gladding juga mengatakan bahwa bimbingan

5
pada umumnya dilakukan di sekolah-sekolah, di mana konselor membantu siswa membuat
keputusan penting dalam hidupnya, seperti memilih jurusan dan pekerjaan. Selanjutnya Gladding
(2004) menuliskan bahwa bimbingan terkait dengan:
- Membantu individu untuk memilih apa yang mereka anggap paling penting
- Adanya hubungan antara orang-orang yang tidak setara, seperti misalnya antara guru dan
murid serta orang tua dan anak
- Membantu orang yang kurang mempunyai pengalaman untuk menemukan arah dalam
hidupnya
Secara baris besar, bimbingan dapat dimaknai sebagai proses bantuan yang bertujuan
membantu individu membuat keputusan penting dalam hidupnya yang biasanya terjadi pada
setting pendidikan atau persekolahan. Bimbingan lebih bersifat pencegahan yaitu bantuan yang
dilakukan untuk membantu individu dalam beradaptasi dan mencapai proses perkembangannya
baik secara pribadi, intelektual, sosial, emosi dan karirnya. Dalam sistem pendidikan nasional
Indonesia, layanan bimbingan di sekolah-sekolah dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling
atau konselor sekolah yang memiliki latar belakang pendidikan di jurusan Bimbingan dan
Konseling. Layanan bimbingan dapat dilakukan secara individual, kelompok, maupun klasikal.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia bimbingan telah memiliki posisi yang cukup mapan
dengan diakuinya profesi konselor atau guru bimbingan dan konseling yang diberikan waktu
bimbingan klasikal sebanyak satu jam setiap minggunya.
Dalam membahas konseling, pada umumnya penuis mengutarakan sudut pandang tentang
perbedaan dan persamaan antara konseling dan psikoterapi. Sebagian kecil ahli berpendapat
bahwa konseling dan psikoterapi berbeda seperti yang dikemukakan oleh M. E. Hahn yang
mengatakan bahwa konseling dan psikoterapi tidak dapat dibedakan dengan jelas, kegiatan yang
dilakukan konselor dapat dikatakan sebagai kegiatan psikoterapi, kegiatan yang dilakukan oleh
psikoterapis dapat dikatakan sebagai konseling. Walaupun berbagai persamaan di atas, konseling
dan psikoterapis memiliki perbedaan.
Cavanagh menyimpulkan perbedaan konseling dan psikoterapi yang dibahas pada beberapa
literature. Pertama, konseling diperuntukan bagi individu normal, sedangkan psikoterapi pada
umumnya ditujukan bagi individu yang mengalami gangguan psikologis. Kedua, konseling lebih
bersifat edukatif, suportif, berorientasi pada kesadaran dan dilakukan dalam waktu yang relatif
singkat sedangkan psikoterapi bersifat rekonstruksif, konfrontatif, berorientasi pada ketidak-

6
sadaran, dan dilakukan dalam waktu yang panjang. Terakhir, konseling lebih terstruktur,
diarahkan pada tujuan yang terbatas dan konkrit, sedangkan psikoterapi bertujuan untuk
mengubah diri individu.

D. TUJUAN-TUJUAN KONSELING
Menurut McLeod (2006), tujuan konseling dilandasi oleh fondasi dari kergaman model
teori dan tujuan sosial masing-masing pendekatan konseling. McLeod mengatakan bahwa
beberapa tujuan konseling yang didukung secara eksplisit dan implicit oleh para konselor adalah:
 Pemahaman  Memiliki keterampilan sosial
 Berhubungan dengan orang lain  Perubahan kognitif
 Kesadaran diri  Perubahan tingkah laku
 Penerimaan diri  Perubahan sistem
 Aktualisasi diri  Penguatan
 Pencerahan  Restitusi
 Pemecahan masalah  Reproduksi dan aksi sosial
 Pendidikan psikologis
Dalam kegiatan konseling, penetapan tujuan konseling tidak mencakup seluruh tujuan
konseling di atas, tujuan konseling ditetapan berdasarkan permasalahan yang dialami oleh
konseli serta pendekatan konseling yang digunakan oleh konselor.

E. URGENSI TEORI DALAM KONSELING


Hansen, Stevic, dan Warner (1986), pemahaman tentang teori konseling penting bagi
konselor karena beberapa alasan yaitu:
 Teori membantu konselor untuk mendapat kesatuan atau unitas dan keterhubungan di
antara diversitas yang ada.
 Teori memaksa konselor untuk memeriksa hubungan-hubungan yang mungkin
terlupakan bila tidak dilihat berdasarkan teori.
 Teori member konselor tuntunan operasional untuk bekerja dan membantu mereka
mengevaluasi perkembangan mereka sendiri sebagai professional
 Teori membantu konselor untuk memfokuskan pada data yang relevan dan
menunjukan apa yang harus dilihat

7
 Teori membantu konselor membantu konseli melakukan modifikasi yang efektif dari
tingkahlakunya
 Teori membantu konselor mengevaluasi pendekatan-pendekatan yang lama dan yang
baru terhadap proses konseling.
Brammer, Abrego dan Shostrom (1993), fungsi teori dalam konseling adalah:
 Teori membantu menjelaskan apa yang terjadi di dalam suatu hubungan konseling
 Teori membantu konselor dalam membuat prediksi, mengevaluasi, dan
meningkatkan hasil konseling
 Teori member kerangka kerja untuk membuat observasi ilmiah tentang konseling
 Berteori mendorong koherensi ide tentang konseling dan mendorong produksi ide-
ide baru
 Teori konseling membantu member arti kepada observasi-observasi yang dibuat
konselor.

Berdasarkan pendapat beberapa ahi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemehaman tentang
teori-teori konseling sangat penting bagi konselor karena teori-teori memberikan landasan
pemahaman tentang proses konseling yang meliputi: hubungan konseling, sikap dan respon yang
harus ditampilkan konselor, analisis tingkah laku dan pemikiran konseli, identifikasi
permasalahan konseli dan menseleksi teknik yang sesuai dengan permasalahan konseli. Di
samping itu, teori juga penting untuk proses perbaikan dan peningkatan kualitas konselin.
Konselor dapat menganalisis, mengevaluasi dan meneliti proses konseling yang telah
dilaksanakan dalamm rangka perbaikan dan peningkatan kualitas konseling.

F. KERAGAMAN TEORI DALAM KONSELING


Berkembangnya teori-teori bimbingan dan konseling serta psikologi mendorong
pengembangan teori-teori pendekatan klasik, sehingga mencullah berbagai teori konseling.
Munculnya teori-teori baru dalam konseling dapat berupa pengembangan dari teori yang telah
ada, kritik terhadap teori maupun pengembangan teori yang baru. Terdapat tiga pendekatan besar
dalam konseling yaitu: psikodinamik, kognitif-behavioral, dan humanistik yang
merepresentasikan cara yang sangat berbeda dalam memandang manusia, masalah emosional,
dan tingkah laku mereka.

2
Pendekatan psikodinamik yang berbasis pada insight, ketidaksadaran, dan rekonstruksi
kepribadian. Pendekatan ini diwakili dengan terpi psikoanalisis. Pendekatan yang berorientasi
pada behavioral kognitif meliputi: teori tingkah laku, rational emotive behavior therapy, teori
realitas. Pendekatan humanistik yang terdiri dari pendekatan berpusat pada manusia dan
pendekatan gestalt. Pendekatan ini menekankan pada pencapaian manusia seutuhnya.
Teori-teori konseling di atas diklasifikasikan berdasarkan pada bagaimana konselor pada
tiap teori tersebut berhubungan dengan klien. Sebagian konselor berfokus pada perasaan,
sementara konselro dengan teori yang lain berfokus pada pemikiran atau tingkah laku.
Perubahan pada salah satu dari tiga aspek di atas dapat mempengaruhi dan memberikan
perubahan pada dua aspek yang lain.

G. BENANG MERAH TEORI KONSELING


Para ahli mengatakan bahwa di balik perbedaan filosofi dan teknik konseling terdapat
beberapa kesamaan sebagai benang merah teori-teori tersebut. Pertama adalah dapat dilihat dari
serangkaian factor umum atau non-spesifik inti. Dari awal kemunculan konseling dan psikoterapi
sebagai aliran utama profesi pelayanan kemanusiaan, ada banyak orang yang menunjukkan lebih
banyak kemiripan dibandingkan perbedaan di antara pendekatan yang ada. Saul Rosenzwig, Carl
Rogers dan Frederick Allen setuju bahwa beberapa factor seperti dukungan, hubungan konseli
dan terapis yang baik, pemahaman, dan perubahan perilaku merupakan karakteristik umum
suksesnya terapi.
Para terapis dari orientasi yang berbeda memiliki kemiripan dalam pandangan mereka
terdapat konsep hubungan terapeutik yang ideal. Efektivitas terapi bukan semata didasari pada
penggunaan strategi terapeutik tertentu yang direkomendasikan oelh berbgai pendekatan, namun
lebih dapat diatributkan kepada bekerjanya sejumlah faktor umum atau nonspesifik. Factor
nonspesifik tersebut antara lain: penciptaan hubungan yang saling mendukung, menyuplai
pikiran sehat dan membuat konseli dapat menyadari permasalahannya dan berpartisipasi kedua
pihak konselor-konseli dalam proses konseling.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat terlihat bahwa walaupun luas dan beragamnya teori
konseling serta dapat banyak kesamaan dan perbedaan. Kesamaan tersebut berupaya serangkaian
proses yang bersifat umum dan generik. Dengan demikian keragaman dalam teori dan
pendekatan dapat dilihat sebagai aktivitas yang pada dasarnya berbeda satu dengan yang lainnya.

3
H. POSISI TEMPAT DUDUK DALAM KONSELING
Dalam proses konseling, konselor menciptakan lingkungan yang menenangkan dan
membantu rapport dengan konseli. Lingkungan ruangan konseling memberikan kontribusi
terhadap perasaan nyaman dan tenang bagi konseli. Furniture dan penataanya harus membuat
nyaman konselor dan konseli. Pada umumnya konselor tidak disarankan untuk duduk di balik
meja biasanya dikonotasikan dengan figure otoritas seperti guru atau kepala sekolah. Terdapat
beberapa variasi penataan tempat duduk dalam konselig: (1) terdapat meja di antara kursi
konselor dan kursi klien, (2) tidak terdapat penghalang apapun antara kursi konselor dan kursi
konseli, (3) menggunakan ujung meja untuk memberikan kesempatan bagi konseli bila ingin
berlindung di balik meja dan dapat bergerak maju bila sudah merasa nyaman.

I. PROSES KONSELING
Konseling merupakan sebuah proses yang berkelanjutan dan sistemik. Menurut beberapa
penulis, proses konseling dibagi menjadi tiga bagian, yaitu proses awal, tengah dan akhir. Pada
setiap proses ini memiliki aktivitas-aktivitas spesifik yang generic sehingga dapat diintegrasikan
dengan berbagai pendekatan dan teori konseling.
1. Mendefinisikan masalah melalui mendengar aktif
2. Mengklasifikasi ekspektasi konseli
3. Mengeksplorasi hal-hal yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah
4. Mengeksplorasi hal-hal baru yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
5. Membuat komitmen untuk mencoba alternative kegiatan yang dipilih untuk
mengatasi masalah
6. Menutup wawancara konseling

4
BAB II

TEORI DAN TEKNIK KONSELING PSIKOANALISIS

A. SEJARAH PERKEMBANGAN
Dimulai dari suatu metode penyembuhan penderita sakit jiwa, hingga menjadi sebuah
gagasan baru tentang manusia, psikoanalisis dianggap salah satu gerakan revolusioner dalam
bidang psikologi. Peletak dasar teori ini adalah Sigmund Shlomo Freud, yang dijuluki sebagai
bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran dimana hal itu merupakan sumber energi
perilaku manusia. Freud menyusun sebuah model sifat manusia untuk memahami manusia.
Sigmund Freud dilahirkan di Moravia, Cekoslovakia pada tanggal 6 mei 1856, pada usia 4
tahun bersama keluarganya Freud pindah ke Wina, Austria sebuah tempat dimana beliau
kemudian menghabiskan hampir sebagian besar hidupnya. Sejak kecil beliau dikenal pandai,
gemar membaca, dan menguasai berbagai bahasa, di antaranya bahasa Jerman, Perancis, Inggris,
Italia, Spanyol, Latin, Yunani, dan lain sebagainya. Kondisi politik Austria saat itu membatasi
ruang geraknya sebagai seorang Yahudi untuk bisa meneruskan cita-citanya kuliah di fakultas
hukum, sehingga Freud memutuskan untuk mengambil jurusan kedokteran, dan pada usia 25
tahun dia telah lulus dan bekerja di sebuah rumah sakit di kota Wina. Di sini Freud bertemu
dengan seorang dokter dokter spesialis syaraf bernama Josef Breuer, yang sedang merawat
seorang pasien dengan gejala-gejala histeria bernama Bertha Pappenheim.
Pada tahun 1885 Freud mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Paris selama 4 bulan dan
bertemu dengan Jean Charchot, seorang ahli syaraf dan hipnotis berkebangsaan Jerman. Dari
beliau, Freud belajar tentang penggunaan hipnotis untuk menyembuhkan gejala-gejala histeria.
Sepulangnya dari Paris, di Wina Freud kembali bekerja sama dengan Breuer dan menghasilkan
sebuah buku yang sangat terkenal Studies of Hysteria (Freud & Breuer, 1895). Buku ini
kemudian menjadi dasar bagi penelitian-penelitian Freud selanjutnya, beliau pertama kali
memperkenalkan istilah psikoanalisa pada tahun 1896. Tulisan-tulisan Freud berikutnya pada
periode tahun 1890-an banyak membahas tentang pentingnya peningkatan kesadaran individu
tentang kehidupan seksualitasnya. Menurut Freud gejala-gejala histeria dan neurosis disebabkan
oleh pengalaman seksual yang traumatis pada masa kecil.
Kombinasi antara ketertarikan Freud kepada masalah-masalah kejiwaan dengan
pengalaman pribadinya pada masa kecil, dimana dia pernah mengalami ketertarikan pada ibu

5
tirinya, serta rasa marahnya pada sang ayah, membuatnya ingin melakukan penelitian tentang
mimpi dan fantasi. Hasil penelitiannya tersebut dituangkan dalam karya terbesar Freud yaitu
Interpretation of Dreams, yang diselesaikannya pad tahun 1899, berisi tentang konsep bahwa
mimpi merefleksikan harapan-harapan yang ditekan, dan bahwa proses mental dan fisik itu
saling berhubungan satu sama lain, sebuah konsep yang saat itu banyak mendapatkan penolakan
dari masyarakat luas.
Seiring dengan penolakan tersebut, respon positif mulai berdatangan dari beberapa
simpatisan, dimulai dengan mengadakan forum the Wednesday Psychological Society (1902)
hingga menjadi the Vienna Psychoanalytic Society (1908). Pada tahun-tahun itu Fr eud juga
menjadi semakin produktif dalam menulis, beberapa buku berhasil diterbitkannya antara lain :
the Psychopathology of Everyday Life (1901), Three Essays on Sexuality (1905), dan Jokes and
Their Relation to the Unconscious (1905). Sebuah peristiwa penting yang akhirnya memberikan
pengakuan terhadap psikoanalisa dan membawanya ke Amerika adalah undangan dari Stanley
Hall untuk memberikan kuliah umum di Clark University di Worcester, Massachusetts pada
tahun 1909. Setelah itu perhatian dunia semakin besar terhadap teori Psikoanalisa, ditambah
dengan terbitnya buku penting Freud yang lain seperti Introductory Lectures on Psycho-Analysis
(1917) dan the Ego and the Id (1923).
Perkembangan penting dalam psikoanalisa bukan hanya tentang tulisan-tulisan Freud tapi
juga seputar interaksinya dengan para pengikutnya. Beberapa dari muridnya mengembangkan
teori psikoterapinya sendiri seperti Alfred Adler, Carl Jung, dan Otto Rank, yang kemudian
disebut sebagai neo-Freudian, lebih memfokuskan pada faktor-faktor sosial dan budaya daripada
faktor biologis. Karen Horney (1937) yang tidak setuju dengan pandangan Freud tentang
perempuan, berpendapat bahwa faktor budaya dan hubungan interpersonal lebih berpengaruh
terhadap kepribadian individu daripada trauma masa kecil. Erich Fromm (1955) memfokuskan
penelitiannya pada kelompok-kelompok sosial dan perubahan kebudayaan. Neo-Freudian yang
paling banyak mendapat perhatian karena memberikan tambahan dimensi pada teori
psikoanalisa, adalah Harry Stack Sullivan (1953) dia memberikan penekanan pada faktor-faktor
interpersonal dan hubungan teman sebaya pada masa kecil.
Sigmund Freud terus aktif berkarya hingga maut menjemputnya pada tahun 1939 karena
penyakit kanker mulut dan rahang yang telah dideritanya selama 16 tahun terakhir, dan melewati

6
33 kali operasi. Beliau meninggal dunia di London pada usia 83 tahun dan meninggalkan
warisan yang tidak ternilai bagi dunia psikoterapi modern.

B. HAKIKAT MANUSIA
Freud memandang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministik, mekanistik, dan
reduksionistik. Di mana manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-
motivasi tidak sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan naluriah, dan
oleh peristiwa-pristiwa psikoseksual yang terjadi selama lima tahun pertama dari kehidupan.
Freud menekankan peran naluri-naluri yang bersifat bawaan dan biologis, ia juga menekankan
pada naluri seksual dan impuls-impuls agresif. Menurutnya tujuan segenap kehidupan adalah
kematian, kehidupan ini adalah tidak lain jalan melingkar ke arah kematian.
Sumbangan terbesar Freud adalah konsep-konsepnya tentang kesadaran dan
ketidaksadaran yang merupakan dasar atau kunci untuk memahami tingkah laku dan masalah
kepribadian. Dengan kepercayaannya bahwa sebagian besar fungsi psikologis terletak di luar
kawasan kesadaran, maka sasaran terapi psikoanalitik adalah membuat motif-motif tidak sadar
menjadi disadari. Dari perspektif ini, terapi adalah upaya menyingkap makna gejala-gejala,
sebab-sebab tingkah laku, dan bagian-bagian yang direpresi yang menghalangi fungsi psikologis
yang sehat.
Selain kesadaran, kecemasan juga menjadi hal yang esensial untuk menggambarkan
tentang sifat manusia. Apabila tidak dapat mengendalikan kecemasan melalui cara-cara yang
rasional dan langsung maka ego akan mengandalkan cara-cara yang tidak relistis yaitu tingkah
laku yang berorientasi pada pertahanan ego. Freud menyakini bahwa individu yang hati
nuraninya berkembang baik cenderung merasa berdosa apabila dia melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan kode moral yang dimilikinya.
Berdasarkan dari teori yang dikembangkan Freud, prinsip-prinsip psikonalisis tentang
hakikat manusia didasarkan pada asumsi-asumsi :
a) Pengalaman masa kanak-kanak mempengaruhi perilaku pada masa dewasa
b) Proses mental yang tidak disadari mengintegrasi perilaku-perilaku
c) Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan mengembangkan diri melalui
dorongan libido dan agresivitasnya sejak lahir

7
d) Secara umum perilaku manusia bertujuan untuk meredakan ketegangan, menolak
kesakitan dan mencari kenikmatan
e) Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan seksual mengarah pada perilaku neurosis
f) Pembentukan simptom merupakan bentuk defensif
g) Apa yang terjadi pada seseorang saat ini dihubungkan pada sebab-sebab di masa
lampaunya dan memotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan di masa yang akan datang
h) Latihan pengalaman di masa kanak-kanak berpengaruh penting pada perilaku masa
dewasa dan diulangi dalam transferensi selama proses terapi.

C. PERKEMBANGAN PERILAKU
1. Struktur Kepribadian
Menurut pandangan Psikoanalisa, struktur kepribadian manusia tersusun secara struktural,
dimana terdapat subsistem yang berinteraksi secara dinamis, yaitu id, ego, dan superego.
a) Id, atau biasa disebut struktur kepribadian primitif adalah sistem kepribadian yang
dimiliki individu sejak lahir, yang dihubungkan dengan faktor biologis dan hereditas.
Digerakkan oleh libido, yaitu energi psikis untuk dapat beradaptasi secara fisiologis
dan sosial untuk mempertahankan dan mengembangkan spesiesnya. Prinsip kerjanya
selalu mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit atau ketidaknyamanan.
Tempatnya ada pada alam bawah sadar dan secara langsung berpengaruh terhadap
perilaku seseorang tanpa disadari. Menurut Freud terdapat dua insting dasar dalam
Id, yaitu Eros dan Thanatos. Eros merupakan insting untuk bertahan hidup, dengan
libido sebagai dorongan utama. Sedangkan Thanatos merupakan insting yang
mendorong individu untuk berperilaku agresif dan destruktif.
b) Ego, adalah strukutur kepribadian yang tidak diperoleh saat lahir, tetapi dipelajari
sepanjang berinteraksi dengan lingkungannya. Ego memiliki kontak dengan dunia
eksternal dari kenyataan, merupakan eksekutif dari struktur kepribadian yang
bertugas memerintah, mengendalikan, dan mengatur. Ego mempunyai tugas sebagai
“penengah” antara dorongan-dorongan biologis (Id) dan tuntutan atau hati nurani
yang terbentuk dari orang tua, budaya, dan tradisi ( superego). Ego bertindak realistis
dan berfikir logis dalam merumuskan rencana-rencana tindakan bagi pemuasan
kebutuhan. Hubungan antara ego dengan id, adalah bahwa ego adalah tempat

8
bersemayamnya inteligensi dan rasionalitas yang mengawasi dan mengendalikan
impuls buta id, sementara id hanya mengenal kenyataan yang subyektif.
c) Superego, adalah struktur kepribadian yang berhubungan dengan tindakan baik-
buruk, benar-salah. Superego dikembangkan dari kebudayaan dan nilai sosial,
terbentuk karena adanya interaksi dengan orang tua dan masyarakat,
merepresentasikan hal-hal yang ideal, dan mendorong individu kepada
kesempurnaan, bukan kesenangan semata. Dapat dikatakan superego merupakan kata
hati seseorang dan sebagai alat kontrol dari dalam individu untuk menentang
kehendak Id. Tempatnya pada alam sadar dan terbentuk sejak kanak-kanak lalu terus
berkembang hingga dewasa.
Sehingga menurut Freud, struktur kepribadian merupakan sistem yang kompleks, karena
adanya interaksi antara tuntutan Id, dunia realitas yang dimiliki Ego dan harapan moral
Superego.
1.1. Periode Perkembangan Psikoseksual
Freud berpendapat bahwa tahapan perkembangan individu yang terpenting terjadi pada 5
tahun pertama kehidupannya, dan periode perkembangan psikoseksual pada masa ini merupakan
landasan bagi perkembangan kepribadian individu selanjutnya,
a) Fase Oral (0 – 1 tahun)
Mulai usia 0 – 1 tahun seorang bayi menjalani fase oral, pada masa ini mulut dan bibir
merupakan zona yang peka. Kebutuhan akan makanan dan kesenangan dipuaskan dengan
aktivitas menyusu pada ibunya. Benda-benda yang dicari anak dapat menjadi pengganti
bagi apa-apa yang sesungguhnya diinginkannya, yakni makanan dan cinta dari ibunya.
Tugas perkembangan utama fase oral adalah memperoleh rasa percaya, baik kepada diri
sendiri, dan orang lain. Cinta adalah perlindungan terbaik terhadap ketakutan dan
ketidakamanan. Anak-anak yang dicintai tidak akan banyak menemui kesulitan dalam
menerima dirinya, sebaliknya anak-anak yang merasa tidak diinginkan, tidak diterima, dan
tidak dicintai cenderung mengalami kesulitan dalam menerima dirinya sendiri, dan belajar
untuk tidak mempercayai orang lain, serta memandang dunia sebagai tempat yang
mengancam. Efek penolakan pada fase oral akan membentuk anak menjadi pribadi yang
penakut, tidak aman, haus akan perhatian, iri, agresif, benci, dan kesepian.

9
b) Fase Anal (1 – 3 tahun)
Tugas perkembangan pada fase ini adalah anak harus belajar mandiri, dan belajar
mengakui dan menangani perasaan-perasaan negatif. Pada fase anal anak banyak
berhadapan dengan tuntutan-tuntutan orangtua, terutama yang berhubungan dengan toilet
training, dimana anak memperoleh pengalaman pertama dalam hal kedisiplinan. Banyak
sikap terhadap fungsi tubuh sendiri yang dipelajari anak dari orangtuanya. Selama fase anal
anak akan mengalami perasaan-perasaan negatif seperti benci, hasrat merusak, marah, dan
sebagainya, namun mereka harus belajar bahwa perasaan-perasaan tersebut bisa diterima.
Hal penting lain yang harus dipelajari anak adalah bahwa mereka memiliki kekuatan,
kemandirian, dan otonomi.
c) Fase Phalic (3 – 5 tahun)
Pada fase ini aktivitas seksual anak menjadi lebih intens dan lebih berpusat pada fungsi alat
kelaminnya, anak-anak menjadi lebih berhasrat untuk melakukan eksplorasi terhadap
tubuhnya, dan menemukan perbedaan-perbedaan di antara kedua jenis kelamin. Fase
Phalic juga merupakan periode perkembangan hati nurani, dimana anak belajar mengenai
standar-standar moral. Selama fase ini anak perlu belajar menerima perasaan seksualnya
sebagai hal yang alamiah dan belajar memandang tubuhnya sendiri secara sehat. Mereka
membutuhkan contoh yang memadai bagi identifikasi peran seksual, untuk mengetahui apa
yang benar dan salah, serta apa yang maskulin dan feminin, sehingga mereka memperoleh
perspektif yang benar tentang peran mereka sebagai anak laki-laki atau anak perempuan.
d) Fase Laten (6 – 12 tahun)
Pada fase Laten ketertarikan pada masalah seksual sudah berkurang, libido ditekan dan
anak mulai mengalihkan energinya ke kegiatan sekolah, bersosialisai dengan teman, olah
raga, dan hobi. Namun berkurangnya perhatian pada masalah seksual itu bersifat laten dan
masih akan terus memberikan pengaruh pada tahap perkembangan kepribadian berikutnya.
e) Fase Genital (12 tahun ke atas)
Fase genital dimulai pada usia 12 tahun, yaitu pada masa remaja awal dan berlanjut terus
sepanjang hidup. Pada fase ini energi seksual anak mulai terarah kepada lawan jenis bukan
lagi pada kepuasan diri melalui masturbasi, dan anak mulai mengenal cinta kepada lawan
jenis.

10
2. Pribadi Sehat dan Bermasalah
Kepribadian yang sehat menurut Freud adalah jika individu bergerak menurut pola
perkembangan yang ilmiah, mampu belajar dalam mengatasi tekanan dan kecemasan, memiliki
kesehatan mental yang baik yaitu hasil dari keseimbangan antara kinerja super ego terhadap id
dan ego.
Sedangkan pribadi yang bermasalah adalah jika terdapat dinamika yang tidak efektif antara
Id, Ego dan Superego, dimungkinkan Ego selalu mengikuti dorongan-dorongannya dan
mengabaikan tuntutan moral atau Ego selalu mempertahankan kata hatinya tanpa menyalurkan
keinginan atau kebutuhan dan juga proses belajar yang tidak benar pada masa kanak-kanak.

2.1. Mekanisme Pertahanan Diri


Bagaimana ego mengatasi konflik antara tuntutan realitas, keinginan id, dan hambatan
super ego? Freud menerangkan mekanisme-mekanisme pertahanan yang digunakan oleh
individu untuk mengatasi kecemasan dan mencegah terlukanya ego. Individu menggunakan
pertahanan tergantung pada taraf perkembangan dan tingkat kecemasan yang dialaminya.
Beberapa mekanisme pertahanan diri yang dikemukakan oleh Freud, di antaranya :
 Denial / Penyangkalan
Penyangkalan adalah pertahanan melawan kecemasan dengan menutup mata terhadap
kenyataan yang mengancam. Individu mempunyai kecenderungan untuk menolak sejumlah
aspek kenyataan yang terlalu menyakitkan untuk diterima
 Proyeksi
Proyeksi adalah mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego
kepada orang lain. Dengan proyeksi, individu akan menyalahkan orang lain atas kesalahan
yang dibuatnya sendiri, dan menyangkal bahwa dia memiliki dorongan negatif
 Fiksasi
Fiksasi yaitu terpaku/tetap pada tahap-tahap perkembangan yang lebih awal karena
individu memiliki kecemasan untuk mengambil langkah ke tahap berikutnya. Anak yang
memakai mekanisme pertahanan fiksasi biasanya mempunyai hambatan dalam
perkembangan dan menjadi tidak mandiri.

11
 Regresi
Regresi yaitu melangkah mundur ke tahap perkembangan sebelumnya dimana tuntutan-
tuntutannya tidak terlalu besar
 Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah menciptakan alasan-alasan yang “baik” untuk menghindarkan ego dari
cedera, memalsukan diri sehingga kenyataan yang mengecewakan menjadi tidak begitu
menyakitkan
 Sublimasi
Sublimasi yaitu menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau lebih dapat diterima
secara sosial, mekanisme pertahanan sublimasi ini lebih bersifat positif karena individu
mencari jalan lain bagi pengungkapan perasaan agresinya dengan cara yang lebih
bermanfaat
 Displacement
Displacement adalah mengarahkan energi kepada obyek atau orang lain ketika obyek asal
tidak terjangkau
 Represi
Represi adalah melupakan peristiwa traumatis yang bisa membangkitkan kecemasan,
dengan menekannya ke alam bawah sadar sehingga tidak lagi menjadi hal-hal yang
menyakitkan. Represi merupakan salah satu konsep Freud yang paling penting, karena
merupakan dasar bagi sebagian besar pertahanan ego yang digunakan individu
 Formasi Reaksi
Formasi reaksi adalah melakukan tindakan yang berlawanan dengan hasrat-hasrat tak
sadar. Ketika perasaan-perasaan yang lebih dalam menimbulkan ancaman, maka individu
berusaha menampilkan tingkah laku yang berlawanan untuk menyangkal perasaan-
perasaan negatifnya.

D. HAKIKAT KONSELING
Secara umum hakikat konseling adalah mengubah perilaku. Dalam pendekatan
psikonanalisa hakikat konseling adalah agar individu mengetahui ego dan memiliki ego yang
kuat, yaitu menempatkan ego pada tempat yang benar yaitu sebagai pihak mampu memilih
secara rasional dan menjadi mediator antara Id dan Superego. Konseling dalam pandangan

12
psikoanalisis adalah sebagai proses re-edukasi terhadap ego menjadi lebih realistik dan rasional.
Terdapat 4 teknik dasar dalam konseling psikoanalisis, yaitu :
1. Asosiasi bebas
Merupakan teknik utama dalam pendekatan psikoanalisa. Di sini konseli diminta untuk
memanggil kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan-pelepasan emosi
yang berkaitan dengan peristiwa traumatis di masa lampau. Pada teknik asosiasi bebas
konseli mengalami proses katarsis, dimana dia mendapatkan kebebasan untuk
mengemukakan segenap perasaan dan pikiran yang terlintas di benaknya, baik yang
menyenangkan maupun yang tidak. Biasanya dilakukan dengan cara konseli berbaring di
atas sofa sementara konselor duduk di belakang kepalanya sehingga tidak mengganggu
perhatian konseli pada saat melakukan asosiasi bebas.
Selama proses berlangsung tugas konselor adalah mengenali peristiwa-peristiwa yang di-
repres dan dikurung oleh konseli dalam ketidaksadarannya. Kemudian konselor
menafsirkan pengalaman itu, menyampaikannya kepada konseli dan membimbingnya ke
arah peningkatan pemahaman atas dinamika yang tidak disadari oleh konseli
2. Analisis mimpi
Freud menyebut mimpi sebagai jalan istimewa menuju ketidaksadaran, sebab melalui
mimpi hasrat, kebutuhan, dan ketakutan yang tidak disadari bisa terungkap. Mimpi
memiliki 2 taraf isi yaitu isi laten dan isi manifes, isi laten terdiri dari motif-motif yang
tersembunyi dan simbolis, sebaliknya isi manifes yaitu gambaran yang tampak dalam
mimpi yang dialami oleh individu. Tugas konselor disini adalah untuk menyingkap isi
laten yang tergambar dalam isi manifes mimpi konseli, serta mengasosiasikannya guna
menyingkap makna-makna terselubung di dalamnya
3. Analisis resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang menghambat kelangsungan terapi dan mencegah konseli
mengungkapkan alasan-alasan kecemasannya. Freud berpendapat bahwa hal ini tidak bisa
dibiarkan karena akan menghambat proses konseling. Penafsiran terhadap resistensi harus
dilaksanakan untuk membantu konseli menyadari alasan-alasan yang ada di balik resistensi
dan kemudian mampu menyelesaikan konfliknya secara realistis.

13
4. Analisis transferensi
Transferensi terjadi ketika terdapat sebuah “urusan yang belum selesai” dengan orang-
orang penting di masa lalu, yang terdistorsi ke masa sekarang dan memberikan reaksi
kepada konselor sebagaimana dia bereaksi terhadap ayah atau ibunya pada masa kanak-
kanak. Di sini konselor melakukan penafsiran agar konseli mampu menembus konflik
masa lalu, dan menggarap konflik emosional yang terdapat pada hubungan terapeutiknya
bersama sang konselor.

E. KONDISI PENGUBAHAN
1. Tujuan
Menurut Corey (2005), tujuan terapi psikoanalisa adalah untuk membentuk kembali
struktur karakter individu, dengan cara merekonstruksi, membahas, menganalisa, dan
menafsirkan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau, yang terjadi di masa kanak-kanak.
Membantu konseli untuk membentuk kembali struktur karakternya dengan menjadikan hal-hal
yang tidak disadari menjadi disadari oleh konseli. Secara spesifik, membawa konseli dari
dorongan-dorongan yang ditekan (ketidaksadaran) yang mengakibatkan kecemasan kearah
perkembangan kesadaran intelektual, menghidupkan kembali masa lalu konseli dengan
menembus konflik yang ditekan, memberikan kesempatan kepada konseli untuk menghadapi
situasi yang selama ini ia gagal mengatasinya.
2. Peran Konselor
Karakteristik konselor dalam psikoanalisa adalah membiarkan dirinya anonim serta hanya
berbagi sedikit saja perasaan dan pengalaman pribadinya kepada konseli. Peran utama konselor
dalam konseling ini adalah membantu konseli dalam mencapai kesadaran diri, ketulusan hati,
dan hubungan pribadi yang lebih efektif dalam menghadapi kecemasan melalui cara-cara yang
realistis, serta dalam rangka memperoleh kembali kendali atas tingkah lakunya yang impulsif
dan irasional.
Konselor membangun hubungan kerja sama dengan konseli dan kemudian melakukan
serangkaian kegiatan mendengarkan dan menafsirkan. Konselor juga memberikan perhatian
kepada resistensi konseli untuk mempercepat proses penyadaran hal-hal yang tersimpan dalam
ketidaksadaran. Sementara konseli berbicara, konselor berperan mendengarkan dan kemudian
memberikan tafsiran-tafsiran terhadap informasi konseli, konselor juga harus peka terhadap

14
isyarat-isyarat non verbal dari konseli. Salah satu fungsi utama konselor adalah mengajarkan
proses arti proses kepada konseli agar mendapatkan pemahaman terhadap masalahnya sendiri,
mengalami peningkatan kesadaran atas cara-cara berubah, sehingga konseli mampu
mendaptakan kendali yang lebih rasional atas hidupnya sendiri.
3. Peran Konseli
Konseli harus bersedia terlibat dalam proses konseling secara intensif, dan melakukan
asosiasi bebas dengan mengatakan segala sesuatu yang terlintas dalam pikirannya, karena
produksi verbal konseli merupakan esensi dari kegiatan konseling psikoanalisa. Pada kasus-
kasus tertentu konseli diminta secara khusus untuk tidak mengubah gaya hidupnya selama proses
konseling. Dalam pelaksanaan konseling psikoanalisis, klien menelusuri apa yang tepat dan tidak
tepat pada tingkah lakunya dan mengarahkan diri untuk membangun tingkah laku baru.
4. Situasi Hubungan
Dalam konseling psikoanalisis terdapat 3 bagian hubungan konselor dengan klien, yaitu
aliansi, transferensi, dan kontratransferensi :
a. Aliansi yaitu sikap klien kepada konselor yang relatif rasional, realistik, dan tidak neurosis
(merupakan prakondisi untuk terwujudnya keberhasilan konseling).
b. Transferensi
1) pengalihan segenap pengalaman klien di masa lalunya terhadap orang-orang yang
menguasainya, yang ditujukan kepada konselor
2) merupakan bagian dari hubungan yang sangat penting untuk dianalisis
3) membantu klien untuk mencapai pemahaman tentang bagaimana dirinya telah salah
dalam menerima, menginterpretasikan, dan merespon pengalamannya pada saat ini
dalam kaitannya dengan masa lalunya.
c. Kontratransferensi
Yaitu kondisi dimana konselor mengembangkan pandangan-pandangan yang tidak selaras
dan berasal dari konflik-konfliknya sendiri. Kontratransferensi bisa terdiri dari perasaan
tidak suka, atau justru keterikatan atau keterlibatan yang berlebihan, kondisi ini dapat
menghambat kemajuan proses konseling karena konselor akan lebih terfokus pada
masalahnya sendiri. Konselor harus menyadari perasaaannya terhadap klien dan mencegah
pengaruhnya yang bisa merusak. Konselor diharapkan untuk bersikap relatif obyektif dalam
menerima kemarahan, cinta, bujukan, kritik, dan emosi-emosi kuat lainnya dari konseli.

15
F. KELEMAHAN DAN KELEBIHAN PENDEKATAN PSIKONALISA
Kelemahan dari pendekatan ini adalah:
1. Pandangan yang terlalu determistik dinilai terlalu merendahkan martabat
kemanusiaan.
2. Terlalu banyak menekankan kepada masa kanak-kanak dan menganggap kehidupan
seolah-olah ditentukan oleh masa lalu. Hal ini memberikan gambaran seolah-olah
tanggung jawab individu berkurang.
3. Cenderung meminimalkan rasionalitas.
4. Kurang efisien dari segi waktu dan biaya
Kelebihan dari pendekatan ini adalah:
1. Penggunaan terapi wicara
2. Kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, dan dapat memahami sifat
manusia untuk meredakan penderitaan manusia.
3. Pendekatan ini dapat mengatasi kecemasan melalui analisis atas mimpi-minpi,
resistensi-resistensi dan transferensi-trasnferensi.
4. Pendekatan ini memberikan kepada konselor suatu kerangka konseptual untuk
melihat tingkah laku serta untuk memahami sumber-sumber dan fungsi
simptomatologi.

16
BAB III

TEORI DAN TEKNIK KONSELING BEHAVIORAL

A. SEJARAH PERKEMBANGAN
Konseling berkembang pertama kali di Amerika yang dipelopori oleh Jesse B. Davis tahun
1898 yang bekerja sebagai konselor sekolah di Detroit. Banyak factor yang mempengaruhi
perkembangan konseling, salah satunya adalah perkembangan yang terjadi pada kajian
psikologis, mengungkapkan bahwa kekuatan-kekuatan tertentu dalam lapangan psikologis telah
mempengaruhi perkembangan konseling baik dalam konsep maupun teknik. Aliran-aliran yang
muncul dalam lapangan psikologi memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap
perkembangan konseling, diantara aliran-aliran psikologi yang cukup memberikan pengaruh
terhadap perkembangan konseling adalah sebagai berikut ; aliran strukturalisme (Wundt),
Fungsionalisme (James), dan Behaviorisme (Watson).
Perkembangan koseling behavioral bertolak dari perkembanngan aliran behavioristik
dalam perkembangan psikologi yang menolak pendapat aliran strukturalisme yang berpendapat
bahwa mental, pikiran dan perasaan hendaknya ditemukan terlebih dahulu bila perilaku manusia
ingin difahami, maka munculah teori introspeksi.
Aliran Behaviorisme menolak metode introspeksi dari aliran strukturalisme dengan sebuah
keyakinan bahwa menurut para behaviorist metode introspeksi tidak dapat menghasilkan data
yang objektif, karena kesadaran menurut para behaviorist adalah sesuatu yang Dubios, yaitu
sesuatu yang tidak dapat diobservasi secara langsung, secara nyata. Bagi aliran Behaviorisme
yang menjadi focus perhatian adalah perilaku yang tampak, karena persoalan psikologi adalah
tingkah laku, tanpa mengaitkan konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran dan mentalitas.
Pada awalnya behaviorisme lahir di Rusia dengan tokohnya Ivan Pavlov, namun pada
saat yang hamper bersamaan di Amerika behaviorisme muncul dengan salah satu tokoh
utamanya John B. Watson. Di bawah ini akan kami kupas beberapa tokoh behaviorisme :

1. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)


Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia yang sangat dikenal dengan teori pengkondisian
klasik (classical conditioning) dengan eksperimennya yang menggunakan anjing sebagai obyek
penelitian. Pengkondisian model Pavlov ini menyatakan bahwa rangsangan yang diberikan

17
secara berulang-ulang serta dipasangkan dengan unsure penguat, akan menyebabkan suatu
reaksi. Menurut Pavlov aktivitas organisme dapat dibedakan atas :
a. Aktivitas yang bersifat reflektif ; yaitu aktivitas organisme yang tidak disadari oleh
organisme yang bersangkutan. organisme membuat respons tanpa disadari sebagai reaksi
terhadap stimulus yang mengenainya.
b. Aktivitas yang disadari ; yaitu aktivitas atas dasar kesadaran organisme yang bersangkutan.
Ini merupakan respons atas dasar kemauan sebagai suatu reaksi terhadap stimulus yang
diterimanya. ini berarti bahwa stimulus yang diterima oleh organisme itu sampai pada
pusat kesadaran, dan barulah terjadi suatu respons. Dengan demikian maka jalan yang
ditempuh oleh stimulus dan respons atas kesadaran yang lebih panjang apabila
dibandingkan dengan stimulus-respons yang tidak disadari (respons reflektif). Psikologi
yang digagas oleh Pavlov dikenal dengan psikologi reflek (psychoreflexiologi), karena
Pavlov lebih memfokuskan perhatiannya pada aktivitas yang bersifat reflek.

Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:


Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka secara otonom
anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).
Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau mengeluarkan
air liur.

18
Gambar ketiga. Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS)
setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur
(UCR) akibat pemberian makanan.
Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika anjing
mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan memberikan
respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).
Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi
bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan makanan.
Karena pada awalnya (gambar 2) anjing tidak merespon apapun ketika mendengar bunyi bel.
Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian
mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan
stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini disebut
dengan extinction atau penghapusan.
Pavlov mengemukakan empat peristiwa eksperimental dalam proses akuisisi dan
penghapusan sebagai berikut:
1) Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa lingkungan yang melalui kemampuan
bawaan dapat menimbulkan refleks organismik. Contoh: makanan
2) Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat netral dipasangkan
dengan stimulus tak terkondisi (UCS). Contoh: Bunyi bel adalah stimulus netral yang di
pasangkan dengan stimulus tidak terkondisi berupa makanan.
3) Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara otonom atau
dengan sendirinya. Contoh: mengeluarkan air liur
4) Respos terkondisi (CR), refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari penggabungan CS
dan US. Contoh: keluarnya air liur akibat penggabungan bunyi bel dengan makanan.

2. Edward Lee Thorndike (1874-1949)


Edward Lee Thorndike (psikolog amerika) lahir di Williamsburg pada tahun
1874. Karya-karyanya yang paling dikenal adalah penelitian mengenai animal psychology
serta teori belajar Trial and error learning.
Thorndike menitikberatkan perhatiannya pada aspek fungsional perilaku yaitu bahwa
proses mental dan perilaku berkaitan dengan penyesuaian diri organisme terhadap

19
lingkungannya. Karena pendapatnya tersebut maka Thorndike diklasifikasikan sebagai
behaviorist yang fungsional, berbeda dengan Pavlov yang behaviorist asosiatif dari hasil
eksperimennya Thorndike menetapkan ada tiga macam hukum yang sering disebut dengan
hukum primer dalam hal belajar, tiga hukum tersebut adalah :
a. Hukum Kesiapan (The law of readiness)
Respon mudah terjadi pada diri seseorang yang belajar apabila pada diri seseorang telah
ada persiapan. Ada suasana yang mungkin terjadi:
1) Organisme siap – diberkan stimulus – anak memberikan respon. Respon tingkah laku
anak akan sepenuh hati sehingga memberikan kepuasan.
2) Organisme siap – tidak diberi stimulus – anak tidak memberikan respon. Karena itu
kemudian anak akan bertingkah laku lain untuk memenuhi ketidak puasannya.
3) Organisme titak siap – diberi stimulus – anak memberikan respon dengan terpaksa.
Dalam hal ini anak tidak puas dan akan melakukan tingkah laku lain untuk menekan
paksaan yang ada.
b. Hukum Latihan (The Law of exercise)
Respon terjadi bila sering dilatih dan sebaliknya respon lemah jika jarang dilatih.
c. Hukum Efek (The Law of effect)
Respon yang diberikan seseorang sangat tergantung dari akibat yang diberikan pada waktu
yang lalu.
The law of readiness, adalah salah satu factor penting, karena dalam proses belajar yang
baik organisme harus mempunyai kesiapsediaan, karena tanpa adanya kesiapsediaan dari
organisme yang bersangkutan maka hasil belajarnya tidak akan baik.
Sedangkan hukum latihan the law of exercise Thorndike mengemukakan dua aspek yang
terkandung di dalamnya yaitu ; 1). The law of use, 2). The law of disuse. The law of use adalah
hukuk yang menyatkan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulusrespons akan menjadi kuat
apabila sering digunakan.
The law of disuse; adalah hukum yang menyatakan bahwa koneksi antara stimulus-respons
akan menjadi lemah apabila tidak latihan. Mengenai hukum efek Thorndike berpendapatkan
bahwa memperkuat atau memperlemah hubungan stimulus-respons, tergantung pada bagaiman
hasil dari respons yang bersangkutan.

20
3. John Broadus Watson (1878-1958)
Watson mendefinisikan psikologi sebagi ilmu pengetahuan tentang tingkah laku. Sasaran
behaviorisme adalah mampu meramalkan reaksi dari satu pengenalan mengenai kondisi
perangsang,dan sebaliknya, juga mengenali reaksi, agar bisa meramalkan kondisi perangsang
yang mendahuluinya.
Inti dari behaviorisme adalah memprediksi dan mengontrol perilaku. Karyanya diawali
dengan artikelnya psychology as the behaviorist views it pada tahun 1913. Di dalam artikelnya
tersebut Watson mengemukakan pandangan behavioristiknya yang membantah pandangan
strukturalisme dan fungsionalisme tentang kesadaran. Menurut Watson (behaviorist view) yang
dipelajari adalah perilaku yang dapat diamati, bukan kesadaran, kaena kesadaran adalah sesuatu
yang dubios. Metode-metode obyektif Watson lebih banyak menyukai studi mengenai
binatang dan anak-anak, seperti sebuah studi yang ia lakukan dalam pengkondisian rasa takut
pada anak-anak.

4. Burrhus Frederic Skinner (1904-1990)


Skinner membedakan perilaku atas :
a) Perilaku alami (innate behavior), yang kemudian disebut juga sebagai clasical
ataupun respondent behavior, yaitu perilaku yangdiharapkan timbul oleh stimulus
yang jelas ataupun spesifik, perilaku yang bersifat reflektif.
b) Perilaku operan (operant behavior), yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus
yang tidak diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri
setelah mendapatkan penguatan.
Skinner yakin jika kebanyakan perilaku manusia dipelajari lewat Operant
Conditioning atau pengkondisian operan, yang kuncinya adalah penguatan segera terhadap
respons. OperantConditioning adalah suatu proses penguatan perilaku yang dapat mengakibatkan
perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Skinner membuat mesin untuk percobaanya dalam Operant Conditioning yang dinamakan
dengan"Skinner Box" dan tikus yang merupakan subjek yang sering digunakan dalam
percobaanya.
Dalam percobaannya tersebut yang dilakukan oleh Skinner dalam Laboratorium, seekor
tikus yang lapar diletakkan dalam Skinner Box, kemudian binatang tersebut akan menekan

21
sebuah tuas yang akan membukakan dulang makanan, sehingga diperoleh penguatan dalam
bentuk makanan. Secara kebetulan, dalam perilaku menyelidik tersebut tikus menyentuh tuas
makanan dan makanan pun berjatuhan. Setiap kali tikus melakukan hal ini akan mendapatkan
makanan; penekanan tuas diperkuat dengan penyajian makanan tersebut, sehingga tikus tersebut
akan menghubungkan perilaku tertentu dengan penerimaan imbalan berupa makanan tadi. Jadi,
tikus tersebut akan belajar bahwa setiap kali menekan tuas dia akan mendapatkan makanan dan
tikus tersebut akan sering kali mengulangi perilakunya, sampai ada proses pemadaman atau
penghilangan dengan menghilangkan penguatannya.

Eksperimen terhadap tikus dilakukan untuk menjelaskan bagaimana tingkalaku manusia


dapat terbentuk, yang pada dasarnya tingkah laku dipengaruhi oleh lingkungan yang
dikondisikan (pengkodisian operan). Melalui pengkodisian tersebut maka terjadilah proses
belajar yang kemudian menghasilkan tingkah laku baru (respon) yang inginkan. Untuk
meningkatkan tingkah laku tersebut maka dapat diperkuat dengan reinforcement.
Dalam penguatan tersebut dibedakan antara pengutan positif dan negatif. Penguatan positif
adalah stimulus yang apabila diberikan sesudah terjadinya respon, meningkatkan kemungkinan
respon tersebut.

22
-> Respon 1
/
S (Rangsang) ---> Respon 2 --> Penguatan
\
-> Respon 3
Menjadi :

S (Rangsang) --> Respon 2 berulang-ulang

Penguatan negatif adalah stimulus yang dihapuskan sesudah responnya timbul,


meningkatkan kemungkinan adanya respon; shock elektrik dan bunyi yang menyakitkan
digolongkan sebagai penguat negatif dan sebagai penguat negative jika penguat itu dapat
ditiadakan ketika timbul respon yang diinginkan.

-> Respon 1 --> Shock elektrik


/
S (Rangsang) --> Respon2
\
-> Respon3 --> Shock elektrik
Menjadi :
S (Rangsang) --> Respon2

Adapun Jenis-Jenis Penguat Skinner dikategorikan, sbb;


1) Penguat utama (Primary reinforcers) adalah penguat yang memengaruhi perilaku tanpa
perlu belajar, seperti: makanan, minuman, seks. Ini disebut penguat alami.
2) Penguat sekunder (Secondar reinforcers). Adalah penguat yang membutuhkan tenaga
penguat karena sudah diasosiasikan dengan penguat utama, seperti memuji seseorang.

23
Reinforcement dan Punishment

Reiforcement Positif, frekuensi respon meningkat karena diikuti dengan stimulus yang
mendukung (rewarding). Contoh : dimana komentar positif guru meningkatkan perilaku menulis
puisi siswa. Demikian pula, memuji oarng tua yang mau hadir dalam acara seminar pendidikan
yang dilakukan sekolah, mungkin akan mendorong mereka kelak ikut seminar lagi.
Reinforcement Negatif, frekuensi respon meningkat karena diikuti dengan stimulus yang
merugikan (tidak menyenangkan). Contoh: Ibu mengomeli putranya agar mau merapikan
kamarnya sendiri. Dia terus mengomel. Akhirnya, anaknya lelah mendengarkan omelan tersebut
dan merapikan kamarnya. Respon anak ( merapikan kamar) menghilangkan stimulus yang tidak
menyenangkan (omelan).
Punishment Positive: perilaku seseorang akan disertai dengan aversive stimulus (stimulus
penolakan), hasil yang terbentuk adalah perilaku tersebut tidak akan terulang. Contoh : perilaku
anak agresif sering memukul temannya di kelas. Si anak kemudian diberi hukuman fisik dalam
jumlah tertentu. Hasilnya, perilaku agresif berkurang.
Punishment Negative: perilaku seseorang akan disertai dengan penghapusan reinforcing
stimulus, hasil yang terbentuk adalah perilaku tersebut tidak akan terulang kembali. Contoh :
time-out from positive reinforcement. Seorang anak berperilaku agresif di kelas, ketika ia
melukai temannya, ia dihukum harus duduk di luar kelas selama beberapa menit. Anak tersebut
tidak mendapatkan reinforcers seperti perhatian guru, perhatian teman, mainan.

B. HAKIKAT MANUSIA
Hakikat manusia dalam pandangan para behaviorist adalah fasif dan mekanistis, manusia
dianggap sebagai sesuatu yang dapat dibentuk dan diprogram sesuai dengan keinginan
lingkungan yang membentuknya. Lebih jelas lagi (Muhamad Surya dalam Farida Euis)
menjelaskan tentang hakikat manusia dalam pandangan teori behavioristik sebagai berikut :
‘dalam teori ini menganggap manusia bersifat mekanistik atau merespon kepada lingkungan
dengan kontrol terbatas, hidup dalam alam deterministik dan sedikit peran aktifnya dalam
memilih martabatnya’.
Manusia memulai kehidupnya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya, dan
interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Perilaku

24
seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi
hidupnya. Dapat kita simpulkan dari anggapan teori ini bahwa perilaku manusia adalah efek dari
lingkungan, pengaruh yang paling kuat maka itulah yang akan membentuk diri individu.
Beberapa konsep tentang hakikat dasar manusia:
1. Tingkah laku manusia diperoleh dari belajar dan proses terbentuknya kepribadian adalah
dari proses pemasakan dan proses belajar.
2. Kepribadian manusia berkembang bersama-sama dengan interaksinya dengan lingkungan
3. Setiap orang lahir dengan membawa kebutuhan bawaan, tetapi sebagian besar kebutuhan
dipelajari dari interaksi dengan lingkungan.
4. Manusia tidak lahir baik atau jahat, tetapi netral. Bagaimana kepribadian seseorang
dikembangakan tergantung interaksi dengan lingkungan.
5. Manusia mempunyai tugas untuk berkembang. Dan semua tugas perkembangan adalah
tugas yang harus diselesaikan dengan belajar.

C. PERKEMBANGAN PERILAKU
1. Struktur Kepribadian
Kaum behavioris tidak menjelaskan struktur kepribadian seperti pada aliran lain seperti
psikoanalis, tetapi menurut teori kepribadian behavioristik bahwa kepribadian manusia adalah
perilaku organisme itu sendiri. Dengan kata lain bahwa kerpribadian manusia dapat di ketahui
melalui tingkahlaku yang tampak dan diamati (observable behavior). Selain itu ada pandangan
dualiasme yang berkembang dalam pendekatan behavior bahwa manusia memiliki jiwa, raga,
mental, fisik, sikap, perilaku dan sebagainya (Latipun, 2005). Seperti yang dijabarkan dibawah
ini:
a. Lingkungan dan pengalaman menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang
dibentuk.
b. Dualisme, seperti jiwa-raga, raga-semangat, raga-pikiran bukan merupakan validitas
keilmuan pada pembentukan, prediksi dan control dari perilaku manusia.
c. Walaupun pembentukan kepribadian memiliki batsan genetis namun efek dari
lingkungan dan stimulus dari dalam memiliki pengaruh dominan.

25
d. Dalam membentuk sebuah teori dari kepribadian prediksi dan control dan perilaku
merupakan hal terpenting. Tidak ada yang lebih penting selain kebebasan dalam
penentuan respon.
e. Semua perilaku dapat dipisah menjadi operant respondent yaitu individual respon
yang berbeda dalam pengaruh control dari stimulus lingkungan.
2. Pribadi Sehat dan Bermasalah
Pribadi Sehat:
a) Dapat merespon stimulus yang ada di lingkungan secara cepat.
b) Tidak kurang dan tidak berlebihan dalam tingkah laku, memenuhi kebutuhan.
c) Mempunyai derajat kepuasan yang tinggi atas tingkah laku atau bertingkah laku dengan
tidak mengecewakan diri dan lingkungan.
d) Dapat mengambil keputusan yang tepat atas konflik yang dihadapi.
e) Mempunyai self control yang memadai
Pribadi Bermasalah:
a) Tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
b) Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
c) Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan
dengan tepat.
d) Ketidak mampuan dalam mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan lingkungannya
e) Tingkah laku yang tidak wajar menurut standard nilai, yang kemudian menimbulkan
konflik dengan lingkungan

D. HAKIKAT KONSELING
Hakikat konseling menurut Behavioral adalah proses membantu orang dalam situasi
kelompok belajar bagaimana menyelesaikan masalah-masalah interpersonal, emosional, dan
pengambilan keputusan dalam mengontrol kehidupan mereka sendiri untuk mempelajari tingkah
laku baru yang sesuai.
Konseling dilakukan dengan menggunakan prosedur tertentu dan sistematis yang disengaja
secara khusus untuk mengubah perilaku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-
sama konselor dan konseli. Prosedur konseling dalam pendekatan behavior adalah ; penyusunan
kontrak, asesmen, penyusunan tujuan, implementasi strategi, dan eveluasi perilaku. Dengan

26
prosedur tersebut konseling/terapi behavior berorientasi pada pengubahan tingkah laku yang
maladaptif menjadi adaptif.

E. KONDISI PENGUBAHAN
i. Tujuan
Tujuan terapi behavioral adalah untuk membantu klien memperoleh perilaku baru,
mengeliminasi perilaku yang maladaptif dan memperkuat serta mempertahankan perilaku yang
adaptif.
ii. Konselor
Konselor dalam behavior therapy secara umum berfungsi sebagai guru dalam mendiaknosa
tingkah laku yang tidak tepat dan mengarah pada tingkah laku yang lebih baik. Peran konselor
secara khusus diantaranya : (a) Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah
konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak; (b) Konselor memegang sebagian besar
tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam
konseling; (c) Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
iii. Konseli
Dalam konseling behavioral klien dan konselor aktif terlibat di dalamnya. Klien secara
aktif terlibat dalam pemilihan dan penentuan tujuan serta memiliki motivasi untuk berubah dan
bersedia bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan konseling. Peran penting klien dalam
konseling adalah klien didorong untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru yang bertujuan
untuk memperluas perbendaharaan tingkah laku adaptifnya serta dapat menerapkan perilaku
tersebut dalah kehidupan sehari-hari.
iv. Situasi Hubungan
Dalam terapi behavioral, hubungan antara terapis dan klien dapat memberikan kontribusi
penting bagi perubahan perilaku klien. Hubungan terapis sebagai fasilitator terjadinya perubahan.
Sikap konselor seperti empati, permisif, acceptance dianggap sebagai hal yang harus ada, namun
tidak cukup untuk bisa menciptakan perubahan perilaku. Masalah ada pada bukan pentingnya
hubungan namun peranan hubungan sebagai landasan strategi konseling untuk membantu klien
berubah sesuai dengan arah yang dikehendaki.

27
F. MEKANISME PENGUBAHAN
1. Tahap-tahap Konseling
a) Assesment
Tujuan tahap ini adalah untuk menentukan apakah yang dilakukan oleh kilen saat ini.
Aktivitas nyata, perasaan, nilai-nilai dan fikiran klien saat ini merupakan item-item yang
ada dalam assesment. Assesment menekankan pada kelebihan atau kekuatan klien daripada
kelemahannya, tahap ini diperlukan untuk mendapatkan informasi yang menggambarkan
masalah yang dihadapi klien.
b) Goal Setting
Konselor bersama klien menyusun tujuan yang dapat diterima berdasarkan informasi
yang telah disusun dan dianalisis. Tujuan ini sangat penting dalam konseling behavioral
sebab tujuan akan menjadi penuntun aktivitas belajar.
c) Teknik Implemetasi
Setelah tujuan konseling yang dapat diterima dirumuskan, konselor dan klien harus
menentukan strategi belajar yang terbaik untuk membantu klien mencapai perubahan
tingkah laku yang diinginkan.
d) Evaluasi terminasi
Evaluasi konseling behavioral merupakan proses yang berkesinambungan. Evaluasi
dibuat atas dasar apa yang klien perbuat. Tingkah laku klien digunakan sebagai dasar untuk
mengevaluasi efektifitas konselor dan efektivitas tertentu dari teknik yang digunakan.
Terminasi lebih dari sekedar stoping konseling, yang meliputi : (1) Menguji apa yang
dilkaukan oleh klien terakhir, (2) Eksplorasi kemungkinan konseling tambahan, (3)
Membantu klien dalam mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling tingkah laku
klien, (4) Memantau secara terus menerus tingkah laku klien
2. Teknik-teknik konseling
a) Latihan Relaksasi dan Metode Berhubungan
Teknik ini untuk mengatasi stres dalam kehidupan sehari-hari, hal ini ditujukan untuk
kesehatan mental dan otot serta mudah untuk dipelajari. Latihan relaksasi memerlukan
instruksi sekitar 4 sampai 8 jam. Klien diberi seperangkat instruksi yang membuat ia
relaks.

28
b) Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan
bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan
klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat
secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan
dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat
dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik
relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif
biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan
tingkah laku yang akan dihilangkan.
c) Latihan Asertif (termasuk dalam social skill training)
Teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk
menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna
di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan
tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif
lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor.
Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
d) Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus
yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.
Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara
bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya.
Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak
dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
e) Pembentukan Tingkah laku Model (penerapan analisis behavioral)
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan
memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan
kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik,
model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak

29
dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor.
Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
f) Covert Sensitization
Teknik ini dapat digunakan untuk merawat tingkah laku yang menyenangkan klien
tapi menyimpang, seperti homosex, alcoholism. Caranya: Belajar rileks dan diminta
membayangkan tingkah laku yang disenangi itu. Kemudian di saat itu diminta
membayangkan sesuatu yang tidak menyenangkan dirinya. Misalnya, seorang peminum,
sambil rileks diminta untuk membayangkan minuman keras. Di saat gelas hamper
menyentuh bibirnya, diminta untuk membayangkan rasa muak dan ingin muntah. Hal ini
diminta berulangkali dilakukan, hingga hilang tingkah laku peminumnya.
g) Thought Stopping
Teknik ini dapat digunakan untuk klien yang sangat cemas. Caranya klien disuruh
menutup matanya dan membayangkan dirinya sedang mengatakan sesuatu yang
mengganggu dirinya, misalnya membayangkan dirinya berkata “saya jahat!”. Jika klien
memberi tanda sedang membayangkan yang dicemaskannya (ia berkata pada dirinya:
“saya jahat!”), terpis segera berteriak dengan nyaring : “berhenti!”. Pikiran yang tidak
karuan itu segera diganti oleh teriakan terapis. Klien diminta berulang kali melakukan
latihan ini, hingga dirinya sendiri sanggup menghentikan pikiran yang mengganggunya itu.

G. KELEMAHAN DAN KELEBIHAN PENDEKATAN BEHAVIORAL


Kelemahan dari pendekatan ini adalah:
1. Menolak menyusun teknik yang dipusatkan pada perubahan tingkah laku konseli.
2. Perubahan yang terjadi pada diri klien adalah hasil pengkodisian oleh konselor dan
bukan karena hasil pengubahan oleh klien terhadap dirinya sendiri.
3. Terapi behavior berfokus pada perubahan tingkah laku sebagai tolak ukur.
4. Konseling behavioral hanya diterapkan pada gejala-gejala yang tampak
5. Ketergantungan konseli kepada konselor dalam proses koseling konselor berperan
secara direktif dan aktif tanpa memberikan kepercayaan bahwa konseli memiliki
kamampuan untuk menyelesaikan masalahnya.

30
Kelebihan dari pendekatan ini adalah:
1. Klien dapat belajar menjalankan dan merealisasikan tingkah laku baru melalui proses
terapiutik.
2. Klien memiliki sejumlah motivasi untuk belajar menggunakan tingkah laku yang
baru.
3. Klien bersama konselor dapat menentukan tujuan-tujuan yang efektif secara spesifik
pada awal proses terapiutik.
4. Tingkah laku dapat dirubah melalui pengkondisian lingkungan
5. Adanya kerja sama antara konselor dan klien dalam hubungan konseling.
6. Konselor bersama konseli menetapkan tujuan bersama yang harus dicapai konseli
dalam mengubah tingkalaku melalui proses konseling

31
BAB IV
TEORI DAN TEKNIK KONSELING
RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY (REBT)

A. SEJARAH PERKEMBANGAN
Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) sebelumnya disebut rational therapy dan
rational emotive therapy, merupakan terapi yang komprehensif, aktif-direktif, filosofis dan
empiris berdasarkan psikoterapi yang berfokus pada penyelesaian masalah-masalah gangguan
emosional dan perilaku, serta menghantarkan individu untuk lebih bahagia dan hidup yang lebih
bermakna (fulfilling lives). REBT diciptakan dan dikembangkan oleh Albert Ellis (1950an),
seorang psikoterapis yang terinspirasi oleh ajaran-ajaran filsuf Asia, Yunani, Romawi dan
modern yang lebih mengarah pada teori belajar kognitif. Asal-usul terapi rasional-emotif dapat
ditelusuri dengan filosofi dari Stoicisme di Yunani kuno yang membedakan tindakan dari
interpretasinya. Epictetus dan Marcus Aurelius dalam bukunya “The Enchiridion”, menyatakan
bahwa manusia tidak begitu banyak dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada dirinya, melainkan
bagaimana manusia memandang/menafsirkan apa yang terjadi pada dirinya (People are not
disturbed by things, but by the view they take of them). Pada mulanya Ellis menggunakan
psikoanalisis dan person-centered therapy dalam proses terapi, namun ia merasa kurang puas
dengan pendekatan dan hipotesis tingkah laku klien yang dipengaruhi oleh sikap dan persepsi
mereka. Hal inilah yang memotiviasi Ellis mengembangkan pendekatan rational emotive dalam
psikoterapi yang ia percaya dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan efek terapeutik.
Ellis mengembangkan teori A-B-C, dan kemudian dimodifikasi menjadi pendekatan A-B-C-D-E-
F yang digunakan untuk memahami kepribadian dan untuk mengubah kepribadian secara efektif.
Pada tahun 1990-an, Ellis mengganti nama pendekatan tersebut dengan Rasional Emotive
Behavior Therapy atau yang biasa kita singkat menjadi REBT. Sampai saat ini, REBT
merupakan salah satu bagian dari cognitive behavior therapy (CBT).

B. HAKIKAT MANUSIA
Manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional
dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan
kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi

32
emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang
disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara
berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh
prasangka, sangat personal, dan irasional. Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak
logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan
tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara
berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan
dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan
logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.

Ellis mengemukakan 12 Ide Irasional yang menyebabkan dan memperparah neurosis:

1. Ide bahwa tiap orang dewasa pasti merasa ingin dicintai orang lain atas segala yang dia
lakukan – bukannya gagasan yang memfokuskan perhatian pada apa yang dia lakukan
demi mencapai tujuan-tujuan praktis demi kepentingan orang lain, atau gagasan untuk
mencintai orang lain ketimbang selalu menuntut cinta dari orang lain.
2. Ide bahwa ada tindakan-tindakan tertentu yang jelek dan merusak, dan pelakunya mesti
dikecam karena tidak tahu malu – bukannya gagasan bahwa tindakan-tindakan tertentu ada
yang merugikan diri sendiri atau anti sosial, dan pelakunya pastilah tidak punya
pertimbangan yang sehat, masa bodoh atau neurotik, dan seharusnya mereka ini dibantu
mengubah diri. Buruknya tindakan seseorang belum tentu menyebabkannya menjadi
individu yang tidak berguna.
3. Ide bahwa “dunia akan kiamat” kalau segala sesuatunya tidak berjalan sesuai rencana –
bukannya gagasan bahwa segala sesuatu walaupun berjalan tidak sesuai keinginan, akan
lebih baik kalau kita berusaha mengubah atau mengatur kondisi buruk tersebut sedemikian
rupa seingga setelah itu besar kemungkinan kita akan berhasil mengatasi segala kesulitan.
Kalaupun kemungkinan itu tidak ada, kita pun akan lebih baik bersabar menerima
kenyataan dan tetap berusaha mencari jalan keluar.
4. Ide bahwa hal-hal yang membuat manusia menderita pasti datang dari luar dan ditimpakan
pada diri kita oleh orang lain – bukannya gagasan bahwa sikap neurotik itu disebabkan
oleh pandangan=pandangan kita sendiri akibat kondisi yang tidak menguntungkan di
sekeliling kita.

33
5. Ide kalau satu hal sangat menakutkan atau berbahaya, maka kita seharusnya sangat
terobsesi dengan hal itu – bukannya gagasan bahwa kita seharusnya dengan tabah
menghadapi keadaan itu dan memandangnya sebagai bukan akhir dari segala-galanya.
6. Ide bahwa lebih mudah menghindar dari kesulitan hidup dan tanggung jawab ketimbang
berusaha menghadapi dan menaklukannya – bukannya berpegang pada gagasan bahwa
jalan yang mudah pada akhirnya akan menyusahkan diri sendiri.
7. Ide bahwa kita membutuhkan sesuatu yang lebih kuat atau lebih besar dari kita sendiri
yang dapat dijadikan pegangan – bukannya gagasan bahwa lebih baik berpikir dan
bertindak sesuai kehendak sendiri dengan apa pun resikonya.
8. Ide bahwa kita harus selalu punya kemampuan dan kecerdasan serta selalu berhasil
mengelolanya dengan baik – bukannya gagasan bahwa lebih baik bertindak sesuai dengan
kemampuan ketimbang hanya punya keinginan melakukan hal terbaik dan tidak mau
menerima kenyataan bahwa diri kita adalah makhluk yang tidak sempurna dan pasti
melakukan kesalahan.
9. Ide bahwa ketika satu peristiwa besar terjadi, peristiwa tersebut pasti berbekas dan
mempengaruhi kehidupan kita selamanya – bukannya gagasan bahwa apa yang terjadi di
masa lalu mesti dijadikan pelajaran buat hari ini dan masa yang akan datang, serta tidak
selalu terpaku pada peristiwa masa lalu.
10. Ide bahwa kita harus mampu mengatur sesuatu dengan baik – sebagai pengganti dari
gagasan bahwa dunia ini penuh dengan kemungkinan-kemungkinan tak terduga dan kita
tetap bisa menjalani kehidupan dengan segala kemungkinan ini.
11. Ide bahwa kebahagiaan bisa dicapai dengan bakat alami yang ada dalam diri seseorang
sejak lahir dan kebahagiaan itu ditujukan untuk diri sendiri – bukannya gagasan bahwa
keinginan kita untuk bahagia ditentukan oleh kemauan kita mencapai tujuan secara kreatif
atau selalu berusaha memproyeksikan usaha mencapai kebahagiaan itu keluar.
12. Ide bahwa kita pada akhirnya tidak dapat menguasai perasaan sendiri dan perasaan kecewa
terhadap sesuatu pasti tidak bisa dielakkan – bukannya gagasan bahwa kita sebenarnya
mampu mengontrol perasaan-perasaan buruk jika kit amau mengubah pengandaian-
pengandaian yang menyebabkan lahirnya perasaan-perasaan buruk itu.
Secara ringkas, Ellis mengatakan ada tiga keyakinan irasional:

34
a) “saya harus mempunyai kemampuan sempurna, atau saya akan jadi orang yang tidak
berguna”.
b) “orang lain harus memahami dan mempertimbangkan saya, atau mereka akan
menderita.”
c) “kenyataan harus memberi kebahagiaan pada saya, atau saya akan binasa.”
Ellis juga menekankan pentingnya “kerelaan menerima diri sendiri”. Dia mengatakan
bahwa tidak seorang pun yang akan disalahkan, dilecehkan, apalagi dihukum atas keyakinan atau
tindakan mereka yang keliru. Kita haus menerima diri apa adanya, menrima sebagaimana apa
yang kita capai dan hasilkan.

C. PERKEMBANGAN PERILAKU
1) Struktur Kepribadian
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep
kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent
event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal
dengan konsep atau teori ABC.

Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu.
Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian

35
suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan
antecendent event bagi seseorang.

Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu
peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief
atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional
merupakan cara berpikir atau sistem keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan karena itu
menjadi produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau sistem berpikir
seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan karena itu tidak produktif.

Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi
individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan
antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi
disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun
yang iB.

Disputing (D), terdapat tiga bagian dalam tahap disputing, yaitu:

1) Detecting irrational beliefs


Konselor menemukan keyakinan klien yang irasional dan membantu klien untuk
menemukan keyakinan irasionalnya melalui persepsinya sendiri.

2) Discriminating irrational beliefs


Biasanya keyakinan irasional diungkapkan dengan kata-kata: harus, pokoknya atau
tuntutan-tuntutan lain yang tidak realistik. Membantu klien untuk mengetahui mana
keyakinan yang rasional dan yang tidak rasional.

3) Debating irrational beliefs


Beberapa strategi yang dapat digunakan:

 The lecture (mini-lecture), memberikan penjelasan.


 Socratic debate, mengajak klien untuk beradu argumen.
 Humor, creativity seperti: cerita, metaphors, dll.
 Self-disclosure: keterbukaan konselor tentang dirinya (kisah konselor, dll)

36
Activating Event Beliefs Consequence

Mendapat nilai “A” Memiliki kemampuan Merasa bahagia dan


ujian psikologi dalam bidang psikologi mengantisipasi ujian
psikologi berikutnya

Gagal saat ujian Hal ini buruk, karena Merasa frustrasi – belajar
psikologi gagal dalam tes lebih giat

Gagal saat ujian Saya seharusnya Merasa depresi, dan


psikologi (pokoknya) tidak ada harapan.
mendapatkan nilai yang
baik jikalau tidak saya
adalah orang yang gagal

2) Pribadi Sehat Dan Bermasalah


a. Pribadi Sehat
Individu yang dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi setiap rangsangan
terhadap dirinya.
b. Pribadi Bermasalah
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah
adalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional. Ciri-
ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b) menimbulkan perasaan tidak enak
(kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu; (c) menghalangi
individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif

Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a) individu tidak
berpikir jelas tentang saat ini dan yang akan datang, antara kenyatan dan imajinasi; (b)
individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain; (c) orang tua atau
masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu
melalui berbagai media.

37
Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk
diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak orang
dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka
patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa dihadapkan
kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau
tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk menjauhi
kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan
menanganinya; (e) penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal
dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan
penderitaan emosional tersebut; (f) pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat
kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada
saat sekarang; (g) untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk
merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural; dan (h) nilai
diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan
penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.

D. HAKIKAT KONSELING
Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan
sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas
tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien. Karakteristik Proses
Konseling Rasional-Emotif :

1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu
mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
2. Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek
kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3. Emotif-ekspreriensial, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga
memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan
emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari
gangguan tersebut.

38
4. Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya
menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.

E. KONDISI PENGUBAHAN
1) Tujuan
Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-
pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan
logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan self-actualizationnya
seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.

Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa


takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.

Terdapat tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan
pendekatan rational emotive behavior therapy :

Pertama insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri
yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan
keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat
yang lalu.

Kedua, insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa
yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus
dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.

Ketiga, insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai
pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hambatan emosional
kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.

2) Konselor
Tugas konselor menunjukkan bahwa:

 masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang


tidak rasional.

39
 usaha untuk mengatasi masalah adalah harus kembali kepada sebab-sebab
permulaan.
Operasionalisasi tugas konselor : (a) lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara
banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal
mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung; (b) menggunakan pendekatan
yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir klien, kemudian
memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri dengan gigih dan
berulang-ulang menekankan bahwa ide irrasional itulah yang menyebabkan
hambatan emosional pada klien; (c) mendorong klien menggunakan kemampuan
rasional dari pada emosinya; (d) menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis
menggunakan humor dan “menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir
secara irasional.

3) Konseli
Umumnya, peran klien dalam REBT mirip seorang siswa atau pelajar. Proses
konseling dipandang sebagai suatu proses reedukatif di mana klien belajar cara
menerapkan pikiran logis pada pemecahan masalah.

Pengamalam utama klien adalah mencapai pemahaman emosional atas sumber-


sumber gangguan yang dialaminya. Pada taraf pertama, klien menjadi sadar bahwa
ada anteseden tertentu yang menyebabkan timbulnya irrasional belief. Taraf kedua,
klien mengakui dirinyalah yang sekarang mempertahankan pikiran-pikiran dan
perasaan-perasaan yang irrasional. Tahap ketiga, klien berusaha untuk menghadapi
secara rasional-emotif, memikirkannya, dan berusaha menghapus irrational belief
dan mengggantinya dengan rational belief.

Klien yang telah memiliki keyakinan rasional terjadi peningkatan dalam hal : (1)
minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap
pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu
di luar dirinya, (8) penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima
kenyataan.

40
4) Situasi Hubungan
Menutur Ellis, kehangatan pribadi, afeksi, dan hubungan pribadi antar konselor dan
klien yang intens memiliki arti yang sekunder. Bagaimana pun hubungan yang baik
antara klien dan terapis merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Konselor
memainkan peran sebagai model yang tidak terganggu secara emosional dan yang
hidup secara rasional. Konselor juga menjadi model orang yang berani bagi klien
dalam arti dia secara langsung mengungkapkan sistem-sistem keyakinan klien yang
irasional tanpa takut kehilangan rasa suka dan persetujuan dari klien. Lebih dari itu,
REBT menekankan toleransi penuh dan penghormatan tanpa syarat dari terapis
terhadap kepribadian klien dalam arti konselor menghindari sikap menyalahkan
klien.

F. MEKANISME PENGUBAHAN
1) Tahap-Tahap Konseling
a. Tahap Cognitive
Konselor menyajikan alasan kognitif kepada klien. Seperti mulai setiap sesi
konseling dengan bertanya, "Apa masalah yang mengganggu diri Anda?".
Selama tahap awal, klien dapat belajar untuk mengendalikan emosi mereka dan
menjadi sadar akan pikiran-pikiran yang mendasari mereka serta belajar
alternatif mengubah pikiran mereka yang irasional.
b. Tahap Emotive
Fase emotif ditujukan untuk membantu klien menyadari pikiran-pikiran
mereka. Hal ini sering dilakukan dengan meminta klien untuk menuliskan
pikiran-pemikiran yang mengganggu mereka.
c. Tahap Behavioristic
Selama tahap akhir, klien dilatih untuk verbalisasi kognisi alternatif dan untuk
mengubah perilaku mereka.
Secara spesifik tahap REBT, sebagai berikut:
 Assessment of feeling and activating event
 Empathic reflection of feelings by counselor

41
 Assessment of the ABC relationship
 Assessment of behavioral consequence
 Assessment of cognition
 Counselor summarizes ABC assessment data
 Counselor guides client toward solving problem (Disputing-Effect-New
feeling)

2) Teknik-Teknik Konseling
Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat
kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik
dimaksud antara lain adalah sebagai berikut.

a. Teknik-Teknik Emotif (Afektif)


Assertive adaptive

Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien


untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang
diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri
klien.

Bermain peran (role playing)

Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan


(perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan
sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya
sendiri melalui peran tertentu.

Imitasi

Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku
tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya
sendiri yang negatif.

42
b. Teknik-teknik Behavioristik
Reinforcement

Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang
irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif.

Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan


menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.

Social modeling

Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini
dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan
dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan
menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah
tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.

c. Teknik-teknik Kognitif
Home work assigments,

Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih,


membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang
menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.

Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau
menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak
logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah
aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu
berdasarkan tugas yang diberikan

Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh


klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor

43
Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap
tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk
pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya
kepada konselor.

Latihan assertive

Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-


tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau
meniru model-model sosial.

Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong kemampuan klien
mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya; (b)
membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri
tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk
meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan
kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk
diri sendiri.

Disputing irrational beliefs

Jika saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan, hal itu bukanlah
merupakan akhir dunia/kehidupan.

Doing cognitive homework

Menerapkan teori ABC dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari.


Menempatkan diri dalam situasi yang berisiko untuk menantang keyakinan
membatasi diri (self -limiting). Menganti pernyataan-diri (self-statement )
negatif dengan pesan yang positif.

Changing one’s language

Hal itu akan sangat mengerikan…Hal itu akan merepotkan…

44
G. KELEMAHAN DAN KELEBIHAN
1) Kelemahan
 Terlalu konfrontatif serta mengabaikan "masa lalu“ klien.
 Kurangnya pengakuan terhadap perasaan (emosi) yang merupakan faktor yang
sangat dominan dalam kehidupan manusia, yang tidak mudah untuk mengalami
perubahan jika dibandingkan dengan pengubahan tindakan dan cara berpikir.
 Melibatkan tugas-tugas yang banyak dan rumit sehingga memerlukan
dukungan dan partispasinya klien dan keluarganya.
 Klien harus rajin dan melakukan banyak laporan pekerjaan rumah.
 Klien dengan kapasitas intelektual yang lebih rendah mungkin memerlukan
waktu yang lebih banyak.

2) Kelebihan
 Dapat mengubah keyakinan irasional (irrational beliefs) dengan cara
menentang (dispute) pola pemikiran yang salah dan negatif
 Berfokus pada bagaimana individu menafsirkan dan bereaksi terhadap
peristiwa yang terjadi pada dirinya.
 Mengajarkan klien cara untuk melakukan terapi sendiri tanpa tergantung pada
konselor (Metode belajar aktif)
 Memiliki strategi intervensi yang lengkap, mencakup teknik kognitif, emotif
dan behavioral (kombinasi)
 Menyakinkan klien bahwa pola pikir yang baru akan menghasilkan kehidupan
yang lebih baik

45
BAB V
TEORI DAN KONSELING REALITA

A. SEJARAH PERKEMBANGAN
1. Perkembangan Konseling Realita
Konseling realita dicetuskan oleh William Glasser yang lahir pada tahun 1925 dan
menghabiskan masa kanak-kanan dan remajanya di Cliveland, Obio. Pertumbuhannya relatif
tanpa hambatan, sehingga ia memahami dirinya sebagai lelaki yang baik. Glesser
meninggalkan kota kelahirannya setelah ia masuk perguruan tinggi. Ia memperoleh gelar
sarjana muda dalam bidang rekayasa kimia, sarjana psikologi klinis dan dokter dari case
Western Reserve University. Ia menikah setelah tamat sarjana muda dan setelah sekolah
dokter. Ia dan keluarganya pindah ke West Coast karena memperoleh perumahan di UCLA
dan membuat rumah pribadi di California Selatan.
Glesser kemudian pindah ke perumahan Rumah Sakit Administrasi Veteran (V.A.
Hospital) di Los Angles Barat. Di rumah sakit ini ditemukan contoh klasik kerja psikiater
konvensional. Ia ditugasi di sal 206 untuk merawat pasien psikotik kronis. Glesser
menamakan program terapi sebagai tiga penyembuhan mental tradisional yang didalamnya
pasien diterima sebagai orang yang sakit mental dan diberi penyembuhan yang telah baku.
Dengan hanya sembuh 2 pasien setahun menunjukkan ketidakefektifan penyembuhan yang
telah baku. Tidak puas dengan kenyataan tersbut, Glasser mulai memperhatikan
kemungkinan penyembuhan alternatif dan mencoba prosedur baru. Ia mendapat dorongan
dari supervisornya di rumah sakit, tetapi sejawatnya di UCLA tidak puas dan tidak
mendukung material yang dibutuhkan.
Pada tahun 1957 Glesser menduduki jabatan sebagai kepala psikiatri di California.
Glesser menangani kenakalan remaja putri di Ventura. Ia mulai menerapkan konsep-konsep
yang telah dimulai di V.A. Hospital. Ia menerapkan program yang menempatkan tanggung
jawab situasi sesaat bagi remaja putri dan tanggung jawab masa depannya.
Aturan-aturan di lembaga ini diperbaharui dengan mengutamakna kebebasan dan
memperlunak konsekuensi dari pelanggaran. Hukuman dibatasai dari program. Bila remaja
putri itu melanggar peraturan, maka dia tidak dihukum dan juga tidak diampuni. Akan tetapi
diberi tanggung jawab pribadi, ditanyakan tentang rencana-rencana selanjutnya dan dicari

46
kesepakatan atas tingkah laku mereka yang baru. Atas dasar semua ini, Glesser mengharap
stafnya untuk melaksanakan penyembuhan melalui terlibat dalam kehidupan klien,
memberikan bantuan dengan penuh pujian yang ikhlas. Program ini terlaksana, staf antusias,
remaja-remaja putri ini hidup dengan harapan-harapan positif dan ternyata 20% sembuh.
Kembali ke V.A. Hospital, Glesser mebantu supervisonya dan disana ia menerapkan
program yang serupa. Hasilnya sangat mengejutkan, kesembuhan yang awalnya hanya 2
pasien tiap tahun meningkat menjadi 25 pasien pada tahun pertama, dan 75 pasien pada
tahun ketiga, dan rata-rata 200 pasien pada tahun-tahun berikutnya.
Pada tahun 1961, Glasser mempublikasikan konsep Reality Therapy dalam bukunya
Mental Health or Mental Illness. Konsep ini diperluas, diperbaiki dan disusun pada
penerbitan tahun 1965 yaitu Reality Therapy: a New Approach to Psychiatry. Tidak lama
setelah penerbitan yang kedua, Glesser membuka Institute of Reality Therapy yang dipakai
untuk melatih profesi-profesi layanan kemanusiaan. Sekolah-sekolah juga membutuhkan
konsultasi Glesser, dan ia dapat menyesuaikan dengan prosedur-prosedurnya di seting
sekolah. Kemudian ia mempublikasikan ide ini dalam School Without Failure (1969) dan
mendirikan Educational Training Center yang didalamnya guru-guru mendapatkan latihan
konseling realita.
Dua buku yang terbit berikutnya, yakni The Identity Society (1972) dan Positive
Addiction (1976). Dalam membahas tingkah laku manusia pendekatan ini lebih dari
pendekatan kontemporer lainnya. Pendekatan ini dapat dipergunakan untuk mencegah
masalah emosional dan tingkah laku. Walaupun beberapa pandangannya radikal, namun
keaslian konsepnya masih nampak marginal. Glesser dapat dikatakan sebagai behavioris dan
idenya dapat disejajarkan dengan Albert Ellis. Tekanan pada hubungan konseling berakar
pada pandangan Rogers. Namun demikian diakui bahwa Glesser hanya meminjam ide-
idenya saja, karena kemudian ide-ide tersebut diramu dalam cara-cara yang lebih segar dan
menarik serta memiliki kekuatan sendiri.
Konseling realita dimulai pada tahun 1960 dengan tiga konsep yaitu realitas,
tanggung jawab, serta benar dan salah. Glesser percaya bahwa semua orang memiliki dua
kebutuhan dasar manusia terkait: hubungan (mencintai dan dicintai) dan respect (merasa
berharga untuk diri sendiri dan lainnya). Perilaku yang menunjukkan penghargaan untuk
kebutuhan kita sendiri dan orang lain menyebabkan timbulnya harga diri dan hubungan yang

47
bermanfaat. Perilaku juga mencerminkan kesadaran akan realitas, tanggung jawab untuk diri
sendiri, dan pemahaman tentang benar dan salah.
Tulisan-tulisan awal ditekankan terhadap isu-isu etis dan menekankan perbedaan
individual. Tulisan terakhir kurang menghakimi dan menyatakan secara tidak langsung, agak
bersikeras tentang pentingnya benar dan salah dalam proses terapeutik. Glesser
mengidentifikasi delapan langkah dalam konseling realita, yaitu: (1) membangun hubungan
dengan klien, (2) bertanya, (3) berkolaborasi dengan klien dalam mengevaluasi perilaku
mereka, (4) membantu orang membuat rencana untuk berbuat lebih baik, (5) membantu
klien "apa yang kamu lakukan?" berkomitmen untuk rencana tersebut, (6) tidak menerima
alasan, (7) tidak mengganggu dengan konsekuensi yang wajar, dan (8) tidak menyerah.

2. Control Theory
Pada 1970-an, Glesser memasukkan konsep control theory kedalam konseling
realita. Dia mengkonsep bahwa orang didorong oleh sistem pengendalian batin dalam otak
yang memandu perilaku dan emosi sehingga mereka bergerak ke arah yang nampaknya
dapat memenuhi kebutuhan mereka. Menurut Glesser, "tindakan sistem kontrol atas dunia
dan diri sebagai bagian dari dunia untuk berusaha mendapatkan gambaran yang mereka
inginkan". Sayangnya, sistem control kadang-kadang menyebabkan kesulitan dengan upaya
menyesatkan mereka dan mencoba mengendalikan orang lain.
Kesadaran dan penilaian adalah kunci untuk memodifikasi sistem kontrol dan
memperbaiki kehidupan kita. Dia percaya bahwa langkah pertama untuk menyadari apa
yang ada didalam kepala kita yang mencerminkan kebutuhan dan keinginan kita. Kemudian
kita dapat menjadi sadar akan apa yang kita lakukan untuk mencapai tujuan kita. Dengan
menilai dampak dan keberhasilan perilaku kita, kita dapat menentukan apakah perubahan itu
dibenarkan, dan menggunakan strategi yang kreatif untuk memodifikasi pikiran, emosi, dan
perilaku kita. Meskipun Glasser mengenalkan immediate, intense, short-time feeling dapat
muncul secara spontan pada saat-saat frustasi atau kepuasan, dia yakin bahwa orang dapat
memilih dan mengendalikan perasaan jangka panjang mereka.

48
3. Choice Theory
Selama bertahun-tahun, sistem pengobatan dikenal sebagai realitas / teori kontrol.
Namun, pada tahun 1996, Glesser menetapkan bahwa yang mendasari konseling realita
adalah choice theory bukan control theory. Choice theory mendalilkan bahwa pilihan
pikiran, perasaan, dan tindakan sangat menentukan kualitas hidup mereka. Pandangan
Glasser, otak sebagai sistem kontrol "menyelaraskan dunia luar apa yang kita inginkan serta
menutup celah antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita miliki" dan ini akhirnya
menjadi bagian dari konseling realita. Choice theory konseling realita inilah yang menjadi
dasar dalam membantu orang meningkatkan hidup mereka.

4. Robbert Wubbolding
Juru bicara penting konseling realita yang lain adalah Robert E. Wubbolding,
direktur pusat konseling realita di Cincinnati, Ohio, direktur pelatihan di lembaga William
Glesser, dan anggota fakultas di Universitas Xavier di Cincinnati. Wubbolding telah
memainkan peran penting dalam pengembangan dan mengenalkan konseling realita. Dia
adalah penulis yang produktif dan buku-buku yang pernah ditulis antara lain: Reality
Therapy For The 21 st Centure (2000), Understanding Reality Therapy (1991), dan
Expanding Reality Therapy: Group Counseling and Multicultural Dimensions (1990).
Tulisannya memfasilitasi implimentasi konseling realita melalui studi kasus, latihan, dan
protokol pengobatan.

5. Asumsi Dasar
a. Perilaku manusia selalu bertujuan, yaitu untuk memenuhi 5 kebutuhan dasar: survival,
love and belonging, power, freedom, dan fun.
b. Terkait dengan 5 kebutuhan dasarnya, manusia memiliki & membangun quality world
dalam pikirannya.
c. Konseling realita berdasar pada choice theory.
1) Manusia bertanggungjawab atas perilakunya. Kitalah yang memilih untuk
melakukan sesuatu (baik ataupun buruk), oleh karena itu, kita dapat memilih untuk
membuat pilihan yang lebih baik.
2) Kita mungkin saja dibentuk oleh masa lalu, namun kita bukan korban masa lalu.

49
Karenanya kita memilih untuk melakukan sesuatu sekarang (here and now).
3) Semua perilaku kita pada dasarnya merupakan usaha terbaik kita untuk memenuhi 5
kebutuhan dasar.
d. Manusia akan termotivasi untuk berubah ketika:
1) Ia yakin bahwa perilakunya yang sekarang tidak dapat membuatnya mendapatkan
apa yang diinginkan.
2) Ia percaya bahwa ia dapat memilih perilaku lain yang akan membuatnya lebih
mungkin untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

6. Penjelasan Choice Theory dari Tingkah Laku


Choice theory menjelaskan bahwa semua yang pernah kita lakukan dari lahir sampai
mati adalah bertingkah laku dan segala sesuatu yang kita lakukan adalah dipilih/berdasarkan
pilihan kita. Total behavior/tingkah laku total adalah upaya terbaik kita untuk mendapatkan
apa yang kita inginkan untuk memuaskan kebutuhan kita. Total behavior mengajarkan
bahwa semua perilaku ini terdiri dari empat komponen yang tidak terpisahkan namun
berbeda (bertindak, berpikir, perasaan dan fisiologi) yang selalu menyertai semua tindakan,
pikiran, dan perasaan kita. Perilaku itu bertujuan karena dirancang untuk menutup
kesenjangan antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita rasakan/kita dapatkan. Perilaku
khusus selalu dihasilkan dari perbedaan ini, perilaku kita berasal dari dalam, dan kita
memilih takdir kita.
Glesser mengatakan bahwa untuk berbicara tentang depresi, sakit kepala, menjadi
marah, atau menjadi cemas menyiratkan rasa pasif dan kurangnya tanggung jawab pribadi,
dan itu tidak akurat. Hal yang lebih akurat untuk hal ini sebagai bagian dari total behavior
dan menggunakan bentuk kata kerja aktif, misalnya: saya yang membuat sedih, saya yang
membuat sakit kepala, saya yang menyebabkan marah, dan saya yang membuat diri saya
cemas, hal ini untuk menggambarkan mereka. Hal ini lebih akurat untuk memikirkan orang
yang menyedihkan atau membuat marah diri sendiri daripada menjadi tertekan atau marah.
Ketika orang memilih kesengsaraan dengan mengembangkan berbagai perilaku yang
“menyakitkan”, hal itu dikarenakan perilaku itu adalah terbaik yang mereka dapat lakukan
saat itu, dan perilaku ini sering mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Ketika konselor/terapis realita mulai mengajarkan teori pilihan/choice theory, konseli

50
akan sering protes dan berkata, "Saya menderita, jangan katakan aku memilih untuk
menderita seperti ini". Sebagai contoh, depresi yang menyakitkan adalah, terapis/konselor
menjelaskan bahwa orang tidak memilih rasa sakit dan penderitaan langsung, melainkan
merupakan bagian perilaku yang bukan pilihan dari total perilaku mereka. Perilaku orang
adalah upaya terbaik, hal tidak efektif karena perilaku itu sebenarnya untuk memenuhi
kebutuhan.
Robbert Wubbolding memiliki ide baru untuk choice theory. Ia percaya bahwa
perilaku adalah bahasa, dan bahwa kita mengirim pesan menurut apa yang kita lakukan.
Tujuan perilaku adalah mempengaruhi dunia untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Konselor meminta konseli bahwa pesan yang mereka kirimkan kepada dunia dengan cara
tindakan mereka: "pesan apa yang kamu ingin orang lain dapatkan?", "pesan apa yang orang
lain dapatkan atau tidak kah kamu bermaksud untuk mengirimnya kepada mereka?” Dengan
mempertimbangkan pesan bahwa konseli mengirimkan kepada orang lain, konselor dapat
membantu konseli secara langsung untuk mendapatkan penghargaan yang lebih besar dari
pesan yang mereka sengaja kirim ke orang lain.

B. HAKEKAT MANUSIA
Hakikat manusia menurut konseling realita, yaitu:
1. Memandang individu atas dasar tingkah lakunya. Hal ini bukan berarti memandang tingkah
laku atas dasar model stimulus-respon seperti behavioral atau melihat tingkah laku secara
fenomenologis seperti person centered. Akan tetapi memandang tingkah laku berdasarkan
pengukuran obyektif yang disebut relaitas, yaitu realita praktis dan moral.
2. Manusia mempunyai kebutuhan akan identitas. Kebutuhan ini bersifat universal. Kebutuhan
ini meliputi kebutuhan adanya keunikan, perbedaan, dan kemandirian. Glesser menyebutkan
dua identitas yang berlawanan yaitu identitas berhasil dan gagal.
3. Manusia memiliki kekuatan untuk tumbuh yang mendorong menuju ke identitas sukses.
Manusia memiliki kekuatan untuk tumbuh dan sehat. Orang ingin mengisi dan memuaskan
identitas sukses, menampilkan tingkah laku yang bertanggung jawab, dan memiliki
hubungan interpersonal yang baik. Individu dapat mengubah bagaimana hidup, merasakan,
dan bertingkah laku, sehingga mereka dapat mengubah nasib mereka.
4. Konseling realita tidak terikat pada filsafat deterministik dalam memandang manusia, tetapi

51
membuat asumsi-asumsi bahwa pada akhirnya manusia mengarahkan diri sendiri. Prinsip ini
berarti mengakui tanggung jawab setiap orang untuk menerima akibat dari tingkah lakunya.
Orang akan menjadi apa yang ia inginkan untuk menjadi, memiliki motivasi untuk tumbuh,
bukan ditentukan oleh penentu-penentu yang telah ada.

C. PERKEMBANGAN PERILAKU
1. Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Glasser berpandangan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar merupakan peristiwa
belajar. Perilaku manusia selalu bertujuan, yaitu untuk memenuhi 5 kebutuhan dasar:
a. Survival : kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan
b. Love and belonging : kebutuhan untuk terlibat dengan orang lain, mencintai dan dicintai
c. Power/achievement : kebutuhan untuk mencapai sesuatu (berprestasi), atau kebutuhan
untuk merasa berharga bagi orang lain
d. Freedom/independence : kebutuhan untuk dapat bebas membuat pilihan-pilihan
e. Fun/enjoyment : kebutuhan untuk menikmati hidup, tertawa, dan mengalami humor (hal
yang menggelikan)
Glasser berpandangan bahwa manusia selalu berupaya mengendalikan dunia dan
dirinya untuk memuaskan kebutuhan dasarnya. Kebutuhan untuk bertahan hidup dan
memperoleh keturunan merupakan kebutuhan fisiologis manusia yang berupa kebutuhan
untuk memelihara kehidupan dan kesehatan yang baik. Kebutuhan untuk memiliki
merupakan kebutuhan manusia untuk melibatkan dirinya dengan orang lain dan mencintai
serta dicintai orang lain. Kebutuhan memperoleh kebebasan merupakan kebutuhan untuk
membuat pilihan dalam kehidupan. Kebutuhan untuk memperoleh kekuasaan merupakan
kebutuhan untuk memperoleh prestasi, status, pengakuan, dan membuat orang lain
mematuhinya. Kebutuhan untuk memperoleh kesenangan merupakan kebutuhan manusia
untuk menikmati kehidupan, tertawa, dan menikmati humor. Semua kebutuhan diatas
disebut kebutuhan psikologis kecuali kebutuhan bertahan hidup dan melanjukan keturunan.

2. Pribadi Sehat dan Bermasalah


a. Pribadi Sehat
Konsep perilaku menurut konseling realita lebih dihubungkan dengan berperilaku

52
yang tepat atau berperilaku yang tidak tepat. Bentuk dari perilaku yang tepat yaitu dapat
melihat sesuatu sesuai dengan realitanya, dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitanya,
dapat melakukan atas dasar kebenaran, tanggung jawab dan realita.
Menurut Glasser, basis dari konseling realita adalah membantu para klien dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencakup “kebutuhan untuk
mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri
kita sendiri maupun bagi orang lain”. Pandangan tentang sifat manusia mencakup
pernyataan bahwa suatu “kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai
suatu identitas keberhasilan. Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan
identitas.
Pandangan konseling realita menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa
mengubah cara hidup, perasaan, dan tingkah lakunya, maka merekapun bisa mengubah
identitasnya. Perubahan identitas tergantung pada perubahan tingkah laku. Maka konseling
realita tidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas
asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Perinsip ini
menyiratkan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-
konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang
ditetapkannya.

b. Pribadi Bermasalah
Menurut Glasser, bentuk dari pribadi bermasalah/perilaku yang tidak tepat tersebut
disebabkan karena ketidakmampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya
kehilangan ”sentuhan” dengan realita objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan
realitanya, tidak dapat melakukan atas dasar kebenaran, tanggung jawab dan realita.
Meskipun konseling realita tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala
abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”.
Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas,
perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan
menolak kenyataan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep perilaku bermasalah menurut konseling realita
adalah: (1) kegagalan individu untuk memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dengan cara yang

53
tidak bertanggungjawab dan efektif, (2) bermasalah dalam memilih perilaku yang tepat, dan
(3) tidak bertanggungjawab atas perilakunya

D. HAKEKAT KONSELING
Konseling realita merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif
sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau
konselor di sekolah dalam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental
konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan.
Konseling realita lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu
melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah
bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.
Bebarapa karakteristik yang mendasari pelaksanaan konseling realita:
1. Penekanan pada pilihan dan tangung jawab
Konselor realita menekankan pada pentingnya pilihan dan tangung jawab individu dalam
berperilaku. Karena individu memilih apa yang ia lakukan berarti bahwa individu tersebut
hendaknya bertangung jawab terhadap perilaku yang dipilihnya. Untuk itu konselor
hendaknya membantu individu menyadari adanya fakta bahwa individu tersebut bertangung
jawab terhadap apa yang dilakukanya.
2. Penolakan terhadap transferensi
Konselor realita berupaya menjadi dirinya sendiri dalam proses konseling. Untuk itu, ia
dapat mengunakan hubungan untuk mengajar para konseli bagaimana berinteraksi dengan
orang lain dalam hidup mereka. Transferensi merupakan cara konselor dan konseli
menghindar untuk menjadi diri mereka sendiri dan memiliki apa yang dikerjakan saat ini.
Hal tersebut tidak realistis bagi konselor untuk menjadi orang lain dan bukan menjadi
dirinya sendiri.
3. Penekanan konseling pada saat sekarang
Beberapa konseli datang ke konseling yakin bahwa masalahnya berawal dari masa lalu dan
mereka harus merevisi masa lalu tersebut agar mereka dapat terbantu melalui konseling.
Glasser menyakini bahwa kita adalah produk dari masa lalu tetapi kita bukan korban masa
lalu kecuali kita memilih untuk menjadi korban masa lalu tersebut. Glasser tidak menyetujui
pandangan bahwa kita harus memahami dan merevisi masa lalu agar dapat berfungsi dengan

54
baik saat ini. Menurutnya, kesalahan apapun yang dibuat pada masa lalu tidaklah
berhubungan dengan masa sekarang. Kita dapat memuaskan kebutuhan kita pada saat
sekarang. Walaupun demikian konseling realita tidak menolak sepenuhnya masa lalu. Jika
konseli ingin bicara tentang keberhasilan masa lalunya atau hubungan yang baik pada masa
lalu, konselor akan mendengarkan karena hal tersebut mungkin diulang pada masa sekarang.
Konselor akan menggunakan waktu hanya secukupnya bagi kegagalan masa lalu konseli
untuk menyakinkan para konseli bahwa konselor tidak menolak mereka.
4. Penghindaran dari pemusatan perilaku bermasalah
Pemusatan pada gejala-gejala perilaku bermasalah akan melindungi konseli dari kenyataan
hubungan saat ini yang tidak memuaskan. Oleh kerena itu konselor realita meluangkan
waktu sesedikit mungkin terhadap gejala-gejala perilaku bermasalah tersebut karena hal
tersebut hanya berlangsung selama gejala-gejala tersebut diperlukan untuk menangani
hubungan yang tidak memuaskan atau ketidakpuasan pemenuhan kebutuhan dasar.
5. Penentangan pandangan tradisional tentang penyakit mental
Konselor realita menolak pandangan tradisional bahwa orang yang memiliki gejala masalah
fisik dan psikologis adalah orang sakit secara mental. Glasser memperingatkan orang-orang
untuk berhati-hati terhadap psikiatri yang dapat membahayakan bagi kesehatan fisik dan
mental. Disamping itu, ia mengkritik penetapan psikiatrik yang banyak bersandar pada
klasifikasi dan statistik ganguan mental untuk diagnosis dan pemberian bantuanya.

E. KONDISI PENGUBAHAN
1. Tujuan
Pada dasarnya tujuan dari konseling realita adalah sama dengan tujuan dari kehidupan
manusia yaitu membantu individu untuk mencapai success identity. Untuk mencapai success
identity diperlukan suatu rasa tanggung jawab dari individu, untuk mencapinya individu
harus mencapai kepuasan terhadap kebutuhan personal. Untuk memenuhi kepuasan terhadap
kebutuhan tersebut perlu diperhatikan 3R yaitu reality (kenyataan), right (hal yang baik),
responsible (tangung jawab). Secara garis besar, tujuan konseling realita adalah:
a. Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan
melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.

55
b. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang
ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan
pertumbuhannya.
c. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
d. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses,
yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk
mengubahnya sendiri.
e. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
2. Konselor
Konselor berperan sebagai:
a. Motivator, yang mendorong konseli untuk: (1) menerima dan memperoleh keadaan
nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan (2)
merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak
menjadi individu yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkan
dirinya sendiri.
b. Penyalur tanggung jawab, sehingga: (1) keputusan terakhir berada di tangan konseli; (2)
konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik dalam menilai perilakunya
sendiri.
c. Moralist; konselor tidak menilai tingkah laku, tapi membimbing konseli untuk
mengevaluasi tingkah lakunya sendiri melalui keterlibatannya dan dengan membuka
tingkah laku yang sebenarnya secara terang-terangan. Konselor diharapkan memberikan
pujian apabila konseli bertindak sesuai dengan cara yang bertanggung jawab dan
menunjukkan ketidaksetujuan apabila mereka tidak bertindak demikian.
d. Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai pengalaman dalam
mencapai harapannya.
e. Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas kewenangan,
baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajaki maupun
akibat yang ditimbulkannya.
3. Konseli
Konseli dalam konseling realita adalah konseli yang:

56
a. Memusatkan/berfokus pada tingkah laku mereka sekarang alih-alih kepada perasaan-
perasaan dan sikap-sikap mereka.
b. Membuat dan menyepakati rencana yang akan dilaksanakan untuk mengubah tingkah
laku yang gagal menjadi tingkah laku yang berhasil.
c. Mengevaluasi tingkah laku sendiri
d. Konseli terlibat aktif dalam pelaksanaan kontrak-kontrak mereka sendiri secara
tanggung jawab apabila ingin mencapai kemajuan.

4. Situasi Hubungan
Konselor memulai proses konseling dengan menjadi terlibat dengan konseli dan
menciptakan suatu hubungan yang hangat, yang mendukung, dan menantang. Konseli harus
mengetahui bahwa konselor cukup mempedulikan untuk menerima mereka dan untuk
membantu mereka memenuhi kebutuhan mereka dalam dunia nyata. Kedua-duanya,
keterlibatan dan kepedulian untuk konseli, dipertunjukkan sepanjang proses. Begitu
keterlibatan ini telah dibentuk, konselor mengkonfrontasi konseli dengan kenyataan dan
konsekuensi tindakan mereka. Sepanjang konseling konselor menghindari kritik, menolak
untuk menerima pemaafan konseli dalam hal tidak menjalankan rencana yang telah
disetujui, dan tidak memberikannya dengan mudah pada konseli. Sebagai gantinya, konselor
secara terus menerus membantu konseli untuk mengevaluasi kepantasan dan efektivitas
perilaku mereka.

F. MEKANISME PENGUBAHAN
Mekanisme pengubahan yang dilakukan oleh konselor dalam konseling realita, yaitu:
involvement (keterlibatan), focus on behavior, focus on present (pemusatan pada tingkah laku
saat sekarang, bukan pada perasaan), value judgement (pertimbangan nilai), planning on
responsible behavior (perencanaan tingkah laku yang bertanggung jawab), commitment
(kesepakatan), no execuse (tiada ampunan), dan eliminate punishment (membatasi hukuman).
1. Prosedur konseling
Praktik konseling realita dapat dikonseptualisasikan seperti siklus konseling, yang terdiri
atas dua komponen utama: (a) lingkungan konseling dan (b) prosedur spesifik yang mendorong
ke arah perubahan perilaku. Prosedur ini didasarkan pada asumsi manusia termotivasi untuk

57
berubah: (a) ketika mereka menentukan bahwa perilaku kekinian mereka tidaklah menjadi
sebagaimana apa yang mereka inginkan dan (b) ketika mereka percaya bahwa mereka mampu
memilih perilaku lain yang akan semakin mendekatkan mereka kepada apa yang mereka
inginkan. Prosedur yang spesifik dari praktik konseling realita ini oleh Wubbolding diringkas
dalam model " WDEP", yang mengacu pada serumpun strategi sebagaimana berikut:
W = ingin: menyelidiki keinginan, kebutuhan, dan persepsi.
D = arah dan perbuatan: memusatkan pada apa yang klien lakukan dan arah (tujuan perbuatan)
yang membawa mereka pada permasalahan.
E = evaluasi: menantang klien untuk membuat suatu evaluasi tentang perilaku total mereka.
P = perencanaan dan komitmen: membantu klien dalam merumuskan rencana realistis dan
pembuatan suatu komitmen untuk menyelesaikannya.

Wubbolding sebagai seorang juru bicara terkemuka konseling realita mengemukakan


prosedur konseling realita dengan sistem WDEP (Seligman, 2006). Sistem tersebut terdiri atas
empat tahap yaitu:
a. Want (keinginan)
W berarti keinginan, kebutuhan, dan perserpsi konseli. Pada tahap W, konselor
mengidentifikasi apa yang diinginkan konseli dalam kehidupan dengan mengajukan
pertanyaan seperti “Apa yang kamu inginkan?”(dari belajar, keluarga, teman-teman, dan lain-
lain).
b. Doing (melakukan)
D berarti apa yang dilakukan konseli dan arah yang dipilih dalam hidupnya. Pada
tahap tersebut, konselor membantu konseli mengidentifikaasi apa yang dilakukannya dalam
mencapai tujuan yang diharapkan dengan mengajukan pertanyaan antara lain ”Apa yang
kamu lakukan?” dan mengidentifikasi arah hidupnya dengan mengajukan pertanyaan “Jika
kamu terus menerus melakukan apa yang kamu lakukan sekarang, akan kemana kira-kira arah
hidupmu?”
c. Evaluating (penilaian)
E berarti melakukan evaluasi terhadap apa yang dilakukan akhir-akhir ini. Pada tahap
ini, konselor membantu konseli melakukan penilaian diri untuk menentukan keefektivan apa
yang dilakukan bagi pencapaian kebutuhannya. Untuk itu, konselor dapat menggunakan

58
pertanyaan antara lain “Apakah yang kamu lakukan akhir-akhir ini dapat membantumu
memenuhi keinginanmu?”
d. Planning (merencanakan)
P berarti membuat rencana perubahan perilaku. Pada tahap ini, konselor membantu
konseli merencanakan pengubahan tingkah laku yang lebih bertanggung jawab bagi
pencapaian kebutuhannya. Perencanaan dibuat berdasarkan hasil evaluasi perilaku pada tahap
sebelumnya. Dalam tahap tersebut, konselor dapat mengajukan pertanyaan misalnya, “Apa
yang akan kamu lakukan agar dapat memenuhi keinginanmu?”. Agar rencana tersebut efektif
maka perencanaan tindakan yang dibuat berupa rencana yang sederhana, dapat dicapai,
terukur, segera, dan terkendali oleh konseli.

2. Teknik-teknik konseling
Teknik-teknik yang bisa digunakan dalam konseling realita, yaitu:
a. Metafora : konselor menggunakan metafora, kiasan, gambaran, analogi, dan anekdot
untuk memberikan konseli pesan yang kuat dengan cara yang kreatif
b. Humor
c. Positive Addiction : manusia dapat mengurangi tingkah laku negatif dengan
mengembangkan ketergantungan yang positif.
d. Using Verb and “ing” Word (kalimat/kata aktif) : reality therapy menginginkan
manusia untuk merelisasikan bahwa mereka mempunyai kontrol yang besar dalam
kehidupan mereka dan dapat memilih total behavior mereka
e. Reasonable Consequence : manusia akan bertanggungjawab dan akan berpengalaman
atas konsekuensi tingkah laku mereka
f. Relationship : konselor melihat hubungan sebagai hal yang penting untuk memuaskan
hidup.
g. Skill Development : pengembangan keterampilan, misalnya sikap asertif, rational
thinking, dsb
h. Games
i. Konfrontasi
j. Modelling
k. Verbal shock

59
l. Home work assigment : pemberian tugas
m. Membuat kesepakatan/kontrak.
Adapun ciri-ciri konseling realita, yaitu: (a) Menolak konsep adanya sakit mental pada
setiap individu, tetapi yang ada adalah individu yang tidak bertanggung jawab dan tingkah
laku tersebut masih dalam taraf mental yang sehat, (b) Berfokus pada tingkah laku yang nyata
untuk mencapai tujuan yang akan datang dengan penuh optimis, (c) Berorientasi pada
keadaan yang akan datang , dengan fokus pada tingkah laku sekarang yang dapat di ubah,
diperbaiki, dianalisis dan ditafsirkan, (d) Menekankan betapa pentingnya nilai, (e) Tidak
menegaskan transfer untuk mencari usaha untuk mencapai kesuksesan, (f) Menekankan aspek
kesadaran dari klien yang harus dinyatakan dalam tingkah laku tentang apa yang harus
dilakukan klien.serta mengikutsertakan klien dalam merencanakan pola tingkah laku
mendatang, (g) Menghapuskan hukuman yang diberikan kepada individu yang mengalami
kegagalan,dan sebagai ganti hukuman adalah menanamkan disiplin yang disadari maknanya
dan dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang nyata, (h) Menekankan konsep tanggung
jawab, dan (i) Antideterministik.

G. KELEMAHAN DAN KELEBIHAN


1. Kelemahan konseling realita
Konseling realita tidak memberi penekanan cukup pada perasaan, ketaksadaran, nilai
terapis bermimpi, penempatan pemindahan/transferensi dalam konseling, pengaruh trauma
awal masa kanak-kanak, dan kekuatan masa lalu untuk mempengaruhi kepribadian
seseorang. Ada suatu kecenderungan pendekatan ini untuk mengurangi peran yang rumit
dari lingkungan sosial dan budaya seseorang dalam membentuk perilaku. Mungkin ini lebih
merupakan trietmen yang berorientasi gejala dan mengabaikan suatu explorasi isu emosional
yang lebih dalam.
2. Kelebihan konseling realita
Sebagai pendekatan jangka pendek, konseling realita dapat diberlakukan bagi konseli
dalam cakupan luas. Pendekatan ini menyediakan suatu struktur untuk konseli dan konselor
dalam mengevaluasi derajat dan naturalitas perubahan. Teori ini terdiri atas konsep
sederhana dan jelas yang mudah dipahami oleh banyak orang dalam berbagai bidang jasa,
dan prinsip-prinsipnya dapat digunakan oleh orang tua, para guru, pelayan/pejasa bantuan,

60
pendidik, para manajer, konsultan, para penyelia, karyawan kemasyarakatan, dan konselor.
Sebagai pendekatan positif dan berorientasi tindakan, pendekatan ini memberikan tawaran
bagi berbagai konseli yang secara khas dipandang sebagai "sukar untuk menerima
perlakukan." Jantung konseling realita yaitu menerima tanggung jawab pribadi dan
pemerolehan kendali yang lebih efektif. Setiap orang mempunyai tanggung jawab pada
hidup mereka bukannya menjadi korban keadaan di luar kendali mereka. Pendekatan
konseling ini mengajar konseli untuk memusatkan pada apa yang mereka mampu dan ingin
lakukan saat ini untuk mengubah perilaku mereka.

61
BAB VI

TEORI DAN TEKNIK KONSELING PERSON-CENTERED

A. SEJARAH PERKEMBANGAN
Carl Ransom Rogers dilahirkan di Oak Park, Illinois, pada tahun 1902 dan wafat di
LaJolla, California, pada tahun 1987. Semasa mudanya, Rogers tidak memiliki banyak teman
sehingga ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Dia membaca buku apa saja
yang ditemuinya termasuk kamus dan ensiklopedi, meskipun ia sebenarnya sangat menyukai
buku-buku petualangan. Ia pernah belajar di bidang agrikultural dan sejarah di University of
Wisconsin. Pada tahun 1928 ia memperoleh gelar Master di bidang psikologi dari Columbia
University dan kemudian memperoleh gelar Ph.D di dibidang psikologi klinis pada tahun 1931.
Pada tahun 1931, Rogers bekerja di Child Study Department of the Society for the
prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan pencegahan
kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada masa-masa berikutnya ia sibuk membantu
anak-anak bermasalah dengan menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia
menerbitkan satu tulisan berjudul “The Clinical Treatment of the Problem Child”, yang
membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di Ohio State
University. Dari 1935 sampai 1940 ia mengajar di University of Rochester dan menulis
Perlakuan Klinis Anak Soal (1939), berdasarkan pengalamannya dalam bekerja dengan anak-
anak bermasalah. Dia sangat dipengaruhi dalam membangun kliennya-pendekatan terpusat oleh
Freudian psikoterapi praktik-pos Otto Rank . Pada tahun 1940 Rogers menjadi profesor psikologi
klinis di Ohio State University, di mana ia menulis buku keduanya, Konseling dan Psikoterapi
(1942 ). Di dalamnya, Rogers menunjukkan bahwa klien, dengan membangun hubungan dengan
pemahaman, menerima terapis, dapat mengatasi kesulitan dan memperoleh wawasan yang
diperlukan untuk merestrukturisasi hidup mereka.Dan pada tahun 1942, Rogers menjabat sebagai
ketua dari American Psychological Society.
Pada 1945, ia diundang untuk mendirikan sebuah pusat konseling di Universitas Chicago.
Sementara menjadi seorang profesor psikologi di University of Chicago (1945-1957), Rogers
membantu untuk mendirikan sebuah pusat konseling berhubungan dengan universitas dan di
sana dilakukan penelitian untuk menentukan efektivitas metodenya. Temuan dan teorinya
muncul Client-Centered Therapy (1951) dan Psikoterapi dan Kepribadian Perubahan (1954).

62
Salah satu mahasiswa pascasarjana di Universitas Chicago, Thomas Gordon , mendirikan Induk
Efektifitas Pelatihan (PET) gerakan. Pada tahun 1956, Rogers menjadi Presiden pertama
American Academy of psikoterapis. Ia mengajar psikologi di University of Wisconsin, Madison
(1957-1963), ia menulis salah satu yang paling dikenal buku-bukunya, On becoming a Person
(1961).
Rogers melanjutkan mengajar di University of Wisconsin sampai 1963, ia menjadi
penduduk di Pusat Studi baru untuk Orang di La Jolla . Rogers meninggalkan WBSI untuk
membantu menemukan Pusat Studi Orang pada tahun 1968. Buku berikutnya termasuk Carl
Rogers on Personal Power (1977) dan Freedom to Learn for the 80's (1983). Dia tetap menjadi
penduduk La Jolla selama sisa hidupnya, melakukan terapi, memberikan pidato dan menulis
sampai kematian mendadak pada tahun 1987. Pada tahun 1987, Rogers mengalami penurunan
yang menghasilkan retak panggul . Dia menjalani operasi dengan sukses, tapi pankreasnya gagal
malam berikutnya dan dia meninggal beberapa hari kemudian.
Tahun terakhir Rogers dicurahkan untuk menerapkan teori-teorinya di daerah konflik
sosial nasional, dan dia melakukan perjalanan di seluruh dunia untuk mencapai hal ini. Di
Belfasts, Irlandia Utara , ia membawa bersama-sama berpengaruh Protestan dan Katolik; di
Afrika Selatan, kulit hitam dan putih, di Amerika Serikat, konsumen dan penyedia di bidang
kesehatan. perjalanan terakhir-Nya, pada usia 85, adalah Uni Soviet, di mana dia kuliah dan
difasilitasi lokakarya pengalaman intensif mengembangkan komunikasi dan kreativitas. Dia
heran jumlah Rusia yang tahu karyanya.
Bersama dengan putrinya, Natalie Rogers, antara tahun 1975 dan 1980, Rogers melakukan
serangkaian program perumahan di AS, Eropa, dan Jepang, Orang-Centered Pendekatan
Lokakarya, yang berfokus pada komunikasi lintas-budaya, pertumbuhan pribadi, pemberdayaan
diri , perubahan dan sosial.
Pendekatan Person-centered yang dikembangkan Rogers pada tahun 1930, dibagi menjadi
empat tahapan atau fase. Pertama, tahap perkembangan, termasuk tahun-tahun awal profesional
roger. Kedua, tahap non-directive nya menandai awal pengembangan teoritis dan penekanannya
pada pemahaman klien dan mengkomunikasikan pemahaman itu. Tahap ketiga, client-centered,
melibatkan pengembangan lebih teoritis kepribadian dan perubahan paikoterapi, serta terus
memfokuskan pada orang bukan pada teknik. Tahap keempat, person-centered, melalui
psikoterapi individu yang meliputi konseling Mariage, terapi kelompok, dan aktivisme politik

63
dan perubahan. pembentukan bertahap dari tahap ini dan kontribusi roger untuk psikoterapi
dibahas berikutnya.
Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling
menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapist) dalam membantu individu mengatasi
masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban
atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapist hanya membimbing klien menemukan
jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik assessment dan pendapat para terapist
bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien. Hasil karya Rogers yang
paling terkenal dan masih menjadi literatur sampai hari ini adalah metode konseling yang disebut
Client-Centered Therapy.
Dari latar belakang historisnya, terapi person-centered sebagai reaksi terhadap apa yang
disebutnya sebagai keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya
pendekatan person- Centered merupakan cabang khusus dari terapi Humanistik yang menggaris
bawahi tindakan mengalami klien berikut duni subjektif dan fenomenalnya
J. Hart membagi perkembangan Teori Rogers menjadi tiga periode, yaitu:
 Periode I (1940-1950): Psikoterapi Nondirektif
Pada periode ini, menggunakan pendekatan yang menekankan penciptaan iklim permisif
dan nonintervensif. Teknik-teknik utamanya, penerimaan dan klarifikasi. Melalui terapi
nondirektif, klien akan mencapai pemahaman atas dirinya dan atas situasi kehidupannya.
 Periode II (1950-1957): Psikoterapi Reflektif
Pada periode ini, terapis terutama merefleksikan beberapa perasaan klien dan menghindari
ancaman dalam hubungan dengan kliennya. Melalui terapi reflektif, klien mampu
mengembangkan keselarasan konsep diri dan konsep diri idealnya.
 Periode III (1957-1970): Terapi Eksperiensial
Pada periode ini ditandai dengan tingkah laku yang luas dari terapis yang mengungkapkan
sikap-sikap dasarnya. Terapi difokuskan pada sesuatu yang sedang dialami klien dan pada
pengungkapan yang dialami oleh terapis. Klien tumbuh pada suatu rangkaian keseluruhan
dengan belajar menggunakan apa yang dialaminya.

64
B. HAKIKAT MANUSIA
Dalam pendekatan person-centered, orang didasarkan pada empat keyakinan utama: 1)
orang yang dapat dipercaya, 2) orang mempunyai sifat bawaan untuk bergerak menuju
aktualisasi diri dan kesehatan, 3) orang memiliki sumber daya inti untuk mengubah mereka ke
arah diri yang positif, dan 4) orang merespon untuk mereka dianggap unik dunia (dunia
fenomenologi). Aktualisasi diri dipandang sebagai pengalaman kemanusiaan yang paling
berarti, sehingga dengan mengaktualisasikan dirinya, manusia dapat menikmati segala aspek
kehidupannya. Tingkah laku manusia diorganisasikan secara keseluruhan di sekitar
tendensi manusia berbuat sesuatu. Pola perilaku manusia ditentukan oleh kemampuan untuk
membedakan antara respon yang efektif (menghasilkan rasa senang) dan respon yang tidak
efektif (menghasilkan rasa tidak senang).
Di samping itu pada dasarnya manusia itu kooperatif, konstruktif, dapat dipercaya,
memiliki tendens dan usaha mengaktualisasikan dirinya,berprestasi,dapat mempertahankan
dirinya sendiri, mampu memilih tujuan yang benar dalam keadan bebas dari ancaman.
Sehingga individu dapat men “take charge” kehidupannya, membuat keputusan, berbuat
baik, dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah diputuskannya. Pada sisi lain Rogers
memandang manusia adalah sebagai makhluk sosial, berkembang, rasional dan realistis.
Manusia adalah subjek yang utuh, aktif, dan unik.

C. PERKEMBANGAN PERILAKU
1. Struktur Kepribadian
Perhatian utama Rogers kepada perkembangan atau perubahan kepribadian, karena itu ia
tidak menekankan kepada struktur kepribadian. Walaupun demikian, Rogers mengajukan dua
konstruk pokok dalam teorinya, yaitu: organisme dan self.
a) Organisme
Merupakan locus (tempat semua pengalaman). Pengalaman meliputi segala sesuatu yang
secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme pada setiap saat. Totalitas pengalaman,
baik disadari maupun tidak disadari membangun medan fenomenal (phenomenal field), medan
fenomenal adalah “frame of reference” dari individu yang hanya diketahui individu itu sendiri.
Medan fenomenal tidak dapat diketahui orang lain kecuali melalui inferensi empatis dan
selanjutnya tidak pernah dapat diketahui dengan sempurna. Organisme menanggapi dunia seperti

65
yang diamati atau dialaminya (realitas) dan satu kesatuan sistem, sehingga perubahan pada satu
bagian akan mempengaruhi bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi dan bertujuan,
yakni bertujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan diri.
b) Self
Self (yang sekarang dikenal sebagai self concept) merupakan satu konstruk sentral dalam
teori kepribadian Rogers. Rogers mengartikan selft sebagai “persepsi tentang hubungan I atau me
dan mempersepsi hubungan I atau me dengan orang lain atau berbagai aspek kehidupan,
termasuk nilai-nilai yang terkait dengan keyakinan persepsi tersebut”. Atau “keyakinan tentang
kenyataan, keunikan, dan kualitas tingkah laku diri sendiri”. Dengan kata lain, disamping self
sebagaimana adanya (struktur diri), terdapat suatu diri ideal, yakni apa yang diinginkan orang
atau lingkungan tentang dirinya.

2. Pribadi Sehat dan Bermasalah


Hubungan antara self concept dengan organisme (actual experience) terjadi dalam dua
kemungkinan, yaitu “congruence” atau “incongruence”. Kedua kemungkinan hubungan tersebut
menentukan perkembangan kematangan, penyesuaian (adjustment), dan kesehatan mental
seseorang.
Jika self concept dan organisme mengalami kecocokan maka hubungan tersebut disebut
congruence, dan jika tidak cocok disebut incongruence. Suasana incongruence menyebabkan
seseorang mengalami sakit mental; seperti merasa cemas, terancam, berperilaku defensif, dan
berpikir kaku.
Dengan kata lain pribadi sehat adalah Terdapatnya keseimbangan antara organisme (actual
experience) dan self sebagai hasil dari interaksi individu untuk selalu berkembang. Apabila
pengalaman-pengalaman yang dilambangkan membentuk diri / self yang aktual dan ideal, maka
pribadi yang bersangkutan tersebut berpenyesuaian baik, matang dan dapat berfungsi
sepenuhnya. Pribadi tersebut menerima seluruh pengalaman tanpa merasakan ancaman atau
kecemasan. Sedangkan pribadi yang bermasalah adalah Adanya ketidakseimbangan/
ketidaksesuaian/ inkongruensi antara pengalaman organismik dan self yang menyebabkan
individu merasa cemas dan mengalami malasuai. Mereka akan cenderung bertingkah laku
defensif dan cara berfikir menjadi sempit dan kaku.

66
Deskripsi orang yang berperilaku sehat, antara lain:
1. Keterbukaan pada pengalaman
Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman
dengan fleksibel sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan demikian ia akan
mengalami banyak emosi (emosional) baik yang positip maupun negatip.
2. Kehidupan Eksistensial
Kualitas dari kehidupan eksistensial dimana orang terbuka terhadap pengalamannya
sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang baru, dan selalu berubah dan cenderung
menyesuaikan diri sebagai respons atas pengalaman selanjutnya.
3. Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri
Pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap pengalaman itu
sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang dirasanya benar
(timbul seketika dan intuitif) sehingga ia dapat mempertimbangkan setiap segi dari
suatu situasi dengan sangat baik.
4. Perasaan Bebas
Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya
paksaan - paksaan atau rintangan - rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan.
Orang yang bebas memiliki suatu perasaan berkuasa secara pribadi mengenai
kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya sendiri, tidak pada
peristiwa di masa lampau sehingga ia dapat meilhat sangat banyak pilihan dalam
kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.
5. Kreativitas
Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan kepada organisme mereka sendiri
akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri - ciri bertingkah
laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons
atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.

D. HAKIKAT KONSELING
Pendekatan Person-Centered pada dasarnya berakar pada sekumpulan sikap dan
kepercayaan yang ditujukan oleh konselor/terapis terhadap klien, yang bertujuan untuk
memfasilitasi perkembangan klien, penyesuaian diri klien dan aktualisasikan diri klien, dimana

67
masing-masing saling mengungkapkan atau memperlihatkan kemanusiaannya dan berpartisipasi
dalam pengalaman pertumbuhan. Titik tolak dalam konseling Person-Centered adalah keadaan
individu saat ini (here and now) bukan pengalaman masa lalu. Fokus utama dalam konseling
adalah penyesuaian antara ideal-self dan actual self. Sasaran konseling adalah aspek emosi dan
perasaan bukan segi intelektualnya. Peranan aktif dipegang oleh klien, sedangkan konselor
adalah pasif-reflektif, artinya tidak semata-mata diam dan pasif akan tetapi berusaha membantu
agar klien aktif memecahkan masalahnya.
Dalam terapi ini, Rogers tidak mengemukakan bahwa pendekatan Person centered sebagai
suatu pendekatan terapi yang tetap dan tuntas. Karena ia memang memandang bahwa teorinya
adalah sekumpulan prinsip percobaan yang berkaitan dengan perkembangan proses terapi dan
bukan sebagai dogma. Adapun adaptasi dari deskripsi Rogers mengenai ciri-ciri yang
membedakan pendekatan Person centered dengan pendekatan lain :
1. Pendekatan Person centered difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien
untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara penuh, karena klien sebagai
orang yang paling mengetahui dirinya sendiri sehingga ia harus mampu menemukan
tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya
2. Pendekatan Person centered menekankan dunia fenomena klien. Konselor / terapis
memberikan perhatian terutama pada persepsi diri klien dan persepsi terhadap dunianya,
hal ini merupakan salah satu cara untuk memahami kerangka acuan internal klien
3. Pendekatan Person centered memiliki psinsip terapi yang diterapkan pada individu yang
fungsi psikologisnya berada pada taraf yang relatif normal maupun pada individu yang
mengalami salah penyesuaian psikologis pada tingkat yang lebih tinggi
4. Pendekatan Person centered memandang bahwa psikoterapi hanyalah salah satu contoh
dari hubungan yang konstruktif, karena klien mengalami pertumbuhan psikoterapik di
dalam dan di luar dirinya melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya
melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendiri. Konselor/terapis menjalin hubungan
yang selaras dengan klien dan bersikap menerima serta empatik sebagai agen perubahan
terapi bagi klien.

68
E. KONDISI PENGUBAHAN
1. Tujuan
Tujuan utama dalam terapi Person centered adalah untuk memfasilitasi kepercayaan dan
kemampuan individu pada saat ini. Tujuan khususnya dalah membantu klien mengembangkan
kesadaran diri, pemberdayaan, optimisme, harga diri, tanggung jawab, kongruensi, dan otonomi.
Dalam proses terapi, klien sendiri yang menentukan tujuan konseling, konselor hanya membantu
klien menjadi lebih matang dan kembali melakukan aktualisasi diri dengan menghilangkan
hambatan-hambatannya. Namun secara lebih khusus membebaskan klien dari kungkungan
tingkah laku (yang dipelajarinya) selama ini, yang semuanya itu membuat dirinya palsu dan
terganggu dalam aktualisasi dirinya.
Menurut pandangan Rogers, tujuan konseling / terapi tidak hanya sekedar membantu klien
dalam mengentaskan permasalahannya, akan tetapi membantu klien menciptakan iklim yang
kondusif dalam proses tumbuh kembang klien sehingga menjadi pribadi yang berfungsi penuh
dan mampu mengatasi problem yang dihadapi saat ini maupun di masa mendatang. Dalam proses
konseling diharapkan klien mampu membuka “topeng” atau kepura-puraan yang menutupi
dirinya sebagai pertahanan terhadap ancaman, sehingga klien tidak bisa tampil secara utuh di
hadapan orang lain. Ciri-ciri orang yang mampu mengaktualisasikan diri menurut Rogers antara
lain sebagai berikut :
a) Keterbukaan pada pengalaman
Keterbukaan pada pengalaman berarti memandang kenyataan tanpa mengubah bentuknya
agar sesuai dengan struktur diri yang tersusun pada awal. Keterbukaan pada pengalaman
menyiratkan lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar diri
klien. Dengan terbuka pada pengalaman individu akan memiliki kesadaran atas diri sendiri
pada saat sekarang dan kesanggupan memahami dirinya sendiri dengan cara-cara yang
baru.
b) Percaya terhadap diri sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien membangun rasa percaya terhadap dirinya
sendiri. Seringkali pada tahap permulaan konseling, kepercayaan terhadap dirinya sendiri
dan terhadap keputusan-keputusan nya sangat kecil. Mereka selalu mencari jawaban di luar
karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk

69
mengarahkan hidupnya sendiri. Dengan meningkatkan keterbukaan terhadap pengalaman
klien, kepercayaan terhadap dirinya sendiri akan muncul.
c) Sebagai pusat / sumber informasi dan evaluasi internal
Klien diharapkan mampu mencari jawaban-jawaban untuk setiap permasalahannya pada
diri sendiri tidak bergantung kepada orang lain. Klien diharapkan juga mampu menetapkan
standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat
keputusan ataupun pilihan hidupnya.
d) Kesediaan untuk menjadi suatu proses dan tumbuh secara berlanjut
Pada proses terapi klien menjadi sasaran terapi untuk mencari jenis formula yang dapat
membangun keadaan keberhasilan dan kebahagiaan pada tahap akhir. Disini klien sebagai
“proses” bukan sebagai “produk” terapi. Dengan terapi diharapkan klien menjadi sadar
bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Dalam konseling / terapi
klien berada pada proses pengujian terhadap persepsi dan kepercayaan serta membuka diri
untuk pengalaman-pengalaman baru.
2. Konselor
Peran konselor client-centered adalah sebagai berikut :
a) Menyediakan kondisi terapeutik agar klien dapat menolong dirinya dalam rangka
mengaktualisasikan dirinya.
b) Memberikan penghargaan yang positif tanpa syarat bagi klien.
c) Mendengarkan dan mengobservasi lebih jauh untuk mendapatkan aspek verbal dan
emosional klien.
d) Memberikan pemahaman empatik untuk melihat kekeliruan dan inkongruensi yang
dialami oleh klien.
e) Peduli dan ramah.
Dalam proses konseling, konselor / terapis memiliki fungsi antara lain : sebagai facilitator,
dalam hal ini konselor harus mampu menciptakan situasi atau membangun suatu iklim yang
memfasilitasi perubahan pribadi klien, sebagai motivator,konselor berusaha menciptakan kondisi
mendorong klien berani menghadapi kehidupan dengan penuh tanggung jawab, dan sebagai
reflector, konselor mampu memantulkan segi-segi afeksi klien, dan sebagai model karena
konselor adalah contoh dan teladan bagi klien dalam konfigurasi, keterbukaan terhadap
pengalaman, penyesuaian diri yang sehat.

70
Sikap yang harus dimiliki konselor antara lain :
a) Menerima (acceptance), sikap yang ditujukan kepada klien agar mau terbuka dan
dapat melihat, menerima, dan mengembangkan dirinya sesuai dengan keadaan realistis
dirinya.
b) Kehangatan (warmth), agar klien merasa aman dan memiliki penilaian yang
lebih positif tentang dirinya.
c) Tampil apa adanya (genuine). Kewajaran yang ditampilkan oleh konselor kepada
klien akan membantu proses konseling. Klien memiliki kesan yang positif terhadap
konselor. Diharapkan klien dapat memandang konselor bahwa konselor sungguh-
sungguh berniat membantu klien dan klien dapat percaya serta dapat terbuka dalam
menyampaikan permasalahannya.
d) Empati (emphaty), yaitu menempatkan diri dalam kerangka acuan batiniah (internal
frame of reference).
e) Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard), sikap penghargaan tanpa
syarat ataupun tuntutan yang ditunjukkan oleh konselor betapapun negatifnya sikap
klien akan sangat bermanfaat dalam proses bantuan ini.
f) Keterbukaan (transparancy), penampilan konselor yang terbuka pada saat terapi
maupun dalam keseharian konselor merupakan hal yang sangat penting bagi klien
untuk mempercayai dan menimbulkan rasa aman terhadap sesuatu yang disampaikan
klien.
g) Kongruensi (congruence), konselor dan klien berada dalam posisi yang sejajar dalam
hubungan terapi yang sehat.Sedangkan kualitas konselor bergantung
kepada keikhlasan, empati, kehangatan, akurasi, respek, sikap permisif, dan kongruen
dalam hubungan terapeutik ini.
3. Konseli
Dalam pendekatan Person centered, perubahan terapeutik tergantung pada persepsi klien
tentang pengalamannya sendiri dalam terapi maupun sikap-sikap dasar konselor. Iklim yang
kondusif sangat berpengaruh terhadap eksplorasi diri klien, sehingga klien bisa melepaskan
belenggu-belenggu deterministik yang membuat dirinya berada dalam penjara psikologis.
Dengan meningkatnya kebebasan tersebut klien akan lebih matang secara psikologis dan dalam
mengaktualisasikan dirinya.

71
Pada awal terapi klien datang dalam kondisi incongruent (tidak selarasnya antara persepsi
diri dengan pengalaman dalam kenyataan). Kemudian klien berharap terapis dapat memberikan
jawaban-jawaban maupun pengarahan terhadap pemecahan masalahnya. Namun disini klien
akan belajar bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan belajar untuk terbuka serta bebas
mengungkapkan perasaannya dalam hubungan terapis. Dalam iklim yang diciptakan terapis,
klien akan lebih dapat mengeksplorasi aspek-aspek yang tersembunyi. Hal yang paling
mendukung adalah sikap terapis yang berupa penghargaan tanpa syarat dan kemampuan
menduga kerangka acuan internal klien. Setelah klien dapat mengeksplorasi diri dan menerima
perasaan dan pengalaman-pengalaman yang di anggap negatif menjadi bagian dari struktur
dirinya, maka klien akan dapat meningkatkan kepercayaan pada diri sendiri dan mengelola
kehidupannya sendiri. Dengan kata lain, pengalaman klien dalam terapi adalah melepaskan
belenggu-belenggu deterministik yang telah membuat dirinya berada dalam penjara psikologis,
dan dengan meningkatnya kebebasan, klien akan menjadi pribadi yang matang secara psikologis
dan mampu mengaktualisasikan dirinya dengan baik.
Carl Rogers memandang manusia, dalam hal ini klien, dengan berorientasi kepada
filsafat humanistik, yaitu :
a) Inti sifat manusia adalah positif, sosial, menuju ke depan, dan realistik. Yang
berarti pada dasarnya manusia itu bersifat positif, rasional, sosial, bergerak maju, dan
realistik.tingkah laku manusia diorganisir secara keseluruhan di sekitar tendensi, dan
polanya ditentukan oleh kemampuan untuk membedakan antara respon yang efektif
(menghasilkan rasa senang) dan respon yang tidak efektif (menimbulkan rasa tidak
senang).
b) Manusia pada dasarnya adalah kooperatif, konstruktif dan dapat dipercaya.
c) Manusia memiliki tendensi dan usaha dasar untuk mengaktualisasi pribadi, berprestasi,
dan mempertahankan diri.
d) Manusia memiliki kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang benar, dan
membuat pilihan yang benar, apabila ia diberi situasi yang bebas dari ancaman.
4. Situasi hubungan
Menurut Rogers dalam Mc Leod (2005), ada enam situasi yang diperlukan bagi
pengubahan kepribadian klien, yaitu:
a) Dua orang yang berada dalam hubungan psikologis

72
b) Pertama, klien sebagai bagian dari inkongruensi, lebih mudah terkena serangan dan
kecemasan
c) Kedua, terapis yang sesuai dan terintegrasi dalam hubungan terapi
d) Terapis mengalami unconditional positive regard kepada klien
e) Terapis yang mengalami pengertian dan empatik pada kerangka pikir internal klien dan
berusaha mengkomunikasikan perasaannya kepada klien
f) Komunikasi, pengertian, empatik, menghargai, rasa hormat positif tak bersyarat kepada
klien hendaknya dapat dicapai.
Adapun ciri dan sikap pribadi terapis yang dapat membentuk hubungan terapeutik antara
lain: keselarasan dan keserasian, penghargaan positif tak bersyarat, pengertian empatik yang
akurat.

F. MEKANISME PENGUBAHAN
1. Tahap-tahap Konseling
Berikut ini adalah tahap-tahap konseling dengan pendekatan Person centered :
a) Konseli datang kepada konselor atas kemauan sendiri, jika hal ini tidak terjadi maka
konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif dengan
tujuan agar konseli dapat memilih apakah ia akan terus meminta bantuan atau
membatalkannya
b) Situasi konseling sejak awal adalah menjadi tanggung jawab konseli (konseli yang
menentukan tujuan konseling), untuk itu konselor memfasilitasi dalam menggugah
kesadaran klien
c) Konselor menumbuhkan keberanian konseli agar ia mampu mengungkapkan
perasaannya, untuk itu maka konselor haruslah bersikap ramah, bersahabat, dan
menerima konseli apa adanya
d) Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya
e) Konselor berusaha agar konseli dapat memahami dan menerima keadaan dirinya
f) Konseli menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan di ambil
g) Konseli merealisasikan pilihannya itu

73
2. Teknik-teknik konseling
Tidak ada teknik yang spesifik pada pendekatan Person- centered. Karena menitikberatkan
pada sikap-sikap terapis. Namun ada beberapa teknik dasar seperti mendengarkan,
mendengarkan secara aktif, merefleksikan perasaan dan menjelaskannya.
Pendekatan Person- centered mengutamakan hubungan konseli daripada perkataan dan
perbuatan konselor. Oleh karena itu konselor menghindari teknik seperti : penetapan tujuan,
pemberian saran, penafsiran tingkah laku, pemilihan topik yang akan di eksplorasi, pertanyaan,
dorongan, interpretasi. Dan karena itu pula teknik Rogers berkisar antara lain pada cara-cara
penerimaan pernyataan dan komunikasi, menghargai dan memahami klien sehingga pada
akhirnya klien merasa sepenuhnya diterima.
Dalam teknik konseling sangat di utamakan sifat dasar konselor, antara lain : acceptance
(konselor menerima klien apa adanya dengan segala masalahnya dan bersikap netral),
congruence (karakteristik konselor yang terpadu, sesuai dengan kata dengan perbuatan dan
konsisten), understanding (konselor harus dapat secara akurat memahami dan berempati di
dunia klien sebagaimana terlihat dari dalam diri konseli tersebut), nonjudgemental (tidak
memberi penilaian terhadap konseli, akan tetapi konselor selalu objektif).

G. KELEMAHAN DAN KELEBIHAN


1. Kelebihan
a) Memiliki sifat “aman”, karena dalam proses terapi sepenuhnya berfokus pada klien
sehingga tidak ada intervensi dan penghakiman dari konselor
b) Memandirikan klien dengan refleksi perasaan sehingga klien mampu menemukan
cara pemecahan masalahnya sendiri
c) Memberi jaminan yang lebih realistis bahwa para calon klien tidak akan mengalami
kerugian psikologis
d) Dalam hal pengeksplorasi-an bidang sepenuhnya ditetapkan oleh klien
e) Rumusan-rumusannya sebagai hipotesis yang dapat di uji dalam penelitian
f) Teori Rogers tidak terbatas pada psikoterapi, roger's memadukannya dengan
berbagai pendekatan misalnya penerapan untuk kelompok diagnostik dan kelompok
multikultural
g) Memerlukan waktu yang relatif lebih cepat dari pendekatan yang lain

74
2. Kelemahan
a) Terlalu terpusat pada klien sehingga terapis sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi
yang unik
b) Teknik pada terapi person-centered, terkesan tidak lebih dari teknik mendengar dan
merefleksikan
c) pendekatan person-centered gagal dalam mendekatkan pada perkembangan,
psikodinamik, behavioral, dan pendekatan lain yang dapat meningkatkan pemahaman
individu
d) Mendengarkan dan peduli tidaklah cukup
e) Pendekatan ini adalah tidak sesuai bagi orang-orang yang tidak termotivasi terhadap
perubahan atau tidak memiliki kapasitas atau kepentingan dalam memanfaatkan
produktif sesi mereka
f) Pendekatan ini terlalu santai dan tidak fokus, orang yang berada dalam krisis atau
lebih menyukai pendekatan yang lebih aktif, terstruktur, dan efisien mungkin merasa
tidak nyaman atau kecewa
g) Person-centered tidak memiliki teknik untuk membantu orang memecahkan
masalah klien

75
BAB VII
TEORI DAN TEKNIK
KONSELING SOLUTION FOCUSED BRIEF THERAPY (SFBT)

A. SEJARAH PERKEMBANGAN
Salah satu pendekatan konseling dan psikoterapi yang dipengaruhi oleh pemikiran
postmodern adalah pendekatan Solution Focused Brief Therapy (SFBT). Dalam beberapa
literatur pendekatan SFBT juga disebut sebagai Terapi Konstruktivis (Constructivist Therapy),
ada pula yang menyebutnya dengan Terapi Berfokus Solusi (Solution Focused Therapy), selain
itu juga disebut Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution Focused Brief Counseling) dari
semua sebutan untuk SFBT sejatinya semuanya merupakan pendekatan yang didasari oleh
filosofi postmodern sebagai landasan konseptual pendekatan-pendekatan tersebut.
Banyak tokoh yang memberikan konstribusi terhadap perkembangan SFBT sejak tahun
1970an seperti Steve de Shazer, Bill O'Hanlon, Michele Weiner-Davis, dan Insoo Kim Berg.
Pertama kali tulisan tentang brief therapy ada pada tahun 1970an dan awal 1980an dan yang
memberikan konstribusi penting adalah Richard Fisch, John Weakland, Paul Watzlawick, dan
Gregory Bateson yang bekerja pada Mental Research Institute di Palo Alto, California (Fisch,
Weakland, & r Se gal, 1982 dalam Seligman,L. 2006).
Banyak pendekatan-pendekatan konseling lain juga memberikan konstribusi penting
terhadap SFBT seperti Brief psychodynamic psychotherapy, Behavioral dan terapi cognitive-
behavioral, S i n g l e S e s s i o n Therapy serta Family therapy. Pendekatan-pendekatan ini lebih
memfokuskan bagaimana masalah klien bisa diatasi dan kurang memperhatikan sejarah masa
lalu klien.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, Steve de Shazer (1985, 1988), Insoo Kim Berg (Dejong
& Berg, 2002), O'Hanlon Bill, dan Michele Weiner-Davis (O'Hanlon &-Weiner Davis, 1989;
Weiner-Davis , 1992) juga memberikan kontribusi penting untuk SFBT. Namun Solution
Focused Brief Therapy (SFBT) pertama kali dipelopori oleh Insoo Kim Berg dan Steve De
Shazer. Keduanya adalah direktur eksekutif dan peneliti senior di lembaga nirlaba yang disebut
Brief Family Therapy Center (BFTC) di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat pada akhir
tahun 1982.
Insoo Kim Berg adalah juru bicara terapi yang berorientasi solusi yang sangat

76
berpengaruh. Ia memulai karya-karyanya pada pertengahan tahun 1980an hingga kini ia telah
menerbitkan buku-buku dan rekaman video tentang pendekatan berfokus solusi. Sebagai seorang
Amerika yang bertanah air Korea, Insoo Kim Berg mengembangkan pengaruh warisan budaya
timur dari nenek moyangnya dengan pengalaman pelatihan sebagai pekerja sosial di barat.
Hasilnya adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang merupakan perpaduan kreatif antara
menumbuhkembangkan kesadaran dan proses membuat pilihan perubahan.
O'Hanlon dan Weiner-Davis dipengaruhi oleh karya de Shazer dan Berg, juga memberikan
konstribusi yang disebut solution-oriented brief therapy. Therapy mereka membantu orang untuk
fokus pada tujuan masa depan. O'Hanlon dan Weiner-Davis tidak peduli dengan bagaimana
permasalahan muncul atau bagaimana mereka dipertahankan tetapi hanya peduli dengan
bagaimana masalah itu akan dipecahkan. Dengan membuat gambaran dari apa yang mungkin akan
dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan potensi mereka dan berusaha mengubah sudut
pandang dan tindakan klien sehingga mereka dapat menemukan solusi.
Secara filosofis, pendektan SFBT didasari oleh suatu pandangan bahwa sejatinya
kebenaran dan realitas bukanlah suatu yang bersifat absolute namun realitas dan kebenaran itu
dapat dikonstruksikan. Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu
ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan pada suatu fenomen
tertentu. Dengan demikian, realitas dan kebenaran yang kita bangun (realitas yang kita
konstruksikan) adalah hasil dari budaya dan bahasa kita. Apa yang dikemukakan tersebut
merupakan beberapa pandangan yang dilontarkan oleh para penganut konstruktivisme sosial yang
mengembangkan paradigmanya berdasarkan filosofis postmodern. Dalam perspektif terapeutik,
konstruktivisme social merupakan sebuah perspektif terapeutik dengan suatu pandangan
postmodern yang menekankan pada realitas konseli tanpa memperdebatkan apakah hal tersebut
akurat atau rasional ( Weishaar, 1993 dalam Corey 2005). Artinya bahwa pandangan postmodern
melihat bahwa pengetahuan hanya sebuah konstruksi sosial saja.
Bagi orang-orang konstruksionisme sosial, realitas didasarkan pada penggunaan bahasa
dan umumnya merupakan fungsi situasi dimana orang-orang itu sendiri tinggal. Contohnya
ketika seseorang merasa depresi, maka seketika itu dia mendefinisikan atau dia adopsi bahwa
dirinya sedang depresi. Ketika sebuah definisi tentang diri telah diadopsi, akan sulit bagi
individu tersebut untuk mengenali adanya perilaku yang berlawanan dengan definisi tersebut;
contoh, sulit bagi seseorang yang menderita depresi untuk menyadari dan menghargai adanya

77
masa-masa didalam hidupnya dimana suasana hati/mood merasa baik atau senang
(Corey,2005:385)
Dalam pemikiran postmodern, bahasa dan penggunaannya menciptakan makna dalam
cerita-cerita yang disampaikan oleh individu. Dengan demikian akan terdapat banyak sekali
makna-makna cerita sebanyak orang-orang menceritakan kisah tersebut dan masing-masing
cerita tersebut benar bagi orang yang menceritakannya. Pemikiran postmodern tersebut
memberikan dampak terhadap perkembangan teori konseling dan psikoterapi serta
mempengaruhi praktik konseling dan psikoterapi kontemporer.

B. HAKEKAT MANUSIA
SFBT mempunyai asumsi-asumsi bahwa manusia itu sehat, mampu (kompeten),
memiliki kapasitas untuk membangun, merancang ataupun mengkonstruksikan solusi-solusi,
sehingga individu tersebut tidak terus menerus berkutat dalam problem-problem yang sedang ia
hadapi. Manusia tidak perlu terpaku pada masalah, namun ia lebih berfokus pada solusi,
bertindak dan mewujudkan solusi yang ia inginkan.
De shazer (1988,1991) berpendapat bahwa tidaklah penting untuk mengetahui penyebab
dari suatu masalah untuk dapat menyelesaikannya dan bahwa tidak ada hubungan antara
masalah-masalah dan solusi-solusinya. Mengumpulkan informasi tentang suatu masalah tidaklah
penting untuk terjadinya suatu perubahan. Jika mengetahui dan memahami masalah bukanlah
sesuatu yang penting, maka mencari solusi-solusi yang “benar” adalah penting. Beberapa orang
mungkin memikirkan bermacam-macam solusi, dan apa yang benar untuk satu orang mungkin
dapat tidak benar untuk yang lainnya. Dalam SFBT, konseli memilih tujuan-tujuan yang mereka
ingin capai dalam terapi, dan diberikan sedikit perhatian terhadap diagnosis, pembicaraan
tentang sejarah, atau eksplorasi masalah (Bertolino & O`Hanlon, 2002;
Gingerich&Elisengart,2000; O`Hanlon&Weiner-Davis, 1989 dalam Corey,2005).
Berikut ini beberapa asumsi dasar tentang SFBT ( Corey, 2005)
1. Individu yang datang ke terapi mampu berprilaku efektif meskipun kelakuan keefektifan ini
mungkin dihalangi sementara oleh pandangan negatif
2. Ada keuntungan-keuntungan untuk sebuah fokus positif pada solusi dan pada masa depan.

78
3. Ada penyangkalan pada setiap problem. Dengan membicarakan penyangkalan-penyangkalan
ini, klien dapat mengontrol apa yang terlihat menjadi sebuah problem yang tidak mungkin
diatasi, penyangkalan ini memungkinkan terciptanya sebuah solusi.
4. Klien sering hanya menampilkan satu sisi dari diri mereka, SFBT mengajak klien untuk
menyelidiki sisi lain dari cerita yang sedang mereka tampilkan.
5. Perubahan kecil adalah cara untuk mendapatkan perubahan yang lebih besar. Setiap problem
dipecahkan sekali dalam satu langkah
6. Klien yang ingin berubah mempunyai kapasitas untuk berubah dan mengerjakan yang terbaik
untuk membuat suatu perubahan itu terjadi.
7. Klien dapat dipercaya pada niat mereka untuk memecahkan problem. Tiap individu adalah
unik dan demikian juga untuk tiap-tiap solusi.

C. PERKEMBANGAN PERILAKU
1. Pribadi Sehat dan Bermasalah
a. Pribadi sehat
 Pribadi yang mampu (kompeten), memiliki kapasitas untuk membangun,
merancang ataupun mengkonstruksikan solusi-solusi, sehingga individu tersebut
tidak terus menerus berkutat dalam problem-problem yang sedang ia hadapi.
 Pribadi yang tidak terpaku pada masalah, namun ia lebih berfokus pada solusi,
bertindak dan mewujudkan solusi yang ia inginkan.
b. Pribadi bermasalah
 Individu menjadi bermasalah karena ketidak efektifannya dalam mencari dan
melakukan atau menggunakan solusi yang dibuatnya.
 Individu menjadi bermasalah karena ia meyakini bahwa ketidakbahagiaan atau
ketidak sejahteraan ini berpangkal pada dirinya. Misalnya bagaimana ia
memandang dirinya, memurukkan dirinya yang kemudian individu itu sendirilah
yang mengkonstruk kisah (cerita) yang ia beri label “masalah” dan bukan
mengkonstruk “ kekuatan dan kemampuan diri” yang berguna bagi penyelesaian
masalahnya.

79
D. HAKEKAT KONSELING
1. Proses Konseling
Walter dan Peller 1992 (dalam Corey,2005) menggambarkan empat langkah yang
mencirikan proses SFBT:
a. Menemukan apa yang klien inginkan dari pada mencari sesuatu yang tidak mereka
inginkan
b. Jangan mencari masalah dan jangan berusaha untuk melemahkan klien dengan
memberi mereka label diagnose
c. Jika apa yang dilakukan klien tidak mengalami kemajuan, konselor menyemangati
mereka untuk bereksperimen dengan melakukan suatu yang berbeda.
d. Meringkas proses terapi pada setiap sesi agar terlihat satu-satunya sesi atau sesi
terakhir.
Proses kolaborasi klien dengan konselor dalam membangun solusi tidak hanya
membutuhkan sedikit teknik. Model SFBT menghendaki setiap orang bisa menerima dan
menolong diri mereka sendiri dalam menciptakan sebuah solusi permasalahan.
De Shazer (1991) yakin bahwa klien dapat menemukan solusi dari masalah-
masalah mereka. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan tradisonal dalam
memecahkan masalah hal ini dapat dilihat dari kerangka pendekatan untuk memecahkan
masalah (De Jong & Berg, 2002):
a. Klien diberi kesempatan untuk menjelaskan masalah-masalah mereka, terapis
mendengarkan dengan penuh hormat dan klien hati-hati menjawab pertanyaan terapis,
“Bagaimana saya bisa bermanfaat bagi anda?”
b. Terapis bekerja dengan klien dalam mengembangkan tujuan-tujuan sesegera
mungkin. “Apa yang berbeda dalam hidup Anda ketika masalah anda terpecahkan?”
c. Terapis meminta klien tentang menceritakan masalah-masalah yang belum diatasi.
Klien dibantu dengan penekanan khusus pada apa yang mereka lakukan untuk
membuat suatu peristiwa terjadi.
d. Pada setiap akhir percakapan solusi, terapis menawarkan umpan balik, memberikan
dorongan, dan menunjukkan apa yang bisa diamati klien sebelum sesi berikutnya
untuk memecahkan masalah mereka.

80
e. Terapis dan klien mengevaluasi kemajuan yang dibuat dalam mencapai solusi dengan
menggunakan skala penilaian.
2. Teknik-Teknik Konseling
Dalam aplikasinya, pendekatan SFBT memiliki beberapa teknik intervensi khusus.
Teknik ini dirancang dan dikembangkan dalam rangka membantu konseli untuk secara
sadar membuat solusi atas permasalahan yang ia hadapi. Bebrapa teknik dari SFBT (
Corey, 2005; Capuzzi dan Gross, 2003) adalah:
a. Pertanyaan pengecualian (Exception Question)
Terapi SFBT menanyakan pertanyaan-pertanyaan exception untuk mengarahkan
konseli pada waktu ketika masalah tersebut tidak ada. Exception merupakan
pengalaman-pengalaman masa lalu dalam hidup konseli ketika pantas mempunyai
beberapa harapan masalah tersebut terjadi, tetapi bagaimanapun juga tetap tidak
terjadi (de Shazer, 1985 dalam Corey 2005). Eksplorasi ini mengingatkan konseli
bahwa masalah-masalah tidak semua kuat dan tidak selamanya ada, hal itu juga
mamberikan suatu tempat dari kesempatan untuk menimbulkan sumber daya,
menggunakan kekuatan-kekuatan dan menempatkan solusi-solusi yang mungkin.
b. Pertanyaan Keajaiban (Miracle Question)
Meminta konseli untuk mempertimbangkan bahwa suatu keajaiban membuka suatu
tempat untuk kemungkinan-kemungkinan dimasa depan. Konseli di dorong untuk
membiarkan dirinya sendiri bermimpi tentang suatu cara/jalan untuk mengidentifikasi
jenis-jenis perubahan yang paling mereka inginkan. Pertanyaan ini memiliki fokus
masa depan dimana konseli dapat mulai untuk mempertimbangkan kehidupan yang
berbeda yang tidak didominasi oleh masalah-masalah masa lalu dan sekarang kearah
pemuasan hidup yang lebih dimasa mendatang.
c. Pertanyaan Berskala (Scalling Question)
Scalling Question Memungkinkan konseli untuk lebih memperhatikan apa yang
mereka telah lakukan dan bagaimana meraka dapat mengambil langkah yang akan
mengarahkan pada perubahan-perubahan yang mereka inginkan. Terapis SFBT selalu
menggunaka Scalling Question ketika perubahan dalam pengalaman seseorang tidak
dapat diamati dengan mudah seperti perasaan, suasana hati (mood), atau komunikasi.

81
d. Rumusan Tugas Sesi Pertama (Formula Fist Session Task/FFST)
FFST adalah suatu format tugas yang diberikan oleh terapis kepada konseli untuk
diselesaikan pada antara sesi pertama dan sesi kedua. Terapis dapat berkata : “
diantara saat ini dan pertemuan kita selanjutnya, saya berharap anda dapat mengamati
sehingga anda dapat menjelaskan pada saya pada pertemuan yang akan datang,
tentang apa yang terjadi pada (keluarga, hidup, pernikahan, hubungan) anda yang
diharapkan terus terjadi” (de Shazeer, 1985 dalam Corey 2005). Pada sesi kedua,
konseli dapat ditanya tentang apa yang telah mereka amati dan apa yang mereka
inginkan dapat terjadi dimasa mendatang.
e. Umpan Balik (Feedback)
Para praktisi SFBT pada umumnya mengambil waktu 5 sampai 10 menit pada akhir
setiap sesi untuk menyusun suatu ringkasan pesan untuk konseli. Selama waktu ini
terapis memformulasikan umpan balik yang akan diberikan pada konseli. Dalam
pemberian umpan balik ini memiliki tiga bagian dasar yaitu sebagai pujian, jembatan
penghubung dan pemberian tugas.

E. KONDISI PENGUBAHAN
1. Tujuan
Dalam pendekatan SFBT, ada bebrapa konsep utama yang menjadi tujuan terapeutik
(Berg &Miller, 1992, Walter & Peller,1992 dalam Miller, Hubble dan Duncan, 1996;
Proschaska & Norcross, 2007 dalam Corey 2005). Adapun kriteria tersebut adalah:
a. Bersifat positif
Ungkapan tujuan yang terapiutik tidak berpusat pada kata-kata negative. Ia
mengandung kata “ maka, sebagai gantinya” (instead). Sebagi contoh: ungkapan
tujuan” saya akan meninggalkan kebiasaan minum-minuman keras” atau “saya akan
keluar dari depresi dan ansietas”, belum cukup mencerminkan suasana positif.
Suasana positif baru tergambar dengan jelas ketika ungkapan tersebut bermuatan
tindakan positif yang akan dilakukan, sehingga menjadi “sebagai ganti kebiasaan
minum-minuman keras, saya berolahraga teratur lima kali dalam sepekan”, “ sebagai
ganti depresi dan ansietas, saya mengikuti perkumpulan rohani setiap malam jum`at”.

82
b. Mengandung proses
Kata kunci mewakili proses bagaimana, pertanyaan bertajuk bagaimana, semisal yang
terwakili oleh pertanyaan “bagaiaman anda akan melaksanakan alternatif yang lebih
sehat dan lebih membuahkan kebahagiaan ini?” perlu terimplisitkan juga dalam
tujuan terapeutik. Dalam tujuan terapeutik itu pula perlu terkandung jawaban atas
pertanyaan tersebut.
c. Merangkum gagasan tentang kurun waktu kini
Perubahan terjadi kini, bukan kemarin, bukan pula esok. Pertanyaan sederhana yang
bisa membantu adalah, “ setelah anda meninggalkan hal yang lama hari ini, dan
kemudian anda tetap berada pada jalur yang tepat, hal apa yang akan anda lakukan
dengan cara yang berbeda? Apdengan cara pula yang akan anda katakan dengancara
yang berbeda kepada diri anda sendiri, hari ini juga, bukan esok?”
d. Bersifat praktis
Sifat praktis itu terwakili oleh jawaban yang memadai atas pertanyaan “sejauh mana
tujuan anda bias dicapai?”. Kata kunci disini adalah dapat dicapai, dapat
dilaksanakan. Konseli-konseli yang hanya menginginkan pasangan meraka, karyawan
mereka, orang tua mereka, atau guru mereka berubah, tidak memiliki solusi yang
dapat dilaksanakan, dan mereka hanya akan ada dalam kehidupan yang dimuati lebih
banyak problem.
e. Berusaha untuk merumuskan tujuan sespesifik mungkin
Hal tersebut terwakili oleh jawaban yang memadai atas pertanyaan “ sespesifik apa
andaakan melakukan pekerjaan anda?” tujuan yang bersifat umum, global, abstrak
atau ambigu, semisal yang terwakili oleh ungkapan “ menggunakan waktu lebih
banyak bersama keluargaku”, tidak spesifik “ aku akan menggunakan waktu 15 menit
untuk berjalan-jalan dengan ayahku setiap sore”, atau “ aku akan secara sukarela
melatih regu sepak bola anakku”.
f. Adanya kendali ditangan konseli
Hal ini terwakili oleh jawaban yang memadai atas pertanyaan “ apa yang akan anda
lakukan ketika alternatif baru terwujud?”. Kata kunci disini adalah anda. Artinya kata

83
nada karena memiliki kemampuan, tanggung jawab, dan kendali untuk mewujudkan
hal-hal yang lebih baik.
g. Menggunakan bahasa konseli
Gunakan kata-kata konseli untuk membentuk tujuan, bukan bahasa teoritis konselor, “
aku akan bercakap-cakap sebagai sesame orang dewasa dengan ayahku lewat telepon
seminggu sekali” (bahasa konseli) adalah lebih efektif dari pada “ aku akan
menyelesaikan konflik dengan ayahku”.
2. Konselor
a. Klien sepenuhnya mengambil bagian dalam proses terapeutik jika mereka
berkeinginan untuk menentukan arah dan tujuan percakapan (Walter & Peller, 1996).
b. Terapis berusaha untuk menciptakan hubungan kolaboratif untuk membuka berbagai
kemungkinan sekarang dan perubahan masa depan (Bertolipo & O’Hanlon, 2002).
c. Terapis menciptakan iklim saling menghormati, dialog, pertanyaan, dan penegasan di
mana klien bebas untuk menciptakan, mengeksplorasi, dan co-penulis cerita-cerita
mereka yang berkembang (Walter & Peller, 1996).
d. Tugas utama terapeutik terdiri dari membantu klien membayangkan bagaimana
mereka akan menyukai hal-hal yang berbeda dan apa yang diperlukan untuk
membawa perubahan-perubahan ini (Gingericli & Eisengart, 2000).
Beberapa pertanyaan Walter dan Peller (2000) yang berguna adalah;
 “Apa yang Anda inginkan datang ke sini?”
 “Bagaimana hal itu membuat perbedaan bagi Anda?” dan
 “Apa yang menjadi tanda-tanda bagi Anda bahwa perubahan yang Anda inginkan
terjadi?”
3. Konseli
Konseli mampu berkolaborasi dengan konselor, berpartisipasi secara aktif, mempunyai
motivasi dan keterlibatannya dalam konseling
4. Situasi Hubungan
De Shazer (1988) menggambarkan tiga jenis hubungan yang dapat dikembangkan antara
terapis dan klien untuk membangun SFBT:
a. Klien dan terapis secara bersama-sama mengidentifikasi masalah dan solusi. Klien
menyadari bahwa untuk mencapai tujuan nya, usaha pribadi akan diperlukan.

84
b. Klien menggambarkan masalah tetapi tidak mampu berperan dalam membangun
sebuah solusi. Dalam situasi ini, mantan klien umumnya respects pada terapis untuk
mengubah orang lain kepada siapa klien masalah atribut.
c. Konselor memposisikan dirinya pada posisi tidak tahu tentang klien bahwa klienlah
yang ahli dalam kehidupannya sendiri.
d. Konselor menggunakan teknik empati, summarization, parafrase, pertanyaan terbuka,
dan keterampilan mendengarkan secara aktif untuk memahami situasi klien secara
jelas dan spesifik.

F. MEKANISME PENGUBAHAN
1. Tahap-Tahap Konseling
Secara umum prosedur atau tahapan pelaksanaan SFBT menurut Corey (2005) adalah
sebagai berikut:
a. Para konseli diberikan kesempatan untuk memaparkan masalah-masalah mereka.
Terapis mendengarkan dengan penuh perhatian dan cermat jawaban-jawaban konseli
terhadap pertanyaan dari terapis, “ bagaimana saya dapat membantu anda?”
b. Terapis bekerja dengan konseli dalam membangun tujuan-tujuan yang dibentuk
secara spesifik dengan baik secepat mungkin. Pertanyaannya adalah “ apa yang
menjadi berbeda dalam hidupmu ketika maslaah-masalahmu terselesaikan?”
c. Terapis menanyakan konseli tentang saat dimana masalah-masalah sudah tidak ada
atau saat masalah-masalah sudah tidak ada atau saat masalah-masalah terasa agak
ringan. Konseli dibantu untuk mengeksplor pengecualian-pengecualian ini, dengan
penekanan yang khusus pada apa yang mereka lakukan untuk membuat keadaan/
peristiwa-peristiwa tersebut terjadi.
d. Diakhir setiap percakapan membangun solusi-solusi (solution building), terapis
memberikan konseli umpan balik simpulan, memberikan dorongan-dorongan, dan
menyarankan apa yang konseli dapat amati atau lakukan sebelum sesi berikutnya
yang lebih jauh untuk menyelesaikan masalah mereka.
e. Terapis dan konseli mengevaluasi progress yang telah didapat dalam mencapai solusi-
solusi yang memuaskan dengan menggunakan suatu skala rata-rata. Konseli juga

85
ditanya tentang apa yang perlu untuk dilakukan sebelum mereka melihat masalah
mereka dapat terselesaikan dan juga apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

G. KELEMAHAN DAN KELEBIHAN


1. Kelemahan
a. Terapi bertujuan tidak secara tuntas menyelesaikan masalah klien
b. Keterbatasan waktu yang menjadi orientasi penggunaannya
c. Dalam penerapannya menuntut keterampilan konselor dalam penggunaan bahasa
d. Menggunakan teknis-teknis keterampilan berfikir (Mind Skills)
2. Kelebihan
a. Berfokus pada solusi
b. Fokus treatment pada hal yang spesifik dan jelas
c. Penggunaan waktu yang efektif
d. Berorientasi pada waktu sekarang (here and now)
e. Bersifat fleksibel dan praktis dalam penggunaan teknik-teknik intervensi

86
BAB VIII
TEORI DAN TEKNIK KONSELING NARATIVE

A. SEJARAH
Naratif terapi berasal dari Australia yang dikerjakan oleh Michel White dan David Epson
(1990). White percaya bahwa hanya melalui pengetahuan orang bisa benar-benar menjadi
penulis kehidupan mereka sendiri. Michael White adalah pasangan penemu dari naratife terapi
yaitu David Epston, dia tinggal Dulwich Center di Adelaide, Australia. David Epston adalah
salah satu pengembang dari naratif therapi dia adalah assisten direktur di pusat terapi Aucland,
New Zeland dan penulis serta pengajar dalam ide-ide narrative.Dia sering melakukan perjalanan
internasional, penyaji kuliah dan lokakarya di Australia, Eropa dan Amerika utara.Diantara
sekian banyak yang menarik dari profesinyaadalah bekerja dengan anak-anak penderita asma,
membuat kelompok pendukung bagi wanita yang hidupnya terancam oleh anorexia dan menarik
hati ayah yang tidak suka menjadi orang tua bagi anak-anaknya. Mengantarkan banyak Bukunya:
Terapi Naratif untuk tujuan Mengobati (1990), Karangan kehidupan: wawancara and ujian tulis
(1995), dan Narratif untuk terapi kehidupan (1997). DAVID EPSTON: Sebagai pembantu
direktur pengembangan terapi Naratif dari pusat terapi keluarga di Auckland, Slandia baru, dan
dia sebagai penulis dan guru dari ide-ide naratif, sebagai pelancong internasional, dosen pada
pusat pelatihan di Australia, Eropa dan Amerika Utara. Profesional terhadap ancaman kehidupan
anak-anak berpenyakit Asma, berjuang untuk kelompok wanita penyandang Anoreksia, dan
melibatkan ayah yang dilepas oleh anak-anaknya. Penulis buku Makna Akhir Terapi Naratif
(1990), Terapi Naratif untuk Anak dan Keluarga (1997). Suka bersepeda dan mencintai istrinya
Anne di rumah pengasingan di sebuah pulau Waiheke.

B. KONSEP DASAR
Terapi Naratif mengadopsi pendekatan yang melibatkan perubahan fokus dari teori paling
tradisional. Terapis dianjurkan untuk membangun pendekatan kolaboratif dengan minat khusus
pada klien dengan mendengarkan cerita-cerita; untuk mencari tahu dalam kehidupan klien
( mis.tinggal alternatif cerita): menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan klien dan
memfasilitasi mereka eksplorasi, untuk menghindari diagnosis dan pelabelan klien atau
menerima sepenuhnya berdasarkan deskripsi masalah; untuk membantu klien dalam pemetaan

87
pengaruh masalah yang dimiliki dalam kehidupan mareka; dan untuk membantu klien
memisahkan diri dari cerita-cerita yang dominan yang telah diinternalisasi sehingga hati/ pikiran
yang sering kali disebut sebagai ruang dapat dibuka untuk menciptakan kisah kehidupan
alternatif(Freddman&Combs, 1996).
 Peran Stories
Kita hidup dengan cerita yang kita ceritakan tentang diri kita dan orang lain katakan tentang
kita.Cerita ini sebenarnya membentuk realitas yang dalam, bahwa mereka membangun dan
membentuk apa yang kita lihat, rasakan dan lakukan. Cerita kita hidup dan tumbuh dari
percakapan dalam konteks sosial dan budaya. Tetapi klien tidak mempunyai peran patologis,
korban yang hidup tanpa harapan dan meyedihkan, melainkan mereka muncul sebagai pemenang
yang berani menceritakan kisah-kisah nyata. Cerita tidak mengubah orang yang mengatakan
cerita, tetapi juga mengubah terapis yang beruntung menjadi bagian dari proses ini( Monk,
1997).
 Mendengarkan dengan an open mind
Semua teori kontruksionis sosial menekankan pada klien untuk mendengarkan tanpa
menghakimi atau menyalahkan , menegaskan dan menghargai mereka. Lindsley (1994)
menekankan bahwa terapis dapat mendorong klien untuk mempertimbangkan kembali peniaian
absolut yang bergerkak ke arah melihat keduanya “baik” dan “buruk”unsur-unsur dalam situasi.
Terapis Naratif melakukan upaya tanpa memaksakan sistem nilai mereka dan
interpretasi.Mereka ingin menciptakan makna dan kemungkinan-kemungkinan baru klien yang
berbagi cerita bukan dari prasangka dan pada akhirnya sebuah teori dan nilai penting
dipaksakan.Walaupun terapis Naratif membawa kepada usaha terapis tentang sikap tertentu
seperti: optimisme, hormat, keingintahuan, ketekunan, dan menghargai klien untuk mengetahui,
mereka dapat mendengarkan masalah-kisah kejenuhan klien tanpa terjebak. Sebagai terapis
Naratif, dalam mendengarkan cerita klien, mereka tetap waspada untuk rincian yang memberikan
bukti dari kompetensi klien dalam melawan masalah yang menindas.

C. HAKEKAT MANUSIA
Berdasarkan konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasarkan konseling
naratif ini didasarkan atas asumsi sebagai barikut:

88
1. Perspektif Naratif berfokus pada kemampuan manusia untuk berpikir kreatif dan
imajinatif. Praktisi Naratif tidak pernah menganggap bahwa ia tahu lebih banyak tentang
kehidupan klien daripada yang mereka lakukan.
2. Klien adalah penafsir utama pengalaman mereka sendiri.
3. Praktisi Naratif dilihat orang sebagai agen aktif yang mampu memperoleh makna keluar
dari dunia pengalaman mereka. Dengan demikian, proses perubahan dapat difasilitasi,
tetapi tidak diarahkan oleh terapis.

D. KONDISI PENGUBAHAN

1. Tujuan konseling
Tujuan umum terapi naratif adalah mengundang orang untuk menggambarkan pengalaman
mereka yang baru dan segar. Dalam melakukan ini, mereka membuka pandangan baru dari apa
yang mungkin. Bahasa yang baru ini memungkinkan klien untuk mengembangkan makna-makna
baru sehubugan dengan masalah pikiran,perasaan dan perilaku (Freedman &
Combs,1996).Terapi Naratif hampir selalu mencakup kesadaran akan dampak dari berbagai
aspek kebudayaan yang dominan pada kehidupan manusia. Praktisi Naratif berusaha untuk
memperluas perspektif dan fokus dan memfasilitasi penemuan atau penciptaan pilihan baru yang
unik bagi orang-orang yang mereka lihat.

2. Fungsi dan Peran Terapis


Konsep perawatan,hormat, rasa ingin tahu, keterbukaan, empati, kontak dan bahkan
terpesona dipandang sebagai keharusan relasional.Yang tidak mengetahui posisi, yang
memungkinkan terapis untuk mengikuti, menegaskan, dan dibimbing oleh cerita-cerita dari klien
mereka, menciptakan pengamat dan peserta-proses-peran fasilitator untuk terapi dan terintegrasi
dengan pandangan postmodern penyelidikan manusia. Sebuah tugas utama terapis adalah
membantu klien membangun alur cerita pilihan.Terapis Naratif mengadopsi sikap hormat
dicirikan rasa ingin tahu dan bekerja dengan klien untuk menjelaskan kedua dampak dari
masalah mereka dan apa yang mereka lakukan untuk mengurangi efek dari masalah (Winslade &
Monk,1999).Salah satu fungsi terapis adalah menanyakan pertanyaan-pertanyaan dari klien dan
berdasarkan pada jawaban, menghasilikan pertanyaan lebih lanjut.

89
White dan Epston(1990)mulai dengan eksplorasi klien dalam hubungannya dengan
masalah yang diajukan. Hal ini tidak biasa bagi klien untuk menampilkan cerita awal di mana
mereka dan masalah yang melebur, seolah-olah satu dan sama.White menggunakan pertanyaan-
pertanyaan yang ditujukan untuk memisahkan masalah dari orang yang terkena masalah.
Pergeseran dalam bahasa memulai dekonstruksi dari cerita asli di mana orang-orang dan masalah
yang menyatu , sekarang masalahnya adalah objektifikasi sebagai eksternal bagi mereka.
Seperti solusi yang berfokus pada terapis, terapis Naratif menganggap klien adalah ahli
ketika datang ke apa yang ia inginkan dalam hidup. Terapis Naratif cenderung untuk
menghindari penggunaan bahasa yang mengaktifkan diagnosis,penilaian dan intervensi. Fungsi-
fungsi seperti diagnosis, penialian dan intervensi sering memberikan prioritas kepada dokter itu
“kebenaran’ atas pengetahuan klien tentang kehidupan mereka sendiri. Pendekatan Naratif
memberikan penenkanan pada pemahaman klkien, pemahaman hidup, dan menekankan kembali
upaya untuk meramalkan, menafsirkan,dan patologis. Praktisi Naratif tidak berhati-hati unutuk
menyatakan bahwa peran utama mengambil inisiatif dalam kehidupan orang lain atau bahkan
merebut (kekuasaan) dari klien dalam membawa perubahan (Winslade, Crocket,&Monk,1997).

3. Hubungan Terapis dengan Klien


Kualitas seorang terapis sangat penting untuk membawa ke arah usaha terapi. Beberapa di
antaranya mencakup sikap optimisme dan rasa hormat,keingintahuan dan ketekunan, menghargai
pengetahuan klien dan menciptakan hubungan khusus yang ditandai dengan pembagian
kekuasaan yang nyata dalam dialog( Winslade & Monk,1999). Kolaborasi,belas-kasih refleksi,
dan penemuan adalah ciri hubungan yang terapeutik
Jika hubngan ini tidak benar-benar kolaboratif, terapis harus menyadari bagaimana
kekuasaan memanifestasikan dirinya dalam praktek profesional. Ini tidak berarti bahwa terapis
tidak otoritas sebagai seorang profesional. Dia menggunakan otoritas ini, walaupun dengan
memperlakukan klien sebagai ahli dalam kehidupan mereka sendiri.
Winslade, Crocket, & Monk (1997) menjelaskan kerja sama ini sebagai coauthoring
berbagi otoritas. Klien berfungsi sebagai penulis ketika mereka memiliki otoritas untuk berbicara
atas nama mereka sendiri.Dalam pendekatan Naratif, “ terapis –as- ahli” digantikan oleh “klien-
as - ahli.”

90
4. Proses Terapi
Ini gambaran singkat tentang langkah-langkah dalam proses terapi Naratif menggambarkan
struktur pendekatan Naratif (O’Hanlon,1994,hlm.25-26):
- Berkolaborasi dengan klien untuk datang dengan nama yang saling diterima untuk
masalah.
- Mempribadikan masalah dan atribut niat menindas dan taktik untuk itu.
- Menyelidiki bagaimana masalah telah mengganggu , mendominasi, atau mengecilkan
hati klien.
- Mengundang klien untuk melihat atau menceritakannya dari perspektif yang berbeda
dengan menawarkan makna alternatif
- Temukan saat mengasah klien tidak didominasi atau berkecil hati oleh masalah dengan
mencari masalah pengecualian.
- Menemukan bukti-bukti sejarah untuk mendukung pandangan baru klien yang cukup
kompeten untuk mampu berdiri, kalah, atau melarikan diri dari dominasi atau penindasan
masalah.(dalam tahap ini identitas orang dan kisah kehidupan mulai dapat ditulis ulang).
- Meminta klien untuk berspekulasi mengenai masa depan apa yang diharapkan. Sebagian
klien menjadi bebas dari masalah-jenuh akan cerita masa lalu, ia dapat membayangkan
dan merencanakan masa depan yang tidak terlalu bermasalah.
- Menemukan atau membuat penonton untuk memahami dan mendukung cerita
baru.Tidaklah cukup untuk membacakan cerita baru.Klien perlu hidup dengan ceria baru
di luar terapi.Karena masalah tersebut awalnya dikembangkan untuk konteks sosial,
adalah penting untuk melibatkan lingkungan sosial dalam mendukung kisah kehidupan
baru yang telah muncul dalam percakapan dengan terapis.

5. Prosedur dan Tehnik Terapi


Penerapan efektif terapi Naratif lebih begantung pada sikap atau perspektif terapis daripada
tehnik. Dalam praktek terapi Naratif ,tidak ada resep, tidak ada penetapan agenda, tidak ada
formula yang dapat diikuti terapis untuk menetapkan hasil yang positip
(Drewery&Winslade,1997).Ketika pertanyaan eksternalisasi diajukan terutama sebagai suatu
tekni, intervensi akan menjadi dangkal, dipaksa, dan tidak mungkin menghasilkan efek
terapeutik yang signifikan (Freedman &Combs, 1996; O^Hanlon, 1994). Jika konseling

91
dilakukan demgan menggunakan pendekatan formuls, klien akan merasa bahwa segala sesuatu di
lakukan terhadap mereka dan merasa ditinggalkan dalam percakapan (Monk, 1997).
Sebagai suatu pendekatan, konseling Naratif lebih dari penerapan keterampilan; itu
didasarkan pada karakteristik pribadi terapis yang menciptakan iklim yang mendorong klien
untuk melihat kisah-kisah mereka dari berbagai perspektif. Pendekatan ini juga merupakan
ekspresi sikap etis, yang didasarkan kerangka filosofis. Kerangka konseptualnya adalah praktek-
pratek yang diterapkan untuk membantu klien dalan menemukan makna-makna baru dan
kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup mereka(Winslade & Monk,1999).

6. Pertanyaan-Pertanyaan dan Lebih


Pertanyaan terapis mungkin tampak tertanam dalam percakapan yang unik, bagian dari
sebuah dialog tentang dialog sebelumnya, sebuah peristiwa penemuan yang unik, atau proses
eksplorasi budaya dominan dan keharusan.Apapun tujuannya, pertanyaan yang sering
merupakan lingkaran atau relasional, dan mereka berusaha untuk memberdayakan klien
dalam cara-cara baru.Gregory Batesons (1972) menggunakan ungkapan terkenal, pertanyaan-
pertanyaan dalam mencari perbedaan yang akan membuat perbedaan.Bateson berpendapat
bahwa kita belajar dengan membandingkan suatu fenomena dengan yang lain dan menemukan
apa yang disebutnya “berita perbedaan”. Terapis Naratif menggunakan pertanyaan sebagai suatu
cara untuk menghasilkan pengalaman daripada mengumpukan informasi.Tujuan pertanyaan
ini adalah untuk menemukan dan membangun pengalaman klien sehingga terapis memiliki
arah untuk mengejar. Pertanyaan selalu bertanya dari posisi hormat, keingintahuan, dan
keterbukaan.
Terapis menggunakan pendekatan Naratif ingin mendekonstruksi wacana yang mendukung
keberadaan masalah. Melalui pengajuan pertanyaan terapis memberikan kesempatan klien untuk
mengeksplorasi berbagai dimensi situasi kehidupan mereka. Melakukan hal ini membantu
membawa keluar unstated asumsi-asumsi budaya yang memberikan sumbangan kepada
perkembangan masalah. Terapis tertarik untuk mengetahui bagaimana masalah terlerbih dahulu
menjadi jelas, dan bagaimana mereka mempengaruhi pandangan klien sendiri
(Monk,1997).Terapis Naratif berusaha melibatkan orang-orang dalam masalah –jenuh
mendekonstruksi cerita, mengidentifikasi arah pilihan dan menciptakan cerita alternatif yang
mendukung arah pilihan ini (Freedman&Combs,1996).

92
Ekternalisasi dan dekonstruksi Naratif berbeda dari banyak terapis tradisional,dia percaya
bukan orang yang bermasalah, tetapi masalah adalah masalah.Hidup dalam kehidupan berarti
berkaitan dengan masalah, tidak menyatu dengan mereka. Masalah-masalah dan cerita-cerita
jenuh memiliki dampak pada masyarakat dan dapat mendomonasi hidup dalam cara-cara yang
negatif.Asumsi tentang masalah yang diterima secara tidak kritis membatasi kesempatan klien
dan terapis untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru untuk perubahan
(McKenzie&Monk,1997).Terapis Naratif membantu klien mendekonstruksi cerita masalah
dengan pembongkaran dan memberikan asumsi tentang sebuah peristiwa, yang kemudian
membuka kemungkinan alternatif untuk hidup (Bertolino& O^Hanlon,2002;Winslade & Monk,
1999).
Eksternalisasi merupakan salah satu proses dekonstruksi kekuatan sebuah narasi dan
memisahkan orang dari mengidentifikasikan masalah dan kadang-kadang memberinya nama.
Ketika orang memandang diri mereka “menjadi” masalah, mereka terbatas dalam cara
merekadapat secara efektif menangani masalah. Dampak dari pergeseran bahasa halus ini
memungkinkan klien untuk mengalami masalah seperti yang terletak di luar diri mereka.Alih-
alih menjadi masalah, individu memiliki hubungan dengan masalah .
Kebanyakan klien mungkin tidak mengidentifikasi efek keseluruhan cerita masalah,
mungkin karena mereka takut kewalahan dengan kesulitan mereka.Metode yang digunakan
untuk memisahkan orang dari masalah ini disebut sebagai percakapan eksternalisasi.Percakapan
eksternalisasi melawan penindas, masalah-cerita jenuh, dan memberdayakan klien untuk merasa
kompeten dalam menangani masalah-masalah yang mereka hadapi. Dua cara untuk penataan
percakapan eksternalisasi adalah :(1) untuk memetakan pengaruh masalah dalam kehidupan
seseorang dan (2) untuk memetakan pengaruh kehidupan seseorang dalam perkembangan
masalah (McKenzie&Monk,1997). Pemetaan pengaruh masalah menghasilkan banyak
informasi yang berguna dan sering mengakibatkan orang-orang kurang merasa malu dan
menyalahkan.Orang merasa didengarkan dan dipahami ketika pengaruh masalah dieksplorasi
secara sistematis. Ketika pemetaan ini dilakukan dengan hati-hati, itu meletakkan dasar untuk
co-authoring alur cerita baru untuk klien.Sebuah pertanyaan umum adalah : “Kapan masalah ini
pertama kali muncul dalam hidup Anda?”Tugas terapis adalah membantu klien dalam
menelusuri masalah dari ketika itu berasal hingga saat ini.Terapis meletakkan masa depan
masalah dengan bertanya,”Jika masalah itu akan berlanjut selama satu bulan (atau setiap periode

93
waktu), apakah artinya ini bagi anda?”Pertanyaan ini dapat memotivasi klien untuk bergabung
dengan terapis dalam memerangi dampak efek masalah.

7. Pencarian Hasil yang Unik


Dalam pendekatan Naratif pertanyaan eksternalisasi adalah pertanyaan yang diikuti
dengan hasil yang unik. Terapis berbicara kepada klien tentang saat-saat pilihan atau kesuksesan
mengenai masalah. Apakah ini dilakukan dengan memilih untuk perhatian setiap pengalaman
yang terpisah dari cerita masalah, terlepas bagaimana hal itu mungkin tampak tidak penting bagi
klien.Terapis mungkin bertanya:”Apakah pernah ada waktu dimana kemarahan ingin membawa
Anda selesai, dan Anda melawan? Apa itu seperti Anda? Bagaimana kau melakukannya?”
Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan untuk menyoroti masalah saat-saat ketika tidak terjadi atau
ketika masalah telah ditangani dengan sukses.Hasil unik sering bisa ditemukan di masa lalu atau
masa kini, tetapi mereka juga dapat membuat hipotesis untuk masa depan.

8. Cerita Alternatif dan Re-authoring


Membangun cerita baru berlangsung sejalan dengan dekonstruksi, dan terapis naratif
terbuka untuk mendegarkan cerita-cerita baru. Orang dapat terus-menerus dan secara aktif
menulis kembali kehidupan mereka, dan terapis Naratif mengundang klien ke penulis stonier
alternatif, melalui” hasil unik”atau sesuatu yang tidak diprediksi oleh masalah-cerita jenuh.
Sebuah titik balik wawancara naratif datang ketika klien membuat pilihan apakah akan terus
hidup dengan masalah kisah jenuh atau membuat cerita alternatif(Winslade&Monk,1999).
Melalui penggunaan kemungkinan pertanyaan unik, terapis bergerak fokus ke masa
depan. Sebagai contoh: “Mengingat apa yang telah Anda pelajari tentang diri Anda, apa
langkah berikutnya yang mungkin Anda ambil? Ketika Anda bertindak dari identitas pilihan
Anda, tindakan apa yang mengarahkan Anda untuk berbuat lebih banyak ?”Pertanyaan
seperti itu mendorong orang untuk merenungkan apa yang telah mereka capai saat ini dan
apa langkah berikutnya yang mungkin.
Narasi mendokumentasikan bukti, praktisi percaya bahwa cerita-cerita baru berarti hanya
ketika ada penonton untuk menghargai dan mendukung mereka. Dengan demikian penonton
yang apresiasif terhadap perkembangan baru secara sadar mencari, untuk mendapatkan berita
bahwa perubahan berlangsung perlu terjadi jika cerita alternatif tetap hidup(Andrews &

94
Clark,1996). Salah satu tehnik untuk mengkonsolidasi keuntungan klien adalah dengan menulis
surat. Narasi surat ditulis oleh para terapis untuk mencatat sesi dan mencakup sebuah deskripsi
eksternalisasi masalah dan pengaruhnya terhadap klien serta memperhitungkan kekuatan dan
kemampuan yang diidentifikasi dalam satu sesi.Surat menyoroti perjuangan klien memiliki
masalah dan menarik perbedaan antara masalah-cerita jenuh dan mengembangkan cerita dan
pilihan baru(McKenzie&Monk,1997). Busur surat-surat ini seringdikirimkan kepada klien antara
sesi (Andrews, Clark, &Baird, 1997). Epston telah mengembangkan fasilitas khusus untuk
membawa pada dialog antara sesi terapi melalui penggunaan huruf (White & Epston,1990).
David Nylund, pekerja sosial klinis, menggunakan huruf narasi sebagai bagian dasar dari
praktek. Nylund menggambarkan kerangka kerja konseptualnya yang telah berguna dalam
penataan surat kepada klien (Nylund&Thomas,1994)

E. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN


Kelebihan:
1. Memiliki nilai
2. Mendapatkan solution yang lebih cepat
3. Lebih fleksibel dan dapat dikombinasikan dengan pendekatan pengobatan lain yang
kompatibel
4. Bisa diterapkan di segala jenjang umur dan status social
5. Cerita dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain, berbentuk sepanjang jalan, dan
diberikan kepada orang sebagai warisan dari keluarga mereka.
6. Bisa berbagi perasaan dengan orang lain.
7. Mengembangkan hubungan yang dekat
8. memungkinkan orang untuk mengenali kemampuan
9. partisipatif"
Kekurangan:
1. Cerita bisa dibuat-buat
2. Membutuhakan waktu yang panjang

95
BAB IX
PENDEKATAN FEMINIS DALAM KONSELING

A. PENDAHULUAN
Berbeda dengan teori konseling lainnya yang kebanyakan berfokus pada faktor-faktor
psikologis konseli, konseling feminis memperhatikan faktor-faktor psikologis sekaligus
pengaruh sosiologis terhadap konseli. Konseling feminis berfokus pada isu gender dan kekuatan
(power) sebagai inti dari proses terapi. Terapi feminis dibangun dari premis bahwa untuk dapat
memahami masalah konseli dengan benar, kita juga perlu memahami konteks sosial, budaya, dan
politik yang berkontribusi pada masalah tersebut.

Konsep sentral dalam terapi feminis adalah pentingnya memahami tekanan psikologis para
wanita dan pembatasan-pembatasan yang timbul dari status sosiopolitik yang memojokkan
wanita. Perspektif feminis menawarkan pendekatan yang unik untuk memahami peran
perempuan dan laki-laki, dan membawa pemahaman tersebut ke dalam proses konseling. Proses
sosialisasi perempuan tak pelak akan berpengaruh pada perkembangan identitas, konsep diri,
tujuan dan aspirasi, dan kesejahteraan emosionalnya. Sebagaimana ditemukan oleh Natalie
Rogers, pola sosialisasi wanita selama ini membuat wanita cenderung menyerahkan kekuatannya
dalam pergaulan, bahkan hal itu seringkali tanpa disadari. Terapi feminis menggunakan
pengetahuan/konsep sosialisasi gender dalam memberikan konseling pada para konseli.

Mayoritas konseli yang datang ke konseling adalah wanita, dan sebagian besar praktisi ahli
psikoterapi juga wanita. Namun, sebagian besar teori konseling dan psikoterapi dikembangkan
oleh laki-laki kulit putih dengan latar belakang budaya Barat (Amerika atau Eropa). Kebutuhan
akan teori yang muncul dari pikiran dan pengalaman wanita merupakan alasan khusus
munculnya teori feminis ini. Teori feminis merupakan teori terapi pertama yang berasal dari
perspektif/kaca mata wanita.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN KONSELING & PSIKOTERAPI FEMINIS


Teori dan praktik terapi feminis berawal dari gerakan feminisme pada tahun 1960-an, di
mana para wanita membentuk sebuah forum untuk secara aktif mengutarakan ketidakpuasan

96
mereka terhadap sistem sosial patriarkal yang memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat
kelas dua. Feminisme, yang merupakan dasar filosofis bagi konseling feminis, “bertujuan untuk
menumbangkan patriarki dan mengakhiri diskriminasi gender melalui transformasi kultural dan
perubahan sosial radikal” (Brown, 1994, hal. 19). Betty Freidan, salah satu aktivis feminis paling
vokal menuliskan wajah feminisme ini dalam bukunya, The Feminine Mystique (1963).

The National Organization for Women (Organisasi Nasional Para Wanita), yang lazim
disingkat NOW, merupakan organisasi yang sangat getol dalam mengupayakan reformasi
struktur sosial dan peran-peran tradisional wanita, serta menyuarakan feminisme antara tahun
1960 hingga 1970-an. Seiring dengan pertumbuhan gerakan feminis, beberapa perempuan
membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan penyadaran (consciousness raising) dan
mendiskusikan lemahnya suara kolektif mereka dalam politik, tempat kerja, ekonomi,
pendidikan, dan arena sosiopolitik signifikan lainnya (Kaschak, 1992; Kirsh, 1987). Kelompok
consciousness raising (usaha penyadaran para wanita) awalnya merupakan kelompok-kelompok
para wanita yang bertemu secara semi terstruktur untuk berbagi pengalaman atas tekanan dan
ketidakberdayaan yang mereka alami. Kelompok-kelompok ini kemudian berkembang menjadi
kelompok self-help (tolong diri) yang tertata dalam memberdayakan para perempuan dan
menentang norma sosial yang ada saat itu (Evans, Kincade, Marbley & Seem, 2005).

Konseling feminis berkembang dari kelompok-kelompok consciousness raising ini, yang


kemudian memainkan peranan penting dalam pendidikan, radikalisasi, dan mobilisasi perempuan
pada awal tahun 1970-an. Meskipun telah menjadi instrumen penting bagi penyadaran para
wanita, namun dalam hal usaha perubahan secara politis, kelompok-kelompok consciousness
raising ini tidak seefektif organisasi semacam The National Organization for Women (Freeman,
1989). Karena itu, kelompok-kelompok consciousness raising ini lebih banyak mengambil peran
dalam melakukan perubahan personal dan memberikan support bagi para anggotanya
(Lieberman, Solow, Bond & Reibstein, 1979).

Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya konseling feminis sebagai salah satu
pendekatan dalam psikoterapi. Konseling dan psikoterapi feminis tidak dikembangkan oleh
tokoh tertentu, tidak memiliki posisi teoretis tertentu, serta tidak dilengkapi dengan teknik
tertentu (Enns, 2004; Evans et al., 2005). Konseling dan psikoterapi feminis fase awal ini
didasari oleh pandangan bahwa para perempuan sama-sama memiliki pengalaman ditekan dan

97
menjadi korban. Karena itu, hanya pendekatan proaktiflah yang secara efektif dapat membantu
mereka.

Teori feminis berkembang melalui tiga fase yang berbeda: radikal, liberal, dan moderat.
Teori feminis awal mengambil bentuk konseling dan psikoterapi radikal, di mana teori ini
menggunakan teknik-teknik yang didesain untuk membantu para wanita agar dapat menyadari
bahwa masyarakat yang patriarkal merupakan pusat dari kebanyakan masalah mereka, dan
perubahan tidak akan terjadi kecuali jika mereka diberdayakan agar dapat merasa dan bertindak
sejajar dengan para pria. Para konselor dan terapis feminis radikal dengan penuh semangat akan
mengemukakan tujuan dan prinsip-prinsip feminisme dalam konseling, yang berisi di antaranya:
(1) mendorong independensi finansial, (2) memandang bahwa masalah para wanita dipengaruhi
oleh faktor-faktor eksternal, dan (3) menyarankan agar konseli dapat terlibat dalam aksi-aksi
sosial (Enns, 2004). Konseling dan psikoterapi feminis radikal ini mendorong agar konseli
berpartisipasi aktif dalam kelompok-kelompok aksi sosial dan gerakan-gerakan keadilan sosial
lainnya untuk memperjuangkan perubahan sosial yang akhirnya akan menghasilkan keadilan
gender.

Walstedt (dalam Enns, 1993) menyebut konseling feminis sebagai “terapi kesetaraan
radikal” yang membuatnya memiliki ciri berbeda dari konseling tradisional dengan komposisi
hierarkisnya dan penekanan pada advokasi dan aktivisme. Fase radikal teori konseling feminis
ini berlangsung kira-kira selama 10 tahun dan menjadi awal bagi perkembangan institusi-institusi
advokasi perempuan lain, seperti pusat-pusat krisis korban perkosaan, yang menyediakan
berbagai layanan untuk para wanita (Enns, 1993).

Tidak semua tokoh feminis menerima konseling dan psikoterapi feminis ini. Beberapa
tokoh, selama periode ini, berpendapat bahwa feminisme dan konseling tidaklah sejalan, karena
dalam konseling terjadi “salah satu berposisi di atas dan salah satu di bawah, yang mendorong
para konseli wanita untuk memberikan ruang dominasi pada konselornya dan bukannya
mengambil tanggung jawab pribadi” (Enns, 1993, hal. 8). Karena itu, pendekatan kelompok
lebih dipilih oleh konselor feminis sebab di dalamnya relatif akan terjadi keseimbangan power
antara konselor dan konseli, di mana antara keduanya akan saling menerima dan memberi
dukungan emosional. Selain itu, dengan pendekatan kelompok, lebih banyak lagi wanita yang
akan dapat dibantu, sehingga akan lebih berefek pada perubahan sosial (Kaschak, 1981).

98
Tahun 1980-an dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut pemikiran feminis (Dutton-
Douglas & Walker, 1988). Gagasannya adalah menguji teori-teori konseling tradisional dalam
perspektif feminisme, dan kemudian menghilangkan bagian-bagian pendekatan tradisional yang
memandang pria dan wanita secara dikotomis (patriarkal) (Elliott, 1999). Beberapa praktisi
konseling feminis awal mengajukan androgini, yaitu integrasi antara karakteristik maskulin dan
feminin tradisional, sebagai kondisi kesehatan mental ideal yang menjadi tujuan konseling
(Enns, 2004). Konselor dan terapis feminis didorong untuk memilih metode-metode, yang
terdapat dalam pendekatan-pendekatan tradisional, yang tidak berpotensi bias gender (Enns,
1993).

Secara berlawanan dan dalam waktu yang sama, konseling dan psikoterapi feminis juga
didefinisikan sebagai entitas yang berbeda (Enns, 1993). Selama masa ini, para ahli konseling
feminis menyusun tahap-tahap konseling dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam
melakukan konseling feminis (Ballou & Gabalac, 1984; Fitzgerald & Nutt, 1986). Begitu pula,
teori kepribadian feminis diajukan untuk mendukung dan mengintegrasikan praktik-praktik
terapi ini (Enns, 1993).

Konseling dan psikoterapi feminis kemudian menjadi semakin liberal dan kurang radikal.
Feminis liberal menekankan tujuan yang berbeda dari feminis radikal. Feminis liberal
memandang konseling sebagai proses untuk memperoleh pemahaman diri serta memandang
perlunya fleksibilitas dalam membantu konseli menyelesaikan masalahnya (Enns, 2004).

Sejak akhir tahun 1980-an, terjadi pergerakan dalam teori feminis yang memperkenalkan
potensi feminin, fokus pada kesetaraan, dan mengajukan asumsi bahwa sebagian besar masalah
wanita diciptakan oleh masyarakat yang tidak menghargai atau membebaskan para wanita untuk
melakukan kehendaknya. Tidak seperti konseling feminis di tahun-tahun sebelumnya, nada
konseling dan psikoterapi feminis menjadi lebih moderat; feminis moderat mengadaptasi tujuan-
tujuan feminis radikal dan liberal. Semenjak tahun 1980-an, penggunaan pendekatan kelompok
menjadi berkurang, dan konseling individual lebih sering diterapkan dalam praktik feminis
(Kaschak, 1981). Fase ketiga perkembangan konseling dan psikoterapi feminis ini masih terus
mengalami pengembangan dan terus berusaha memperjelas tugas konselor/terapis feminis (Enns,
2004; Walker, 1990).

99
Konselor dan terapis feminis kontemporer berpraktik dengan perspektif teori yang
bermacam-macam. Namun Enns, Sinacore, Ancis dan Philips (2004) mengidentifikasi 4
feminisme yang muncul dan berfokus pada diskriminasi-diskriminasi gender:

1. Feminis Posmodern. Mereka berpendapat bahwa realita merupakan konstruksi sosial.


Feminis ini berfokus pada mengubah konteks di mana tekanan terhadap wanita terjadi.
2. Womanist, adalah sebuah istilah yang sering diungkapkan oleh para feminis warna (kulit),
yang berfokus pada adanya interaksi seksisme, pengkelas-kelasan (classism), dan rasisme,
serta berusaha untuk menghapus segala bentuk tekanan.
3. Feminis Lesbian. Mereka percaya bahwa heteroseksisme merupakan inti dari tekanan
terhadap wanita.
4. Feminis Trans-nasional atau Feminis Global. Feminis ini berusaha menghubungkan
pengalaman-pengalaman wanita dan eksploitasi terhadap mereka di seluruh dunia.
Berdasar perspektif-perspektif tersebut, menjadi jelaslah bahwa teori feminis tidak hanya satu
dan tidak ada teori feminis yang disepakati bersama.

Seperti juga pada pergerakan feminis itu sendiri, terjadi banyak pro dan kontra terhadap
konseling dan psikoterapi feminis. Kritik seringkali datang dari mereka yang tidak familiar
dengan teori-teori feminisme dan mereka yang memiliki konsep keliru bahwa terapi feminis
adalah terapi yang anti laki-laki. Menurut Ballou dan Gabalac (1984) dan Enns (1992), para
konselor dan terapis feminis tidaklah anti laki-laki; mereka hanya berusaha agar terjadi
kesetaraan sosial bagi wanita.

Karena banyak praktik konseling tradisional yang “berbahaya” jika digunakan untuk
wanita (hooks, 2000), maka para konselor dan terapis feminis berusaha menguji orientasi teoretis
konseling tradisional tersebut dari sudut pandang feminis (Enns, 1993). Meskipun terdapat
banyak perspektif, Evans et al. (2005) mendeskripsikan konseling feminis modern sebagai
pendekatan yang mengintegrasikan psikologi wanita, riset-riset tentang perkembangan wanita,
teknik-teknik kognitif behavioral, kesadaran multibudaya, dan aktivisme sosial ke dalam sebuah
teori dan paket terapi yang koheren.

100
C. KONSEP-KONSEP KUNCI
1. Hakikat Manusia: Sebuah Perspektif Developmental
Perspektif feminis didasari oleh sebuah keyakinan bahwa teori-teori tradisional mengenai
hakikat dan perkembangan manusia, yang ditemukembangkan dengan perspektif pria-pria Barat,
tidaklah dapat diterapkan secara universal. Kebanyakan teori-teori tersebut dikembangkan
berdasarkan studi atas laki-laki (sementara perempuan dianggap sama). Para feminis menentang
hal ini karena mereka memandang bahwa perempuan dan laki-laki bersosialisasi dengan cara
yang berbeda. Ekspektasi peran gender berpengaruh sangat besar pada laki-laki dan perempuan,
sehingga teori-teori tradisional tersebut tidak mengena secara tepat pada perempuan.

Sosialisasi peran gender (gender-role socialization) merupakan proses multifase, terjadi


selama rentang kehidupan, serta menguatkan keyakinan-keyakinan dan perilaku-perilaku tertentu
yang oleh masyarakat dianggap sebagai hal yang tepat berdasar jenis kelamin biologis (Remer,
Rostosky & Wright, 2001). Proses tersebut berdampak membatasi kepada perempuan dan laki-
laki. Sebagai contoh, mitos dan cerita-cerita yang sering kita sampaikan pada anak-anak bahwa
laki-laki adalah sosok yang kuat, cerdik, dan mampu dalam banyak hal, sementara wanita adalah
sosok yang pasif, tergantung, dan tidak memiliki banyak harapan. Contoh-contoh cerita tersebut
seperti: Oedipus yang memecahkan teka-teki Sphinx; Arthur yang mencabut pedang Excalibur
dari batu untuk menunjukkan bahwa ia adalah sang raja; dan Jack yang memanjat batang pohon
kacang raksasa untuk mendapatkan kekayaan dan keberuntungan. Sebaliknya, Rapunzel
dipenjara di sebuah menara tanpa pintu, ditakdirkan menunggu pria penyelamat; nyawa
Cinderella bergantung pada pangeran yang memakaikan sepatu kaca di kakinya; dan Putri Tidur
yang baru dapat bangun jika dicium oleh laki-laki (Polster, 1992). Cerita-cerita dan hal sejenis
demikian akan berdampak luas bagi wanita yang sedang bertumbuhkembang yang belajar bahwa
femininitas adalah kebalikan dari kekuatan, asertivitas, kompeten, dan bagi laki-laki yang
mempelajari bahwa maskulinitas merupakan kebalikan dari rasa takut, ketergantungan,
emosionalitas, atau kelemahan (Lerner, 1988). Di antara dampak-dampak tersebut antara lain:

 Pria didorong untuk bersikap dan bertindak cerdas, berprestasi, asertif, dan mengejar cita-
cita. Sebaliknya, wanita diupayakan untuk memiliki kebijaksanaan yang dikenal dengan
“intuisi wanita”, namun dicegah untuk maju secara intelektual, kompetitif, atau agresif.
Meskipun para wanita saat ini sudah tidak diperlakukan seperti beberapa dekade lalu,

101
mereka masih tetap diharapkan untuk mendahulukan keluarga dan menomorduakan karier
dan kegiatan lainnya.
 Laki-laki dituntut untuk menjadi mandiri. Laki-laki yang tidak mandiri sering diistilahkan
dengan “lemah” atau “keperempuan-perempuanan”. Sebaliknya, kemandirian perempuan
seringkali dipandang sebagai hal yang negatif.
 Laki-laki diharapkan untuk bersikap dan bertindak rasional, logis dan pandai. Wanita,
walaupun diharapkan emosional, akan dicap “histeris” jika ia terlalu ekspresif dalam
mengungkapkan emosinya. Untuk lak-laki, kemarahan merupakan ekspresi emosi yang
dapat diterima, sebaliknya luapan emosi yang dapat diterima untuk wanita adalah
menangis.
Para feminis menantang asumsi-asumsi yang berdasar sosialisasi peran gender dan
stereotip peran jenis kelamin tersebut. Para penyeru feminisme yang melakukan reformulasi
pemahaman perkembangan manusia itu antara lain: Nancy Chodorow, Carrol Gilligan, Jean
Baker Miller dan perempuan-perempuan lain yang berafiliasi dengan lembaga Stone Center di
Massachussetts, termasuk juga Sandra Bem dan Ellyn Kaschak.

2. Prinsip-prinsip Konseling Feminis


Sejumlah penulis feminis telah menulis beberapa prinsip inti yang menjadi dasar dari
praktik konseling feminis. Prinsip-prinsip tersebut saling berhubungan dan bertumpangtindih
satu sama lain. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah:

1) Masalah individu bersumber dari konteks politis. Prinsip ini didasari oleh asumsi bahwa
masalah-masalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling bersumber dari konteks
politik dan sosial. Khusus untuk perempuan, masalah tersebut seringkali berasal dari konteks
marginalisasi, opresi, subordinasi, dan stereotipisasi. Pandangan tentang dampak konteks
politik dan sosial terhadap kehidupan individu ini merupakan prinsip paling fundamental
yang mendasari konseling feminis.
2) Komitmen pada perubahan sosial. Konseling feminis tidak hanya berusaha melakukan
perubahan secara individual, namun juga perubahan sosial. Para konselor feminis
memandang praktik konselingnya tidak hanya untuk membantu konseli menyelesaikan
masalahnya secara individual, namun juga untuk mewujudkan transformasi sosial. Aksi

102
nyata untuk melakukan perubahan sosial merupakan bagian dari tanggung jawab mereka
sebagai konselor. Sangatlah penting bagi para wanita yang terlibat dalam konseling –baik
konseli ataupun konselor– untuk menyadari bahwa masalah yang mereka alami bersumber
dari opresi sebagai anggota masyarakat kelas dua dan bahwa mereka dapat berjuang bersama
para wanita lainnya untuk mewujudkan perubahan. Tujuannya adalah untuk mewujudkan
kondisi sosial yang membebaskan para wanita dan laki-laki dari kekangan-kekangan yang
timbul akibat ekspektasi peran gender, yang hasil akhirnya adalah perubahan individual.
3) Suara, pemahaman, dan pengalaman wanita diberi tempat yang sejajar dengan pria.
Perspektif wanita merupakan hal yang sentral dalam memahami permasalahan yang dibawa
oleh konseli ke dalam konseling. Konseling-konseling tradisional yang menggunakan
norma-norma androcentic, menggunakan laki-laki sebagai ukuran, sehingga dengan begitu,
wanita seringkali ditemukan menyimpang dari norma tersebut. Banyak teori dan penelitian
psikologis yang cenderung mengkonseptualisasikan pria dan wanita dalam pola yang sama.
Tujuan terapi feminis adalah untuk mengganti “kebenaran obyektif patriarkal” dengan
kesadaran feminis, yang mengakui perbedaan cara dalam memahami sesuatu. Para wanita
didorong untuk menghargai emosi dan intuisinya, serta menggunakan pengalaman
pribadinya sebagai dasar untuk menentukan “realitas”. Suara wanita diakui sebagai sumber
pengetahuan yang otoritatif dan tidak terhingga nilainya. Penghargaan dan fasilitasi suara
wanita di dalam dan di luar konseling ini akan menghilangkan kediaman wanita dan
berkontribusi pada perubahan pokok dalam kondisi politik di masyarakat.
4) Hubungan konseling berlangsung secara egaliter. Salah satu perhatian utama konseling
feminis adalah mengenai power dan hubungan konseling yang egaliter. Para konselor
feminis mengatakan bahwa telah terjadi ketimpangan power dalam hubungan konseling,
sehingga mereka teguh mengusahakan egaliterianisme hubungan konseling serta
menanamkan dalam-dalam prinsip bahwa konseli adalah ahli untuk dirinya sendiri. Sebuah
diskusi yang penuh keterbukaan mengenai power dan perbedaan-perbedaan peran dalam
hubungan konseling akan membantu konseli untuk memahami bagaimana dinamika power
berpengaruh pada konseling dan hubungan lainnya. Diskusi ini juga akan mengundang
dialog tentang bagaimana cara mengurangi ketimpangan power tersebut. Penemuan cara
untuk saling menyeimbangkan power dan men-demistifikasi konseling adalah merupakan
hal yang esensial bagi konselor feminis. Hal ini karena mereka meyakini bahwa konseling

103
seharusnya penuh dengan kesejajaran atau mutualitas (kondisi keterhubungan otentik antara
konseli dan konselor).
5) Fokus pada kekuatan dan reformulasi definisi masalah psikologis. Beberapa konselor
feminis menolak untuk memberikan label diagnostik “penyakit mental” pada konseli.
Menurut mereka, faktor intrapsikis hanyalah penyebab parsial dari masalah yang dibawa
oleh konseli ke dalam konseling. Konsep masalah di-reframing, tidak sebagai penyakit
namun sebagai komunikasi mengenai ketidakadilan sistem. Jika yang dianggap sebagai
penyebab masalah adalah variabel-variabel kontekstual, maka secara otomatis simtom-
simtom di-reframing sebagai strategi untuk survival. Konselor feminis membicarakan
masalah dalam konteks kehidupan dan strategi menyelesaikannya, bukan dalam konteks
patologi.
6) Mengenali semua bentuk tekanan. Konselor feminis memahami bahwa ketimpangan sosial
dan politik berdampak negatif pada semua orang. Konselor feminis berusaha untuk
membantu individu membuat perubahan dalam hidupnya serta perubahan sosial yang akan
membebaskan masyarakat dari stereotyping, marginalisasi, dan opresi. Tujuan kuncinya
adalah untuk melakukan intervensi dengan cara yang dapat menghasilkan perubahan dalam
lingkungan sosiopolitik yang disfungsional. Sumber-sumber opresi, tidak hanya gender,
diidentifikasi dan dieksplorasi secara interaktif sebagai basis untuk memahami concern
konseli. Membingkai masalah dalam konteks kultural akan membawa pada pemberdayaan
konseli, yang hanya dapat dicapai melalui perubahan sosial.

D. PROSES KONSELING
1. Tujuan Konseling Feminis
Menurut Enns (dalam Corey, 2009), tujuan konseling feminis berkisar pada pemberdayaan,
menghargai perbedaan, berusaha melakukan perubahan (daripada hanya sekedar penyesuaian),
kesetaraan, menyeimbangkan independesi dan interdependensi, perubahan sosial, dan self-
nurturance (peduli diri). Enns juga menambahkan bahwa tujuan kunci konseling adalah untuk
membantu individu agar dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan
kepentingan orang lain. Yang pasti, tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk menghilangkan
seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan penindasan lainnya di masyarakat. Konseling

104
feminis berusaha melakukan transformasi, baik terhadap konseli secara individual maupun
terhadap masyarakat secara umum.

Pada level individual, konselor feminis bekerja untuk membantu para wanita dan pria agar
mengenali, menuntut, dan mendapatkan power personal mereka. Pemberdayaan konseli
merupakan inti dari konseling ini, yang merupakan tujuan jangka panjang konseling. Dengan
diberdayakan, konseli akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari ikatan-ikatan peran gender
serta dapat menantang tekanan-tekanan institusional atas dirinya.

Menurut Worell & Remer (dalam Corey, 2009), konseling feminis membantu konseli
untuk:

1. menyadari proses sosialisasi peran gendernya sendiri.


2. mengidentifikasi pesan-pesan yang telah terinternalisasi dalam dirinya untuk kemudian
menggantinya dengan yang lebih konstruktif (membuatnya lebih dapat berkembang).
3. memahami bahwa keyakinan-keyakinan serta praktik-praktik masyarakat yang seksis dan
opresif memberikan pengaruh negatif pada dirinya.
4. memperoleh keterampilan-keterampilan untuk melakukan perubahan pada lingkungan.
5. merestrukturisasi institusi-institusi untuk membersihkannya dari praktik-praktik diskriminasi.
6. mengembangkan sejumlah perilaku yang dipilih secara bebas.
7. mengevaluasi dampak faktor-faktor sosial terhadap kehidupannya.
8. mengembangkan rasa personal dan daya sosial.
9. mengenali kekuatan relasi dan keterhubungan.
10. mempercayai pengalaman pribadi dan intuisinya.

Secara lebih khusus, Klein, Sturdivant, dan Enns (dalam Sharf, 2004) memaparkan enam
tujuan konseling feminis:

1. Penghilangan symptom (symptom removal). Tujuan ini merupakan tujuan konseling


tradisional, di mana juga dapat digunakan dalam konseling feminis asalkan tidak
mengganggu tumbuh kembang wanita.
2. Self-esteem (harga diri). Yang dimaksud dengan self-esteem dalam terapi feminis adalah
adalah tidak menggantungkan diri pada sumber-sumber eksternal (apa yang dipikirkan oleh

105
orang lain), namun berdasar pada perasaan pribadi terhadap dirinya sendiri. Untuk wanita, ini
artinya melakukan sesuatu berdasarkan kriteria dirinya sendiri dan tidak terlalu memikirkan
apa yang orang lain (teman, keluarga, dan media) katakan tentang bagaimana seharusnya ia
berpenampilan, bertindak dan berpikir.
3. Kualitas hubungan interpersonal. Kualitas hubungan interpersonal ini harus meningkat
setelah berlangsungnya konseling. Bagaimanapun, menjadi lebih ekspresif, fasilitatif, dan
peduli pada teman dan keluarga tidak perlu sampai mengorbankan kebutuhan pribadi konseli.
Daripada menjadi tergantung pada orang lain, para wanita dapat meningkatkan hubungannya
dengan cara bersikap lebih asertif. Tujuan terapi feminis tidaklah hanya untuk meningkatkan
hubungan dengan teman dan keluarga, namun konseling ini juga memberikan perhatian pada
kualitas hubungan dengan para wanita.
4. Body image dan sensualitas seringkali dicirikan untuk wanita oleh media dan laki-laki,
karena masyarakat memang sangat mementingkan kemenarikan fisik bagi wanita. Tujuan
terapi feminis adalah untuk membantu individu-individu agar menerima kondisi fisik dan
seksualitasnya, serta tidak menggunakan standar orang lain dalam menilai kondisi fisiknya
sendiri. Keputusan orientasi seksual juga harus diputuskan oleh individu tanpa adanya
paksaan dari orang lain.
5. Perhatian pada perbedaan (attention to diversity) merujuk pada penghargaan atas perbedaan
budaya konseli. Walaupun para konseli perempuan memiliki beberapa masalah dan tujuan
yang nyaris seragam, kehidupan mereka dibentuk oleh pengalaman yang beragam yang
berasal dari latar belakang budaya, bahasa, agama, ekonomi, dan orientasi seksual yang
berbeda.
6. Kesadaran politik dan aksi sosial adalah tujuan pokok terapi feminis.

2. Fungsi dan Peran Konselor


Konseling feminis bersandar pada seperangkat asumsi filosofis yang dapat diterapkan pada
berbagai orientasi teoretis. Teori konseling apapun dapat dievaluasi dengan kriteria gender-fair,
flexible-multicultural, interaksionis, dan orientasi sepanjang rentang kehidupan. Peran dan fungsi
konselor akan berbeda satu sama lain bergantung pada teori apa yang dikombinasikan dengan
prinsip dan konsep feminis. Dalam buku Case Approach to Counseling and Psychotherapy
(Corey, 2009, Bab 10) tiga terapis feminis (Drs. Evans, Kincade, dan Seem) berkolaborasi untuk

106
mendemonstrasikan berbagai pendekatan intervensi feminis dalam menangani seorang konseli
bernama Ruth. Mereka juga mengkonseptualisasikan kasus Ruth ini dari perspektif terapi
feminis.

Para konselor feminis telah mengintegrasikan feminisme ke dalam pendekatan konseling


dan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tindakan, keyakinan, serta kehidupan personal dan
profesional mereka sejalan dengan feminisme ini. Mereka berkomitmen untuk selalu memonitor
bias dan distorsi pribadi mereka, khususnya mengenai dimensi sosial dan kultural pengalaman
wanita. Konselor feminis juga berkomitmen untuk memahami penindasan/opresi dalam segala
bentuknya –seksisme, rasisme, heteroseksisme– dan mencoba menyadari dampak penindasan
dan diskriminasi tersebut pada kesejahteraan psikologis seseorang. Mereka bersedia hadir secara
emosional untuk konselinya, mau berbagi selama sesi konseling, menjadi model perilaku-
perilaku proaktif, dan berkomitmen pada proses peningkatan kesadaran (counsciousness-raising)
pribadinya. Akhirnya, walaupun para konselor feminis mungkin menggunakan teknik dan
strategi dari teori lain, mereka sangat unik dengan asumsi-asumsi feminis yang mereka pegang
teguh.

Konselor feminis memiliki dasar yang sama dengan konselor Adlerian dalam hal tekanan
utamanya pada kesetaraan dan minat sosial. Konselor feminis sama dengan konselor eksistensial
yang menekankan konseling sebagai perjalanan bersama; bahwa kehidupan berubah tidak hanya
untuk konseli, namun juga untuk konselor, serta sama dalam meyakini bahwa konseli mampu
untuk bergerak maju secara positif dan konstruktif. Para konselor feminis meyakini bahwa
hubungan konseling harus tidak bersifat hierarkikal, harus hubungan person-to-person (antar
pribadi), dan mereka berusaha memberdayakan konseli untuk menjalani hidup menurut nilai
pribadinya serta bersandar pada lokus kontrol internal (bukan eksternal) dalam menentukan
mana yang baik untuk dirinya. Seperti juga konselor person-centered, konselor feminis
menunjukkan genuineness (ketulusan) dan sikap saling empati antara konselor dan konseli.
Namun tidak sama dengan konselor person-centered, konselor feminis tidak memandang
hubungan konseling semata sebagai sesuatu yang mencukupi untuk terjadinya perubahan;
insight, introspeksi, dan kesadaran diri merupakan batu loncatan untuk menuju aksi. Konselor
feminis bekerja untuk membebaskan para wanita (dan pria) dari peran-peran yang telah mengikat
mereka untuk merealisasikan potensi masing-masing.

107
Beberapa konselor feminis sama dengan konselor posmodern dalam hal penekanan pada
politik dan power relationship dalam proses konseling, serta dalam hal concern pada power
relation di dunia secara umum. Baik konselor feminis maupun posmodern menyatakan bahwa
konselor seharusnya tidak mereplikasi ketidakseimbangan power di masyarakat atau
menciptakan dependensi pada konseli. Sebaliknya, konselor dan konseli harus mengambil peran
yang aktif dan setara, bekerja bersama untuk menentukan tujuan dan prosedur. Kesamaan umum
antara pendekatan feminis dan posmodern adalah penolakan atas peran konselor sebagai ahli
yang tahu segalanya. Menurut kedua pendekatan ini konselor seharusnya memegang peran
sebagai “relational-expert”.

3. Pengalaman Konseli dalam Konseling


Konseli merupakan partisipan aktif dalam proses konseling. Konselor feminis akan
memastikan bahwa konseling tidak akan menjadi arena di mana konseli (terutama konseli
wanita) tetap pasif dan menjadi dependen. Sangatlah penting agar konseli bercerita dan
memberikan pendapat mengenai pengalamannya.

Self-disclosure yang tepat dibenarkan dalam konseling feminis. Konselor perempuan


dibenarkan berbagi pengalaman pribadinya, termasuk mengenai opresi/penindasan peran gender.
Kesadaran konseli akan semakin meningkat begitu dilakukan analisis stereotip peran gender.

Konselor feminis tidak hanya memberikan layanan pada konseli perempuan; ia juga
melayani konseli laki-laki, pasangan, keluarga, dan anak-anak. Hubungan konseling selalu
berbentuk hubungan partnership. Bila konselinya pria, konseli didaulat sebagai ahli untuk
menentukan apa yang ia butuhkan dan inginkan dari konseling. Ia akan mengeksplorasi hal-hal
di mana sosialisasi peran gender telah membatasinya. Ia akan menjadi lebih menyadari
bagaimana ia terbelenggu untuk mengekspresikan emosi. Dalam sesi konseling yang aman ini, ia
dapat mengalami secara penuh perasaan-perasaan seperti kesedihan, kelembutan, ketidakpastian,
dan empati. Begitu ia mentransfer gagasan-gagasan ini ke dalam kehidupan nyata, ia akan
rasakan perubahan hubungan dalam keluarga dan dunia sosial lainnya.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tujuan utama konseling feminis adalah


pemberdayaan, yang merupakan manifestasi dimilikinya rasa penerimaan diri, kepercayaan diri,
rasa bahagia, dan otentisitas. Worell & Remer (dalam Corey, 2009) mengatakan bahwa konseli

108
akan memperoleh cara baru dalam memandang dan merespon dunianya. Konseli dan konselor
akan merasakan perjalanan bersamanya sebagai sesuatu yang menakutkan sekaligus menarik.
Konseli harus disiapkan untuk perubahan mendasar dalam cara memandang dunia sekitarnya,
perubahan cara mempersepsi diri, dan transformasi hubungan interpersonalnya.

4. Hubungan Konselor dan Konseli


Hubungan konseling didasari oleh upaya pemberdayaan dan egaliterianisme. Struktur
hubungan konselor-konseli memperagakan bagaimana mengidentifikasi dan menggunakan
kekuatan secara bertanggungjawab. Konselor feminis menyatakan secara jelas nilai-nilai yang
dianutnya untuk mengurangi kesempatan pemaksaan nilai. Hal ini akan memberikan kesempatan
pada konseli untuk memilih apakah ia akan meneruskan konseling bersama konselor atau tidak.
Ini juga merupakan langkah untuk men-demistifikasi proses konseling.

Seperti sudah dijelaskan, walaupun perbedaan power dalam konseling adalah sesuatu yang
niscaya ada, konselor feminis akan berusaha untuk menyamaratakan power tersebut dengan
melakukan beberapa strategi (Thomas, 1977). Pertama, para konselor feminis akan berusaha
menjadi sangat sensitif terhadap hal-hal yang memungkinkannya menyalahgunakan power dalam
konseling, seperti: melakukan diagnosa yang tidak perlu, memberikan interpretasi atau nasehat,
berperan sebagai ahli, atau mengabaikan dampak ketidakseimbangan power konselor dan konseli
dalam konseling.

Kedua, konselor secara aktif akan berfokus pada power konseli dan menjadikannya sebagai
bagian dari proses informed consentnya. Konselor akan mendorong konseli untuk
mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaannya, agar ia menyadari bagaimana ia melepaskan
powernya dalam berhubungan dengan orang lain sebagai hasil dari sosialisasi, dan untuk
membuat keputusan dengan pengetahuan ini sebagai basisnya.

Ketiga, konselor feminis melakukan demistifikasi hubungan konseling dengan berbagi


persepsi pribadinya pada konseli tentang apa yang sedang terjadi dalam hubungan konseling
tersebut, dengan menjadikan konseli sebagai rekan aktif dalam menentukan diagnosa, dan
dengan menggunakan self-disclosure yang tepat. Jika konselor menganjurkan sebuah teknik
tertentu, ia akan menjelaskan secara lengkap efek yang mungkin terjadi dan alasan ia
menyarankan teknik tersebut. Konselor juga akan menghormati secara utuh keputusan konseli

109
untuk melakukan atau tidak melakukan teknik itu. Beberapa konselor feminis juga menggunakan
kontrak sebagai cara untuk membuat tujuan dan proses konseling menjadi jelas dan tidak
samar/misterius.

Tema utama yang tergambar dalam hubungan konselor-konseli adalah keikutsertaan dan
peran utama konseli dalam asesmen dan proses konseling. Komitmen untuk selalu
mengikutsertakan konseli sejak awal hingga sesi terakhir ini bertujuan untuk menjaga agar
hubungan konseling tetap seegaliter mungkin. Walden (dalam Corey, 2009) menekankan nilai
mendidik dan memberdayakan konseli. Jika konselor tidak memberikan informasi yang cukup
pada konseli mengenai hakikat proses konseling, itu artinya konselor tersebut menolak potensi
partisipasi aktif konseli dalam konselingnya. Jika konselor membuat keputusan tentang konseli
untuk konseli, dan bukannya bersama konseli, itu artinya konselor telah merampok power
konseli dalam hubungan konseling. Kolaborasi dengan konseli dalam segala aspek konseling
akan membawa pada hubungan yang tulus dengan konseli.

5. Teknik-teknik Konseling
Para konselor feminis telah mengembangkan beberapa teknik secara mandiri serta
mengadaptasi beberapa teknik dari pendekatan lain. Teknik yang sangat penting adalah
Consciouness Raising Technique yang akan membantu para wanita membedakan antara hal yang
diterima dan diharapkan secara sosial dengan hal yang benar-benar sehat untuk mereka. Teknik-
teknik tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pemberdayaan (empowerment)
Tujuan utama strategi-strategi konseling feminis adalah untuk memberdayakan konseli. Konselor
akan mengarahkan perhatian pada isu-isu informed consent, mendiskusikan bagaimana supaya
konseli dapat memperoleh manfaat secara optimal dari konseling, memperjelas harapan-harapan,
mengidentifikasi tujuan, serta menyusun kontrak yang akan memandu proses konseling. Dengan
memberikan penjelasan tentang proses konseling dan menjadikan konseli sebagai mitra aktif
dalam proses terapiutik, proses terapi menjadi terdemistifikasi dan konseli akan menjadi
partisipan yang kedudukan dan perannya sejajar dengan konselor. Konseli akan menemukan
bahwa ia dapat menentukan sendiri arah, durasi, dan prosedur konselingnya.

110
2) Membuka diri (self-disclosure)
Konselor feminis menggunakan teknik self-disclosure untuk membuat hubungan
konselor-konseli menjadi sejajar, menyediakan model, untuk menormalisasi pengalaman kolektif
para wanita, untuk memberdayakan konseli, serta untuk memformulasikan informed consent.
Konselor menggunakan self-disclosure (membuka diri) dalam hal-hal yang disukai konseli
dengan mempertimbangkan waktu yang tepat dan hakikat disclosure itu sendiri. Self-disclosure
yang tepat dapat membantu untuk mengurangi kesenjangan power, berguna untuk memberikan
support pada konseli, serta dapat membebaskan dan memberdayakan konseli (Enns, 2004).

Konselor juga perlu menyatakan nilai dan keyakinan yang dianutnya tentang masyarakat
agar konseli dapat memilih untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan konseling dengan konselor
ini. Konselor juga menjelaskan teknik-teknik intervensi yang mungkin akan digunakannya.
Sebagai konsumen yang telah memiliki informasi tentang proses konseling, konseli dilibatkan
untuk mengevaluasi efektivitas strategi-strategi yang dijalankan dan sejauh mana ia telah
mencapai tujuannya melalui konseling.

3) Analisis peran gender (gender-role analysis)


Sebagai ciri khas konseling feminis, analisis peran gender bertujuan untuk
mengeksplorasi dampak ekspektasi peran gender pada keadaan psikologis konseli dan
menjadikannya dasar untuk membuat keputusan tentang perilaku-perilaku peran gender
selanjutnya (Enns, 2004). Teknik ini berfungsi sebagai asesmen sekaligus untuk mendorong
perubahan konseli. Analisis peran gender dimulai dengan mengidentifikasi pesan-pesan dari
masyarakat yang diinternalisasi oleh konseli mengenai bagaimana seharusnya laki-laki dan
perempuan (Remer, 2008).

4) Analisis power (power analysis)


Power analysis mengacu pada sejumlah metode yang bertujuan untuk membantu konseli
memahami mengenai bagaimana ketimpangan akses power dan sumber daya dapat
mempengaruhi realitas personal individu. Secara bersama-sama, konselor dan konseli
mengeksplorasi bagaimana ketimpangan atau penghalang-penghalang institusional seringkali
membatasi aktualisasi diri dan usaha menjadi pribadi yang baik (Enns, 2004). Dengan teknik
power analysis ini, konselor juga akan berfokus untuk membantu konseli mengidentifikasi
bentuk power alternatif yang akan dicobanya untuk menantang pesan-pesan peran gender yang

111
melarangnya untuk mencoba power tersebut. Intervensi ini bertujuan untuk membantu konseli
belajar menghargai dirinya sendiri dengan apa adanya, memperoleh kembali kepercayaan dirinya
berdasarkan atribut kepribadian yang dimilikinya, dan merancang tujuan yang dapat
memuaskannya.

5) Biblioterapi
Buku-buku nonfiksi, buku-buku teks konseling dan psikologi, otobiografi, buku-buku
self-help, video edukasional, film-film, dan bahkan novel dapat digunakan sebagai sumber
biblioterapi. Membaca tentang perspektif feminis mengenai masalah-masalah umum dalam
kehidupan wanita (seperti incest, perkosaan, pemukulan, dan pelecehan seksual) akan
menyadarkan wanita dari kecenderungan menyalahkan dirinya sendiri dalam masalah-masalah
tersebut (Remer, 2008). Dalam praktiknya, teknik ini dilakukan dengan konselor terlebih dulu
menyebutkan beberapa buku yang membahas mengenai ketimpangan-ketimpangan antara pria
dan wanita, kemudian konseli memilih salah satunya untuk dibaca selama beberapa minggu/hari.
Memberikan materi bacaan juga akan meningkatkan pengetahuan dan mengurangi ketimpangan
power antara konseli dan konselor. Bacaan dapat menjadi suplemen bagi hal-hal yang telah
dipelajari konseli dalam sesi konseling.

6) Assertive training
Dengan mengajarkan dan mendorong perilaku asertif, para wanita dapat menyadari hak-
hak interpersonalnya, tidak stereotip peran gender, dapat mengubah keyakinan-keyakinan
negatifnya, serta dapat melakukan perubahan-perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Konselor
dan konseli mencari perilaku apa yang tepat secara budaya, dan konseli membuat keputusan
mengenai kapan dan bagaimana menggunakan keterampilan asertif tersebut.

Dengan mempelajari dan mempraktikkan perilaku dan komunikasi yang asertif, konseli
akan mengalami peningkatan power. Dengan teknik ini, konseli akan belajar mengenai bahwa ia
berhak meminta apa yang ia inginkan dan butuhkan. Konselor juga perlu membantu konseli
untuk mengevaluasi dan mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi perilaku asertifnya, yang
mungkin berbentuk kritik atau ia mendapatkan apa yang diinginkannya.

112
7) Reframing dan relabeling
Seperti juga biblioterapi, self-disclosure, dan assertive training, reframing bukanlah teknik
yang hanya dilakukan oleh konseling feminis. Namun, reframing versi konseling feminis ini
memang memiliki keunikan. Reframing bisa berbentuk pengalihan dari “menyalahkan korban”
menjadi menyadari faktor-faktor sosial dalam lingkungan yang berkontribusi pada masalah
konseli. Dalam reframing, daripada bersusahpayah membahas faktor-faktor intrapsikis, fokus
lebih baik diarahkan untuk menguji dimensi-dimensi sosial dan atau politik. Adapun Relabeling
adalah intervensi yang dilakukan dengan mengubah label atau cara mengevaluasi karakteristik
perilaku tertentu.

8) Aksi sosial (social action)


Aksi sosial atau aktivisme sosial merupakan hal yang esensial dalam konseling feminis
(Enns, 2004). Ketika konseli sudah memiliki banyak pemahaman mengenai feminisme, konselor
dapat menyarankannya agar terlibat dalam aktivitas-aktivitas seperti menjadi relawan lembaga
pusat krisis korban perkosaan, melobi pembuat kebijakan, atau menyelenggarakan kegiatan-
kegiatan pencerahan gender pada masyarakat. Partisipasi dalam segenap aktivitas tersebut dapat
dapat memberdayakan konseli dan membantunya melihat hubungan antara pengalaman
pengalaman-pengalaman personalnya dengan konteks sosiopolitik di masyarakat.

9) Bergabung dengan group work


Group work menjadi populer sebagai cara bagi para wanita untuk mendiskusikan kurang
dihargainya suara mereka dalam berbagai aspek di masyarakat. Secara historis, group work telah
digunakan dalam rangka penyadaran (consciousness-raising) dan memberikan dukungan kepada
para wanita (Herlihy & McCollum, 2007). Kelompok consciousness-raising adalah kelompok
yang pertama kali memfasilitasi para wanita untuk berbagi pengalaman ditekan dan tidak
berdaya. Dengan cepat kelompok ini kemudian berubah menjadi kelompok self-help yang
memberdayakan para wanita dan menantang pola-pola sosial saat itu (Evans, Kincade, Marbley,
& Seem, 2005). Konselor feminis dapat mendorong konselinya untuk bertransisi dari konseling
individual ke format kelompok ini (Herlihy & McCollum, 2007). Dengan bergabung bersama
group work tersebut, konseli akan menyadari bahwa ia tidak sendiri. dengan bergabung di group
work, ia akan memperoleh validasi atas pengalamannya. Kelompok ini akan menambah jaringan
sosial konseli, mengurangi perasaan terisolasi, dan menciptakan lingkungan yang

113
memungkinkan untuk saling berbagi (Eriksen & Kress, 2005). Kelompok menyediakan
dukungan di mana para wanita dapat saling berbagi dan mengekplorasi secara kritis pesan-pesan
yang telah diinternalisasinya mengenai harga diri dan posisi di masyarakat. Saling keterbukaan
antara anggota dan pemimpin kelompok akan menyebabkan eksplorasi diri yang lebih dalam,
rasa universalitas, dan meningkatkan kohesivitas. Para anggota kelompok dapat belajar
menggunakan power secara efektif dengan saling mendukung satu sama lain, mempraktikkan
keterampilan-keterampilan berperilaku, mempertimbangkan aksi sosial/politik, dan dengan
mengambil resiko interpersonal dalam seting yang aman (Enns, 2004).

E. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN


1. Kelebihan
1) Praktik konseling feminis adalah yang praktik konseling yang pertama yang sensitif gender.
Orientasi sensitif gender ini kemudian memberikan pengaruh kepada teori konseling lain
untuk memberikan perhatian pada perbedaan peran pria dan wanita di masyarakat.
2) Konseling feminis adalah konseling yang mempertimbangkan dampak konteks budaya dan
tekanan sosial terhadap masalah konseli. Dalam memandang masalah, sebagian besar
konseling berfokus pada faktor-faktor intrapsikis. Tidak demikian halnya dengan konseling
feminis; konseling ini memperhatikan faktor-faktor intrapsikis dan konteks sosial sebagai
penyebab masalah.
3) Konseling feminis mengusahakan kesetaraan posisi dan power antara konselor dan konseli.
Sebagian besar teori konseling memposisikan konselor lebih tinggi dari konseli. Bagi
konseling feminis, ketimpangan posisi tersebut akan semakin meningkatkan rasa
ketidakberdayaan konseli yang muncul dalam sikap ketergantungan pada konselor, rendah
self-esteem, dan sejenisnya.
4) Terapi feminis menyumbangkan kontribusi penting pada dunia konseling dan psikoterapi
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap teori konseling dan psikoterapi
tradisional.
5) Prinsip-prinsip konseling feminis telah diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan,
seperti: supervisi, pembelajaran, konsultasi, penelitian, dan sebagainya.
6) Prinsip-prinsip dan teknik-teknik konseling feminis dapat diintegrasikan dengan teori lain,
serta begitu pula sebaliknya.

114
2. Kekurangan
1) Konselor feminis tidak berposisi netral. Walaupun konselor menginformasikan orientasi
konseling dan nilai yang dianutnya di awal konseling, bila tidak hati-hati, konselor dapat
memaksakan orientasi dan nilainya tersebut pada konseli.
2) Fokus konseling feminis pada konteks sosial sebagai penyebab masalah dapat membuat
konseli tidak bertanggungjawab atas perilakunya sendiri.
3) Terdapat banyak sekali aliran feminisme yang saling berseberangan satu sama lain sehingga
juga berpengaruh pada sulitnya menemukan kata sepakat antara para pakar dan konselor
feminis.
4) Konsep-konsep konseling feminis tidak sejelas konsep-konsep konseling tradisional dan
konseling modern/posmodern lainnya.
5) Konseling feminis tampak lebih tepat dikatakan sebagai gerakan politik daripada
konseling/psikoterapi.
6) Sangat sulit menemukan institusi yang secara khusus melatihkan konseling dan psikoterapi
feminis. Hal ini juga berdampak pada kredensialitas para konselor yang berorientasi feminis.
7) Belum terlalu banyak penelitian yang dilakukan untuk menunjukkan efektifitas konseling
feminis dalam menangani masalah.

115
BAB X
KONSELING KELUARGA (Family Systems Therapy)

A. SEJARAH PERKEMBANGAN
1. Tokoh-tokoh Yang Memberikan Konstribusi Terhadap Family Systems Therapy
Family Systems Therapy ditampilkan oleh bermacam-macam teori dan pendekatan, dimana
semua pendekatan dan teori tersebut berfokus pada aspek hubungan masalah manusia. Beberapa
individu memiliki hubungan yang erat dengan asal usul pendekatan sistem yang mereka
cetuskan, individu-individu tersebut antara lain sebagai berikut.
a) ALFRED ADLER, merupakan seorang psikolog pertama dari era modern yang
menggunakan terapi keluarga melalui pendekatan sistemis. Dia menetapkan lebih dari 30 klinik
panduan anak di Vienna setelah Perang Dunia I dan kemudian Rudolf Dreikurs yang membawa
konsep ini ke Amerika Serikat dalam bentuk pusat pendidikan keluarga. Adler melakukan sesi
konseling keluarga dalam forum publik terbuka untuk mendidik orangtua. Dia percaya bahwa
masalah-masalah yang terjadi pada salah seorang dalam keluarga, berlaku secara umum terhadap
anggota lainnya dalam komunitas.
b) MURRAY BOWEN, seorang pendiri asli dari aliran Family Systems Therapy. Banyak
dari teori dan praktek tumbuh dari karyanya dengan schizonphrenic individual dalam keluarga.
Dia percaya keluarga dapat dipahami sebaik-baiknya ketika dianalisis dari perspektif tiga
generasi karena dapat melihat pola hubungan interpersonal anggota keluarga antar generasi.
Kontribusi utamanya meliputi konsep inti diferensiasi diri dan triagulasi.
c) VIRGINIA SATIR, merupakan pengembang terapi keluarga conjoint, sebuah model
proses validasi manusia (sebuah pendekatan eksperimental) yang menekankan pada komunikasi
dan pengalaman emosi. Seperti Bowen, dia menggunakan model inter-generasional, tetapi dia
bekerja untuk membawa pola keluarga terhadap kehidupan dalam rekonstruksi keluarga
sekarang. Mengklaim bahwa teknik tersebut adalah sekunder terhadap hubungan, dia
berkonsentrasi pada hubungan antara terapis dengan keluarga untuk mencapai perubahan.
d) CARL WHITAKER, pencipta terapi keluarga pengalaman-simbolis (symbolic-
experiential family therapy), sebuah pendekatan intuitif untuk membantu saluran interaksi
terbuka dalam keluarga. Tujuannya adalah memfasilitasi otonomi individu sambil tetap
mempertahankan rasa memiliki dalam keluarga. Dia melihat terapis sebagai partisipan aktif dan

116
pelatih yang memasuki proses keluarga dengan kreativitas, memberikan tekanan yang memadai
terhadap proses ini untuk menghasilkan perubahan status quo.
e) SALVADOR MINUCHIN, mulai mengembangkan terapi keluarga struktural pada
1960an melalui karyanya dengan anak remaja keluarga miskin di Sekolah Wiltwyck di New
York. Bekerja dengan kolega pada Philadelphia Child Guidance Clinic pada 1970an, Minuchin
memperbaiki teori dan praktek terapi keluarga. Dengan berfokus kepada struktur atau organisasi
keluarga, terapis membantu keluarga memodifikasi pola stereotype dan meredefinisikan
hubungan di antara anggota keluarga. Dia percaya perubahan struktural dalam keluarga harus
terjadi sebelum simptom anggota individual dapat dikurangi atau dieliminasi.
f) JAY HALEY, seorang penulis prolific, mempunyai dampak signifikan terhadap
pengembangan Family Systems Therapy. Dia mencampur terapi keluarga struktural dengan
konsep hirarki, kekuasaan, dan intervensi strategis. Strategic family therapy adalah sebuah
pendekatan yang berfokus pada memecahkan masalah sekarang; memahami apa yang tidak
dibutuhkan atau tidak diajukan.
g) CLOE MADANES, bersama Jay Haley, membentuk Institusi keluarga di Washington
DC pada tahun 1970an. Melalui praktek terapi gabungan, tulisan, dan pelatihan dalam terapis
keluarga, terapi keluarga strategis menjadi terapi keluarga paling populer pada 1980an. Ini
adalah sebuah pendekatan terapi yang singkat dan berorientasi pada solusi. Masalah yang dibawa
oleh keluarga kepada konselor diperlakukan sebagai ‘real/nyata’ – bukan gejala yang
dikarenakan isu-isu – dan dipecahkan. Dia menekankan pada kepedulian dan aspek emosional
dari pola keluarga.

2. Perkembangan Family Systems Therapy


Pada 1960an dan 1970an, pendekatan psikodinamik, behavior dan pendekatan humanistis
(masing-masing disebut kekuatan pertama, kedua dan ketiga) mendominasi teori dan konsep
konseling dan psikoterapi, termasuk pada konseling keluarga. Dewasa ini, berbagai pendekatan
dapat digunakan pada sistem keluarga sehingga mengakibatkan adanya pergeseran paradigma
yang dapat bahkan disebut sebagai ‘kekuatan keempat’. Saat ini telah banyak terapis yang secara
kreatif menggunakan berbagai macam perspektif/pendekatan ketika menjalankan terapi.

117
Dalam perkembangannya, Family Systems Therapy mengalami beberapa inovasi yang
berhubungan dengan beberapa tokoh kunci Family Systems Therapy. Beberapa perkembangan
tersebut antara lain sebagai berikut.
a) Adlerian Family Therapy. Pendekatan yang digunakannya dalam Adlerian family
therapy ialah pendekatan sistemis yang telah lama digunakannya sebelum teori-teori tersebut
diaplikasikan dalam dunia psikoterapi. Konseptualisasi yang dicetuskan Adler dapat ditemukan
di dalam prinsip-prinsip dan praktek model yang lainnya. Dalam Corey (2009) dijelaskan bahwa
Adler adalah orang pertama yang mengamati perkembangan anak di dalam konstelasi keluarga
(frase yang digunakan untuk sistem keuangan) yang sangat dipengaruhi oleh urutan kelahiran,
dan urutan kelahiran tersebut mempunyai konsistensi terhadap masing-masing posisi. Adler juga
menjelaskan bahwa setiap perilaku mempunyai tujuan, dan anak-anak seringkali bertindak dalam
pola yang dimotivasi oleh keinginan untuk memiliki, bahkan ketika pola tersebut salah atau sia-
sia. Dalam perkembangannya, Dudolf Dreikurs (1973) memperbaiki konsep Adler ke dalam
tipologi dari tujuan yang salah (yang dibuat individu) dan menciptakan pendekatan terorganisasi
terhadap terapi keluarga. Sebuah asumsi dasar dari Adlerian Family Therapy modern adalah baik
orangtua ataupun anak seringkali terkunci di dalam pengulangan, interaksi negatif yang
didasarkan pada kesalahan penetapan tujuan yang memotivasi semua pihak terlibat. Walaupun
banyak Adlerian Family Therapy yang dilakukan dalam sesi pribadi, Adler juga menggunakan
model pendidikan untuk konsultasi keluarga yang dilakukan pada forum publik terbuka di
sekolah, agensi masyarakat, dan secara khusus dirancang untuk pusat pendidikan keluarga.
b) Multigenerasional Family Therapy. Murray Bowen adalah salah seorang pencetus
aliran utama dalam Family Systems Therapy. Teori sistem keluarga miliknya, merupakan model
teoritis dan klinis yang terlibat dari prinsip-prinsip dan praktek psikoanalitis, disebut juga terapi
keluarga multi generasional. Bowen beserta timnya mengimplementasikan sebuah pendekatan
inovatif terhadap penderita schizophrenia di Lembaga Nasional Kesehatan Mental. Dalam
pelaksanaannya, Bowen benar-benar ramah dengan seluruh keluarga, sehingga sistem keluarga
dapat menjadi fokus terapi. Observasi yang dilakukan Bowen membawa dia pada
ketertarikannya pada pola keluarga dalam lintas generasi. Dia berpendapat bahwa masalah yang
terjadi pada salah seorang dalam keluarga tidak akan mengalami perubahan yang signifikan
sampai pola hubungan dalam asal usul sebuah keluarga dipahami dan secara langsung ditantang
untuk berubah. Multigenerasional family therapy ini beroperasi dengan dasar bahwa pola

118
hubungan interpersonal yang dapat diprediksi berhubungan dengan fungsi dari anggota keluarga
lintas generasi. Menurut Kerr dan Bowen (1988), penyebab dari masalah individual hanya dapat
dipahami dengan melihat pada peranan keluarga sebagai unit emosional. Diantara unit dalam
keluarga, penyatuan secara emosional belum terselesaikan dalam satu keluarga harus diketahui
jika ingin mencapai kematangan dan kepribadian yang unik. Masalah emosional tersebut akan
terus terjadi dari generasi ke generasi sampai masalah tersebut dapat ditangani secara efektif.
Perubahan harus terjadi pada setiap anggota keluarga lain dan tidak dapat diselesaikan hanya
oleh seorang individu didalam ruang konseling. Salah satu konsep Bowen dalam
multigenerasional family therapy adalah triangulasi, sebuah proses dimana triad (tiga orang)
menghasilkan pengalaman two-against-one. Bower mengasumsikan bahwa triangulasi dapat
terjadi secara mudah antara anggota keluarga dan terapi atau konselor, merupakan alasan
mengapa Bowen sangat menekankan pada klien untuk menyadari isu keluarga mereka sendiri
(Kerr dan Bowen,1988). Kontribusi utama dari multigenerasional family therapy adalah ide
diferensiasi diri. Diferensiasi diri melibatkan pemisahan sisi psikologis dari inteleklual, emosi,
dan ketergantungan diri kepada orang lain. Dalam proses individualisasi, seorang individu
memperoleh identitas diri, dan memungkinkan keluarga mereka menerima tanggung jawab
pribadi terhadap pemikiran, perasaan, persepsi dan aksi yang mereka lakukan.
c) Human Validation Process Model. Ketika Bowen mengembangkan pendekatannya,
Virginia Satir (1983) mulai menekankan pada hubungan keluarga. Pendekatan yang
dicetuskannya mulai membawanya untuk percaya pada nilai dari sebuah kekuasaan , hubungan
pengasuhan yang didasarkan pada kesukaan dan pesona yang kuat dengan siapa saja yang dia
peduli. Satir memposisikan dirinya sebagai detektif yang berusaha mengajukan dan
mendengarkan refleksi penghargaan diri dalam berkomunikasi dengan klien. Satir bekerja
dengan gadis remaja, dirinya terkejut ketika mengetahui bahwa komunikasi dan perilaku
kliennya berubah ketika ibunya hadir. Saat dia membina hubungan mereka, mulai terjadi kembali
pada si gadis remaja itu ketika ditanya soal ayahnya. Saat ayahnya hadir, komunikasi dan
perilaku ibu dan anak perempuan berubah. Berdasarkan kejadian ini, Satir menemukan kekuatan
dari terapi keluarga, pentingnya komunikasi dalam interaksi keluarga, dan nilai dari validasi
terapi dalam proses perubahan (Satir dan Bitter, 2000 dlam Corey, 2009). Pengalaman dan
pendekatan humanis disebut dengan model proses validasi manusia, dan tahapan kerja awal
dengan keluarga dikenal dengan terapi keluarga conjoint (Satir 1983). Satir dengan intuisi yang

119
tinggi dan percaya bahwa spontanitas, kreativitas, humor, pengungkapan diri, pengambilan
resiko, dan sentuhan pribadi; merupakan bagian dari family systems therapy. Dalam
pandangannya, teknik tersebut adalah sekunder terhadap hubungan yang dikembangkan terapis
dengan keluarga.
d) Experiential Family Therapy. Carl Whitaker adalah pelopor terapi keluarga
berdasarkan pengalaman, dikenal juga dengan pendekatan experiential-symbolic; sebuah aplikasi
terapi eksistensial terhadap sistem keluarga, yang menekankan pada pilihan, kebebasan,
penentuan diri, pertumbuhan, dan aktualisasi (Whitaker dan Bumberry, 1988). Seperti Satir dan
pendekatan eksistensial lainnya, Whitaker menekankan pada pentingnya hubungan antara
keluarga dengan terapis. Whitaker lebih konfrontatif dalam menanggapi “kenyataan” daripada
Satir, yang lebih pada pengasuhan. Terhadap tujuan hidupnya, dia hanya melihat keluarga, dan
bahkan mencoba berkomunikasi dan berasosiasi dengan keluarga. Experiential Family Therapy
dilakukan untuk membuka topeng kepura-puraan dan menciptakan makna baru, membebaskan
anggota keluarga untuk menjadi diri sendiri. Whitaker tidak mengajukan berbagai macam
metode; yang membedakannya yakni keterlibatan terapis dengan keluarga, dengan memunculkan
reaksi spontan (dari terapis atau konselor) terhadap situasi sekarang dan dirancang untuk
meningkatkan kesadaran klien, dan untuk membuka interaksi yang baru dengan keluarganya.
e) Structural-Strategic Family Therapy. Asal usul terapi sistem keluarga dapat di telusuri
dari awal 1960an ketika Salvador Minuchin melakukan terapi, pelatihan dan penelitian pada
anak remaja dari keluarga miskin. Minuchin (1974) menjelaskan bahwa gejalan individual dapat
dipahami dari sudut pandang pola interaksi dengan keluarga dan bahwa perubahan struktural
harus terjadi dalam keluarga sebelum gejelan individual tersebut dikurangi atau dieliminasi. Ada
dua tujuan dari structural family therapy, yaitu: 1) mengurangi symptom disfungsi dan 2)
membawa perubahan struktural dalam sistem dengan memodifikasi aturan keluarga dan
mengembangkan batasan yang lebih tepat. Pada akhir 1960an Jay Haley bergabung dengan
Minuchin di Philadelphia Child Guidance Clinic. Pada akhir 1970an, pendekatan struktural-
strategis paling banyak digunakan dalam family systems therapy. Model ini berusaha
mereorganisasi struktur disfungsional atau problematis dalam keluarga, menetapkan batas,
ketidakseimbangan, membuat kerangka ulang, siksaan, dan pengumuman semuanya menjadi
bagian dari proses terapi keluarga. Tidak banyak berhubungan dengan eksplorasi atau
interpretasi masa lalu, tetapi lebih pada tipe pola interaksi, untuk mereorganisasi subsistem atau

120
hirarki keluarga, dan untuk memfasilitasi perkembangan penggunaan transaksi yang lebih
bermanfaat atau fleksibel. Model struktural dan strategis berbeda dalam hal bagaimana masing-
masing memandang masalah keluarga: Minuchin (1974) cenderung melihat kesulitan keluarga
dan individual sebagai gejala-gejala. Sementara Haley (1976) melihat mereka sebagai masalah
‘riil’ yang membutuhkan jawaban ‘riil’. Kedua model tersebut bersifat pengarahan, dan
keduanya mengharap terapis atau konselor untuk menguasai level keahlian tertentu untuk
melakukan proses terapi keluarga. Pada tahun 1974, Haley dan Cloe Madanes memulai
Lembaga Terapi Keluarga di Washington DC. Selama 15 tahun mereka menulis,
mengembangkan dan mempraktekkan terapi, dan memberikan pelatihan intensif dalam terapi
keluarga strategis. Pendekatan strategis mereka melihat masalah yang ada sekarang sebagai riil
dan metafora bagi fungsi sistem. Penekanan yang besar diberikan kepada kekuasaan, kontrol,
dan hirarki dalam keluarga dan sesi terapi. Haley (1984) dan Madane (1981) lebih tertarik pada
aplikasi praktis intervensi strategis untuk memperbaiki masalah keluarga daripada
memformulasikan teori terapi berbeda dari model struktural. Ini secara khusus terbukti pada
model Madanes (1990) untuk bekerja dengan keluarga yang memasukkan pelanggaran gender.
Madanes membawa perspektif humanistis kepada terapi strategis dengan mengalamatkan
perlunya cinta dan menekankan pada aspek terapi perawatan.
f) Recent Innovations. Dalam beberapa dekade yang lalu, feminism, multiculturalism, dan
postmodern social constructionism telah memasuki seluruh bidang terapi keluarga. Model ini
lebih kolaboratif, memperlakukan klien–individual, pasangan atau keluarga- sebagai ahli dalam
kehidupan mereka sendiri. Percakapan terapi mulai dengan konselor dalam "decentered" atau
posisi "tidak-tahu" di mana klien didekati dengan rasa ingin tahu dan dengan perhatian. Terapis
secara sosial aktif membantu klien dalam mengambil sikap menyesuiakan tindakan yang akan
dilakukan terhadap budaya dominan yang menindas mereka.
Tom Andersen (1987, 1991) mempraktekkan family systems therapy di Norwegia Barat, dan
pendekatan Family Systems Therapy didasarkan pada psikiatri constructionism sosial, Andersen
telah mempelopori program kesehatan mental berbasis masyarakat dan melakukan sebuah
pendekatan “reflections teams” terhadap family systems therapy.

121
B. HAKIKAT MANUSIA
Hakikat manusia dalam family systems therapy secara singkat dapat dijelaskan bahwa
manusia dalam perkembangan kehidupannya akan selalu berhubungan dengan sistem kehidupan.
Usaha untuk berubah akan difasilitasi dengan sebaik-baiknya dengan mempertimbangkan
hubungan atau keluarga secara keseluruhan. Oleh karena itu, pendekatan penanganan secara
komprehensif ditujukan pada keluarga. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa keluarga
merupakan unit interaksional, yang memiliki sejumlah ciri unik sendiri, sehingga memungkinkan
untuk terjadinya penilaian yang kurang akurat dari perhatian secara individual tanpa mengamati
interaksi anggota keluarga lainnya. Meneliti dinamika internal individu tidak hanya cukup
memperhatikan hubungan interpersonal, karena akan memberikan gambaran yang tidak lengkap.
Keluarga memberikan konteks primer untuk memahami bagaimana individu berfungsi
dalam hubungan dengan orang lain dan bagaimana mereka berperilaku. Keluarga dipandang
sebagai unit fungsional lebih dari kumpulan peranan anggota. Tindakan anggota keluarga secara
individual akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga lainnya, dan interaksi mereka memiliki
pengaruh timbal balik untuk setiap individu dalam keluarga tersebut yang terjadi baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Goldenberg dan Goldenberg (2010) menunjukkan perlunya seorang terapis atau konselor
untuk melihat perilaku secara menyeluruh, termasuk semua gejala yang diekspresikan oleh
individu, ditambahkannya, orientasi sistem tidak menghalangi untuk menangani dinamika secara
individu. Sebagaimana dengan perkembangan individu, Family Systems dapat dilihat sebagai
suatu proses perkembangan yang berkembang dari waktu ke waktu. Model perkembangan
kehidupan keluarga meliputi family life cycle (siklus kehidupan keluarga) dan the family life
spiral.

FAMILY LIFE CYCLE


Jay Haley (1993) merupakan orang pertaman yang memberikan penawarkan penjelasan
secara rinci dari Family Life Cycle (siklus kehidupan keluarga). Haley mengidentifikasi enam
tahap perkembangan, mulai dari masa saling mengenal hingga usia lanjut. Haley tertarik dalam
memahami kekuatan keluarga yang dimiliki oleh seorang individu dan tantangan yang mereka
hadapi ketika saat menjalani siklus kehidupan. Haley memiliki hipotesis bahwa gejala-gejala dan

122
disfungsi yang muncul ketika ada gangguan dalam mengantisipasi siklus kehidupan terjadi
secara alamiah.
Seiring waktu, ketegangan pasti akan muncul dalam keluarga karena adanya perubahan
perkembangan yang mereka hadapi (Smith & Schwebel, 1995). Keluarga yang mengalami
tekanan merupakan keluarga yang akan intens untuk melakukan negosiasi antar anggota dalam
hal-hal tertentu yang dapat mempengaruhi proses transisi ke tahap selanjutnya dalam siklus
kehidupan keluarga mereka (Carter & McGoldrich 2004). Pada tingkatan tertentu, tekanan ini
dapat dilihat sebagai bagian dari respon keluarga terhadap tantangan dan perubahan hidup
mereka dalam proses melewati siklus kehidupan mereka, misalnya, seorang pasangan mungkin
akan mengalami ketegangan untuk beberapa saat dengan orangtua mereka saat pasangan tersebut
akan melakukan proses transisi dengan kelahiran anak pertama mereka. Pada tingkat lain,
tekanan dimungkinkan muncul sebagai hasil warisan multigenerasi keluarga yang dapat
mempengaruhi dan menentukan sikap keluarga, hal-hal yang dianggap tabu, harapan-harapan,
dan pelabelan-pelabelan, serta isu-isu yang dimuat, misalnya, selama beberapa generasi terdapat
penggambaran (dan bahkan mungkin telah menjadi aturan) bahwa laki-laki tidak bisa dipercaya
untuk mengurusi keuangan, dan terdapat kemungkinan untuk terjadinya penekanan yang
dipaksakan jika tidak ada wanita.
Ketika penekanan terjadi pada tingkat yang lebih tinggi, maka dimungkinkan seluruh
keluarga akan mengalami krisis yang akut. Terapis atau konselor keluarga dapat menemukan
kesulitan untuk menentukan sumber yang tepat dari stres yang terjadi pada suatu keluarga, tanpa
mengetahui dan mengidentifikasi kondisi-kondisi lain yang juga berpengaruh terhadap
munculnya tekanan dan stres yang terjadi tersebut, baik yang telah terjadi pada generasi-generasi
sebelumnya maun yang sedang terjadi saat ini.

THE FAMILY LIFE SPIRAL


Combrinck-Graham (1985) membangun suatu model nonlinier dari pengembangan strukutr
keluarga yang disebut the family life spiral. Family life spiral didalamnya mencakup berbagai
macam tugas perkembangan dari tiga generasi secara keseluruhan dan saling mempengaruhi
satui dengan yang lain. Isu perkembangan yang terjadi dalam setiap orang dapat dilihat kaitannya
dengan anggota keluarga yang lainnya. Family life spiral jika digambarkan tampak seperti
tornado yang terbalik. Family life spiral pada bagian atas menggambarkan kedekatan keluarga

123
selama periode sentripetal dan pada bagian bawah tergambar mewakili periode sentrifugal
dengan jarak yang lebih besar antara sesama anggota keluarga.
Centripetal Periods. Kedekatan dalam kehidupan keluarga disebut dengan sentripetal
untuk menunjukkan berbagai kekuatan dalam sistem keluarga yang terus dipertahankan secara
bersama-sama (Combrinck-Graham, 1985). Centripetal Periods (CPs) ditandai dengan orientasi
batin yang membutuhkan sebuah ikatan yang intens dan kohesif, misalnya anak usia dini,
membesarkan anak, dan grandparenting. Baik individu maupun anggota keluarga keluarga yang
lain menekankan kehidupan keluarga secara internal selama periode ini. Akibatnya, batas-batas
antara anggota menjadi lebih tersebar sehingga dapat meningkatkan kerjasama antar anggota.
Sebaliknya, berbeda dengan batas internal yang tersebar kepada sesama anggota keluarga, batas-
batas eksternal terkesan menjadi lebih dibatasi dan seolah-olah sebuah keluarga “membuat
sarang” untuk dapat mengurus dirinya sendiri.
Centrifugal Periode. Ketidakterikatan atau terpisah dalam kehidupan keluarga disebut
sentrifugal untuk menunjukkan dominasi kekuatan keluarga untuk menarik keluarga terpisah
(Combrinck-Graham, 1988). Centrifugal Periode (CF) yang ditandai dengan orientasi ke luar
dari sebuah keluarga. Dalam periode ini, fokus pembangunan struktur keluarga adalah pada
tugas-tugas yang menekankan pada identitas pribadi dan otonomi, seperti remaja, paruh baya,
dan pensiun, seiring dengan hal tersebut, batas eksternal keluarga menjadi longgar, struktur
keluarga lama yang domodifikasi, dan jarak antara anggota keluarga biasanya meningkat.
The Family Merry-Go-Round. Istilah sentripetal dan sentrifugal dalam hal ini
menunjukkan adanya tarikan dan dorongan kekuatan dalam struktur kehidupan keluarga. Jika
dianalogikan, kekuatan ini hampir sama dengan proses mengendarai komidi putar. Keluarga
berada dalam proses terus-menerus untuk saling mendorong dan menarik guna menyesuaikan
diri dengan berbagai macam peristiwa kehidupan. Periode dalam keluarga dapat beralih dari
periode sentripetal menjadi periode sentrifugal bergantung pada tugas perkembangan yang akan
dicapai dalam suatu tahapan siklus kehidupan keluarga tersebut. Sebuah keluarga biasanya akan
mencapai satu siklus setiap 25 tahun. Periode ini merupakan waktu untuk menghasilkan generasi
baru. Dalam setiap siklus keluarga yang terjadi, anggota keluarga yang berbeda akan mengalami
pergeseran. Pergeseran dalam perkembangan ini disebut dengan oscillations yang memberikan
kesempatan bagi anggota keluarga untuk melatih kedekatan dan dan keterlibatan dirinya dalam
periode sentripetal dan kemandirian dalam periode sentrifugal (Combrinck-Graham, 1985).

124
Implications for Practice. Periode sentripetal maupun sentrifugal mendefinisikan kondisi
patologis. Periode ini menggambarkan gaya hubungan keluarga pada tahap tertentu dalam family
life spriral. Pembentukan suatu respon tertentu muncul ketika ada anggota keluarga yang
dihadapkan dengan suatu peristiwa di luar antisipasi family life spiral. Misalnya, kematian
mendadak, kelahiran anak cacat, penyakit kronis, atau perang. Bagi beberapa keluarga, tekanan
akan muncul terkait dengan hal-hal tersebut. Intensitas dan durasi kecemasan keluarga akan
mempengaruhi kemampuan keluarga untuk membuat transisi yang diperlukan. Tujuan terapi
keluarga adalah untuk membantu keluarga melewati krisis yang terjadi selama masa transisi,
sehingga dapat melanjutkan ke tahap berikutnya dalam proses kehidupan keluarga tersebut.

C. PERKEMBANGAN PERILAKU

1. Struktur Kepribadian
Sebagaimana hakikat manusia dalam family systems therapy bahwa manusia (klien) dalam
perkembangan kehidupannya akan selalu berhubungan dengan sistem kehidupan, maka
perkembangan perilaku, termasuk didalamnya struktur kepribadian akan sangat dipengaruhi oleh
sistem yang ada dalam sebuah keluarga. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap lingkungan
keluarga, diantaranya adalah Birth Order And Family Constellation. Birth order and family
constellation sering disalahpahami, posisi anak dalam urutan kelahiran tidak deterministik, hanya
memberikan kemungkinan bahwa seorang anak akan memiliki berbagai jenis pengalaman.
Family constellation seseorang mencakup komposisi keluarga, peran masing-masing orang, dan
hubungan timbal balik seseorang yang telah berlangsung dalam kehidupannya, baik dengan
saudara dan maupun dengan orang tua.Family systems therapy memiliki anggapan bahwa
perkembangan individu juga dipengaruhi konteks sosial yang terjadi, termasuk orangtua,
saudara, dan individu penting lainnya yang menciptakan hubungan dengan seorang anak, bukan
sebagai penerima pasif, melainkan anak-anak mempengaruhi bagaimana orang tua dan saudara
menanggapi mereka. Setiap anak datang untuk memainkan peran dalam keluarga yang
ditentukan oleh interaksi dan transaksi dalam keluarga. Meskipun ada banyak faktor yang akan
menunjukkan pengecualian, ada beberapa karakteristik umum terkait dengan posisi urutan
kelahiran, karakteristik umum tersebut antara lain sebagai berikut.
a) Anak Pertama (Anak Tertua). Anak pertama yang untuk sementara waktu menjadi
anak tunggal akan merasa memiliki kehidupan yang “baik” untuk beberapa periode waktu,

125
mereka cenderung menjadi pusat perhatian dan kadang-kadang manja. Namun, ketika saudara
dilahirkan, anak tertua cenderung merasa diturunkan dan mungkin merasa terancam, kurang
dicintai dan diabaikan, marah, takut, dan cemburu dalam menanggapi kehilangan peran khusus
mereka sebagai anak tunggal. Seringkali, anak-anak pertama (tertua) mencoba untuk
mendapatkan kembali posisi kembali dengan melakukan perbuatan baik (misalnya, menjadi
bertanggung jawab, sebagai pengurus adik-adiknya, mengikuti kegiatan ekstra), dan dapat
membantu anak pertama untuk menjadi lebih afiliatif dan percaya diri. Anak pertama (anak
tertua) cenderung menjadi yang paling cerdas,kemampuan verbal mereka sangat kuat. Anak
pertama yang tumbuh dalam keluarga orang dewasa, cenderung diandalkan, dan bertanggung
jawab. Mereka umumnya berkelakuan baik dan kooperatif, sesuai dengan harapan masyarakat,
banyak dari kemampuan mereka seringkali membantu mereka mencapai posisi kepemimpinan.
b) Anak kedua. Anak kedua terkadang menemukan posisi diri mereka dalam posisi yang
tidak nyaman. Selama tahun-tahun awal, anak kedua terkadang memiliki seseorang yang lebih
maju yang ada di depannya. Situasi ini dapat diatasi jika saudara tertuanya adalah laki-laki dan
perempuan yang lahir satu tahun atau lebih sebelum kelahiran anak kedua tersebut. Namun, jika
anak sulung berhasil, anak kedua terkadang menjadi mudah putus asa dan kurang memiliki
harapan untuk mencapai suatu posisi atau kegiatan yang ditempati oleh saudara tertuanya. Jika
anak pertama lebih sukses, semakin besar kemungkinan bahwa anak kedua akan
mengembangkan karakteristik kebalikan dari anak sulung/anak pertama dengan berorientasi pada
prestasi anak sulung. Anak kedua terkadang merasa ada tekanan untuk mengejar dan bersaing
dengan anak tertua. Karena anak kedua lahir biasanya menyadari bahwa mereka tidak dapat
mengalahkan keberhasilan anak sulung sudah tercapai, mereka tertarik ke arah usaha di mana
saudara yang lebih tua tidak lebih baik atau tidak tertarik pada usaha yang ditekuninya tersebut.
Pola umum adalah untuk anak sulung untuk unggul di daerah tradisional seperti bahasa Inggris
atau matematika dan untuk anak kedua berusaha sukses dengan sebuah kreatifitas seperti
menyanyi atau menggambar dan lebih menekankan pada ranah sosial daripada keberhasilan
akademis. Anak kedua cenderung lebih peduli, ramah, dan ekspresif dari saudara mereka yang
lebih tua.
c) Anak Tengah. Sama seperti anak kedua, anak-anak tengah memiliki saudara kandung
yang memimpin, tetapi mereka juga memiliki saudara yang dekat dengan mereka. Tidak hanya
mereka harus menjaga, tetapi juga mereka merasa bahwa mereka harus tetap berada di depan.

126
Terkadang anak-anak tengah kurang yakin akan kemampuan atau dirinya sendiri, memiliki
kelebihana dalam ranah sosial. Namun, beberapa anak tengah merasa terjepit di antara anak-anak
yang telah menemukan tempat mereka dan anak-anak muda yang tampaknya untuk menerima
lebih banyak cinta dan perhatian. Anak tengah terkadang memiliki kesulitan untuk menemukan
cara menjadi lebih khusus dan bisa menjadi putus asa, melihat diri mereka tidak atau kurang
dicintai dan diabaikan. Pola ini biasanya kurang jelas dalam keluarga yang besar di mana dua
atau lebih anak berbagi peran anak tengah tetapi sangat mungkin dalam keluarga dengan hanya
tiga anak. Dengan dorongan orangtua dan positif, bagaimanapun, anak-anak tengah sering
menjadi baik, memiliki penyesuaian diri yang baik, ramah, kreatif, dan ambisius.
d) Anak Bungsu. Anak bungsu berada dalam tiga situasi. Pertama, mereka mungkin
dimanjakan dan dimanjakan oleh seluruh keluarga. Kedua, mereka mungkin merasa perlu untuk
melakukan usaha yang lebih (termasuk juga aspek waktu) hanya untuk bersaing dengan saudara
mereka yang lebih tua. Ketiga, mereka mungkin menjadi berkecil hati tentang bersaing dengan
mereka saudara dan saudari. Anak-anak bungsu sering memposisikan diri mereka pada posisi
yang membuat saudara-saudaranya menjadi iri, karena mereka mungkin dimanjakan oleh orang
tua dan saudara kandung yang lebih tua. Terlalu banyak hal dapat dilakukan untuk mereka,
termasuk membuat keputusan dan mengambil tanggung jawab. Karena posisi yang “unik”, anak-
anak bungsu dapat dengan mudah mengalami patah semangat dan mengembangkan perasaan
rendah diri, mungkin karena ada harapan terbatas untuk kesuksesan mereka, tetapi anak bungsu
sering menjadi anak yang paling berhasil dalam keluarga. Anak bungsu terkesan santai dalam
menjalani hidup dan sepertinya tidak pernah terjebak dalam perjuangan untuk mencapai sebuah
prestasi. Anak bungsu tidak pernah memiliki kesempatan untuk menjadi yang pertama pada
situasi dan kondisi apa pun, namun, ia tetap mempertahankan sikap positif yang kuat tentang
masa kecilnya dan kenyataan bahwa saudara-saudaranya selalu tampak bersaing menjadi yang
pertama, tidak peduli seberapa mampu mereka, cenderung tidak dianggap serius oleh orang lain.
Keputusan dapat dilakukan untuk mereka, dan mereka mungkin tidak perlu mengambil tanggung
jawab yang lebih untuk diri mereka sendiri atau orang lain.Namun, anak-anak yang lahir terakhir
juga dapat memperoleh kekuatan yang cukup besar dalam keluarga dan berkembang pada
perhatian khusus yang mereka terima. Mereka sering menjadi petualangan, santai, empatik,
ramah, dan inovatif. Mereka biasanya mengejar kepentingan mereka sendiri, semua itu dilakukan

127
untuk menghindari persaingan dengan saudara kandung. Sekutu mereka yang paling mungkin
adalah yang tertua, dan yang juga memiliki perasaan yang berbeda.
e) Anak Tunggal. Anak tunggal memiliki banyak kesamaan dengan baik anak sulung dan
anak bungsu. Mereka mencari prestasi seperti anak sulung dan biasanya menikmati menjadi
pusat perhatian seperti anak bungsu. Anak tunggal adalah kondisi yang “unik”, mereka tumbuh
dalam dunia yang penuh dengan orang dewasa. Tidak ada anak-anak lain dengan siapa untuk
bersaing, sehingga anak hanya bekerja keras untuk mencapai suatu tingkat kedewasaan tertentu.
Ketika orang tua mereka sangat mampu, mereka terkadang menemukan kesulitan untuk bersaing
dan mengukur tingkat keberhasilannya, dapat menjadi putus asa, dan mungkin menyerah. Jika
anak tunggal tidak mendapatkan posisi dalam keluarga dengan cara yang positif dan konstruktif,
mereka mungkin menjadi "baik" dalam kondisi nakal, beberapa anak hanya menerima begitu
banyak perhatian dan pelayanan dari orang –orang dewasa yang ada disekitar mereka dan
berusaha untuk tetap tidak berdaya dan tidak bertanggung jawab. Mereka tidak menyerah,
melainkan hanya tidak pernah mulai untuk mencoba. Anak tunggal terkesan diposisikan hanya
untuk menjadi sangat egosentris, karena mereka tidak harus berhadapan dengan siapa pun
(saudara) untuk berbagi. Karakteristik lain yang cukup khas dari anak tunggal anak adalah bahwa
mereka sering tumbuh dan menikmati menjadi pusat perhatian. Hal ini terutama berlaku ketika
anak adalah cucu pertama. Dalam banyak kasus, anak tunggal dapat mengembangkan bakat dari
satu jenis atau beberapa jenis bakat sekaligus untuk dapat menjadi bintang. Ketika anak tunggal
sering mendapatkan apa yang mereka inginkan dan melakukan berbagai hal dengan cara mereka
sendiri, mereka mungkin menolak untuk bersikap kooperatif dengan orang lain yang tidak mau
menjalankan sesuatu yang diinginkannya tersebut. Hanya anak-anak sering mengembangkan
keterampilan untuk berhubungan hanya untuk orang dewasa, terutama jika dunia orang dewasa
adalah lingkungan utama sosial mereka, bukan sebaya mereka. Akibatnya, mereka menjadi
penyendiri dan merasa tidak perlu untuk membangun hubungan dengan anak-anak lain, sehingga
memungkikankan jika orangtua mereka merasa tidak aman atau nyaman,maka mereka dapat
mengadopsi kekhawatiran, ketidakamanan, ketidaknyamanan orang tua mereka tersebut.
Variabel dalam keluarga dapat memiliki dampak yang kompleks pada pola-pola ini. Sebagai
contoh, ketika kembar lahir, keluarga cenderung memperlakukan satu anak sebagai yang lebih
tua daripada yang lain, artifisial menentukan urutan kelahiran mereka. Ketika anak sulung adalah
seorang gadis atau terganggu dalam beberapa cara, keluarga mungkin secara tidak sengaja atau

128
dengan sengaja mempromosikan anak kedua ke posisi sulung. harapan tinggi akan diberikan
kepada anak itu, sementara sulung akan diperlakukan seperti detik lahir. pemposisian mereka
akan memberikan dampak pada kepribadian dan perilaku mereka nantinya.

2. Pribadi Sehat dan Bermasalah


Perspektif pribadi dalam family systems therapy menyatakan bahwa individual dipahami
sebaik-baiknya melalui penilaian interaksi antara anggota keluarga. Perkembangan dan perilaku
satu anggota keluarga tak terlepas dari keluarga lainnya. Gejala seringkali dipandang sebagai
ekspresi dari sekumpulan kebiasaan dan pola dalam sebuah keluarga. Sangat revolusioner untuk
menyimpulkan bahwa mengenali problem klien dapat menjadi gejala tentang bagaimana fungsi
sistem, bukan sekedar gejala ketidakmampuan individual menyesuaikan diri, sejarah, dan
perkembangan psikologis.
Pribadi sehat dalam family systems therapy didasarkan pada asumsi bahwa pribadi yang
dapat menjalankan model perkembangan keluarga yang normal, dapat melakukan diferensiasi
identitas dengan tepat, secara emosional dapat mengembangkan kemampuan sesuai dengan tugas
perkembangannya, memiliki citra diri yang mandiri pada masing-masing individu, dan dapat
mengembangkan kohesifitas diri baik di dalam keluarga maupun lingkungan sosial lainnya, serta
dapat menunjukkan apresiasi terhadap perasaan yang dialaminya sendiri dan juga perasaan
individu lain disekitarnya (misalnya, anak, saudara, dll.)
Pribadi bermasalah dalam family systems therapy didasarkan pada asumsi bahwa pribadi
tidak dapat memberikan fungsi atau tujuan bagi keluarga dengan tepat, tidak dapat
mempertahankan proses keluarga baik secara sengaja maupun tidak sengaja, mengalami
ketidakmampuan untuk beroperasi secara produktif (khususnya) selama pengembangan transisi,
mengalami gejala pola disfungsional yang tidak tertangani hingga generasi berikutnya,
perkembangan ego yang tidak sempurna atau fenomena ‘transference’ dalam konsep Freud,
mengalami ketidaktepatan proses penyesuaian diri dengan orang dewasa, mengalami kegagalan
individu mengembangkan kohesi diri dan keunikan identitas dirinya yang menyebabkan
gangguan kasih sayang emosional, berkepribadian narsistik (terobsesi dengan opini orang lain)
atau kebutuhan yang ekstrim terhadap penghargaan.

129
D. HAKIKAT KONSELING
Konseling Keluarga merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada individu sebagai
bagian dari anggota keluarga melalui sistem keluarga (pembenahan komunikasi keluarga) agar
potensinya berkembang seoptimal mungkin dan masalahnya dapat diatasi atas dasar kemauan
membantu dari semua anggota keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga.

Prinsip-prinsip konseling keluarga


1. Setiap anggota adalah sejajar, tidak ada satu yang lebih penting dari yang lain.
2. Situasi saat ini merupakan penyebab dari masalah keluarga dan prosesnyalah yang harus
diubah.
3. Tidak perlu memperhatikan diagnostik dari permasalahan keluarga, karena hal ini hanya
membuang waktu saja untuk ditelusuri.
4. Selama intervensi berlangsung, konselor/terapist merupakan bagian penting dalam
dinamika keluarga, jadi melibatkan dirinya sendiri.
5. Konselor/terapist memberanikan anggota keluarga untuk mengutarakan dan berinteraksi
dengan setiap anggota keluarga dan menjadi “intra family involved”.
6. Relasi antara konselor/terapist merupakan hal yang sementara. Relasi yang permanen
merupakan penyelesaian yang buruk.
7. Supervisi dilakukan secara riil/nyata (conselor/therapist center)

E. KONDISI PENGUBAHAN

1. Tujuan
 Membantu anggota keluarga untuk belajar dan secara emosional menghargai bahwa
dinamika keluarga saling bertautan di antara anggota keluarga.
 Membantu anggota keluarga agar sadar akan kenyataan bila anggota keluarga
mengalami problem, maka ini mungkin merupakan dampak dari satu atau lebih
persepsi, harapan, dan interaksi dari anggota keluarga lainnya.
 Bertindak terus menerus dalam konseling/terapi sampai dengan keseimbangan
homeostasis dapat tercapai, yang akan menumbuhkan dan meningkatkan keutuhan
keluarga.

130
 Mengembangkan apresiasi keluarga terhadap dampak relasi parental terhadap
anggota keluarga.

2. Konselor
Konselor pada konseling keluarga diharapkan mempunyai kemampuan professional untuk
mengantisipasi perilaku keseluruhan anggota keluarga yang terdiri dari berbagai kualitas
emosional dan kepribadian. Konselor diharapkan mampu: mengembangkan komunikasi antara
anggota keluarga yang tadinya terhambat oleh emosi-emosi tertentu; membantu mengembangkan
penghargaan anggota keluarga terhadap potensi anggota lain sesuai dengan realitas yang ada
pada diri dan lingkungannya; membantu konseli agar berhasil menemukan dan memahami
potensi, keunggulan, kelebihan yang ada pada dirinya dan mempunyai wawasan serta alternative
rencana untuk pengembangannya atas bantuan semua anggota keluarga; dan mampu membantu
konseli agar dia dapat menurunkan tingkat hambatan emosional dan kecemasan serta
menemukan, memahami, dan memecahkan masalah dan kelemahan yang dialaminya dengan
bantuan anggota keluarga lainnya.
Konselor tidak boleh menjadi pribadi yang stereotip terhadap urutan kelahiran. Pada saat
yang sama, menjelajahi urutan kelahiran dan pengaruhnya pada perkembangan kepribadian
seseorang akan sangat memungkinkan untuk dapat memahami orang tersebut. Konselor
memiliki banyak peran dalam pendekatan ini antara lain pembimbing, Coach, model, dan
konsultan.

3. Konseli
Konseli dalam konseling keluarga berbeda dengan konseli pada pendekatan lainnya.
Konseli dalam konseling keluarga bisa terdiri satu orang, atau lebih dari satu orang. Konseli
dalam pendekatan ini adalah individu yang tidak berfungsi dengan baik dalam kelurga. Konseli
merupakan bagian dari suatu struktur keluarga, dan keluarga merupakan unit yang menentukan
atau memberikan sumbangsih pada perkembangan konseli.

4. Situasi Hubungan
Faktor jumlah klien (anggota keluarga) menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
hubungan antara konselor dan konseli. Dalam konseling keluarga, konseli bisa lebih dari satu

131
orang. Relasi antara anggota keluarga amat beragam dan bersifat emosional, dan konselor harus
melibatkan diri atau berpartisipasi secara penuh dalam dinamika konseling keluarga. Ada lima
jenis relasi dalam konseling keluarga:
a) Relasi seorang konseli dengan konselor
b) Relasi antar konseli yang satu dengan yang lainnya
c) Relasi konselor dengan sebagian kelompok anggota keluarga
d) Relasi konselor dengan keseluruhan anggota keluarga
e) Relasi antar sebagaian kelompok dengan sebagian kelompok anggota lain, misalkan Ibu
yang memihak anak laki-laki dan ayah yang memihak anak perempuan.

Oleh karena itu penting sekali membina komunikasi, baik komunikasi antara konselor dan
konseli, konselor dengan anggota keluarga, dan komunikasi antar keluarga. Komunikasi ini
diwarnai oleh suasana afektif dan interaksi yang mengandung kualitas emosional, akan tetapi
lama-kelamaan mengarah pada perubahan kepada perilaku yang rasional.

F. MEKANISME PENGUBAHAN
1. Tahap-tahap konseling
Proses dalam konseling keluarga adalah:
1. Pengembangan Rapport, merupakan suasana hubungan konseling yang akrab, jujur,
saling percaya, sehingga menimbulkan keterbukaan dari konseli. Upaya pengembangan rapport
ini ditentukan oleh aspek-aspek diri konselor yakni kontak mata; perilaku non verbal (erilaku
attending, bersahabat/akrab, hangat, luwes, ramah, jujur/asli, penuh perhatian); dan bahas
lisan/verbal yang baik.
2. Pengembangan apresiasi emosional, dimana munculnya kemampuan untuk
menghargai perasaan masing-masing anggota keluarga, dan keinginan mereka agar masalah yang
mereka hadapi dapat terselesaikan semakin besar. Muncul dinamika interaksi dari semua
individu yang terlibat dalam konseling.
3. Pengembangan alternative modus perilaku. Dalam tahap ini, baik konseli maupun
anggota keluarga mengembangkan dan melatihkan perilaku-perilaku baru yang disepakati
berdasarkan hasil diskusi dalam konseling. Pada tahap ini muncul home assignment, yaitu
mencobakan/mempraktikan perilaku baru selama masa 1 minggu (misalnya) di rumah, kemudian

132
akan dilaporkan pada sesi berikutnya untuk dibahas, dievaluasi, dan dilakukan tindakan
selanjutnya.
4. Fase membina hubungan konseling. Adanya acceptance, unconditional positive
regard, understanding, genuine, empathy.

Menurut Conjoint Family Therapy, langkah/proses konseling yang dapat ditempuh adalah:
1. Intake interview, building working alliance. bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika
perkembangan konseli dan anggota keluarga lainnya (untuk mengungkapkan kesuksesan dan
kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku
penyesuaian, dan area masalahnya).
2. Case conceptualization and Treatment Planning, mengenal masalah/memperjelas
masalah, kemudian fokus pada rencana intervensi apa yang akan dilakukan untuk penanganan
masalah.
3. Implementation, menerapkan intervensi yang disertai dengan tugas-tugas yang
dilakukan bersama antara konseli dan keluarga, contohnya: free drawing art task (menggambar
bebas yang mewakili keberadaan mereka baik secara kognitif, emosi, dan peran yang mereka
mainkan), home work,
4. Evaluation termination, melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang
telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
5. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan
meingkatkan proses konseling.

2. Teknik-teknik konseling
Teknik-teknik dalam konseling keluarga berkembang dengan pesat memasuki tahun 1970-
an. Inovasi teknik terapeutik diperkenalkan termasuk pendekatan behavioral yang dikaitkan
dengan masalah-masalah keluarga. Pada tahu 1980-an, konseling perkawinan dan konseling
keluarga menjadi satu. Para praktisi dari berbagai disiplin keahlian menjadikan konseling
keluarga sebagai ciri propesional mereka. Pada saat sekarang, konseling keluarga lebih
menekankan penanganan masalah-masalah secara kontekstual daripada secara terpisah dengan
individu-individu. Tantangan yang dihadapi oleh konseling keluarga pada tahun 1980-an adalah

133
mengintegrasikan berbagai pendekatan konseling keluarga dan menggunakan kombinasi-
kombinasi dari teknik-teknik yang dibutuhkan untuk populasi-populasi yang berbeda.

Teknik-teknik yang digunakan dalam konseling keluarga adalah:


a. Sculpting, yaitu teknik yang mengijinkan anggota-anggota keluarga untuk menyatakan
kepada anggota lain, persepsinya tentang berbagai masalah hubungan yang ada diantara anggota-
anggota keluarga. Konseli dapat menyatakan isi hati dan persepsinya tanpa cemas. Sculpting
digunakan untuk mengungkapkan konflik keluarga melalui verbal, baik perasaan maupun
tindakan.
b. Role Playing, yaitu teknik dengan memberikan peran tertentu kepada anggota keluarga.
Peran tersebut adalah peran orang lain dikeluarga tersebut. Contohnya anak diminta memainkan
peran sebagai ayahnya. Tujuan teknik adalah untuk konseli terlepas dari perasaan penghukuman,
tertekan, dan lainnya.
c. Silence, yaitu teknik yang digunakan untuk menunggu suatu gejala perilaku baru
muncul, pikiran baru, respons baru. Teknik ini digunakan saat anggota keluarga berada dalam
konflik dan frustrasi karena salah satu anggota keluarga yang suka bertindak “kejam”, sehingga
mereka datang saat konseling dengan tindakan tutup mulut.
d. Confrontation, yaitu teknik yang digunakan untuk mempertentangkan pendapat-
pendapat anggota keluarga yang terungkap dalam wawancara konseling keluarga. Tujuannya
adalah untuk anggota keluarga saling berterus terang, jujur, dn menyadari perasaan masing-
masing.
e. Teaching via questioning, yaitu teknik mengajar anggota keluarga dengan cara
bertanya, contoh: “bagaimana kalau prestasimu menurun? Apakah kamu senang kalau
orangtuamu sedih?”
f. Listening, yaitu teknik yang digunakan agar pembicaraan seorang anggota keluarga
didengarkan dengan sabar oleh yang lain. Tujuannya adalah untuk mendengarkan dengan
perhatian.
g. Recapitulating, yaitu teknik mengikthisarkan atau merangkum/menginterpretasi
pembicaraan yang bergalau pada setiap anggota keluarga, dengan tujuan agar pembiacaraan
menjadi terarah dan terfokus.

134
h. Clarification, yaitu teknik yang digunakan untuk memperjelas pernyataan atau perasaan
yang diungkapkan secara samar-samar oleh anggota keluarga. Biasanya teknik ini lebih
menekankan kepada aspek makna kognitif dari suatu pernyataan verbal konseli atau anggota
keluarga lainnya.
i. Family Genogram. Family Genogram memberikan cara lain untuk konseptualisasi
pembangunan sebuah struktur keluarga. Biasanya, family genogram digunakan untuk memetakan
perkembangan dari keluarga tertentu selama siklus kehidupannya, setidaknya untuk tiga
generasi. family genogram ini menyerupai pohon keluarga yang didalamnya mencakup informasi
tentang urutan kelahiran, anggota keluarga, komunikasi mereka, dan isu-isu hubungan. Dalam
Corey (2009) dijelaskan bahwa Monica McGoldrick menyediakan sumber yang bagus untuk
clinicians yang kurang familiar dengan penggunaan family genogram (lihat McGoldrick, Gerson,
& Shellenberger, 1999). Family genogram sering digunakan sebagai dasar pembentukan
hipotesis klinis dalam family work dan metode-metode lain (yang didalamya mengandung
sebuah sensitifitas budaya) yang ditawarkan untuk memahami konseli baik secara individual
maupun secara keluarga. Sebagai contoh, Magnuson, Norem, dan Skinner (1995) menganjurkan
pemetaan dinamika hubungan dalam keluarga pasangan gay atau lesbian yang tidak diakui oleh
masyarakat umum (misalnya, pernikahan) - Gibson (2005) menyediakan panduan yang sangat
baik untuk efektifitas penggunaan family genogram dalam setting konseling sekolah.
j. Selain family genogram, Hartman (1995) mengembangkan alat serupa yang disebut
ecomap. Beberapa kelebihan dari ecomap yakni dimungkinkannya klien dan konselor atau
terapis untuk berada dalam suatu diagram tertentu, interaksi keluarga dan masyarakat juga dapat
disertakan. Sebuah ecomap mencakup berbagai unsur guna mengorganisir sebuah kasus. Family
genogram dan ecomaps semakin sering digunakan dalam bidang di luar family systems therapy
seperti perawatan (Olsen, Dudley-Brown, dan McMullen, 2004) dan family medicine
(Wattendorf & Hadley, 2005).

135
REFERENSI

Capuzzi, D. & Gross, D. R. (2011). Counseling and Psychotherapy: Theories and Interventions
(5th Ed.). Alexandria: Wiley - ACA

Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th Ed.). Belmont:
Brooks/Cole.

Cottone, R. R. (1992). Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy.


Massachusetts: Allyn and Bacon.

Erford, B. T. (2015). Forty Techniques Every Counselor Should Know (2nd Ed.). New Jersey:
Pearson Education, Inc

Gehart, D. (2016). Theory and Treatment Planing in Counseling and Psychotherapy (2nd Ed.).
Boston: Cengage Learning.

Geldard, K. & Geldard, D. (2008). Membantu Memecahkan Masalah Orang Lain dengan Teknik
Konseling (Edisi ke-2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Jones-Nelson, R. (2011). Teori dan Praktik Konseling dan Terapi (Edisi ke-4). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Komalasari, G; Wahyuni, E; & Karsih. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: Indeks

Palmer, S (Ed.). (2011). Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Perry, W. (2010). Dasar-dasar Teknik Konseling: Kotak Perkakas untuk Konselor/Terapis


Pemula (Edisi ke-2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sharf, R. S. (2012). Theories of Psychotherapy and Counseling: Concepts and Cases (5th Ed.).
Belmont: Brooks/Cole

Thompson, R. A. (2003). Counseling Techniques: Improving Relationship with Others,


Ourselves, Our Family and Our Environment (2nd Ed.). New York: Routledge.

136

Anda mungkin juga menyukai