Anda di halaman 1dari 10

Biografi Hans Georg Gadamer

I.

Riwayat Hidup Hans Georg Gadamer merupakan salah satu tokoh yang sangat terkenal, diantara para tokoh filsafat hermeneutik. Hans Georg Gadamer dilahirkan di kota Breslau pada 11 Februari 1900. Ia belajar filsafat diantaranya pada Nikolai Hartman dan Martin Heidegger, serta mengikuti kuliah Rudolf Bulman seorang teolog Protestan yang cukup popular. Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang profesor kimia di sebuah universitas. Ayahnya dianggap sebagai ahli terpandang dibidangnya. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah meninggal pada tahun 1928. Gadamer terlahir sebagai anak kedua di tengah keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928) di kota Marburg, sebuah kota di bagian selatan Jerman. Sejak usia dua tahun, ia pindah ke kota Breslau (sekarang dikenal dengan nama Wroclau,Polandia) karena ayahnya diminta jadi profesor luar biasa di Universitas Breslau. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga penganut protestan yang taat dan konservatif, serta memiliki sikap yang puitis dan lembut kebalikan dari ayahnya yang keras dan penuh disiplin ala budaya Prusia. Ibunya meninggal pada saat Gadamer berusia empat tahun karena penyakit diabetes. Walaupun besar dalam keluarga Protestan yang taat, tetapi ia memilih bungkam jika ditanya tentang imannya. Ayah Gadamer memiliki disiplin yang ketat dalam bidang akademisi, semenjak yunior ia menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di Holy Gost School dari tahun 1907 sampai 1918, ia menunjukkan minat yang bersebrangan dengan ayahnya. Gadamer lebih tertarik dengan ilmu-ilmu Humaniora, khususnya sastra dan filologi. Setelah itu ia mendaftar di Universitas Breslau, ayahnya ingin Gadamer memasuki fakultas eksak, padahal sejak di pendidikan menengah dia sudah tertarik dengan sastra dan filsafat. Namun, keinginan Gadamer memasuki fakultas non-eksak tetap

terwujud, karena bagaimanapun sebagai seorang ilmuwan yang sangat rasional, Johannes mau tak mau harus menerima pendapat anaknya hanya karena ingin dipandang demokratis. Selama kuliah, Gadamer juga ikut kelompok baca Stefan George yang mengkhususkan diri pada kajian sastra dan pembacaan puisi, terutama karya-karya Stefan George. Di kelompok inilah Gadamer berkenalan dengan seorang gadis yang memiliki minat kesenia yang sangat luas yaitu Frida Kratz (1898-1979). Minat Gadamer pada filsafat mulai tumbuh ketika dia mengikuti kuliah Eugen Kuhnemann berjudul Explication of Kants Critique of pure reason sebagai pengantar studi sastra Jerman. Gadamer terpukau dengan retorika sang professor, sehingga dia menyimpulkan adanya hubungan puisi dengan filsafat, bahwa di balik retorika yang indah pastilah terdapat substansi filosofis. Petualangan intelektual Gadamer di bidang filsafat dimulai di Universitas Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi tentang Plato. Beberapa bulan setelah lulus ujian disertasi, dia terjangkit polio yang membuat kakinya pincang seumur hidup. Selama dalam perawatan, Gadamer menghabiskan waktu untuk melahap buku-buku utama filsafat, diantaranya karya-karya Kant dan Husserl. Sesembuhnya dari sakit, dia menikahi Frida Kartz. Pernikahan ini menandai lepasnya Gadamer dari bayang-bayang ayahnya, dan mulai saat itu dia akan didampingi oleh seorang istri yang akan merawatnya. Walaupun pada akhirnya pernikahan ini kandas dengan perceraian tahun 1947, akibat perselingkuhan Frida Gadamer dengan sejawatnya, Warner Krauss. Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger tahun 1923 di Universitas Freiburg. Bahkan ketika dilanda krisis ekonomi, Gadamer sempat menumpang di Pondok Heidegger. Pada tahun 1927, Heidegger mengusu lkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya, Gadamer pun diangkat menjadi dosen pada Universitas Marburg.

Pada periode nasional-sosialisme Hitler, Gadamer tidak melibatkan diri dalam kancah politik. Walaupun demikian, ketika pada tahun 1933 muncul anjuran kepada para profesor dan tenaga pengajar di Jerman supaya menandatangani pernyataan dukungan terhadap Hitler, Gadamer tidak menolaknya. Akhirnya, pada tahun 1936, Gadamer diangkat menjadi profesor di bidang filsafat. Selanjutnya, pada tahun 1939, Gadamer dipanggil ke Universitas Leipzig di Jerman Timur untuk diangkat sebagai guru besar penuh. Setelah selesai Perang Dunia II (1945), kota Leipzig termasuk wilayah yang ada di bawah pengawasan Uni Soviet dan dimasukkan ke dalam wilayah Jerman Timur yang komunis. Berkat keuletannya bekerja sebagai guru besar, akhirnya Gadamer diangkat sebagai dekan fakultas filsafat, untuk selanjutnya diangkat sebagai rektor universitas. Di bulan April 1949, dia mendapat undangan dari filosof Karl Jasper untuk menggantikan kedudukannya di Universitas Heidelberg. Gadamer pindah ke Heidelberg tahun 1950, karena telah menduduki posisi professor tetap di kampus ini, dan di tahun inilah dia menikahi Kate Lakesburgh. Gadamer menghabiskan sisa hidupnya di kota Heidelberg dan mencurahkan seluruh energinya untuk kehidupan akademis di Universitas Heidelberg. Gadamer mulai di kenal luas ketika menerbitkan buku Truth and Method tahun 1960, sebuah proyek intelektual yang telah dirintisnya sejak awal tahun 50-an. Ketika pension di tahun 1968, Gadamer sudah mendapat nama internasional. Jean Grondin mengilustrasikan kehidupan Gadamer di usia senjanya sebagai Masa Muda Kedua, karena justru di masa tua inilah dia memperoleh kesempatan untuk mengabdikan diri pada dunia intelektual tanpa harus dihantui oleh kesibukan politik dan urusan rumah tangga. Akan tetapi, Gadamer tidak dapat bertahan lama memegang jabatan tersebut. Karena tekanan rezim komunis sehingga membuat penelitian dipersulit, Gadamer hijrah ke Jerman Barat. Pada tahun 1948, Gadamer bekerja di Frankfurt am Main. Selanjutnya, pada tahun 1949, Gadamer menggantikan posisi Karl Jaspers di Universitas Heidelberg. Akhirnya, Heidelberg menjadi tempat yang kondusif bagi karier Gadamer sampai memasuki masa pensiun pada tahun 1968. Setelah pensiun, Gadamer sering mengisi ceramah di Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa tempat lain. Walaupun telah memasuki usia lanjut, Gadamer tetap sering mengikuti diskusidiskusi filosofis dan termasuk salah seorang filsuf yang paling populer di Jerman.

Sampai wafat pada tanggal 13 Maret 2002 di Rumah Sakit Universitas Heidelberg, Gadamer telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting abad XX, di antaranya Revolusi Bolshevik di Rusia, dua Perang Dunia, terbelahnya Jerman menjadi dua blok, keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989, dan yang paling akhir, peristiwa 11 September 2000. Hanya ada beberapa ringkas catatan dari kehidupan pribadi Gadamer yang sekiranya signifikan bagi pembicaraan hermeneutis, yaitu: 1. Karena proyek utama yang melambungkan nama Gadamer adalah persoalan kebenaran, maka hal ini pastilah mengundang tanya perihal keyakinan religius Gadamer. 2. Minat Gadamer pada ilmu humaniora secara umum agaknya merupakan antitesis dari minat dan keyakinan ayahnya yang begitu ketat bagai an rumus-rumus k kimia dalam mendidik dia. 3. Sebagai seorang pengagum Plato, Gadamer adalah pemikir besar yang enak di ajak bercengkerama. Gadamer sering dipandang oleh para kritikus sebagai seorang yang konservatif, karena sikapnya yang sangat terbuka dalam berdialog, serta berfikir pelan dan hati-hati sambil memerhatikan lontaran lawan bicara. Dari sini dapat dilihat bahwa pemikiran hermeneutis Gadamer dalam Truth and Method memang terwujud ke dalam perilaku sehari-hari.

Perjalanan biografi intelektual Gadamer dapat di belah menjadi dua dengan penerbitan Truth and Method sebagai pemisahnya. Sebelum karya ini d terbitkan, peristiwa penting yang menjadi tonggak perjalanan intelektual Gadamer adalah perselisihan pendapat Gadamer dengan ayahnya. Sebagaimana yan dia katakana g sendiri, bujukan ayahnya justru semakin memperkuat keinginan dia mendalami Geisteswissenschaften di Universitas Breslau dan kemudian di Universitas Marburg. Peristiwa selanjutnya adalah perkenalan dan persahabatannya dengan Heidegger yang berlngsung sekitar tahun 1923-1928. Perkenalan ini di awali sebuah teks yang sampai ke tangan Gadamer melalui profesor Paul Natorp, teks tersebut membahas Aristoteles adalah karya Heidegger yang pada waktu itu menjadi asisten muda Husserl di Freiburg. Gadamer menghabiskan mesim semi tahun 1923 di Freiburg, mengikuti kuliah Husserl dan seminar-seminar Heidegger. Seminar ini membahas tentang Logical Investigation Husserl dan ontology, yang kemudian hari diberi judul The

Hermeneutics of Facticity. Acara liburan serius inilah yang membekali Gadamer dengan landasan dan apresiasi tentang arti penting pemikiran religius dan teologis dalam tradisi filsafat. Kejadian yang paling berkesan bagi Gadamer di pondok Heidegger adalah ucapan perpisahan Heidegger. Di situ, Heidegger mengingatkan para mahasiswanya untuk selalu terjaga (Wachsein) dan menyadari bahwa tugas manusia yang sesungguhnya terletak di antara ketersingkapan dan ketertutupan. Hubungan Gadamer dengan Heidegger rumit, karena mereka adalah murid dan guru sekaligus sahabat, namun pernah tak terjadi tegur sapa selama beberapa tahun. Penyebabnya adalah keterlibatan Heidegger dengan politik Nazi, tetapi setelah Heidegger mengundurkan diri dari jabatan rector Universitas Marburg (1934) mereka berhubungan lagi. Tahun-tahun berikutnya Gadamer terlunta-lunta oleh perang dan suasana pasca perang. Setelah menerima kedudukan sebagai rector Universitas Leipzig, Gadamer merasa tidak nyaman di Leipzig, karena di bawah kekuasaan komunis dan Gadamer melirik tempat lain yaitu Universitas Frankfurt. Namun, tempat ini tidak kondusif untuk mengajar dan meneliti karena itu dia menerima tawaran dari Universitas Heidelberg tahun 1949. Setalah menetap di Heidelberg dia mulai merintis karier profesionalnya dalam filsafat. Di tahun 1948 dia menerjemahkan buku XII Metaphysics karya Aristoteles dan tahun 1949 menyunting karya Dilthey, Sketch of a General History of Philosophy. Di tahun 1953 ia punya kesempatan untuk mendirikan jurnal filsafat bernama Philosophische Rundschau bersama Helmut Kuhn. Menjelang akhir hayatnya di era 1980 dan 1990-an Gadamer lebih memfokuskan pemikirannya pada hubungan hermeneutika dengan filsafat praktis, konsep Phronesis (pengetahuan moral) menjadi model dasar bagi hermeneutika yang di maksudnya. Berdasarkan konsep klasik ini, Gadamer berusaha mengaitkan hermeneutika dengan isu-isu etika dan politik kontemporer dan menandaskan betapa pentingnya suasana persahabatan yang penuh solidaritas di zaman yang penuh dengan barang-barang hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu yang menarik untuk d catat dalam perjalanan karier dan karya-karya intelektual Gadamer adalah yang berkaitan dengan Heidegger. Karya-karya tersebut berisi kenangan serta sejarah intelektual dan filsafat. Walaupun Gadamer juga beralih pada bahasa, seperti halnya Heidegger, namun dia tidak memandang bahasa tradisi filosofis sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan.

Perbedaan pendapat Gadamer dengan gurunya, disebabkan keyakinan Gadamer akan orientasi hermeneutika dalam filsafat. Hermeneutika pasti berkaitan dengan soal memahami orang lain, maka itu tidak akan terlepas dari hal ihwal etis dan politis. Salah satu jalan keluar dari silang sengkarut persoalan etika dan politik kontemporer adalah kembali berkaca pada kearifan yang diajarkan Plato lewat dialog sokratisnya, bahwa bagaimanapun tidak tertutup kemungkinan orang lain (pihak lawan) berada di pihak yang benar.

II. Hermeneutik Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang berarti mengartikan, mengintepretasikan, menafsirkan,

menerjemahkan. Baru dalam abad 17 dan ke 18 istilah ini mulai dipakai untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengerti dan menafsirkan dengan tepat suatu teks dari masa lampau, khususnya kitab suci dan teks-teks klasik. Sedangkan dalam bahasa inggrisnya hermeneutics yang berarti mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata. Dari beberapa makna ini dapat disimpulkan bahwa hermeneutik adalah usaha untuk beralih dari suatu yang relatif gelap kepada sesuatu yang lebih terang atau proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Istilah hermeneutik dalam bahasa Yunani mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal sebagai sebutan mercurius dalam bahasa latin. Tugas hermes adalah menerjemahkan pesan pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. jadi, fungsi hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi umat manusia. oleh karena itu, Hermes harus mampu mengintepretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu, Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Sebetulnya, secara teologis, peran Dewa Hermes dalam mitilogi Yunani bisa dianalogikan dengan peran Nabi utusan Tuhan. Tugas nabi sebagai utusan, sebagai penerang sekaligus penghubung untuk menyampaikan pesan dan atau ajaran dari

Tuhan kepada umat manusia. Dalam mediasi dan proses menyampaikan pesan, yang disandarkan kepada Hermes ini, tercakup dalam 3 (tiga) bentuk makna dasar hermeneuin dan hermenia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk kata kerja hermeneuin, ialah: 1. Mengungkapkan kata-kata, 2. Menjelaskan suatu kondisi, dan 3. Menerjemahkan bahasa Asing. Ketiga makna tadi, bisa diwakili kata kerja bahasa inggris to interpret, yang membentuk makna independen dan signifikan bagi intepretasi. Karena itu, intepretasi mengacu ke 3 (tiga) persoalan berbeda, yaitu: 1. Pengucapan lisan, 2. Penjelasan yang masuk akal, dan 3. Penerjemahan dari bahasa lain. Menurut Komaruddin Hidayat, ada masalah, bagaimana meneruskan maksud Allah yang sesungguhnya kepada manusia. begitu pula, bagaimana menerangkan isi sebuah teks agama kepada manusia yang hidup dalam tempat dan waktu yang jauh berbeda dari pihak penulisnya. Dengan demikian, menurut R. Palmer agaknya tidaklah berlebihan, bahwa hermeneutika adalah studi pemahaman teks. Dan ada 2 (dua) fokus perhatian di sini; yaitu 1) Peristiwa pemahaman teks, dan 2) Persoalan yang mengarah mengenai apa pemahaman dan intepretasi itu. Gadamer menekankan, bahwa mengerti mempunyai struktur lingkaran. Maksudnya, agar seseorang dapat mengerti, maka sudah harus ada pengertian dan untuk mencapai pengertian, haruslah bertolak dari pengertian. Mudahnya, untuk mengerti suatu teks, sebelum itu telah ada pengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu. Tanpa hal tersebut, tidak mungkin seseorang memperoleh pengertian tentang teks tersebut. Jadi dengan membaca teks tersebut, prapengertian terwujud dalam pengertian yang sungguh-sungguh. Proses itulah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutika oleh Heidegger dan Gadamer. Meski begitu, lingkaran sudah terdapat pada taraf yang paling fundamental, yang menandai keberadaan seseorang. Atau, mengerti tentang dunia bisa menjadi mungkin, jika telah ada prapengertian tentang dunia dan diri kita sendiri, yang memungkinkan keberadaan kita.

III. Karya-karya Gadamer Gadamer mempublikasikan karya-karyanya ke dalam berbagai bahasa di dunia. Keseluruhannya telah dikumpulkan pada edisi khusus sebanya 10 jilid Gesammelte

Werke (The Complete Works). Berikut ini akan di jelaskan secara singkat proses penulisan dan penerbitan karya utamanya dan diikuti karya yang lainnya. Truth and Method Truth and Method adalah adikarya Gadamer, karena di dalamnya terangkum pemikiran-pemikiran inti yang telah ia rintis sejak masa perkuliahnya sekaligus menjadi titik acu bagi perkembangan pemikiran kemudian.buku ini berangkat dari pertanyaan epistemologi Geisteswissenschaften, lalu menyusuri wilayah seni, sejarah dan berakhir di analisis tentang bahasa yang berasal dari tradisi barat secara keseluruhan lalu behenti di ontologi universal. Kelahiran Truth and Method terbilang lambat di samping kendala situasi politik dan ekonomi, kendala lain terdapat pada diri Gadamer sendiri, yaitu dia tidak suka menulis. Gadamer memilih judul Wahrheit und Method dengan inspirasi karya Goethe Dichtung und Wahrheit (Poetry and Truth). Tahun 1986, Wahrheit und Method terbit sebagai edisi V sebagai jilid I Gesammelte dan Karya-karya Gadamer lainnya adalah : Dalam bahasa Inggris daftar bibliografi dapat dilihat Etsuro Makitas Gadamer Bibliographie: 1922-1994 (New York: Peter Lang, 1994) dan juga dapat ditemukan dalam Hans-Georg Gadamer: A Biography (New Haven: Yale University, 2004). Karyanya dalam bahasa Jerman adalah Gesammelte Werke 10 vols (Tubingen: Mohr Siebeck, 1986-1995) dan yang belum termuat adalah : 1. 2. 3. 4. Der Anfong der Philosophie. Stuttgart: Reclam, 1996 Das Erbe Europas: Beitrnge. Frankfurt: Suhrkamp, 1989 Uber die Verbongenheit der Gesundheit. Frankfurt: Suhrkamp, 1993 Hermeneutische Entwiirfe. Tubingen: Mohr Siebeck, 2000, dll

IV. Kritik terhadap Gadamer Secara umum, dunia hermeneutik adalah dunia pemahaman atau penafsiran (verstehen). Dalam perkembangannya, metode pemahaman ini dari generasi ke generasi terus berkembang. Pada tingkat awal, dunia hermeneutik dibuka dengan gagasan Schleiermacher dan Dilthey yang biasa dikenal dengan hermeneutika romantis. Dalam pandangan Schleiermacher dan Dilthey, mengerti atau memahami suatu teks adalah menemukan arti asli teks tersebut atau menampilkan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, yakni pikiran, pendapat, visi, perasaan, dan maksud pengarang teks. Oleh karena itu, seorang penafsir harus memiliki pengetahuan yang

luas tentang sejarah dan psikologi. Bagi kedua pemikir perintis hermeneutik ini, interpretasi suatu teks merupakan pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang benar dan genuine dari suatu teks adalah kembali kepada apa yang dihayati dan mau dikatakan oleh sang pengarang. Singkatnya, kerja interpretasi adalah kerja rekonstruksi sebuah teks demi mendulang sebuah makna asli. Selain itu, dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey, seorang interpretator harus sanggup melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah dapat pindah ke zaman lain. Artinya, seorang interpretator tidak boleh terikat dengan suatu horison historis yang melingkupinya. Tegasnya, ia keluar dari situasi dan kondisi zamannya untuk kemudian melancong ke situasi dan kondisi penulis teks. Walaupun Gadamer termasuk pengagum Schleiermacher dan Dilthey, dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi Gadamer juga banyak memberikan kritik terhadap pemikiran dua tokoh romantik ini. Pertama, Gadamer keberatan dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menerangkan bahwa hermeneutik bertugas menemukan makna asli sebuah teks. Menurut Gadamer, interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Bagi Gadamer, arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tersebut. Karena itu, interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif. Kedua, Gadamer juga mengkritik pendapat hermeneutika romantis tentang waktu, yakni bahwa seorang interpretator harus dapat melepaskan diri dari dimensi waktu yang melingkupinya dan berziarah ke dimensi waktu pengarang teks. Menurut Gadamer, kita sebagai interpretator tidak dapat melepaskan diri dari situasi historis di mana kita berada. Arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau waktu teks tersebut ditulis, tetapi juga mempunyai keterbukaan makna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, memahami dan menginterpretasikan suatu teks merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai. Setiap zaman memiliki beban tugas untuk menginterpretasikan suatu teks. Ketiga, Gadamer juga mengkritik secara tajam konsep tradisi dan prasangka yang digagas para pengusung hermeneutika romantis. Menurut tradisi hermeneutika romantis, dalam menafsirkan suatu teks, prasangka harus dihindarkan jauh-jauh. Menurut para pemikir hermeneutika romantis, prasangka (prejudice) hanya memiliki arti kurang baik dan bertentangan dengan kebenaran. Gadamer

menolak pandangan ini. Menurut Gadamer, dalam memahami suatu teks, kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Akan tetapi, bukan berarti interpretasi menjadi suatu usaha yang subjektif dan tidak kritis. Oleh karena itu, kita harus membedakan antara prasangka yang legitim dan prasangka yang tidak legitim, serta antara prasangka yang sah dan prasangka yang tidak sah. Demikian pula, sementara hermeneutika romantis menafikan otoritas suatu tradisi, Gadamer justru

mengakuinya. Menurut Gadamer, walaupun kita mengakui otoritas suatu tradisi dan bahkan menjadi bagian dari tradisi, tetapi hal itu tidak akan menghambat pengenalan kita terhadap suatu teks. Sebaliknya, tradisi justru akan membantu kita dalam proses pemahaman. Selain mengkritisi beberapa konsep hermeneutika romantis yang digagas oleh Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer juga mengkritik epistemologi hermeneutika romantis yang cenderung metodologis. Yakni, bahwa ilmu pengetahuan apa pun baru diakui sebagai ilmiah jika memiliki basis empirisme. Dengan pola pikir ini, hermeneutika menjadi bagian dari alam positivisme yang mensyaratkan

objektivisme. Oleh karena itu, model hermeneutik yang diusung oleh Schleiermacher dan Dilthey, juga Betti, ini sering juga disebut hermeneutika objektivis. Pandangan ini dibantah oleh Gadamer. Gadamer berpendapat bahwa upaya objektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapa pun yang akan menafsirkan sebuah teks. Sebab, jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan lagi. Selain itu, penafsir juga tidak dapat dikosongkan dari pengaruh kulturalnya. Oleh karena itu, menurut Gadamer, upaya objektivisme murni dalam hermeneutik hanya akan menjadi kesia-siaan. Hal yang mungkin dilakukan adalah memproduksi makna yang dikandung oleh teks sehingga teks tersebut akan menjadi lebih kaya makna. Gadamer menegaskan bahwa jurang waktu dan jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan. Menurutnya, yang terpenting adalah dialektika atau dialog yang produktif antara masa lalu dan masa kini.

Anda mungkin juga menyukai