Anda di halaman 1dari 18

Tafsir Kontekstual Surat Al-Maidah Ayat 44-47 dan Relevansinya terhadap Konsep

Berpolitik dan Bernegara Perspektif Abdullah Saed

Oleh : Moh. Badruddin

ABSTRAK

Al-Qur'an diturunkan dengan latar belakang sosio-historis tertentu. Konteks sosio-historis


wahyu merupakan elemen yang fundamental. Hubungan fundamental wahyu tersebut terus
berlanjut sampai kapanpun. oleh karena itu di era kontemporer ini perlu untuk reinterpretasi
produk tafsir agar sesuai dengan tuntutan zaman. Penafsiran Q.S Al-Maidah ayat 44-47 dalam
hubungan sistem politik dan bernegara juga menjadi perbincangan hebat di masa sekarang
ini. Ada yang berpandangan negara wajib menerpakna sistem perpolitikan dan kenegaraan
dengan asas-asas keislaman secara total karena menganggap sistem negara sekuler adalah
buatan Barat atau orang kafir.Dari pandangan tersebut penulis mencoba untuk meneliti tafsir
Al-Maidah dalam hubungannya dengan sistem politik dan tatakenegaraan dalam pandangan
Abdullah Saeed. Metode penelitian yang diambil adalah metode penelitian pustaka (library
research), di mana riset yang dilakukan yaitu, dengan jalan membaca literatur, berupa buku-
buku, jurnal dan sumber data lainnya di dalam perpustakaan.Abdullah Saed dengan
metodenya berpandangan bahwa Q.S Al-Maidah Ayat 44-47 tersebut mempunyai point, yaitu
tata politik dan tatanegara dalam Q.S al-Maidah ayat 44-47 tidak lepas dari kondisi dan
kondisi jahiliyyah atau sistem politik pra-Islam yang cenderung mengabaikan keadilan dan
kesetaraan. Dalam kehidupan semacam itu, setiap kelompok bahkan individu adalah
ancaman bagi yang lainnya, sehingga konflik, perpecahan dan peperangan adalah suatu yang
niscaya. Jadi nilai moral dalam ayat tersebut adalah keadilan dan kesetaraannya, bukan sistem
yang digunakannya dalam suatu tata keloal politik dan negara. Selanjutnya adalah sifat ayat
tersebut temporal, yang artinya dapat menyesuaikan keadaan zaman yang ada. Oleh karena
itu, untuk zaman kontemporer, ayat ini dapat diartikan secara berbeda, namun tetap mengikuti
nilai universalnya. Sesuai dengan kondisi kekinian yang dibutuhkan untuk membangun
sistem keadilan dan mediasi antara kelompok multikultural dan kelompok multikultural.
Walaupun negara bersistem Islam, namun di dalamnya terdapat penindasan dan deskriminasi
dapat pula disebut sebagai negara kafir atau jahiliyyah.

Kata Kunci : Al-Maidah 44-47, Abdullah Saeed, Sistem Politik, Sistem Negara

ABSTRACT
The Qur'an was revealed against a certain socio-historical background. The socio-historical
context of revelation is a fundamental element. The fundamental relationship of this
revelation will continue forever. Therefore, in this contemporary era, it is necessary to
reinterpret the product of interpretation to suit the demands of the times. The interpretation of
Q.S Al-Maidah verses 44-47 in relation to the political system and the state is also a great
topic of conversation today. There are those who think that the state is obliged to interpret the
political and state systems with total Islamic principles because they consider the secular state
system to be made by the West or kafir. From this view the author tries to examine Al-
Maidah's interpretation in relation to the political system and state administration in
Abdullah's view. Saeed. The research method taken is the library research method, in which
the research is carried out, namely, by reading literature, in the form of books, journals and
other data sources in the library. Abdullah Saed with his method believes that QS Al-Maidah
Ayat 44-47 has a point, namely the political and state order in QS al-Maidah verses 44-47
cannot be separated from the conditions and conditions of jahiliyyah or the pre-Islamic
political system which tends to ignore justice and equality. In such a life, every group and
even individuals are a threat to others, so conflict, division and war is a necessity. So the
moral value in the verse is justice and equality, not the system it uses in a political and state
governance. Next is the nature of the verse is temporal, which means that it can adapt to
existing conditions. Therefore, for contemporary times, this verse can be interpreted
differently, but still follows its universal value. In accordance with the current conditions
needed to build a system of justice and mediation between multicultural groups and
multicultural groups. Even though the state has an Islamic system, oppression and
discrimination can also be called a kafir or jahiliyyah state.

Keywords: Al-Maidah 44-47, Abdullah Saeed, Political System, State System

Pendahuluan

Al-Quran adalah mukjizat Islam yang abadi, dan mukjizatnya selalu diperkuat dengan
kemajuan ilmu pengetahuan. Al-Quran diilhami oleh Allah kepada Muhammad SAW sebagai
utusan Allah, untuk memberikan petunjuk, kabar baik dan peringatan kepada umat manusia
dan membimbing mereka di jalan yang benar. Rasulullah menyampaikan Alquran kepada
para sahabatnya sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan intuisi mereka. Ketika
mereka menemui kebingungan dalam memahami kitab suci, mereka akan bertanya
kepadanya (Al-Qattan, 2001).

Oleh karena itu, jangan heran jika membaca kitab suci di antara teman-teman menjadi
perdebatan di kemudian hari. Setelah Nabi pergi, para sahabat mencoba menggunakan ijtihad
untuk menjelaskannya, sehingga tidak jarang muncul berbagai pendapat. Quran dan Muslim
adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bagi umat Islam, ajaran moral Alquran bersifat
mutlak dan dapat diterapkan di segala ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wal makan).
Namun fenomena saat ini membuktikan bahwa relevansi al-Qur'an mulai dipertanyakan dan
dituntut. Dalam beberapa kasus, ajaran moral al-Qur'an digunakan sebagai pembenaran atas
perilaku yang merusak.

Sebagaimana kita ketahui bersama, tafsir Al-Quran sejak pertama kali diturunkan
kepada Nabi Muhammad. Saat itu, Nabi Muhammad berperan sebagai mubayyin,
menjelaskan kepada teman-temannya arti dan isi Al-Quran, terutama tentang kitab suci yang
tidak dipahami atau samar-samar (Shihab, 2007). Setelah Nabi Muhammad wafat, Tabin dan
keturunannya menggunakan ijtihad untuk menafsirkan Alquran berdasarkan pengetahuan,
latar belakang, dan kondisi sosial politik mereka. Hal ini disebabkan semakin maraknya
penyebaran agama Islam yang dibarengi dengan berbagai persoalan pelik. Sejak itu, sesuai
latar belakang masing-masing penafsir, puluhan bahkan ratusan karya tafsir bermunculan
dengan metodologi yang berbeda.

Fazlur Rahman mengatakan, masalah utama umat Islam adalah mereka tidak tahu
banyak tentang makna praktis Al-Quran. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menemukan Al-
Quran yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini. Di sisi lain, masyarakat masih khawatir
penafsiran Al-Quran yang berkaitan dengan masyarakat modern akan bertentangan dengan
otoritas pemikiran tradisional (Rahman et al., 1985).

Nyatanya, "Alquran" secara bertahap diturunkan, dan sering kali diturunkan dalam
konteks sosial dan sejarah tertentu. Menurut Fazlur Rahman (Fazlur Rahman), Alquran
muncul dari perspektif sejarah dan merupakan jawaban atas permasalahan yang dihadapinya.
Oleh karena itu, dalam banyak kasus, teks tersebut berisi deklarasi moral agama dan sosial
yang membahas masalah spesifik yang mereka hadapi. Menurut pemahaman ini, latar
belakang sosial dan sejarah turunnya wahyu merupakan elemen dasar (Rahman et al., 1985).
Bahkan setelah wafatnya Nabi Muhammad, hubungan dasar dengan wahyu ini masih
ada dan diteruskan melalui praktik komunitas penafsir. Al-Quran adalah bagian penting,
hidup dalam komunitas yang hidup. Kemudian, komunitas muslim memaparkan tentang
makna dan maksud dari wahyu tersebut. Sejak saat itu, banyak dilakukan kegiatan pembinaan
di kalangan umat Islam, dan setiap kali mereka membawa unsur ilmu tentang wahyu. Ketika
konteks berubah, pemahaman dan makna baru muncul. Itu ditampilkan, disebarluaskan, dan
dipraktikkan oleh masyarakat tertentu, yang dibatasi pada lingkungan tertentu, dan maknanya
tidak melebihi lingkungan itu (Saeed, 2008).

Atas dasar ini, karena kondisi dan keadaan, jika para ahli hukum dan intelektual
Muslim memiliki pemahaman yang tinggi tentang perlunya menerapkan kembali hukum
Islam atau menafsirkan kembali produk (terutama kode etik hukum), maka tidak banyak.
Oleh karena itu, menurut Abdullah Saeed yang disepakati oleh banyak pemikir Muslim,
diperlukan pendekatan situasional saat menafsirkan kembali Alquran. Dalam pendekatan
kontekstual, penafsiran Alquran harus mempertimbangkan aspek tekstual, historis dan
kontekstual teks. Dalam beberapa tafsir atau produk yang muncul dalam konteks sosial dan
sejarah tertentu, dan dalam perkembangan pemahaman dan praktiknya.

Salah satu permasalahan yang perlu dikaji ulang adalah tentang sistem politik dan
bernegara dalam Surat Al-Maidah ayat 44-47. Apalagi permasalahan tersebut sedang menjadi
gejolak dalam internal umat Islam sendiri. Bagi kelompok yang berpandangan bahwa negara
berbasis Islam adalah model yang wajib dilakukan atau diperjuangkan oleh umat Muslim. Di
sisi lain, ada kelompok yang berpandangan bahwa agama jangan sampai di campur adukan
dengan urusan negara.

Dalam konteks kenegaraan Indonesia mengambil sistem negara sekuler. Menurut


Dawam Raharjo sistem ini adalah sistem yang paling tepat digunakan pada negara yang
plural dan multikultural. Menurutnya, negara sekuler menjadi fondasi untuk melindungi
kebebasan beragama bagi warganya dan dapat menjada persatuan dan kesatuan dalam
semangat nasionalisme (Rahardjo, 2010).

Terlihat bahwa pemahaman umat Islam terhadap ayat ini muncul dan berkembang
dalam berbagai latar belakang politik dan administrasi. Inilah mengapa lebih banyak
pertimbangan yang harus diberikan untuk tujuan dibalik teks Al-Quran. Ketika kondisi
berubah, tidak perlu menjalankan perintah Alquran secara tekstual dan berpandangan kaku
(Saeed, 2008).
Melihat refleksi ini seharusnya menjadi upaya untuk menghubungkan masa lalu
dengan masa kini. SChacht percaya bahwa untuk menghubungkan masa lalu dan masa kini,
perlu untuk mendefinisikan dan membatasi lingkungan hukum atau menafsirkan hasil, dan
membuat perubahan sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal ini sejalan dengan Fazlur Rahman
yang mengatakan bahwa pada masa lalu tafsir Alquran pada masyarakat tertentu terbatas pada
keadaan tertentu, dan maknanya tidak melebihi cakupannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan
eksplorasi terhadap dua dimensi makna Alquran, yaitu makna historis dan makna
kontemporer. Makna historis mengacu pada masa Nabi Muhammad dan periode awal Islam,
sedangkan makna modern mengacu pada makna “Alquran” bagi manusia saat ini (Rahman et
al., 1985).

Rahman meyakini, untuk menggali makna historis dan kontemporer diperlukan


gerakan ganda (double Movement), yakni dari sekarang sampai Alquran diturunkan dan
kembali ke masa kini. Pertama, penafsir harus memahami makna pernyataan tersebut dengan
mempelajari situasi historis atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dinyatakan dalam
Alquran. Dari sini kita akan memperoleh nilai-nilai moral atau prinsip-prinsip umum dari
pernyataan Alquran hingga penerimaan pertama masyarakat. Kedua, gabungkan jawaban dan
pernyataan khusus sebagai pernyataan dengan tujuan moral dan sosial dari tulisan suci dalam
konteks sejarah sosial (Rahman et al., 1985).

Namun, menurut Abdullah Saeed, meski Rahman berusaha mengkonstruksi nilai


moral dari ayat-ayat etika hukum, dia tidak menjelaskan secara gamblang pembentukan nilai
moral alternatif. Bertentangan dengan metode yang dikemukakan oleh Abdullah Saeed, ia
menyebut metode ini sebagai metode konteks. Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai moral
dari puisi Q.S Al-Maidah 44-47, penulis akan menggunakan metode kontekstual yang
disediakan oleh Abdullah Saeed untuk diskusi. Penulis memilih menggunakan metode
Abdullah Saeed karena dua alasan. Pertama-tama, karena metode situasional Abdullah Said
merupakan metode memperoleh konsep moral atau sistem nilai dalam bahasa Abdullah Said.
Metode ini merupakan perpanjangan dari metode Gerakan Ganda Fazlur Rahman. Kedua,
karena pendekatan situasional Abdullah Saeed bertumpu pada langkah-langkah sistematis,
yakni memperhatikan konteks sosio-historis dan tetap menggunakan bahasa dalam salah satu
langkahnya.

Landasan Teori

1. Q.S Al-Maidah Ayat 44-47


‫ون ٱذَّل ِ َين َأس ۡلَ ُمو ْا ِلذَّل ِ َين َه ا ُدو ْا‬ ‫ي‬ ‫ب‬
ِ
َ ُّ َّ َ‫ن‬ ‫ل‬‫إاَّن ٓ َأنزلۡنا ٱلتوۡ ىٰر َة ِفهي ا ُه دً ى ون ُ ور ۚ حَي ۡمُك ُ هِب ا ٱ‬
ٌ َ َ َ َّ َ َ
‫ون َوٱلَۡأحۡ َب ُار ِب َما ٱۡس ُتحۡ ِف ُظو ْا ِمن ِك َٰت ِب ٱهَّلل ِ َواَك نُو ْا عَلَيۡ ِه ُشهَدَ آ َء ۚ فَاَل خَت ۡشَ ُو ْا‬ َ ‫َو َّلرب َّٰ ِن ُّي‬
‫ٱ‬
‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬
ُ ‫لنَّ َاس َو ۡخ َش وۡ ِن َواَل تَش ۡرَت ُ و ْا بِـَٔاي َٰىِت ثَ َمنً ا قَ ِلياًل ۚ َو َمن لَّمۡ حَي ۡمُك ِب َمآ َأن َز َل هَّلل‬
‫ون‬ ‫ر‬ ِ
‫ف‬ ٰ َ
‫ك‬ ۡ ‫ل‬‫فَُأولَٰ ٓ ِئ َك مُه ٱ‬
َ ُ ُ ْ
"Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah
memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan
pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-
ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.(ayat 44)"(Ri, 2010)

‫َو َك َتبۡنَا عَلَ ۡيهِمۡ ِفهيَآ َأ َّن ٱلنَّفۡ َس ِبٱلنَّفۡ ِس َوٱلۡ َعيۡ َن ِبٱلۡ َعيۡ ِن َوٱۡلَأ َنف ِبٱۡلَأ ِنف َوٱۡلُأ ُذ َن ِبٱۡلُأ ُذ ِن‬
‫وح ِق َص ٌاص ۚ فَ َمن ت ََص د ََّق ِب ِهۦ فَهُ َو َكفَّ َار ٌة هَّل ُ ۥ ۚ َو َمن لَّمۡ حَي ۡمُك‬ ‫ر‬ ‫ج‬ ۡ ‫ل‬‫وٱ ِلسن ِبٱ ِلسن وٱ‬
َ ُ ُ َ ِّ ّ َّ ّ َ
‫ٱ‬ ‫ٱ‬
َ ‫ِب َمآ َأ َنز َل هَّلل ُ فَُأ ْولَٰ ٓ ِئ َك مُه ُ َّلظٰ ِل ُم‬
‫ون‬
"Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa
(dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan
yang sama). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim." (Ayat 45) (Ri,
2010)
‫َوقَفَّ ۡينَا عَىَل ٰ ٓ َءاثَٰ ِرمِه ِب ِعيىَس ٱۡب ِن َمرۡمَي َ ُم َص ِّدقًا ِل ّ َم ا بَيۡ َن يَدَ ۡي ِه ِم َن ٱ لتَّوۡ َ ىٰر ِة ۖ َو َءاتَيۡنَٰ ُه‬
‫ُور َو ُم َص ِّدقًا ِل ّ َم ا بَيۡ َن يَدَ ۡي ِه ِم َن ٱلتَّوۡ َ ىٰر ِة َو ُه دً ى َو َموۡ ِع َظ ًة‬ ٌ َ‫ن‬‫و‬ ‫ى‬ ً‫د‬ ‫ه‬ ُ ِ
‫ه‬ ‫ي‬ ِ
‫ف‬ َ
‫ل‬ ‫ي‬ ِ
‫جن‬ ۡ ‫ل‬‫ٱ‬
‫ِإ‬
‫ِل ّلۡ ُمتَّ ِق َني‬
"Dan Kami teruskan jejak mereka dengan mengutus Isa putra Maryam,
membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami menurunkan Injil
kepadanya, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan membenarkan Kitab
yang sebelumnya yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk serta pengajaran untuk
orang-orang yang bertakwa." (Ayat 46) (Ri, 2010)
‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬
ُ ‫َولۡ َي ۡحمُك ۡ َأهۡ ُل ۡل ِجني ِل ِب َمآ َأن َز َل هَّلل ُ ِفي ِه ۚ َو َمن لَّمۡ حَي ۡمُك ِب َمآ َأن َز َل هَّلل ُ فَُأ ْولَٰ ٓ ِئ َك مُه‬
‫ِإ‬
‫ون‬ ‫ق‬ُ ‫س‬ ِ ٰ َ
‫ف‬ ۡ ‫ل‬‫ٱ‬
َ
"Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik." (Ayta 47)
(Ri, 2010)
2. Asbabun Nuzul dan Tafsir Ayat
Menurut kritikus klasik seperti Ibn Jarir at-Tabari, Ibn Kasir dan Al-Qurtubi,
bagian kitab suci ini mengungkapkan hukuman rajam. Dalam hal ini, beberapa
orang Yahudi ingin merahasiakan hukum dalam kitab Taurat, yaitu menjatuhkan
hukuman berat pada rakyat jelata dan hukuman ringan pada orang yang
dihormati. Dalam ayat ini, orang Yahudi harus mengeksekusi hukuman dalam
kitab suci mereka "The Law." Belakangan, Alkitab disingkapkan melalui nabi
Ishak (as) sebagai pendukung kebenaran hukum. Mereka harus mematuhi hukum
Allah yang mereka terima. Mereka yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan
ketentuan Allah adalah orang-orang kafir, pelanggar hukum dan orang jahat. Ayat
ini secara khusus ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang menyembunyikan
hukum pada saat itu.
Dalam Tafsir at-Tabari, narasi Asbabun Nuzul dalam banyak narasi kitab suci
banyak dikutip. Pertama, ayat ini membahas tentang hukuman orang Yahudi atas
perzinahan. Kedua, ayat ini membahas pembunuhan sekelompok kecil Nadzir
oleh kelompok Yahudi terkenal Quraidzah. Namun, diyat yang jatuh hanya
setengah dari diyat Nadzir (bin Jarir, 2008).
Begitu juga asbabun Nuzul dalam penjelasan Ibn Kasir, ayat ini juga
diturunkan kepada dua orang Yahudi yang berzina, di mana mereka mengubah
hukum yang diturunkan dalam Kitab Allah. Mereka menggantinya dengan
hukuman yang sudah ditentukan, yakni dicambuk sampai mati dengan 100 kali
cambukan, diberi tanda hitam, dan dinaikan ke atas dua himar. Selain itu juga
menjelaskan tentang pencerahan kitab suci, yang berkaitan dengan perbedaan
diyat orang Quraidzha dan Nadzir. Berbeda dengan Tafsir sebelumnya yaitu, di
dalam Tafsir at-Thabari, dalam tafsir ini dapat diartikan al-Kaffirun menunjukan
kepada orang Yahudi, az-zalimun menunjukan kepada orang Yahudi, dan al-
fasiqun menunjukkan kepada seluruh orang kafir (Ibn Kathir, 2000).
Sementara itu, dalam tafsir al-Qurtubi dijelaskan bahwa ada tiga pendapat
tentang wahyu ayat ini. Pertama, itu mengungkapkan kitab suci anak-anak
Quraidzah dan Nadzir tentang pembunuhan. Kedua, ayat ini menyingkapkan dua
orang Yahudi yang berzina dan dihukum rajam, inilah pendapat yang paling
shahih. Ketiga, ayat tersebut diturunkan kepada Ibnu Suriyah yang sebelumnya
menjelaskan bahwa dalam tafsir ini, semua pengaruh dalam ayat tersebut, yaitu
kafir, perbuatan salah dan kejahatan, sebenarnya Itu semua kafir (Bewley, 2003).
Sejalan dengan perkembangan zaman, tepatnya adalah era modern yang
didominasi oleh praktek kolonialisme dan imperialisme Barat, ayat ini dijadikan
legitimasi dan syarat mutlak bagi penggunaan sistem Islam dalam sistem politik
negara. Para komentator yang memegang pandangan ini termasuk Sayyid Qutb
dan Maududi. Sayyid Qutb (Sayyid Qutb) dalam tafsirnya tentang "Fi Zilal al-
Qur'an" meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan sangat
lengkap, sebuah sistem kehidupan, tidak hanya mencakup persyaratan moral dan
ibadah, tetapi juga sistem politik. Oleh karena itu, dalam sebuah negara, umat
Islam harus kembali pada sistem ketatanegaraan yang paling ideal, sistem negara
Islam. Pada saat yang sama, sistem politik dan administrasi negara yang
diperkenalkan oleh Barat pada saat itu merupakan sistem negara sekuler yang
ekstrim, menurutnya adalah Jahiriya dan Kafir (Al-Maududi, n.d.).
Dalam konteks Indonesia, sistem negara sekuler dipilih oleh sebagian pemikir
muslim Indonesia sebagai tulang punggung negara. Menurut Dawan Raharjo,
negara sekuler telah menjadi dasar perlindungan kebebasan beragama di
Indonesia yang majemuk dan multikultural. Raharjo juga menyebutkan bahwa
pemikir pertama yang memperkenalkan sekularisasi adalah Soekarno, disusul
Muhammad Hada. Kedua tokoh ini meyakini bahwa sistem negara sekuler adalah
perekat persatuan nasional dan fondasi bangsa. Selain itu, Nurcholis Madjid juga
menekankan pentingnya menggali kembali ide-ide demokrasi yang dapat
membuktikan sekularisasi dalam Islam. Negara sekuler akan memberi
sekelompok orang kesempatan untuk berkembang tetapi persatuan (Rahardjo,
2010).
Dapat dilihat bahwa pemahaman umat Islam terhadap ayat ini dihasilkan dan
dikembangkan dalam berbagai lingkungan politik dan administrasi. Inilah
mengapa lebih banyak pertimbangan harus diberikan untuk tujuan dibalik teks
Quran. Ketika kondisi berubah, tidak perlu menafsirkan Quran secara literal
(Saeed, 2008).
3. Biografi Singkat Abdullah Saeed
Abdullah Saeed adalah Profesor Studi Arab dan Islam di Universitas
Melbourne, Australia. Ia lahir di Maladewa pada tanggal 25 September 1964 dan
merupakan keturunan dari suku Arab Oman yang tinggal di pulau Maladewa.
Dari masa kanak-kanak hingga remaja, ia menghabiskan waktu di kota bernama
Meedho, yang merupakan bagian dari kota Atol. Ia menempuh pendidikan di
salah satu sekolah Islam di Pakistan kemudian melanjutkan kuliah di Islamic
University of Madinah hingga akhirnya ia berimigrasi ke Australia pada tahun
1987 dan kini tinggal di Australia (Surur, 2018).
Di Arab Saudi, ia belajar bahasa Arab dan memasuki beberapa lembaga
pendidikan formal, termasuk Institut Bahasa Arab Dasar (1977-1979) dan Institut
Bahasa Arab Menengah (1979-1982) dan Universitas Arab Saudi di Madinah
(1982- 1986). Tahun berikutnya, Said meninggalkan Arab Saudi untuk belajar di
Australia. Saeed telah memperoleh banyak gelar di Negeri Kanguru, dan bahkan
sekarang, dia masih mengajar di salah satu universitas paling terkenal dan
terkemuka di dunia (Surur, 2018).
Di Australia, Abdullah Saeed mengajar studi Arab dan Islam di program
sarjana dan pascasarjana (program S2 dan S3). Mata pelajaran yang diajarkan
meliputi ulumul Qur'an, Intelektual dan Modernisasi Muslim, Pemerintahan dan
Peradaban Islam, Keuangan dan Perbankan Islam, Hermeneutika Alquran, Islam
dan Hak Asasi Manusia, Islam dan Muslim di Australia. Bagi orang yang
berkecimpung dalam studi Islam pasti sudah tidak asing lagi dengan namanya.
Buku dan artikelnya banyak digunakan sebagai bahan bagi para intelektual dan
praktisi untuk membahas masalah tafsir Alquran, ekonomi Islam dan hukum
Islam (Surur, 2018).
Saeed dianggap sebagai orang yang berpengetahuan luas, profesional dan
konsisten secara ilmiah. Selama kesibukan mengajar, Saeed banyak berpartisipasi
dalam konferensi dan seminar internasional. Said juga berpartisipasi dalam
kelompok dialog antaragama antara Kristen dan Islam, serta Yudaisme dan Islam.
Ia fasih dalam berbagai bahasa: Inggris, Arab, Maladewa, Urdu, Indonesia dan
Jerman Ia sering mengunjungi banyak negara: Amerika Utara, Eropa, Timur
Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Faktanya, dia memiliki banyak pakar
dan kontak penelitian di seluruh dunia. Karena bakat, tindakan, dan
keseriusannya dalam komunitas ilmiah, nama Saeed sangat populer dan
dihormati secara internasional (Surur, 2018).
Melihat latar belakang pendidikan Abdullah Saaed yang baik membuatnya
menjadi ilmuwan Muslim yang sangat produktif menulis karya ilmiah. Hal ini
terlihat dari jumlah karyanya. Buku-Buku hasil karnya di antaranya, (Surur,
2018)
a. Islamic Banking: A Study of the Prohibition of Riba and Its
Contemporary Interpretation diterbitkan pada tahun 1996 dan 1999 di
Leidenoleh EJ Brill. Dalam buku ini, Abdullah Saeed menjelaskan
kritiknya terhadap tafsir tradisional riba dan praktek perbankan Islam
modern dalam mengimplementasikan tafsir tersebut. Buku ini juga
mempertanyakan metode hukum menafsirkan riba, dan memberikan
wawasan tentang pemahaman moral dari masalah ini dari beberapa
pelajaran dari teks otoritatif Islam dan eksperimen perbankan Islam.
Bagian pertama mempelajari masalah larangan dan tafsir riba dalam
Islam melalui beberapa perdebatan seputar Islam. Bagian kedua
membahas masalah bunga bank alternatif yang digunakan oleh bank
syariah dan berbagai masalah dalam konsep; Mudaraba, Musharaka, dan
Murabaha.
b. Muslim Communities in Australia editor bersama S. Akbarzadeh
diterbitkan tahun 2002 di Sidney oleh University of New South Wales
Press. Karya Saeed terkandung dalam sub-bab buku "Muslim Barat di
Barat: Terlihat dan Tak Terlihat" yang ditulis bersama dengan editor
Yvonne Yazbeck Haddad dan Jane I. Smith. Dalam bab ini, Johns dan
Saeed mencoba mendeskripsikan kesulitan membangun dan mengelola
masjid di Australia. Kesulitan lain termasuk munculnya Dewan dan
masyarakat pada tahun 1970, tantangan untuk menyesuaikan pengetahuan
agama dengan pengetahuan publik Australia oleh para pemimpin
imigrasi, dan pengembangan fasilitas pendidikan Islam. Selain itu,
mereka juga menjelaskan tentang rekonsiliasi antara umat Islam dengan
konsep nasional Australia yang sekuler. Kebanyakan dari mereka selalu
memiliki kecurigaan, kebencian, dan ketidakpercayaan terhadap Islam
yang didukung melalui stereotip politik dan media.
c. Islam and Political Legitimacy editor bersama S. Akbarzadeh diterbitkan
di London dan New York oleh Curzon tahun 2003. Saeed dan
Akbarzadeh, editor buku ini, menjelaskan tantangan terbesar yang
dihadapi umat Islam, seperti Islamisasi kekuatan politik. Mereka semua
mencoba membandingkan masyarakat Muslim di Barat, Asia Tengah,
Asia Selatan dan Asia Tenggara, dan menekankan tantangan yang
dihadapi oleh para pemimpin di kawasan. Buku tersebut juga menjelaskan
tentang perkembangan Islam di dunia yang bertumpu pada simbolisme
Islam, bahkan negara-negara yang berkonflik dengan Islam turut andil
dalam faktor sosial budaya kekuatan politik Islam. Tujuan dari buku ini
adalah untuk mempelajari hubungan antara Islam dan Islam. Kekuatan
politik di Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Pakistan, Arab Saudi
dan Uzbekistan.
d. Interpreting Qur’an: toward Contemporary Approach diterbitkan di
London dan New York oleh Routledge pada tahun 2006. Buku inilah yang
di dalam artikel ini menjadi salah satu sumber primer yang digunakan
oleh penulis. Sebagai kepala ilmuwan, Abdullah Saeed mencoba
menelusuri tafsir kalimat etis dan hukum dalam Al-Quran dalam buku ini
berdasarkan perubahan kondisi dunia modern. Said juga membahas
perdebatan seputar penafsiran Alquran dan pengaruhnya terhadap
pemahaman kontemporer teks Al-Quran.
Abdullah Saeed memiliki banyak karya lain, baik berupa buku, artikel ilmiah
maupun jurnal. Karya Said sendiri menjadi rujukan para ulama yang
berkecimpung dalam kajian tafsir Alquran, hukum, ekonomi dan bidang lainnya.
4. Pemikiran Tafsir Kontekstual Abdullah Saeed
5. Adapun tafsir Alquran pada premis masyarakat modern, Asgar Ali Engginer
menegaskan bahwa saat ini hanya ada dua pilihan bagi umat Islam, yaitu Alquran
akan ditinggalkan atau Alquran akan dimaknai sebagai dua pilihan yang cocok
untuk kondisi tersebut. Penjelasan yang telah ditetapkan selama ini, sebagian
orang tidak akan tertarik dengan Alquran. Oleh karena itu, bagi umat Islam,
mereka tidak punya pilihan selain mengupayakan agar Alquran terus
menunjukkan eksistensinya dalam perubahan sosial besar saat ini (Engineer,
1994).
Abdullah Saeed menafsirkan kembali gerakan ini, dimulai dari perspektif
baru, bagaimana memahami Alquran sesuai dengan perkembangan zaman tanpa
merugikan atau merusak keyakinannya. Belakangan ini telah disadari bahwa
pada masa kontemporer, para pemikir Muslim tidak hanya menyadari pentingnya
hubungan antara kata, penafsirnya, dan realitas baru, tetapi juga tidak hanya
memperhatikan makna literal kata.
Tegasnya, Said berfokus pada kitab suci yang mengandung muatan hukum
moral (legal morals). Said meyakini bahwa penafsiran ulang ayat-ayat ini sangat
penting karena, pada kenyataannya, ayat-ayat ini paling tidak dipersiapkan dalam
menghadapi kenyataan, dan pada saat yang sama, ayat-ayat tersebut mengisi
kehidupan sehari-hari sebagian besar umat Islam (Saeed, 2008).
Proyek Saeed dianggap, dan bahkan diakui dalam banyak kesempatan,
sebagai kelanjutan dari double movement Rahman. Selain itu, Said juga berulang
kali mengemukakan bahwa gagasan ini merupakan bentuk counter dengan model
tafsir tekstual, yaitu tafsir yang hanya mengikuti bentuk teks. Akhirnya, dia
memberikan penjelasan kontekstual, mengacu pada dirinya sendiri dan mereka
yang dia setujui untuk menjadi kontekstualis.
Sebelum Said mengusulkan metode pelatihan mantannya, hal pertama yang
harus dilakukan adalah membuat argumen yang menunjukkan bahwa dengan
membaca dan mengkritik tradisi Muslim pun, interpretasi kontekstual dapat
dilakukan. Selain itu, sesuai dengan nama model tafsir yang ideal yaitu konteks,
fokus dan arah model tafsir, konteks ini khususnya konteks wahyu dan tafsir al-
Qur'an merupakan masalah yang serius. Interpretasi ini bertujuan untuk
mengetahui makna mana yang universal dan mana yang spesial (Saeed, 2008).
Landasan teoritis yang dirumuskannya adalah sebagai berikut,
a. Ada hubungan antara wahyu dengan latar belakang sosial dan sejarah yang
mengelilinginya.
b. Adanya fenomena keluwesan dalam cara membaca Alquran dan mengubah
hukum sesuai dengan keadaan dan kondisi baru, karena Alquran telah
berdialog positif dengan khalayak pertama sejak awal turunnya (Nabi
Muhammad SAW)
c. Kondisi al-Qur’an yang secara internal (ayat-ayat teologis, kisah,
perumpamaan) tidak bisa dipahami sama dengan ayat-ayat ethicolegal atau
yang bersifat praktis (Saeed & Islam, 2016).

Berdasarkan landasan teoritis yang dibangun Abdullah Saaed dapat


diketahui bahwa bangunan epistimologi yang dibangunnya adalah sebagai
berikut,

a. Bagi Saeed, makna teks Alquran selalu tidak pasti. Artinya produk yang
diinterpretasikan selalu subjektif, karena interpreter hanya memiliki
kemampuan untuk mengevaluasi. Tentunya hal ini sangat berbeda dengan
anggapan bahwa kaum tekstualis meyakini bahwa makna Alquran itu pasti,
sehingga manusia tidak memiliki kekuatan untuk menjelaskan maknanya
secara lebih mendalam.
Alquran secara dialektis terhubung dengan latar belakang sosial dan sejarah
sekitarnya. Pemahaman tentang latar belakang sosial dan sejarah periode pra-
Islam dan awal Islam tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, apakah itu
masyarakat, ekonomi, politik, hukum atau adat yang berkelanjutan, penafsir
membutuhkan ilmu para nabi dan masyarakat saat itu. Dengan cara ini, latar
belakang sosial dan sejarah menunjukkan pemahaman teks oleh generasi
pertama. Selain itu, latar belakang sosio-historis menunjukkan banyak aspek
kehidupan pada zaman wahyu yang berbeda dengan masa kini. Perhatian
terhadap latar belakang sosial sejarah akan menunjukkan ayat mana yang
merupakan ethicolegal.
Mengembangkan hierarki nilai teks hukum moral untuk menentukan
makna perubahan dan makna permanen. Said mengembangkan sistem nilai ini
untuk melengkapi konsep moral ideal Fazlur Rahman, yaitu teori gerakan ganda.
Struktur hierarki yang ditetapkan oleh Saaed adalah nilai kewajiban (nilai yang
terkait dengan keyakinan atau nilai yang tidak dapat diubah seiring waktu), nilai
dasar (sifat manusia), nilai pelindung (hukum nilai dasar), nilai implementasi
(langkah-langkah spesifik yang diambil) dan Nilai panduan ( tindakan atau
tindakan yang diambil Alquran untuk menangani masalah pada saat turunnya
wahyu).
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, Abdullah Saeed membagi empat
tahap kerangka kerja penafsiran dan langkah-langkahnya sebagai berikut,
a. Bertemu dengan dunia teks, tahap ini merupakan tahap awal untuk
perkenalan dengan teks dan dunianya.
b. Melakukan analisis kritis (Critical analysis), penafsir menjangkau makna
teks dari berbagai aspek, yaitu analisis linguistik (kebahasaan), analisis
konteks sastra, analisis bentuk sastra, analisis teks-teks yang berkaitan
(munasabah) dan analisis kontekstual.
c. Menemukan makna teks bagi penerima pertama, untuk merumuskan
pemahaman untuk memperoleh data-data sejarah yang komprehensif atas
kondisi di mana teks diturunkan.
Menentukan makna dan aplikasi teks bagi masa kini dengan mengaitkan
makna teks saat itu dengan fenomena saat ini untuk menentukan hirarki pesan
dan nilai-nilai sosio-historis saat itu (Saeed & Islam, 2016).

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (library research), di mana riset
yang dilakukan yaitu, dengan jalan membaca literatur, berupa buku-buku, jurnal dan sumber
data lainnya di dalam perpustakaan. Jadi pengumpulan data dilakukan di perpustakaan atau
di tempat lainnya yang tersimpan buku-buku serta sumber-sumber data lainnya (Supranto,
2003).

Sumber data pada penilitian ini terbagi menjadi dua, yaitu sumber data primer berupa
buku Abdullah Saeed yang berjudul Interpreting the Qur'an: towards a contemporary
approach dan Pemikiran Islam, “Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual,” Bandung: Mizan
Pustaka (2016). Dan sumber sekunder yang berupa buku-buku atau jurnal yang masih terkait
dengan fokus penelitian tersebut.
Hasil dan Pembahasan

Perdebatan tentang politik Muslim dan sistem nasional telah berlangsung lama.
Apalagi jika melihat kembali perjuangan politik Islam masa lalu, akan sangat rumit.
Perebutan kekuasaan dan pemberontakan terjadi yang mengarah pada lahirnya berbagai
ideologi atau faksi Islam hingga saat ini.
Pandangan politik dan nasional juga bertentangan dengan banyak pemikir Islam.
Sebagian orang berpendapat bahwa Islam tidak harus menjadi sistem tatanan nasional, nilai-
nilai ke-Isdlamannya saja yang diambil sudah cukup. Ada yang beranggapan bahwa Islam
adalah masalah pribadi, belum tentu sistem pemerintahan dan politik nasional.Beberapa
orang beranggapan bahwa jika Islam tidak digunakan oleh negara dan sistem politik, maka
Islam dapat dikatakan negara itu tidak memiliki pandangan tentang Kafa atau
kesempurnaan..
Banyaknya organisasi yang menggembor-gemborkan negara bersistem Islam turut
meraimakan konflik internal di tubuh Islam sendiri. Ambil contoh Hizbut Tahrir yang
mencanangkan sistem khilafah dengan menghilangkan teritori negara-negara berpenduduk
Islam menjadi satu negara dengan dalih meridukan kejayaan terdahulu, di mana Islam
pernag menguasai hampir setengah bagian bumi.
Namun, sangat disayangkan kelompok-kelompok yang menganggap dirinya sebagai
pejuang Islam justru menurut hemat penulis sendiri malah menghancurkan Islam dari dalam.
Islam yang seharusnya menjadi rahmat di dunia ini justru memecah belah dan membuat
teror di mana-mana. Menolak pluralitas dan menganggap para ilmuan yang tidak sepakat
dengan dirinya harus diperangi.
Oleh karena itu, Abdullah Saeed berusaha mengcounter pemikiran-pemikiran kaum
tektualis dan kelompok-kelompoknya yang tidak pandang bulu saat melakukan tindakan
untuk menegakkan negara bersistemkan Islam. Pemikiran-pemikiran Abdullah Saeed dan
beberapa cendikiawan muslim yang dapat menafsirkan Al-Qur’an secara kontekstual dan
tidak terkungkung dengan romantisme kejayaan terdahalu ini setidaknya dapat memberikan
pandangan kepada orang non-muslim bahwa tidak semua orang Islam semacam tersebut
yang penulis contohkan. Selain itu, pemikir-pemikir kontekstualis ini telah memberikan
warna baru dalam dunia Islam, sehingga ungkapan Al-Qur’an Shalil li Kulli Zaman wal
Makan dapat betul-betul terasa.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis bagaimana penafsiran Q.S Al-Maidah ayat
44-47 dalam kaitannya sistem politik dan ketatanegaraan dalam perspektif tafsir kontektual
Abdullah Saeed, penulis dapat menguraikannya sebagai berikut.
Tatanan politik dan kebangsaan dalam ayat 44-47 Q.S al-Maidah di Medah tidak
lepas dari keadaan dan kondisi jahiliyyah atau sistem politik pra-Islam yang cenderung
mengabaikan keadilan dan persamaan. Pengabaian keadilan dan persamaan ini bermula dari
tradisi asabiyyah Arab. Oleh karena itu hukum yang muncul adalah hukum yang sangat
membela anggota suku.Selain itu, pengabaian keadilan dan persamaan juga bermula dari
tradisi kebebasan hidup khususnya masyarakat nomaden. Mereka hanya memperjuangkan
haknya sendiri dan tidak peduli dengan hak orang lain.
Dalam kehidupan seperti itu, setiap kelompok atau bahkan individu merupakan
ancaman bagi orang lain, sehingga diperlukan konflik, perpecahan, dan perang. Gambaran
situasi ini dapat ditemukan dalam konflik antara Bani Quraidzah dan Bani Nadzir, seperti
rajam atau pembunuhan diyat, yang kemudian menurun akibat konflik tersebut. Oleh karena
itu, nilai-nilai yang terkandung dalam pasal 44-47 Jihad Islam adalah nilai-nilai pedoman.
Oleh karena itu, bergantung pada frekuensi, fokus, dan relevansinya, ayat ini dapat
bersifat universal atau temporal. Berdasarkan frekuensi membaca Alquran, penekanan
Dakwah Nabi dan relevansi cinta kepada Nabi, dalam sistem politik periode wahyu atau
makna sejarah, hukum Nabi Muhammad menekankan pada mediasi atau dalam masyarakat
Madinah. tekanan. Konflik, terutama keadilan dan persamaan, mengacu pada konflik antara
Bani Nadzir dan Bani Quraidzah. Pada saat yang sama, perintah untuk menengahi antara
hukum dan konten yang dikeluarkan oleh Allah hanyalah pernyataan yang luas dan karena
itu hanya bersifat sementara.
Sifat temporal ayatnya, yaitu menengahi hukum dengan apa yang diturunkan Allah,
dan sidat univeral ayat, yaitu menengahi hukum dengan keadilan dan kesetaraan pada masa
pewahyuan, untuk membawanya ke era sekarang perlu melihat konteks penghubung. Dalam
konteks penguhubung dapat diketahui bahwa ayat ini tidak ditafsirkan secara konsisten,
inilah yang membuktikan bahwa ayat ini berlaku temporal. Meskipun demikian dalam setipa
perkembangan tafsir, keadilan dan kesetaraan selalu menjadi penekananan.

Oleh karena itu, pada zaman sekarang, ayat ini bisa saja memiliki tafsir yang berbeda,
namun tetap mengikuti nilai universalnya. Menurut kondisi saat ini untuk membangun
sistem keadilan dan mediasi antara kelompok multikultural dan kelompok multikultural,
dapat dikatakan bahwa negara dengan sistem sekuler, termasuk sistem untuk melindungi
kehidupan semua golongan di Indonesia, dapat memasuki semangat QS. Al-Maidah 44-47.
Demikian pula negara yang disebut Kaffir atau Jahiliyah adalah negara yang melakukan
tindakan tidak adil terhadap hak individu atau komunitas. Oleh karena itu, walaupun negara
Islam, ketika kekuasaannya digunakan untuk bertindak sebagai diktator dan menghalangi
hak individu, maka bisa dikatakan sebagai negara Kaffir atau Jahliyah.

Kesimpulan

Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 44-47 sering dijadikan argumentasi para tekstualis
untuk membentuk sistem politik dan negara Islam. Sejak saat itu hingga sekarang,
perdebatan ini tidak pernah berhenti. Abdullah Saeed adalah salah satu pemikir situasional
yang membantah pandangan para mufasir, yang justru membuat Alquran tidak bisa berdiri di
atas kondisi jaman sekarang sehingga terkesan kaku.

Abdullah Saed dengan metodenya berpandangan bahwa Q.S Al-Maidah Ayat 44-47
tersebut mempunyai point, yaitu tata politik dan tatanegara dalam Q.S al-Maidah ayat 44-47
tidak lepas dari kondisi dan kondisi jahiliyyah atau sistem politik pra-Islam yang cenderung
mengabaikan keadilan dan kesetaraan. Dalam kehidupan semacam itu, setiap kelompok
bahkan individu adalah ancaman bagi yang lainnya, sehingga konflik, perpecahan dan
peperangan adalah suatu yang niscaya. Jadi nilai moral dalam ayat tersebut adalah keadilan
dan kesetaraannya, bukan sistem yang digunakannya dalam suatu tata keloal politik dan
negara.

Berikut ini adalah bahwa sifat ayati itu temporal, yang artinya dapat menyesuaikan
dengan kondisi yang ada. Oleh karena itu, pada zaman sekarang, ayat ini bisa saja memiliki
tafsir yang berbeda, namun tetap mengikuti nilai universalnya. Sesuai dengan kondisi saat
ini, membangun sistem peradilan dan mediasi antara kelompok multikultural dan kelompok
multikultural. Kalaupun negara memiliki sistem Islam, penindasan dan diskriminasi bisa
disebut negara kafir atau jahiliyyah.

Daftar Pustaka

Al-Maududi, A. (n.d.). A’la. 1995. Hukum Dan Konstitusi: Sistem Politik Islam.
Diterjemahkan Oleh Hikmat, Asep. Bandung: Mizan.

Al-Qattan, M. K. (2001). Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. terj. Mudzakir AS, Jakarta.

Bewley, A. A. (2003). Tafsir Al-Qurtubi: Classical Commentary of the Holy Qurʼan


(Vol. 1). Dar al-Taqwa.

bin Jarir, A. J. M. (2008). ath-Thabari. Jami’al-Bayan at-Ta’wil Al-Qur’an.

Engineer, A. A. (1994). Hak-hak perempuan dalam Islam (terj. Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf). Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa.

Ibn Kathir, I. (2000). Tafsîr ibn kathîr. Riyadh: Dar-Us-Salam.

Rahardjo, M. D. (2010). Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan.


Kencana.

Rahman, F., Mohammad, A., & Haryono, A. (1985). Islam dan Modernitas tentang
transformasi intelektual. Pustaka.

Ri, D. A. (2010). al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi.

Saeed, A. (2008). The Qur’an: an introduction. Routledge.

Saeed, A., & Islam, P. (2016). Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual. Bandung:
Mizan Pustaka.

Shihab, M. Q. (2007). “ Membumikan” Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam


kehidupan masyarakat. Mizan Pustaka.

Supranto, J. (2003). Metode Riset: Aplikasinya dalam Pemasaran (Edisi ke 7),


Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Surur, M. Z. (2018). Demokrasi dalam Surat Ali Imran Ayat 159 Perspektif Abdullah
Saeed. UIN Sunan Ampel Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai