Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HERMENEUTIKA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pengetahuan yang diampu oleh:

Dr. Najlatun Naqiyah, M.Pd.

Oleh:
Dimas Alif Purnama Aji
NIM. 21071355011

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

PASCASARJANA

BIMBINGAN DAN KONSELING

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah
SWT atas rahmat dan hidayahNya-lah penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Hermeneutika” untuk memenuhi tugas matakuliah fiilsafat pendidikan.

Makalah ini berisi tentang penjelasan dan sedikit gambaran mengenai pendekatan
Hermeneutika. Penulis berharap makalah ini dapat membantu pembaca dan menjadikan bekal
pengetahuan.

Terima kepada dosen pengampu mata kuliah filsafat pengetahuan yang telah
membimbing dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini
memiliki banyak kekurangan, oleh sebeb itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
yang membangun agar dapat meningkatkan mutu dan penyajian berikutnya. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih.

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ciri khas filsafat dewasa ini adalah perhatiannya kepada bahasa.
Tentu saja, bahasa bukan merupakan tema baru dalam filsafat. Minat untuk masalah-
masalah yang menyangkut bahasa telihat sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak
permulaannya di Yunani. Namun demikian, perhatian filosofis untuk bahasa itu belum
pernah begitu umum, begitu luas dan begitu mendalam seperti dalam abad ke-20.
Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa memainkan peranan yang dapat
dibandingkan dengan being (ada) dalam filsafat klasik dulu.
Teori tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak
dari kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub
ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu pengetahuan
adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu
yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa,
meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi
Yahudi-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian
Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan
usaha berkelanjutan dalam menanganinya.
B. Rumusan Masalah
1. Sejarah asal usul hermeneutika ?
2. Apa pengertian pendekatan hermeneutika ?
3. Latar belakang munculnya hermeneutika?
4. Penerapan hermeneutika ?
5. Bidang-bidang hermeneutika?

C. Tujuan Penyusunan Makalah


1. Mampu mejelaskan Sejarah asal usul hermeneutika
2. Mampu mejelaskan pendekatan hermeneutika
3. Mampu mejelaskan munculnya hermeneutika
4. Mampu mejelaskan penerapan hermeneutika
5. Mampu mejelaskan bidang-bidang hermeneutika
D. Manfaat Penyusunan Makalah
1. Mengetahui Sejarah asal usul hermeneutika
2. Mengetahui pengertian hermeneutika
3. Mengetahui latar belakang munculnya hermeneutika
4. Mengetahui penerapan hermeneutika
5. Mengetahui bidang-bidang hermeneutika
BAB II
PEMBAHASAN
a. Sejarah asal usul hermeneutika
Di Cina hermeneutika telah muncul pada sekitar abad ke-5 s.d. ke-3 SM, bersamaan
dengan munculnya para filsuf yang juga ahli hermeneutika, seperti Lao Tze, Kon Fu Tze, Meng
Tze, dan Chuang Tze. Pemikiran mereka tumbuh dan berkembang menjadi bentuk-bentuk
kearifan yang lahir dari proses hermeneutika tertentu. Di India tradisi hermeneutika sudah
dikenal sejak abad ke-8 SM dalam kegiatan penafsiran terhadap
Kitab Veda dan Brahmakandha sampai munculnya aliran-aliran filsafat Hindu, seperti
Samkhya, Mimamsaka, dan Vedanda. Kitab karangan Nirukta, penulis abad ke-8 SM,
merupakan bukti bahwa benih-benih hermeneutika telah berkembang beberapa abad sebelum
lahirnya hermeneutika klasik Yunani. Bahkan, penerapannya sebagai bentuk hermeneutika
estetik dan sastra telah tampak sejak abad ke-1 M dengan munculnya kitab Natyasastra karya
Bharata. Padahal, di Eropa hingga abad ke-18 M hermeneutika cuma berkutat sebagai teori
penafsiran teks kitab keagamaan (Hadi W.M., 2014: 4).
Begitu pula hermeneutika dalam tradisi intelektual besar lain, yaitu Islam. Sejak awal
perkembangan agama tersebut, beberapa bentuk teori penafsiran dan asas-asas universal
pemahaman teks telah muncul dan berkembang dengan subur. Teori penafsiran yang
berkembang itu melahirkan ilmu tafsir yang beragam coraknya, sedangkan asas-asas
pemahaman melahirkan bentuk hermeneutika yang lazim disebut ta’wil. Menurut Abdul Hadi
W.M., “Ta’wil sering diartikan sebagai tafsir spiritual yang simbolik dan merupakan bentuk
penafsiran yang lebih intensif serta ditujukan pada makna batin teks.” Ta’wil lahir dari kegiatan
memahami ayat-ayat mutasyabihat (simbolik) Al-Qur’an dan hadis, terutama Hadis Qudsi,
kemudian diterapkan juga untuk memahami teks sastra, khususnya puisi sufi.
Kesejarahan ta’wil menurut Abdul Hadi W.M. mulai diperkenalkan sebagai bentuknya yang
definitif pada abad ke-9 dan ke-10 M oleh seorang sufi Sahl al-Tustari dan Sulami. Pada abad
ke-12 s.d. ke-15 penggunaannya kian meluas di kalangan filsuf, sufi, dan ahli sastra,
sebagaimana termuat di dalam karya Imam al-Ghazali, Ruzbihan al-Baqli, Ibn ‘Arabi,
Jalaluddin Rumi, Fakhrudin ‘Iraqi, Sadrudin al-Qunawi, Abdul Karim al-Jili, dan Abdul
Rahman al-Jami (2014: 4).
Hermeneutika pada awal perkembangannya dikenal sebagai gerakan eksegesis di
kalangan gereja yang kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran”. Peran hermeneutika
yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan kritik teks, khususnya kitab suci.
Sebagaimana dikemukakan oleh Roger Trig (via Hidayat, 1996: 161), “The Paradigm for
hermeneutics is the interpretation of traditional text, where the problem must always be how
we can come to understand in our own context something wich was written in a radically
different situation.” Hal senada diungkapkan oleh Mircea Eliade (via Hadi W.M., 2014: 23),
“Hermeneutika sebagai seni menafsir, yang di dalamnya terdapat tiga komponen penting yang
tidak bisa dipisahkan, yaitu teks, penafsir, dan pembaca. Namun, karena terdapat banyak teks
yang pada mulanya satu, seperti teks Bibel, pekerjaan menafsir dan menafsir kembali teks
menjadi tugas yang berat dan rumit.” Richard E. Palmer (2003: 4) dengan mengutip Webster’s
Third New International Dictionary mendefinisikan hermeneutika juga sebagai “studi tentang
prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi, khususnya tentang prinsip-prinsip
umum interpretasi Bibel.
Sejarah mencatat bahwa istilah "hermeneutika" dalam pengertian sebagai "ilmu tafsir"
mulai muncul di abad ke-17, istilah ini dipahami dalam dua pengertian, yaitu hermeneutika
sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran, dan hermenutika sebagai penggalian
filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami.
Hermeneutika pada awal perkembangannya lebih sebagai gerakan eksegesis di kalangan gereja,
kemudian berkembang menjadi "filsafat penafsiran" yang dikembangkan oleh Schleiermacher.
Ia dianggap sebagai "bapak hermeneutika modern" sebab membakukan hermeneutika menjadi
metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada kitab suci dan sastra. Kemudian, Wilhelm
Dilthey mengembangkan hermeneutika sebagai landasan bagi ilmu kemanusiaan. Hans –
Georg Gadamer kemudian mengembangkan hermeneutika menjadi metode filsafat, terutama
di dalam bukunya yang terkenal Truth and Method.
Secara etimologis kata „hermeneutika‟ berasal dan kata „hermeneuein‟ dalam Bahasa
Yunani kuno dan berarti “seni menerangkan makna” (juga: “seni memberikan interpretasi, “the
art of interpretation, ars interpretandi). Asal-usul istilah “hermeneutika” pada masa sekarang
lazim dikaitkan dengan kata „Hermes,‟ nama seorang tokoh dalam mitologi bangsa Yunani
yang menurut sumber-sumber tertulis kuno, ia berperan sebagai pesuruh dewa-dewa utama dan
mempunyai tugas menyampaikan pesan-pesannya kepada manusia.
Hermeneutika (Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara
bahasa punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika
berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan dan
memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas,
kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau
pembaca.
Ada relevansi yang universal di antara asas-asas pemahaman dalam tiap-tiap
hermeneutika sehingga dengan munculnya kembali hermeneutika modern menurut Abdul Hadi
W.M. (2014: 5) membangkitkan minat para sarjana Asia untuk merevitalisasi bentuk-bentuk
hermeneutika klasik warisan intelektual bangsa mereka. Hal itu serupa dengan model
pemahaman dan penafsiran atau ta’wil Ibn ‘Arabi, sufi sekaligus ahli ta’wil terkemuka dari
Andalusia yang hidup pada abad ke-12 M. Model tersebut telah banyak digunakan oleh sarjana
modern, baik di Eropa maupun di Asia karena relevansinya. Salah satu contohnya
adalah Creative Imajination in Sufism of Ibn ‘Arabi (edisi bahasa Inggris, 1969) karya Henry
Corbin.
Di samping relevansi universal hermeneutika yang telah dikemukakan sebelumnya,
teks yang dijadikan objek bahasan ahli-ahli hermeneutika juga berbeda-beda sehingga
melahirkan corak ragam hermeneutika yang berbeda-beda pula.
b. Pengertian
Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein, yang berarti menafsirkan.
Sebagai kata benda hermeneia dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Dengan kata
lain penafsiran ini adalah produknya. Sedangkan bagi orang yang menggunakan produk
penafsiran sebagai alat untuk menafsirkan ini dinamai ‚hermeneit‛. Selain itu, hermeneutika
juga diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti.Sebenarnya kata ini, menurut spekulasi historis, merujuk pada nama dewa dalam
mitologi Yunani yaitu Dewa Hermes yang bertugas untuk menyampaikan pesanpesan Dewa
Tertinggi di langit (gunung Olympia) kepada manusia di bumi melalui bahasa yang dimengerti
oleh manusia.
Secara etimologis Hermeneutika berasal dari kata hermeneuein. Hermeneuein berarti
“menginterpretasikan”,”menafsifkan”. Kita sudah sering mendengar dan menggunakan kata
“menginterpretasi” atau “interpretasi. Kata itu dipakai hampir di semua ruang lingkup hidup.
Tindakan ilmuwan yang menganalisis data empiris disebut juga menginterpretasi. Kegiatan
kritikussastra yang menyelidiki suatu karya literatur dinamai menginterpretasi. Penerjemah
yang mengalihbahasakan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dipanggil interpretator.
Aktor-aktris yang melakonkan peran dalam suatu adegan disebut juga interpretator. Musisi
yang memainkan sebuah lagu berarti dia .menginterpretasikan lagu tersebut. Makna ini yang
selanjutnya diekspresikan dalam kata to interpret. Dari beberapa makna ini dapat dipahami
bahwa hermeneutika merupakan usaha untuk mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti.
Kata hermeneuin dihubungkan dengan nama tokoh dalam mitologi Yunani, yaitu
Hermes, yang dititahkan oleh Yupiter atau Zeus untuk menyampaikan pesan dari para dewa di
kayangan kepada manusia di bumi. Hermes digambarkan sebagai makhluk seperti manusia
dengan kaki bersayap. Hal itu melambangkan pesan yang ingin disampaikan, dalam arti
sebagai sarana manusia untuk melakukan penerbangan menuju kebenaran yang tempatnya di
alam metafisik. Nama Hermes dalam bahasa Latin ialah Mercurius. Dia dipadankan dengan
Nabi Enoch dalam tradisi Kristen, sedangkan Sayyid Husein Nasr (1981) menyamakan
perannya dengan Nabi Adris, nabi dalam Islam yang pertama kali diperkenankan mi’raj ke
langit lapis keempat untuk menerima pesan ketuhanan yang harus disampaikan kepada manusia
di bumi (Sumaryono, 1999: 23; Hadi W.M., 2014: 26).
Istilah hermeneutika berasal dari kata bahasa Inggris hermeneutics dengan huruf s yang
merupakan bentuk singular. Dalam transliterasi Indonesia disertakan huruf a sehingga
menjadi hermeneutika. Pemilihan istilah hermeneutika, menurut Richard E. Palmer (Terj.
Herry, 2003: vii), memiliki keuntungan, antara lain, dapat merujuk pada bidang hermeneutika
secara umum; untuk membedakan spesifikasinya, misalnya hermeneutik Hans-Georg
Gadamer; untuk membedakannya dengan bentuk adjektif hermeneutik (hermeneutic tanpa
huruf s) atau hermeneutis (hermeneutical). Karena “hermeneutik” cenderung terdengar
sebagai adjektif, kecuali kalau disertai the atau dengan beberapa modifikasi lain dan karena
huruf s (a) memberi kesan “aturan” dan “teori”, Richard E. Palmer menggunakannya pada
bentuk yang standar.
Dengan begitu, ada perbedaan penggunaan antara kata hermeneutic (tanpa s menjadi
hermeneutik) dan hermeneutics (dengan huruf s menjadi hermeneutika). Istilah pertama
dimaksudkan sebagai bentuk kata sifat. jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
‘ketafsiran’, yaitu menunjuk pada “keadaan” atau sifat yang terdapat dalam satu penafsiran.
Istilah kedua (hermeneutics, hermeneutika) merupakan kata benda. Kata tersebut mengandung
tiga arti, yaitu 1) ilmu penafsiran; 2) ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam
kata-kata dan ungkapan penulis; dan 3) penafsiran yang secara khusus menunjuk pada
penafsiran kitab suci (Faiz, 2003: 20).
Hermeneutika selalu berurusan dengan tiga unsur dalam aktivitas penafsirannya, yaitu
(1) tanda, pesan, atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang
diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes; (2) perantara atau penafsir (Hermes);
(3) penyampaian pesan itu oleh sang Perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang
menerima (Faiz, 2003: 21).
Ketiga unsur tersebut menjadi hal utama dalam hermeneutika, yaitu sifat-sifat teks, alat
yang dipakai untuk memahami teks, dan bagaimana pemahaman dan penafsiran itu ditentukan
oleh anggapan-anggapan dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan
menafsirkan teks.
Sementara itu, menurut Richard E. Palmer (Terj. Hery, 2003: 15—36), dengan
menelusuri kata herme>neuein, orisinalitas kata modern dari hermeneutika dan hermeneutis,
mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama proses ini melibatkan
bahasa karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses. Mediasi dan proses
membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Dewa Hermes itu terkandung
dalam tiga bentuk makna dasar dari herme>neuein dan herme>neia dalam penggunaan aslinya.
Tiga bentuk tersebut menggunakan verba dari herme>neuein sebagai berikut.
Pertama, herme>neuein sebagai toexpress ‘mengungkapkan’,“toassert ‘menegaskan’,
atau to say ‘menyatakan’ terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari Hermes.
Kedua, herme>neuein sebagai to explain ‘menjelaskan’ terkait dengan interpretasi
sebagai penjelasan yang menekankan pada aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih
menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling
esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan sesuatu,
merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat mengekspresikan situasi tanpa
menjelaskannya sehingga mengekspresikannya juga merupakan interpretasi serta
menjelaskannya merupakan bentuk interpretasi.
Ketiga, herme>neuein sebagai to translate atau to interpret ‘menafsirkan’ merupakan
bentuk khusus dari proses interpretatif dasar, yaitu membawa sesuatu untuk dipahami. Dalam
konteks ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh, dan tak dapat dipahami ke dalam media
bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hermes yang menjadi penerjemah atau media antara
satu dunia dan dunia yang lain. “Penerjemahan” membuat kita sadar bahwa kata-kata
sebenarnya membentuk pandangan dunia, bahkan persepsi-persepsi kita bahwa bahasa adalah
perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural. Kita eksis di dalam dan melalui media ini
sehingga kita dapat melihat melalui penglihatannya.
Ketiga makna tersebut bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris to
interpret. Namun, tiap-tiap makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan
bagi interpretasi. Tugas interpretasi menurut Richard E. Palmer “harus membuat sesuatu yang
kabur jauh dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami” (Terj.
Hery, 2003: 16). Dengan begitu, hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau
situasi ketidaktahuan menjadi kemengertian, dengan dua fokus perhatian yang berbeda dan
saling berinteraksi, yaitu (1) peristiwa pemahaman teks dan (2) persoalan yang lebih mengarah
pada apa pemahaman dan interpretasi itu (Palmer, Terj. Hery, 2003: 8).
Hermeneutika dalam pemakaiannya terutama pada masa lampau memiliki arti yang
luas, yakni sebagai pedoman untuk memahami teks-teks yang bersifat otoritatif, seperti dogma
dan kitab suci. Persoalan mendasar dalam mengkaji hermeneutika adalah problem penafsiran
teks, baik teks historis ataupun teks keagamaan. Dalam masalah teks keagamaan, yang dikaji
oleh hermeneutika adalah relasi antara pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader).
Hermeneutik adalah berfikir filosofis yang mencoba untuk menjelaskan concept of
verstehen dalam bahasa. Proses pemahaman ini biasa disebut dengan “Interpretation” apakah
dalam bentuk penjelasan atau penerjemahan. Hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai
proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Bahasa ini selalu
dianggap benar, baik hermeneutika dalam pandangan klasik maupun pandangan modern.
Dalam kata lain, menurut Dilthey hermeneutik berusaha memecahkan masalah yang lebih
rumit dan luas (more general problem) terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perubahan-perubahan. Kronologi
perkembangan pengertian dan pendifinisiannya dengan lengkap diungkapkan oleh Richard E.
Palmer dalam bukunya Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heiddeger, and Gadamer (1969), yang diterjemahkan oleh Musnur Hery
menjadi Hermeneutika Teori Baru mengenai Interpretasi (2003). Dalam buku tersebut Richard
E. Palmer membagi perkembangan hermeneutika menjadi enam kategori, yakni (1)
hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, (2) hermeneutika sebagai metode filologi, (3)
hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu
kemanusiaan (Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan (6)
hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
1. Teori Penafsiran Kitab Suci
Pengertian tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang,
adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical
interpretation). Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata
hermeneutika pada era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan
dalam penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan
metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode,
dan teori yang mengaturnya (hermeneutika) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi
teologis, dan kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.
Di Inggris, dan nantinya di Amerika, penggunaan kata hermeneutika mengikuti
kecenderungan umum yang mengacu pada penafsiran kitab suci. Penggunaan pertama,
setidaknya yang terdokumentasikan, dapat dilihat di Oxford English Dictionary pada 1737,
yakni “mengambil kebebasan dengan tugas khusus yang suci, yang juga berarti melakukan
tugas-tugas yang adil dan hermeneutika yang bijaksana.”[3]
Kata hermeneutika biasanya sering ditarik genesisnya sampai abad ke-17. Akan tetapi,
proses menafsirkan, baik itu dalam bentuk penafsiran religius, sastra, maupun bahasa-bahasa
hukum, dapat dirunut langsung kejaman Yunani maupun Romawi Kuno. Sejarahnya bisa
dirunut sampai panjang sekali. Kedetilan historis semacam itu tidak dapat dipresentasikan
disini. Akan tetapi, ada dua butir refleksi yang kiranya bisa berguna untuk kita, yakni akar
hermeneutik yang sebenarnya bisa ditemukan dalam proses penafsiran Kitab Suci, dan
pertanyaan lainnya yang mencangkup keluasan bidang refleksi hermeneutika.
Tanpa bermaksud untuk terjebak dalam detil, adalah penting bagi kita untuk mencatat,
bahwa ada kecenderungan umum di dalam metode penafsiran Kitab Suci untuk menggunakan
“sistem” penafsiran, di mana penafsiran difokuskan dengan satu metode tertentu yang telah
diakui bersama. “Sistem” semacam itu seringkali dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip
yang berfungsi sebagai kerangka panduan. Suatu teks tidak dapat ditafsirkan dengan bersandar
pada teks itu sendiri, karena hal tersebut tidaklah mungkin. Suatu teks hanya bisa ditafsirkan
di bawah pengaruh semangat jaman tertentu. Misalnya, penafsiran teks-teks Kitab Suci pada
jaman Pencerahan cenderung optimistik terhadap kebebasan manusia dan memuat nilai-nilai
moral yang juga bersifat optimistis. Dalam arti ini, hermeneutika adalah cara ataupun metode
sang penafsir untuk menemukan makna tersembunyi di dalam teks.
Dengan demikian, di dalam tegangan antara metode hermeneutika yang eksplisit fokus
pada satu fenomen, atau pada metode hermeneutika yang mau menangkap yang tersembunyi
di balik fenomen-fenomen lainnya, yang mungkin mempengaruhi fenomen yang ingin
dianalisa, hermeneutika dan pemahaman yang mendalam tentangnya, baik secara
epistemologis maupun ontologis, adalah sangat penting untuk mencari pengertian yang lebih
dalam tentang cara manusia menafsirkan dirinya, maupun menafsirkan “dunianya”.
2. Metodologi Filologi
Perkembangan rasionalisme pada abad ke-18 juga berpengaruh pada pemahaman
tentang hermeneutika. Hermeneutika pun, yang tadinya hanya digunakan di dalam proses
penafsiran Kitab Suci, ternyata juga dapat diterapkan pada bidang-bidang lainnya, yang non
Kitab Suci. “Norma-norma penafsiran Kita Suci”, demikian tulis Spinoza, “hanya dapat
menjadi cahaya bagi rasionalitas yang cocok untuk semua.”
Tantangan untuk menerapkan metode hermeneutika pada bidang-bidang non Kitab
Suci. Yang menjadi penting disini adalah, bahwa sang penafsir tidak lagi hanya menarik nilai-
nilai moral dari suatu teks, tetapi juga mampu memahami “roh” yang berada di balik teks, dan
kemudian menterjemahkannya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak ahli yang
berpendapat, bahwa pemahaman semacam merupakan proses demitologisasi gerakan
pencerahan atas teologi dan agama-agama. Walaupun, terutama di abad ke-20, proses tersebut
tidak lagi dipahami sebagai pemurnian tafsiran dari mitos, dan kemudian menjadikannya
serasional mungkin, tetapi lebih sebagai proses penafsiran lebih jauh dari penafsiran yang
sudah ada sebelumnya.
Sebagai fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk
mengerti latar belakang sejarah dari teks yang ditafsirkannya. “Setiap penafsir”,tulis J.S
Semler,”haruslah mampu berbicara tentang teks yang ditafsirkannya dengan cara yang sesuai
dengan jaman yang berbeda, serta situasi yang berbeda…”Dengan demikian, seorang penafsir
juga adalah seorang “sejarahwan”, yang mampu mengerti dan memahami “roh” historis dari
teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.
3. Ilmu Pemahaman Bahasa
Dalam bidang ini, filsuf yang banyak memberikan kontribusi adalah Schleiermacher.
Ia memandang hermeneutika sebagai semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk
memahami. Pemahaman semacam ini mau melampaui konsep, yang melulu memandang
hermeneutika sebagai kelompok aturan koheren dan sistematis, yang merupakan panduan
utama untuk menafsirkan teks. Schleiermacher tidak puas hanya dengan memandang
hermeneutika sebagai metodo filologi, seperti yang sedikit sudah dijelaskan di atas, melainka
juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”. Prinsip-prinsip hermeneutika
umum dapat juga berfungsi sebagai landasan atas berbagai macam penafsiran teks.
Dengan merumuskan hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”, ia, untuk pertama
kalinya, memahami hermeneutika sebagai studi atas pemahaman itu sendiri. Hermeneutika
semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi.
4. Landasan Metodologis bagi Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Wilhelm Dilthey, satu filsuf yang banyak berbicara tentang hermeneutika pada abad
ke-19, berpendapat, bahwa hermeneutika adalah displin berpikir, yang dapat digunakan
sebagai landasan metodologi untuk ilmu-ilmu kemanusiaan, yakni ilmu-ilmu yang
memfokuskan analisanya pada pemahaman akan seni, tindakan sosial manusia, maupun karya-
karyanya.
Menurutnya, untuk menafsirkan dan memahami ekspresi dari karya-karya manusia,
terutama dalam bentuk karya-karya sastra, penafsiran Kitab Suci, dan penafsiran hukum,
diperlukan tindakan pemahaman sejarah, yang secara operasional berbeda dengan metode sains
yang kuantitatif untuk memahami gejala-gejala alam. Ia berpendapat bahwa di dalam ilmu-
ilmu kemanusiaan diperlukan “rasionalitas” yang lain untuk memperoleh pemahaman sejarah,
yang berbeda dari “rasionalitas murni” Kantian, yang dapat digunakan untuk menafsirkan alam.
Jenis “rasionalitas” untuk memperoleh pemahaman di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan adalah
“rasionalitas historis”.
Hermeneutika, bagi Dilthey, adalah displin ilmu yang berfokus pada problem
penafsiran, dan terutama sekali adalah penafsiran atas obyek-obyek historis, yakni sebuah teks.
Oleh karena itu, metode yang paling tepat adalah memahami, dan bukan mengkalkulasi secara
kuantitatif, seperti yang diterapkan pada ilmu-ilmu alam. Dalam hal ini, ia telah merumuskan
landasan yang lebih manusiawi dan historis tentang metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan.
5. Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial
Berbicara tentang Dasein berarti kita harus berbicara tentang Martin Heidegger. Untuk
merefleksikan berbagai problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi, seperti yang telah
dirumuskan oleh Edmund Husserl. Heidegger melakukan studi fenomenologi atas keseharian
manusia di dunia. Studinya tersebut ada pada buku Being and Time (1927), yang merupakan
karya Magnus Opusnya. Dalam bukunya tersebut, ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein,
yang disebutknya sebagai hermeneutika atas Dasein.
Dalam konteks ini, hermeneutika tidaklah diartikan sebagai ilmu ataupun aturan
tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi sebagai
eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Heidegger berpendapat bahwa “penafsiran” dan
“pemahaman” merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian,
hermeneutika Dasein dari Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari
pengertian, jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika
untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.
Hans-Georg Gadamer mengembangkan implikasi lebih jauh dari hermeneutika
Haidegger di dalam sebuah karya sistematik, yang berjudul “Philosophical
Hermeneutics”(Truth and Method). Di dalam buku itu, ia merunut perkembangan
hermeneutika secara detil mulai dari Schleiermacher, Dilthey, sampai pada Heidegger. Akan
tetapi, Truth and Method lebih dari sekedar sejarah hermeneutika, melainkan juga sebuah
upaya untuk mengkaitkan hermeneutika dengan estetika, dan juga sebuah refleksi filsafat
“pemahaman sejarah” (historical understanding). Ia juga menjabarkan kritik Heidegger
terhadap hermeneutika, dan kemudian merumuskan konsep “kesadaran yang bergerak dalam
sejarah”, seperti yang pernah juga dirumuskan oleh Hegel, bahwa penafsiran bergerak secara
dialektis bersama sejarah, dan kemudian ditampilkan di dalam teks.
Gadamer dan Heidegger mengangkat hermeneutika sampai pada level “linguistik”, di
mana Ada sesungguhnya hanya dapat dimengerti melalui bahasa. Hermeneutika adalah
pertemuan sang penafsir dengan Ada melalui bahasa. Dengan demikian, mereka memberikan
arti lain bagi kata hermeneutika, yakni sebagai problem filosofis tentang relasi antara bahasa
dengan Ada, pemahaman manusia, sejarah, eksistensi, dan realitas. Hermeneutika pun
ditempatkan sebagai salah satu refleksi filsafat yang cukup sentral dewasa ini, yang tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ontologis maupun
epistemologis, karena proses manusia memahami itu sendiri adalah persoalan ontologis dan
epistemologis.
6. Sistem Interpretasi
Paul Ricoeur mau mendefinisikan hermeneutika dengan kembali pada analisis tekstual,
yang memiliki konsep-konsep distingtif serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan
hemeneutika,” demikian tulis Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah
proses penafsiran, yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga
dapat disebut sebagai teks…” Psikoanalisis, terutama dalam tafsir mimpi, jelas merupakan
proses hermeneutika. Semua aspek tentang hermeneutika ada di sana. Mimpi menjadi teks.
Teks tersebut mempunyai berbagai bentuk simbol, dan sang analis akan menggunakan simbol-
simbol tersebut untuk menafsirkan dan mengungkapkan makna yang tersembunyi. Dalam
konteks ini, hermeneutika adalah suatu cara untuk menangkap makna yang masih bersifat
implisit di dalam mimpi, dan yang sesungguhnya mempunyai arti penting. Obyek dari
penafsiran, yakni teks dalam arti seluas-luasnya, juga bisa merupakan simbol yang terdapat di
dalam mimpi, simbol yang terdapat pada sebuah tulisan, ataupun di dalam masyarakat itu
sendiri.
Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan simbol ekuivokal.
Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti pada simbol-simbol logika.
Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan perhatian utama dari hermeneutika, yang
simbol yang memiliki bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan
teks-teks simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah
membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus
memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan. Dengan
kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran, di mana relevansi dan makna
lebih dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus sesuai dengan teks yang kelihatan.
Upaya untuk menemukan makna tersembunyi di dalam mimpi, ataupun di dalam
“simbol” yang tampak tidak berkaitan satu sama lain menunjukkan satu hal, yakni bahwa
realitas yang tampak di depan mata kita ini sesungguhnya tidaklah dapat dipercaya. Freud
memberikan sumbangan yang penting sekali tentang hal ini. Ia mengajarkan kepada kita untuk
tidak begitu saja percaya terhadap apa yang kita sebut sebagai pengetahuan sebagai hasil dari
kesadaran. Dengan bertitik tolak dari situ, ia pun mengajak kita untuk menghantam semua
bentuk mitos dan ilusi, yang mungkin selama ini telah kita pahami sebagai pengetahuan hasil
dari kesadaran. Salah satu yang ingin ditunjukkan Freud adalah agama sebagai mitos dan ilusi
manusia. Agama adalah ilusi orang-orang yang tidak dewasa. Dalam hal ini, fungsi
hermeneutika kritis Freud bersifat kritis.
Dengan begitu banyak metode yang dapat digunakan di dalam hermeneutika, Ricoeur
berpendapat bahwa tidak ada satu bentuk norma universal di dalam penafsiran manusia,
melainkan teori-teori yang terpisah, dan saling berdebat satu sama lain. Akan tetapi, setidaknya
ada dua bentuk besar dari metode hermeneutika ini. Di satu sisi, ada para penafsir yang melihat
teks dan simbol sebagai sesuatu yang sakral, dan berupaya untuk menafsirkan yang sakral
tersebut untuk menemukan makna yang tersembunyi di baliknya. Di sisi lain, ada para penafsir
yang bahwa simbol dan teks adalah sebuah realitas yang palsu, yang harus dikupas struktur-
struktur menindasnya.
Penafiran Ricoeur atas teks-teks Freud sendiri adalah suatu bentuk penafsiran kreatif
yang mengagumkan. Ia membaca Freud, menafsirkannya, dan menemukan relevansinya bagi
kehidupan masa kini maupun untuk masa depan. Ia mau merumuskan suatu bentuk
hermeneutika, di mana rasionalitas dalam bentuk keraguan dan kecurigaan dapat dipadukan
dengan interpretasi reflektif untuk menemukan makna tersembunyi di balik teks ataupun
simbol tertentu. Sekarang ini, filsafat banyak berupaya menafsirkan bahasa. Hermeneutika,
seperti yang telah disintesakan oleh Ricoeur, ditantang untuk menafsirkan bahasa secara kreatif
tanpa terjatuh mengganggapnya sebagai sesuatu yang sakral, ataupun melulu dicurigai sebagai
ilusi atau mitos yang menindas.
C. Latar Belakang Munculnya Filsafat Hermeneutika
Werner G. Jeanrond menyebutkan tiga kondisi penting yang berpengaruh terhadap
timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori interpretasi: Pertama kondisi
masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua kondisi masyarakat Yahudi dan
Kristen yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama mereka dan berupaya mencari
model yang cocok untuk intepretasi untuk itu. Ketiga kondisi masyarakat Eropa di zaman
Pencerahan (Enlightenment) berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa
hermeneutika keluar konteks keagamaan.
A. Dari Mitologi Yunani ke Teologi Kristen
Konsep hermeneutika yang digunakan dari nama Hermes ini resminya digunakan untuk
kebutuhan kultural bagi menentukan makna, peran dan fungsi teks-teks kesusasteraan yang
berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya epik-epik karya Homer.
Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani, namun
istilah hermeneutike baru pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) Politikos,
Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan jelas
menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” yang tidak terbatas pada
pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum, penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya
bahasa dan retorika. Sedangkan dalam Timaeus Plato menghubungkan hermeneutika dengan
pemegang otoritas kebenaran, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat dipahami oleh “nabi”. Nabi
disini maksudnya adalah mediator antara para dewa dengan manusia.
Dalam menghadapi problema terjadinya krisis otoritas di kalangan penyair dalam
memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, misalnya masyarakat Yunani
menyelesaikan dengan konsep rational logos. Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan
hermeneutika sebagai ilmu intepretasi alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara
mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk
intepretasi alegoris terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer logos
(inner word and outer word). Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Philo
of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak metode
alegoris. Metode yang juga disebut typology itu intinya mengajarkan bahwa pemahaman
makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau dari informasi teks, tapi melalui
pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu di luar teks. Metode hermeneutika alegoris ini
kemudian ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen (sekitar 185-
254 M) telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode ini.
Namun, metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang
membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch. Pertentangan antara
kelompok Alexandria dan Antioch mereprentasikan pertentangan metode interpretasi simbolik
dan literal. Yang pertama berada dibawah pengaruh hermeneutika Plato sedangkan yang kedua
berada dibawah bayang-bayang hermeneutika Aristotle.
Dari pertentangan antara dua konsep hermeneutika Alexandria dan Antioch ini seorang
teolog dan filosof Kristen St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan tengah. Ia lalu
memberi makna baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik (teori
tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya distorsi bacaan
alegoris teks Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari literalisme yang terlalu simplistik.
Perkembangan pemikiran hermeneutika dalam teologi Kristen terjadi pada abad
pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Kemunculannya yang didahului
oleh transmisi karya-karya Aristotle ke dalam milieu pemikiran Islam mengindikasikan
kuatnya pengaruh pemikiran Aristotle dan Aristotelian Muslim khususnya al-Farabi (870-950),
Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Dalam karyanya Summa Theologia ia
menunjukkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle yang juga bertentangan dengan
kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia mengatakan bahwa “pengarang kitab suci adalah
Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog adalah pemahaman literal.
Pemahaman literal lebih banyak merujuk kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri
Hermenias nya. Tujuannya adalah untuk menyusun teologi Kristen agar memenuhi standar
formulasi ilmiah dan sekaligus merupakan penolakannya terhadap interpretasi alegoris.
B. Dari teologi dogmatis kepada spirit rasionalisme
Bagaimanapun resistensi para teolog Kristen terhadap perkembangan sains yang
dipengaruhi oleh pandangan hidup ilmiah Barat, hermeneutika terus menjadi diskursus yang
menarik kalangan teolog Kristen masa itu. Pertanyaan hermeneutika yang diangkat pun
bergeser menjadi bagaimana menangkap realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti
Bible dan bagaimana menterjemahkan realitas tersebut ke dalam bahasa yang dipahami oleh
manusia modern. Yang selalu dimuculkan adalah masalah adanya gap antara bahasa modern
dan bahasa teks Bible, dan cara penulis-penulis Bible berfikir tentang diri mereka dan cara
berfikir masyarakat Kristen modern.
Dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat
modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana kejadian
dan kata-kata masa lampau menjadi berarti dan relevan bagi eksistensi manusia tanpa
menghilangkan esensi pesannya.
Bel pertama untuk pemakaian hermeneutika sebagai the art of interpretation dapat
ditemui dalam karya J.C.Dannheucer yang berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus
exponendarum Sacrarum litterarum, (Sacred Method or the Method of Explanation of Sacred
Literature), terbit pada tahun 1654. Di situ hermeneutika sudah mulai dibedakan
dari exegesis sebagai metodologi interpretasi. Meskipun pengertiannya tetap sama tapi
obyeknya diperluas kepada non-Biblical literature.
Benedictus de Spinoza (1632-1677) dalam karyanya tahun 1670 berjudul Tractatus
theologico-politicus (Risalah tentang politik teologi) menyatakan bahwa “standar eksegesis
untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua”. Perlahan-
lahan hermeneutika dalam pengertian baru ini diterima sebagai alat penafsiran (exgesis) Kitab
Suci, dan juga menjadi pengantar disiliplin ilmu interpretasi.
Tanda-tanda beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi yang dogmatis kepada
semangat rasionalisme sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan Reformasi Protestan pada
abad ke-16. Mulai abad ini hermeneutika mengalami perkembangan dan memeperoleh
perhatian yang lebih akademis dan serius ketika kalangan ilmuwan gereja di Eropa terlibat
diskusi dan debat mengenai otentisitas Bibel dan mereka ingin memperoleh kejelasan serta
pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel yang dalam berbagai hal dianggap
bertentangan.
Tanda ini bertambah jelas pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad
berikutnya. Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai dirasakan sabagai teman sekaligus
tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai
berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial. Pada pertengahan abad ini di Eropa
bangkit sebuah apresiasi tentang karya-karya seni klasik, hermeneutika sebagai metode
penafsiran menjadi sangat penting peranannya. Karena sebuah karya seni merupakan contoh
perwujudan paling riil dari sebuah jalinan yang unik antara sang pencipta, proses pensiptaan
dan karya cipta.
Perkembangan makna hermeneutika dari sekedar pengantar ilmu interpretasi menuju
kepada metodologi pemahaman, dilontarkan oleh seorang pakar filololgi Friedriech Ast (1778-
1841). Dalam bukunya Grundlinien der Grammatik Hermenutik und Kritik (Elements of
Grammar, Hermeneutic and Criticism) Ast membagi pemahaman terhadap teks menjadi 3
tingkatan: 1) pemahaman historis, yakni pemahaman berdasarkan pada perbandingan teks
dengan teks yang lain. 2) pemahaman ketata-bahasaan, yaitu merujuk kepada pemahaman
makna kata pada teks, dan 3) pemahaman spiritual, yakni pemahaman yang merujuk kepada
semangat, wawasan, mentalitas dan pandangan hidup pengarang, tapi terlepas dari konotasi
teologis ataupun psikologis.
Pada tingkat ini pergeseran diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat masih
berkutat pada perubahan fungsi hermeneutika dari teori interpretasi teks Bibel secara rasional
menjadi pemahaman segala teks selain Bibel. Disini hermeneutika berkembang dalam milieu
yang didominasi oleh para teolog yang telah bersentuhan dengan pemikiran filsafat Barat.
C. Dari teologi Protestan kepada filsafat
Abad ke 18 dianggap sebagai awal periode berlakunya proyek modernitas, yaitu
pemikiran rasional yang menjanjikan pembebasan (liberasi) dari irrasionalitas mitologi, agama
dan khurafat. Ketika gerakan desakralisasi atau dalam bahasa Weber ‘disenchantment’ terjadi
di Barat, ilmu diletakkan dalam posisi berlawanan dengan agama yang dianggap penyebab
kemunduran.
Pada abad ke-17 dan 18 pendekatan kritis terhadap Bibel (Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru) yang merupakan bagian dari hermeneutika teologis telah berkembang. Studi
kritis perjanjian lama telah menekankan kepada struktur atau bahasa teks sebagai cara untuk
memahami isi. Studi in juga menyandarkan pada bukti internal teks sebagai dasar diskusi
mengenai integritas dan pengarang teks, kemudian mencari situasi sosiologis dan historis
sebagai konteks untuk memahami asal-mula dan penggunaan materi. Studi kritis Perjanjian
Baru melahirkan banyak teks-teks tandingan terhadap textus receptus edisi Erasmus. Studi
tersebut menyatakan bahwa Kalam Tuhan (Word of God) dan Kitab Suci (Holy Scripture) tidak
identik, bagian-bagian dari Bibel bukanlah inspirasi dan tidak dapat diterima secara otoritatif.
Di dalam milieu pemikiran inilah makna hermeneutika berubah menjadi metodologi filsafat.
D. Hermeneutika dalam Penerapannya
Pentingnya hermeneutik dan penerapannya yang cukup luas pada ilmu-ilmu
kemanusiaan. Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermaneutik adalah ilmu
tafsir kitab suci. Sebab, semua karya yang mendapat inspirasi ilahi seperti al-Qur’an, kitab
Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanishad itu supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi
atau hermeneutik.
A. Hermeneutik dalam Ilmu Sejarah:
Teks sejarah yang ditulis dalam bahasa yang rumit yang beberapa abad tidak
dipedulikan oleh para pembacanya, tidak dapat dipahami dalam kurun waktu seseorang tanpa
penafsiran yang benar. Demikianlah sehingga interpretasi yang benar atas teks sejarah
memerlukan hermeneutik.
B. Hermeneutik dalam Ilmu Hukum
Dalam hal ini,interpretasi hukum itu selalu berhubungan dengan isinya, yang mana
setiap hukum itu mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat. Kedua hal itu selalu
diperdebatkan oleh para ahli hukum, sehingga dalam hal tersebut bahasa menjadi sangat
penting. Ketepatan pemahaman dan ketetapan penjabarannya adalah sangat relevan bagi
hukum. Sehingga hermeneutik mau tidak mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen
hukum, dalam ruang lingkup kesusastraan kebutuhan tentang hermeneutik sangatlah
ditekankan. Tanpa interpretasi atau penafsiran, pembaca mungkin tidak mengerti atau
menangkap jiwa zaman di mana kesusastraan itu dibuat. Sebagai contoh, misalnya karya
shakespeare: karya ini selalu ditafsirkan berbeda antara zaman satu dengan zaman berikutnya.
C. Hermeneutik dalam Ilmu Filsafat:
Pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Sebab pada
kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah ‘’interpretasi’’ pembahasan seluruh isi alam semesta
ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia. Jelaslah bahwa kembalinya minat terhadap
hermeneutik terletak di dalam filsafat. Meskipun demikian, sebagaimana terdapat dalam
kesusastraan, dalam filsafat pun tidak ada aturan baku untuk interpretasinya. Tentang Plato
misalnya, orang berinterpretasi secara berbeda-beda dari zaman ke zaman. Aristoteles
mengatakan: “Plato adalah seorang sahabat, tetapi sahabat yang lebih akrab lagi adalah
kebenaran”. Pernyataan ini mengandaikan bahwa Plato belum mengajarkan kebenaran
BAB III
SIMPULAN
Demikianlah usalan singkat mengenai hermeneutika apabila disederhanakan
hermeneutika berasal dari Hermeneutika berasal dari kata Yunani: hermeneuin yang artinya
menafsirkan. Dalam perkembangannya,Hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep
Blicher membegi pembahasan Hermeneutika menjadi tiga, yaitu Hermeneutika sebagai sebuah
metodologi, Hermeneutika sebagai filsafat dan Hermeneutika sebagai kritik sementara Richard
E. Palmer menggambarkan perkembangan pemkiran Hermeneutika menjadi enam pembahasan
yaitu Hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, Hermeneutika sebagai metode
fisiologi,Hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, Hermeneutika sebagai fondasi dari
ilmusocial-budaya (geisteswissenschaft), Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein,dan
Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
Karena ilmu dilahirkan oleh pandangan hidup, maka ia memiliki presupposisi sendiri
dalam bidang etika, ontologi, cosmologi dan metafisika. Disinilah sejatinya yang menentukan
bahwa ilmu hermeneutika, itu tidak netral. seperti yang telah dibahas diatas. Karena setiap
konsep dalam suatu peradaban selalu diwarnai oleh pandangan hidup masing-masing tokoh,
hal ini menegaskan bahwa suatu peradaban tidak dapat begitu saja mengimport suatu konsep
kecuali dengan proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut “borrowing process”. Jika
modifikasi konsep itu melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan
paradigma (Paradigm Shift) tidak dapat dielakkan lagi.
Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosikan dengan Dewa
Hermes terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia dalam
penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu:
to say, to explain, dan to translate atau to interpret.
DAFTAR RUJUKUAN

K Berten, Filsafat Barat Abad XX, (Jilid 2: Prancis, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta,1996).

E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)

F. Budi Hardiman, Teori-Teori Hermeneutika, makalah Pelatihan Pendidikan Islam


Emansipatoris, (Jakarta: P3M, 19-24 Mei, 2003)

Palmer, R. E. 1969. Hermeneutika. Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terjemahan oleh


Musnur Hery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.

Bleicher, Josef. Hermeneutika Kontemporer, Terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Fajar


Pustaka. 2007

Gadamer, Hermeneutics. Religion, and Ethics, London: Yale University Press. 1999

Richard E. Palmer, Hermeneutics, Northwestern University Press, 1969.

Hadi W.M., Abdul. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik
dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari. . 2004

Sumaryono, E. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1999.

Anda mungkin juga menyukai