Anda di halaman 1dari 17

HERMENEUTIKA TEOLOGIS RUDOLP BULTMANN

MAKALAH

Disampaikan dalam Forum Seminar Kelas


Mata kuliah Hermeneutika
Semester III Program Pascasarjana Tahun Akademik 2014 – 2015

Oleh :

NURDIN
NIM. 80100213100

Dosen Pemandu :
Prof. Dr. H. Moch. Qasim Mathar, MA
Dr. Muhammad Sabri, AR, MA

PROGRAM SARJANA (S2)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2014
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Istilah hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermencuein yang berarti
menafsirkan, dan kata bendanya adalah hermeneia yang berarti “tafsiran”. 1
Menurut Heidegger, kata hermeneutika itu menunjuk pada (mitos) dewa Hermes
yang menjadi perantara para dewa di gunung Olympus dan bertugas membawa
berita kepada umat manusia sekaligus nasib yang bakal ditempuh manusia.
Hermes harus menyampaikan bahasa langit ke dalam bahasa bumi tersebut
sedemikian rupa agar dapat dimengerti manusia dalam bahasa bumi. Oleh karena
itu, Hermes tidak sekedar menyampaikan pesan, namun juga terlebih dahulu harus
melakukan proses memahami, menerjemahkan dan akhirnya menerangkan kepada
manusia2. Dari pendekatan epistemologis ini, hermeneutik menunjuk pada tindak
pemahaman interpretatif dan menjadi semacam penghubung dari dua dunia yang
berbeda. Karena hal itu, maka mau tidak mau hermeneutik harus juga bergulat
dengan permasalahan bahasa, sebab hanya bahasa yang bisa jadi jembatan dua
dunia berbeda itu. Bahasa di sini menjadi mediasi proses pemahaman.
Permasalahan seperti ini juga berlaku dalam pendekatan hermeneutik sistematik
di mana penafsir dengan dunianya sekarang berhadapan dengan teks dari dunia
masa lampau.
Josef Bleicher membelah hermeneutik menjadi tiga tipe, yaitu teori
hermeneutik, filsafat hermeneutik dan hermeneutika kritis. Teori hermeneutik
menfokuskan diri dalam metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan, filsafat
hermeneutik menelusuri status ontologis dari memahami itu sendiri, sedangkan
hermeneutika kritis lebih menekankan penyelidikannya dengan membuka
selubung-selubung penyebab adanya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi
yang berlangsung dalam interaksi kehidupan sehari-hari3. Dalam penggolongan
Bleicher ini, Rudolf Bultmann dapat ditempatkan sebagai tokoh hermeneutik.
Selain itu, ia terkenal sebagai seorang teolog, ahli filsafat, ahli Perjanjian Baru,
historisikus, ahli bahasa, ahli Kristen mashur yang mempunyai pengaruh kuat di
antara pemikir-pemikir lain sejak perang dunia pertama.

1
http://amrinarose13.blogspot.com/2013/03/hermeneutika-dan-teori-kritis.html?m=1.
Diakses pada tanggal 6 Nopember 2014
2
Yulius Widiantoro, Pergeseran Ontologis Berpedomankan Bahasa, dalam Majalah
Filsafat Driyarkara, Th. XX no.3. 1993/1994, hlm.11.
3
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics as Method, Philosophy
and Critique, Routledge and Kegan Paul, 1980, hlm. 1-5.

2
Rudolp Bultmann ingin menyampaikan kepada kita bahwa ada
kecenderungan manusia sulit menerima pandangan sitologis bahwa Allah telah
bertindak di dalam Kristus untuk membebaskan manusia. Sekalipun manusia
masih percaya pada Allah, namun pemikiran dan bahasa yang bersifat mistis tidak
bisa mereka terima. Melihat gejala ini, maka dibutuhkan suatu cara yang tepat
untuk menjelaskan kepada orang modern apa yang mau dikatakan Alkitab
sehingga mereka dapat menerima berita Alkitab dan pada akhirnya dapat
berbicara tentang Allah secara wajar. Bultmann mengusulkan suatu metode
hermeneutis yang disebut demitologisasi. Demitologisasi adalah suatu alat
penafsiran yang dapat digunakan untuk menemukan arti terdalam dari alkitab bagi
orang-orang modern supaya mereka dapat memahami berita alkitab dalam konteks
mereka sendiri4.

B. Rumusan Masalah
Dari pendahuluan diatas, maka lahirlah rumusan masalah sebagai berikut :
1. Biografi Singkat Rudolp Bultman?
2. Bagaimana Pandangan Rudolp Bultman tentang Hermeneutika
Teologis?

4
http://sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/nim/01890999. diakses pada tanggal 6
Nopember 2014

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Sejarah Hidup Rudolp Bultman


Rudolf Karl Bultmann lahir di Wiefelstede, Oldenberg, Jerman, pada tanggal
20 Agustus 18845, sebagai anak pertama dari keluarga dengan latar belakang
religius yang kuat, dari pasangan pendeta Evangelist-Lutheran. Ayahnya bernama
Arthur Bultmann dan ibunya Helena. Kota Wiefelstede merupakan kenangan
termesra dalam hidupnya, di mana ia menghabiskan masa kecilnya yang manis di
situ, sebelum kemudian melanjutkan di sekolah menengah (1892-1895), dan
Gymnasium Oldenberg (1895-1903). Di sekolah yang disebut terakhir, yaitu
Gymnasium Oldenberg itulah ia bertemu dan berteman dengan Karl Jaspers, yang
membawa perubahan kuat pada jiwanya sehingga ia terpikat pada disiplin studi
agama, bahasa dan sejarah kesusastraan Yunani. Studi Teologi dan Filsafat
dijalaninya di Universitas Tubingen, Berlin, dan di Marburg. Gelar doktoral
Bultmann diperoleh tahun 1912 saat ia berusia 28 tahun dengan disertasi
berjudul “Die Exegese des Theodor von Mopsuestia”. Karir akademisnya dimulai
tahun 1916 ketika ia diangkat menjadi guru besar luar biasa di Brelau dan di
Glessen. Mulai tahun 1921, ia menjadi guru besar di Marburg dengan spesialisasi
bidang Perjanjian Baru dan sejarah Kristen kuno. Sekitar tahun 1924-1925, ia
bertemu dengan Paul Tillich dan Martin Heidegger yang sedang menulis buku
monumentalnya “Sein und Zeit”. Pertemuan dengan Tillich dan Heidegger inilah
yang kelak memberi pengaruh kuat terhadap alur pemikiran dan teologinya6.

B. Hermeneutika – Teologis: Persoalan Memahami Alkitab


Permasalahan yang ingin ditelusuri lebih mendalam oleh Rudolp Bultmann,
menyangkut soal-soal yang berkaitan dengan hermeneutika-teologisnya, yaitu
hermeneutika yang dihubungkan dengan Alkitab. Alkitab sebagai
kesaksian/dokumen pernyataan/wahyu ilahi ternyata bersifat historis – terikat
waktu dan tempat. Sekarang ini adalah abad 21, sementara wahyu ilahi (Alkitab)
telah berjalan berabad-abad dan terpusat pada Kristus yang diabadikan dalam
Alkitab kurang lebih 21 abad yang lalu. Persoalannya adalah bagaimana suatu
dokumen yang sifatnya historis itu bisa memiliki arti yang signifikan bagi
masyarakat sekarang? Bagaimana Alkitab itu masih dapat berfungsi dengan baik
sabdanya? Ilmu Teologi tak ada gunanya kalau hanya merumuskan hal itu-itu saja
yang hanya terjadi di masa lalu. Ilmu Teologi hanya berguna jika berhasil
menjadikan umat yang hidup masa sekarang juga disapa oleh Allah sebagaimana

5
Brown, Colin., Philosophy and Christian Faith, Inter Varsity Press, Illinois, 1996, hlm. 186.
6
J.I. CH. Abineno, Rudolf Bultmann dan Theologinya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1989,
hlm. 3.

4
yang terjadi di masa lalu. Persoalan ini disebut penghadiran Alkitab. Bagaimana
caranya supaya wahyu ilahi yang terjadi di masa lalu itu dapat dipindahkan,
diangkut ke masa sekarang, sehingga wahyu itu dapat berarti bagi kita? Inilah
tugas utama ilmu teologi, yaitu memindahkan/mengangkut kesaksian Alkitab
tentang wahyu ilahi dari masa dahulu ke masa sekarang. Tugas ini mengandung
dua gagasan, yaitu; pertama, berita Alkitab harus dibawa menyeberang, artinya
ilmu teologi harus benar-benar mengangkut berita itu dari seberang sana (masa
dahulu) ke seberang sini (masa sekarang). Kedua, Berita Alkitab seluruhnya
(tanpa ada yang tercecer) harus benar-benar dapat diseberangkan7. Tetapi ilmu
teologi dalam kenyatannya tidak mampu berjalan sendirian dalam upayanya
menyeberangkan berita Alkitab. Ilmu teologi butuh kawan yang berfungsi sebagai
jembatan. Jembatan ini tiada lain adalah hermeneutika, yang direntangkan di
antara ayat-ayat Alkitab di satu sisi, dan keterangan-keterangan yang setiap kali
diberikan guna menjelaskan ayat-ayat itu di sisi lainnya. Maka masa lalu dengan
masa sekarang dapat dihubungkan. 8 Bultmann membawa persoalan ini ke
wilayah eksistensial. Penganalisaan Heidegger tentang Dasein dijadikan senjata
analisis-metodis untuk membidik hal-hal yang dirasa penting dalam menafsirkan
Alkitab.9

C. Setting Sosio-Kultural Munculnya Hermeneutika Rudolp Bultman


Dalam merumuskan teologinya, gereja tradisional mengadopsi
pengertian-pengertian yang diambil dari filsafat Yunani. Tindakan ini
mengakibatkan wahyu Allah dipandang sebagai alam tersendiri, terpisah dengan
historisitas yang berjalan di dunia. Wilayah Tuhan sangat eksklusif dengan
kepercayaan bahwa wahyu Allah (Alkitab) tidak dapat dikalahkan oleh
hukum-hukum alam10, misalnya seperangkat teori ilmiah, Fisika, Kimia, Biologi,
dstnya. Pandangan ini dikenal dengan sebutan pandangan Supranaturalis atau

7
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad XX, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993,
hlm. 2
8
Frei, Hans W., The Eclipse of Biblical Narrative; A Study in Eighteenth and Nineteenth
Century Hermeneutics, Yale University Press, New Haven and London, 1974. Terutama pada sub
bab “The Gospel Story and the Hermeneutics of Mediating Theology”, hlm. 124-130.
9
Rudolf Bultmannn secara apriori menolak anggapan adanya kuasa “alam atas” terhadap
“alam bawah” dengan alasan bahwa hlm itu tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan modern
mengenai dunia. Kritik Bultmann didasarkan pada penerimaan mereka terhadap pandangan bahwa
secara ilmu pengetahuan, dunia merupakan sistem tertutup, suatu anggapan yang makin tidak
disetujui bahkan dalam dunia pengetahuan sendiri. Untuk lebih jelasnya lihat Henderson I., Myth
in the New Testament, SCM, London, 1952, hlm. 54.
10
. Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad XX, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993,
hlm. 60

5
Supra-alami, yang menyebabkan terjadinya “dualisme kosmis”, yaitu adanya dua
alam yang saling berhadap-hadapan, dan yang satu merupakan subordinasi yang
lain (alam atas – alam bawah, alam rohani – alam jasmani, alam ilahi – alam
insani).11
Akan tetapi, sekarang adalah zaman modern. Reformasi di bidang teologi
membuat pandangan Supranaturalis goyah karena digoyang-goyang oleh
“interpretasi historis” yang melahirkan metode “historis kritis”, dan dengan
demikian, kini sejarahlah yang menjadi penentu nasib teologi. Pemikiran historis
kritis ini memiliki kerangka sistematis dengan kekuatan radikal dan universal
sebab proses sekularisasi dunia modern sudah mendapatkan bentuk dan berurat
akar. Inti sekularisasi adalah: bahwa gagasan “alam atas” (langit) yang masuk dan
ikut campur di “alam bawah” (bumi) dipandang sudah tidak berlaku lagi12. Kini
hanya ada satu landasan, yaitu bumi.
Pemikiran historis kritis telah mendesak pandangan metafisis. Tiap bentuk
yang bersifat supranaturalis tidak mendapat tempat lagi: “Supranaturalis sudah
habis”. Segala peristiwa dipercaya terjadi hanya di dalam proses “historis”. Semua
yang metafisik telah terbunuh. Akibatnya, wahyu ilahi hanya merupakan satu
gejala historis dalam batas-batas pemberi alas religi. Alkitab turun posisinya dari
wahyu Allah menjadi sekedar naskah yang disusun oleh manusia. Karena disusun
manusia, maka Alkitab diterangkan dengan cara sama seperti menjelaskan
naskah-naskah bikinan manusia lainnya[12]. Inilah lonceng kematian bagi agama.
Serangan paling berat dari kritik historis ini sudah merampas “percaya” (glauben)
dari asas-asasnya. Ilmu teologi tidak bisa menghindar dari pergumulan keras ini
sebab sejarah memang berjalan, berputar dan berlangsung, sehingga pemikiran
historis kritis tidak dapat ditiadakan.
Setting sosio-kultural di atas mendorong Rudolf Bultmann (1884-1976)
melakukan upaya untuk menjadikan Alkitab agar dapat dimengerti secara utuh
(verstehen). Bultmann berusaha menemukan kembali ketuhanan Allah yang
“hilang”. Allah itu Tuhan dan bukan manusia, hanya dari dirinya sendiri manusia
dapat mengenal Allah. Iman (glauben) ialah jawaban atas firman Allah yang
disabdakan pada manusia13.
Bahan dan materi yang digunakan Bultmann untuk menyususn teologinya

11
Lihat Bultmann, Rudolf., Jesus Christ and Mythology, SCM, London, 1960, hlm. 15. Di
sini Bultmann mengatakan, “Seluruh konsepsi mengenai dunia yang diterima sebagai kebenaran
dalam ajaran Yesus sebagaimana juga terdapat dalam Perjanjian Baru pada umumnya adalah
bersifat mitologis,……. Khususnya mengenai campur tangan Tuhan dalam kehidupan rohani
manusia”.
12
Bdk. Johnson, Roger D., Rudolf Bultmann: Interpreting Faith for The Modern Era, Collins,
London, 1987, Hlm. 153.
13
Harun Hadiwijono,…., hlm. 61.

6
berupa: (1) Kritik historis dari teologi liberal, (2) pengarahan kepada firman dan
iman di dalam teologi dialektis, (3) ajaran reformatoris tentang pembenaran dan (4)
filsafat eksistensi Martin Heidegger, bahkan bisa dikatakan bahwa metode
Bultmann merupakan pengaplikasian pikiran-pikiran eksistensial brillian Dasein
(substansi dan temporalitas) Heidegger.14 Semuanya dimasak dalam dapur “Being
and Time” secara konsekuen dan sistematis menjadi sesuatu yang baru dan
memiliki cirinya sendiri. Tujuannya adalah sebagai pemberi arah pada soal
percaya (glauben) dan mengerti (verstehen)15. Hal ini berarti bahwa Bultmann
masih mendasarkan teologinya pada teologi dialektis, meskipun di sisi lain ia juga
mengembangkan teologi liberal pada pemikiran historis kritis.16
Percaya menurut Bultmann bukan berarti secara membabi buta menyerahkan
diri bulat-bulat pada dogma-dogma dengan menerima begitu saja hal-hal yang
tidak masuk akal. Suatu keputusan “percaya” (glauben) yang sebenarnya hanya
dapat diambil jika orang tersebut “mengerti” (verstehen) akan keputusannya.
Glauben (percaya) harus berdampingan dengan verstehen (mengerti). Kritik yang
muncul dari para filsuf adalah: Mengapa harus ada “percaya”? Bagi Bultmann,
kepercayaan adalah sarana perealisasian kehidupan nyata dari tanggung jawab diri.
Dengan begitu ia menepis anggapan dari para filsuf yang berasumsi bahwa
Perjanjian Baru sama dengan teks-teks lainnya yang bebas ditafsiri seapapun
bentuknya17.

D. Hermeneutika-Teologis Rudolp Bultman

1. Proyek Demitologisasi (Demythologizing)


Ceramah Bultmann tentang “New Testament and Mythology” yang
dilemparkan ke publik tahun 1941 membeberbentangkan gagasannya tentang
demitologisasi (demythologizing) Perjanjian Baru mampu memercikkan api
perdebatan yang hangat. Ada yang setuju dan ada juga yang habis-habisan
menentangnya. Uraian Bultmann tentang demitologisasi dapat dikatakan sebagai
titik didih pemikirannya18.

14
Bleicher, Josef., Contemporary Hermeneutics;…, hlm. 105.
15
Harun Hadiwijono, Teologi…, hlm. 61. Lihat juga Johnson, Roger D., Rudolf Bultmann:
Interpreting,…, hlm. 137.
16
Dibandingkan dengan Karl Barth begitu saja membuang teologi yang telah diterima
dimasa mudanya, Bultmann merasa wajib mempertahankannya. Untuk menilai tipikal teologi
Barth lebih jelas lihat Barth, Karl., The Faith of Church, Fontana, London, 1958.
17
Brown, Colin., Philosophy and Christian Faith……, hlm. 188. Sedangkan salah satu
filsuf yang mengumumkan bebas ditafsirinya sebuah teks sebagaimana teks-teks lainnya adalah
Paul Feyerabend lewat gagasannya tentang “anything goes” (prinsip apa-apa boleh)
18
Palmer, Richard E., Hermeneutics; Interpretation Theory,…, hlm. 48.

7
Bultmann membentangkan uraian tentang demitologisasi sebagai upaya untuk
memberi arahan soal “percaya” dan “mengerti” akan berita Kristiani dalam kaca
mata pemikiran zaman modern. Ia mau menjadikan Alkitab dapat dimengerti dan
dipercaya oleh manusia modern, sehingga mereka dapat mendengar sabda Allah
di dalamnya, karena Bultmann melihat ada pembungkus yang menutupi firman
Allah sehingga manusia modern sulit untuk mempercayainya. Pembungkus itu
adalah jarak/pembedaan yang tajam antara gambaran “dunia Perjanjian Baru” dan
gambaran “dunia manusia modern”.
Menurut Bultmann, gambaran tentang dunia yang dilukiskan Perjanjian Baru
bersifat mitologis, dan itu bertentangan dengan pandangan manusia modern yang
rasional dan positivistik. Dunia dalam Perjanjian Baru dibagi dalam tiga tingkatan,
yaitu sorga (bagian atas), bumi (bagian tengah, tempat manusia sekarang berada)
dan neraka (bagian bawah)19. Mite-mite akrab ditemukan dalam Perjanjian Baru.
Kejadian penyelamatan juga diuraikan Perjanjian Baru dalam bentuk mitis;
Kristus dianggap sebagai tokoh ilahi yang telah ada sebelum dilahirkan, yang
kemudian mewujud dalam bentuk manusia yang memunculkan mukjizat-mukjizat
dengan menyembuhkan orang buta, orang yang kerasukan setan, menghidupkan
orang mati, yang disalibkan sebagai penebus, serta dinaikkan ke surga dan akan
datang kembali di akhir zaman20. Semua itu diambil dari apokaliptik Yahudi
mutakhir dan dari mite penyelamatan gnostik.21 Segala yang digambarkan itu
menjadikan Perjanjian Baru sulit dipercaya oleh orang modern yang mendasarkan
pengertian pada ilmu pengetahuan dan teknik. Bultmann terus-menerus berteriak
bahwa pengetahuan manusia modern tentang listrik, televisi, radio, kedokteran
dan sebagainya tidak dapat disambungkan dengan kepercayaan akan roh-roh,
setan dan mitos-mitos lainnya22.
Bagi Bultmann, persoalan pokoknya adalah apakah kebenaran Perjanjian Baru
sedemikian hakiki dikaitkan dengan gambaran mitologisnya? Padahal mitologi
sudah tidak berlaku lagi di masa sekarang. Kalau kebenaran Perjanjian Baru harus
masih berlaku di masa sekarang bagaimana caranya? Inilah masalah inti yang
menurut Bultmann mesti dipecahkan dalam penafsiran Perjanjian Baru.
Rancangan Bultmann tentang proyek demitologisasi bertujuan untuk

19
Bultmann, Rudolf., Jesus Christ and Mythology,……, hlm. 15.

20
Penjelasan lebih rinci pandangan Bultmann mengenai kebangkitan dan penebusan lihat
Brown, Colin., Philosophy and Christian…., hlm. 188. Lihat juga Donald Guthrie, Teologi
Perjanjian Baru, Jilid ke I, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995, 435-436.
21
Bultmann, Rudolf, Theology of New Testament, SCM, London, 1956, hlm. 172-173.
Meskipun demikian, ia ia tidak memberikan bobot yang cukup pada adanya fakta bahwa
kepercayaan akan kekuatan-kekuatan rohani sudah dipegang dalam kalangan Yudaisme.
22
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris…, hlm. 63.

8
menerjemahkan “bahasa mitos manusia masa lalu” ke dalam “bahasa manusia
modern” agar bisa dipahami secara komprehensif. Inilah yang dikembangkan
lebih lanjut dalam apa yang disebutnya sebagai theology hermeneutics23, di mana
kategori mitos harus dirubah menjadi kategori eksistensial. Dengan begitu,
menurut Bultmann, akan tampak nantinya kategori antara bahasa valid dan bahasa
invalid24.
Ada cara atau metode menerangkan yang harus ditolak, yaitu cara
menerangkan dengan “metode reduksi” (pengurangan) 25 . Reduksi menurut
Bultmann adalah pengurangan berita-berita Perjanjian Baru yang dilakukan oleh
teologi liberal disesuaikan dengan ide-ide keamanan dan kesusilaan, atau suatu
religiusitas yang bercorak mistis26. Akibatnya pesan-pesan Allah yang ada di
dalamnya tercecer, tidak terangkut semuanya.
Menurut Bultmann, metode reduksi itu tidaklah tepat, sebab Perjanjian Baru
memberitakan suatu kejadian di mana Allah merealisasikan keselamatan dunia.
Keselamatan dunia. Kejadian itu dihubungkan dengan pribadi Yesus yang
historis27. Pribadi Yesus sendiri itulah kejadian penyelamatan yang menentukan.
Metode reduksi (pengurangan) tidaklah cukup untuk menolong Perjanjian Baru di
masa sekarang. Gambaran mitologis tidak mungkin diterima sebab bertentangan
dengan pandangan manusia modern. Oleh karena itu Perjanjian Baru harus
dikupas mitologinya. Inilah yang disebut Bultmann sebagai proyek demitologisasi
(demythologizing) 28 . Pengupasan mitologi ini sangat penting artinya sebab
gambaran manusia sekarang sudah berubah. Selain itu, gambaran manusia modern
tentang dirinya sendiri juga berubah. Akhirnya pengupasan mitologi itu harus
dilakukan demi substansi mitos itu sendiri.

23
John Painter, Theology as Hermeneutics: Rudolf Bultmann’s Interpretation of The History
of Jesus, Almond Press, Sheffield, 1987, hlm. 13.
24
Bleicher,… hlm. 105.
25
Metode reduksi yang ditolak Bultmann tidak sama dengan metode reduksi (epokhe)
Edmund Husserl dalam fenomenologinya. Bagi Husserl, reduksi adalah penyisihan untuk
sementara waktu / penempatan dalam tanda kurung segala pra-anggapan yang ada tentang objek
sebelum mengerti objek secara utuh. Ada tiga tahapan reduksi menurut Husserl, reduksi
Fenomenologis, reduksi Eidetis dan reduksi Transendental. Lihat buku-buku tentang Husserl
seperti; Natanson, Edmund Husserl, Philosopher of Infinite Task, Evanston, 1973, Sokolowski,
The Formation of Husserl’s Concept of Constitution, The Hague, 1964.
26
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris…, hlm 64.
27
Analisa Heidegger dalam Being and Time (1960) di sini mulai tampak digunakan
Bultmann. Yesus ternyata tidak hanya ber-ada sebagai “substansi” tetapi juga ternyata juga
merupakan “temporalitas” (ada dalam sejarah – menyejarah).
28
Bleicher, Josef., Contemporary Hermeneuitcs,…., hlm. 104-105, Harun Hadiwijono,
Teologi Reformatoris abad XX,… hlm. 64-65.

9
Dalam demitologisasi-nya, Bultmann bukan secara kritis meniadakan
mite-mite yang ada, melainkan untuk menginterpretasikan mite-mite itu secara
eksistensial. Demitoligasasi bukan untuk membuang isi Alkitab melainkan untuk
mengupas kulitnya, mengupas gambaran dunianya yang sudah tidak laku. Hal ini
bukan berarti menyisihkan mite, melainkan mengeluarkan arti yang terkandung di
bawahnya. Jadi proyek demitologisasi bukan metode pengurangan, melainkan
metode hermeneutik, metode interpretasi, yaitu interpretasi eksistensial29.
Pandangan Bultmann tentang pengupasan mitologi (demitologisasi) ini sering
dimengerti keliru oleh banyak orang, bahkan ia sering dituduh menghancurkan
unsur-unsur mitis dalam Alkitab. Padahal bagi Bultmann, demitologisasi bukan
menghapus mitos-mitos Alkitab, tetapi bertujuan untuk menemukan the original
dan the saving meaning, sekaligus menolak the shallow literalism manusia
modern. Dengan demikian, demitologisasi bukan untuk membakar hancur the
mithical symbol, melainkan lebih merupakan window to sacred, untuk
menemukan makna yang tersembunyi yang dimaksudkan oleh Allah. Inilah yang
disebut Bultmann sebagai “hermeneutical project in existential interpretation”30.
Berkenaan dengan interpretasi eksistensial, hal pertama yang perlu dilakukan
adalah “pandangan tentang eksistensi” yang terkandung alam ungkapan-ungkapan
berbau mitologis. Untuk keperluan ini, mite-mite harus didekati secara
historis-kritis.

2. Sejarah dan Eksistensial


Ahli-ahli sejarah modern selalu berdebat tentang pendekatan objektif pada
sejarah, maka setiap ahli teologi mau tidak mau harus juga bergumul dengan
tantangan ini. Seorang ahli sejarah kritis tak bakal menerima begitu saja uraian
sejarah yang ditulis orang, tetapi akan melakukan penyelidikan sendiri sampai
dirinya menjadi bagian dari sejarah itu. Bagaimana dengan Alkitab? Alkitab tidak
bisa semata-mata diterima sebagai sejarah, karena “percaya” (keyakinan) akan
kebenaran isinya ikut bermain dalam pra-anggapan penafsir Alkitab. Sejarah itu
memang lebih dari apa yang terdapat dalam pikiran ahli sejarah. Tugas ahli
sejarah ialah menyelidiki fakta-fakta, bukan malahan menciptakannya. Sebaliknya,
tata bangun seorang teolog sangat tergantung pada anggapannya mengenai ajaran
Yesus yang tercatat dalam Alkitab. Para rasul memang bukanlah pengamat sejarah
yang objektif, tetapi mereka meyakini apa-apa yang mereka tulis adalah
fakta-fakta yang terpercaya31.
Pandangan khusus di atas merupakan pandangan yang cocok bagi filsafat
eksistensialis. Jika ahli sejarah modern menghadapi naskahnya dengan keyakinan

29
Bleicher,…, hlm. 105-106, Harun,…, hlm. 65.
30
Roger A. Johnson, Rudolf Bultmann…, hlm. 137.
31
Gutrie, Donald., Teologi Perjanjian Baru, Jilid 3, … hlm. 372.

10
bahwa ia harus menjadi bagian dari sejarah yang ia pelajari, maka sikap demikian
itu cocok sekali dengan tuntutan eksistensialis dalam memahami Alkitab yang
sedang digelutinya. Menurut Bultmann, seorang ahli sejarah menghadapi bahan
penyelidikan dengan cara yang berbeda dengan tata cara ilmuwan32. Ia berasumsi
bahwa ilmuwan tidak melibatkan anggapan pribadinya, sedangkan ahli sejarah
bertindak sebaliknya. Tetapi pandangan ini tentu saja dapat disangkal karena
seorang ilmuwan tidak dapat menghadapi bahan-bahannya tanpa pra-anggapan.
Jika pra-anggapannya keliru, maka penyelidikannya tidak berhasil dan
pra-anggapannya menjadi runtuh. Tetapi yang pasti, tak seorang ilmuwan pun
yang belajar dengan akal budi yang kosong.
Dalam penjelasannya mengenai pendekatan tentang pandangan
eksistensialisnya untuk menggarap bidang sejarah, Bultmann berkata tentang
berdialog dengan sejarah. Ia mau mengatakan bahwa ketika ahli sejarah menekuni
bacaan tentang Yesus, maka ia mencapai “keberadaan” dengan menghadapi
riwayat itu sampai menjadi bagian dari dirinya sendiri. Dialog dengan sejarah
hanya mungkin terjadi kalau terjadi pemahaman penuh tentang latar belakang.
Akan tetapi tak ada ahli sejarah yang masa kini yang dapat menembus keterangan
psikologis untuk memahami latar belakang abad pertama itu. Bultmann
mengatakan itu sebagai hal yang mustahil, dan ini berarti bahwa dialog dengan
sejarah berarti “subyektif”33. Lagi pula apa yang dapat diketahui tentang Yesus,
selain hanya warisan dari sejarah alam pikiran Kristen mula-mula yang sampai
pada manusia sekarang, bukan sejarah tentang peristiwa yang benar-benar terjadi,
dijalani dan ditempuh 34 . Bahkan menurut Bultmann, ungkapan Yesus yang
benar-benar asli dalam Perjanjian Baru tidak lebih dari empat puluh buah.
Bagaimana cara menentukan isi yang asli dan tidak asli? Menurut Bultmann
jawabannya terletak pada apa yang disebutnya sebagai “hukum tradisi”.
Pra-anggapannya adalah bahwa ada hukum tradisi itu, artinya bahwa setiap kali
unsur tardisi diturunkan, polanya selalu sama. Bagi Bultmann, ini berarti bahwa
ciri perkembangan tradisi yang paling khas adalah unsur peminjaman. Asumsi ini
yang membuat Bultmann mengeluarkan “hukum ketidaksamaan”-nya, yang
merumuskan bahwa jika sesuatu dalam Perjanjian Baru ditemukan padanannya
dengan kepustakaan Kristen atau Yahudi pada waktu itu, maka isi Perjanjian Baru
tersebut pasti meminjam dari sumber itu.

32
Blecher, Josef., Contemporary Hermeneutics…, hlm. 105.
33
Palmer, Richard E., Hermeneutics, Interpretation Theory,…., hlm. 51.
34
Brown, Colin, Philosophy and Christian Faith…, hlm. 189.

11
3. Interpretasi Eksistensial
Terdapat dua cara bereksistensi bagi manusia yang diterangkan Perjanjian
Baru, yaitu sebagai orang yang “percaya” (beriman) dan “tidak percaya” (tidak
beriman). Antara orang yang percaya dan tidak percaya, kedua-duanya sama-sama
mengarahkan pandangannya ke depan35. Mereka sama-sama ingin mencapai
keadaan yang sebenarnya. Akibatnya keduanya menyejarah. Orang yang tidak
beriman menghabiskan apa yang mereka dapati dalam hidup di dunia ini. Mereka
menggapai keadaan dengan cara mereka sendiri dan menciptakannya sendiri.
Mereka ingin mengamankan hidup mereka tanpa pertolongan kuasa lain dan
bermasyarakat dengan ide-ide kesusilaan mereka sendiri. Akibatnya, tak ada lagi
ruang tersisa buat Tuhan dan mereka tersesat karena membanggakan diri sendiri.
Sedangkan orang yang percaya bereksistensi di dalam iman, melepaskan segala
kepastian yang ada dan bersikap kritis terhadap dunia. Ia mengenakan Allah,
karena itu ia bebas lepas dari unsur-unsur duniawi. Sikap ini bukan tanpa
penduniawian, melainkan memandang dirinya sebagai pihak yang menerima.
Maka sekalipun ia memiliki dunia ia bersikap seperti orang yang tidak
memilikinya36. Inilah sikap yang sebenarnya dalam menyikapi hidup.
Hal yang penting adalah bahwa manusia akan dapat mengetahui situasi yang
sebenarnya bila ia dapat dibebaskan dari dirinya sendiri (dari khayalan tentang
dirinya sendiri). Menurut Bultmann, dalam karya Allah (Alkitab) itu unsur
mitologi37 dan unsur historis dicampur dengan cara yang sangat luar biasa sekali,
misalnya tokoh mitis tentang anak Allah itu sekaligus dipandang sebagai manusia
tertentu dalam sejarah. Percampuran sejarah dan mitologi inilah yang menjadi
anak kunci bagi interpretasi pengupasan mitologi.
Maksud Perjanjian Baru dengan uraiannya yang bersifat mitologis itu untuk

35
Dalam buku Heidegger, Being and Time, banyak ditemukan istilah yang digunakan untuk
menyebut manusia sebagai Dasein. Dasein selalu dikaitkan dengan kepadatan kerangka waktu
(temporalitas): yang lampau sebagai Befindlichkeit, sekarang sebagai Rede dan yang akan datang
sebagai Verstehen. Dalam setiap kepadatan waktu ditemukan kerangka waktu yang tidak menentu
(chaos). Manusia autentik, yaitu Dasein, memiliki ciri khas dalam masa lampaunya sebagai
befinlichkeit (dalam kondisi ditemukan)atau ditemukan dalam kebebasannya. Dasein secara
mendadak sadar akan beban berat karena dilahirkan di dunia. Kekinian Dasein atau Rede
(ucapan bahasa) adalah artikulasi dari penemuan diri di masa lampau dan antisipasi di masa depan.
Masa depan Dasein atau verstehen (pemahaman) menjadikannya sadar bahwa masa depannya
tergantung dirinya. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta 1999, hlm. 31-32. Untuk lebih jelasnya lihat, Martin Heidegger, Being and Time,
(trans. Joan Stambaugh), State University of New York Press, NewYork, 1996, hlm. 371-391.
36
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris…, hlm. 66-67.
37
Menerima mitologi, menurut Bultmann bukan berarti sacrificium intelectus (pengorbanan
akal budi), lihat Gutrie, Donald., Teologi Perjanjian Baru,.…, hlm. 375.

12
mengungkapkan pentingnya tokoh-sejarah Yesus yang juga dipandang sebagai
tokoh penyelamat, dan sejarah Yesus dipandang sebagai kejadian penyelamatan38.
Kejadian penyelamatan itu dipusatkan pada salib dan kebangkitan Kristus. Di
sinilah unsur-unsur yang menyusun sejarah dan mite dicampur guna
membersihkan artinya (demitologisasi) sebagai sejarah peyelamatan39.
Kristus sebagai “yang disalib” dan “yang dibangkitkan” menjumpai kita
dalam firman yang diberitakan. “Percaya” yang sejati adalah menerima firman itu
sebagai kebenaran, karena Yesus benar-benar hadir di dalam kerygma. Pengertian
kerygma ialah apa yang diserukan oleh seorang pelopor, amanat (message)40,
kesaksian dan pemberitaan. Adapun kerygma yang dimaksud Bultmann, adalah
bahwa Perjanjian Baru itu diberitakan kini sebagai suatu sapaan Allah, sebagai
suatu teguran pribadi Allah kepada saya, serta memanggil saya untuk mengambil
keputusan. Isi kerygma adalah apa yang terjadi pada diri Kristus (Christ-event).
Maka kerygma itu identik dengan perealisasian kerygma. Jadi pemberitaan
Firman bukan suatu pembicaraan tentang wahyu Allah, melainkan wahyu Allah
sendiri. Allah memperkenalkan dirinya dalam pemberitaan firman itu. Apa yang
di dalam Alkitab mewujudkan kejadian-kejadian berurutan (dahulu, sekarang dan
masa depan)41 dipersatukan, diramu di dalam Firman yang saat ini diberitakan.
Advent, Jumat Agung, Natal, Paskah, Kenaikan dan Pantekosta, semuanya terjadi
dalam satu hari, yaitu hari ini (Rede). Sifat historis Firman diangkut dan dipindah
oleh kejadian dalam pemberitaan. Pemberitaan dimasukkan ke dalam kejadian
penyelamatan. Pemberitaan itulah kejadian penyelamatan.
Pandangan Bultmann tentang teologi ini terkenal dengan teologi kerygma
(teologi Firman). Karya wahyu ilahi menjumpai kita di dalam kerygma, serta
membuka mata hati kita terhadap diri kita sehingga kita memiliki perspektif baru
dalam memandang diri sendiri42. Inilah “eksistensialis” konkret. Dengan demikian,
interpretasi eksistensial merupakan jalan untuk mewujudkan kebenaran isi iman
(percaya/kredo) Kristiani, yaitu dengan menunjukkan hubungan antara
kebenaran itu dengan realitas dan kegunaannya bagi eksistensi.
Menurut Bultmann, sasaran teologi adalah Tuhan Allah. Tetapi orang tidak
dapat secara langsung berbicara dengan-Nya. Segala pembicaraan tentang Allah
harus dilakukan dengan cara tidak langsung, yaitu dalam ungkapan-ungkapan
yang berhubungan dengan situasi eksistensial. Maka pernyataan-pernyataan
teologis itu benar dan berlaku jika pernyataan itu bersifat eksistensial. Manusia

38
Lihat Palmer, Richard E., Hermenetics…, hlm. 52
39
Brown, Colin, Philosophy and Christian Faith…., hlm. 190.
40
Palmer, Ricard E., Hermeneutics…, hlm. 50.
41
Analisis Bultmann di sini persis dengan analisis Heidegger tentang temporalitas
Befindlickheit, Rede dan Verstehen.
42
Brown, Colin. Philosophy and Christian Faith…, hlm. 190-191.

13
menjadi saluran kebenaran ilahi. Orang hanya dapat berbicara dengan Allah jika
berbicara kepada dirinya sendiri tentang eksistensinya. Meskipun demikian,
Bultmann memegang teguh pada sifat transendensi Allah. Artinya, iman harus
diarahkan ke luar iman. Iman timbul karena suatu pertemuan dengan kejadian
historis, yaitu kejadian yang terjadi pada diri Kristus (Christ event). Dalam iman,
eksistensi orang digetarkan karena pertemuannya dengan Allah dalam
pemberitaan. Karena itulah pandangan orang menjadi berubah. Perubahan itu
setiap saat harus direalisasikan lagi dalam pertemuan dengan Allah. Iman hanya
berkaitan dengan Kerygma. 43 Maka iman tidak berkaitan dengan keyakinan
apakah yang historis itu dapat dipercaya atau tidak44.
Tidak dapat disangkal bahwa ilmu menafsir (hermeneutik) itu penting dan
bagi Bultmann malah aktual sekali. Ia mendekati situasi sekarang dan mendekati
eksistensi. Begitu juga secara konsekuen firman Allah dihubungkan dengan
eksistensi manusia.

43
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris…, hlm. 71.
44
Brown, Colin, Philosophy.., hlm. 191. Lihat juga Lihat penjelasan Barth, Karl., The Faith
of Church, Fontana, London, 1962, hlm. 83-132. posapohlenteh di 21.16

14
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan sederhana yang dapat ditarik dari tulisan diatas adalah bahwa
Persoalan yang muncul adalah Apakah Bultmann telah berhasil menyeberangkan
berita Alkitab tanpa ada yang tercecer? Pada Bultmann sebenarnya terjadi
“penyempitan” karena hanya menghubungkan firman hanya dari segi antropologis.
Dengan demikian segi kosmologis dari pernyataan atau wahyu ilahi kurang
diperhatikan. Bultmann lupa bahwa makhluk Tuhan bukan cuma manusia,
melainkan ada juga makhluk-makhluk lain dan alam semesta. Begitu pula dengan
pernyataan Bultmann yang tidak memandang sejarah universal, yang akibatnya
melihat wahyu ilahi dari awal sampai akhir hanya sebagai satu titik, yaitu saat
sekarang ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Barth, Karl., The Faith of Church, Fontana, London, 1958.

Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics as Method,


Philosophy and Critique, Routledge and Kegan Paul, 1980.

Brown, Colin., Philosophy and Christian Faith, Inter Varsity Press, Illinois, 1996.

Bultmann, Rudolf, Theology of New Testament, SCM, London, 1956.

------, Jesus Christ and Mythology, SCM, London, 1960.

Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, Jilid ke I, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
1995.

E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta 1999.

Frei, Hans W., The Eclipse of Biblical Narrative; A Study in Eighteenth and
Nineteenth Century Hermeneutics, Yale University Press, New Haven
and London, 1974.

Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad XX, BPK Gunung Mulia,


Jakarta, 1993.

Henderson, I., Myth in the New Testament, SCM, London, 1952.

Http://amrinarose13.blogspot.com/2013/03/hermeneutika-dan-teori-kritis.html?m
=1.

John Painter, Theology as Hermeneutics: Rudolf Bultmann’s Interpretation of The


History of Jesus, Almond Press, Sheffield, 1987.

J.I. CH. Abineno, Rudolf Bultmann dan Theologinya, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 1989.

Johnson, Roger D., Rudolf Bultmann: Interpreting Faith for The Modern Era,
Collins, London, 1987.

Martin Heidegger, Being and Time, (trans. Joan Stambaugh), State University of

16
New York Press, NewYork, 1996.

Natanson, Edmund Husserl, Philosopher of Infinite Task, Evanston, 1973.

Sokolowski, The Formation of Husserl’s Concept of Constitution, The Hague,


1964.

Yulius Widiantoro, “Pergeseran Ontologis Berpedomankan Bahasa”, dalam


Majalah Filsafat Driyarkara, Th. XX no.3. 1993/1994.

17

Anda mungkin juga menyukai