Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semenjak zaman Yunani kuno filsafat telah menjadi perhatian pokok para filsuf sebagai dasar pijakan
untuk memandang segala sesuatu termasuk bahasa. Bahasa telah menjadi topik menarik sepanjang
sejarah bagi para filsuf, dapat dikatakan perhatian filsafat terhadap bahasa saat ini sama agungnya
dengan “being” (yang ada) dalam filsafat klasik dulu. Logos atau bahasa menjadi prinsip alam
semesta dan menjadi prinsip pertama dari pengetahuan manusia.

Seiring waktu para filsuf menemukan bahwa bahasa dapat digunakan untuk mengungkapkan
konsep-konsep analisa yang menjadi tugas utama filsafat. Keterpusatan para filsuf terhadap bahasa
inilah yang kemudian dinamakan dengan “logosentrisme”. Eko Ari Widodo dalam Jurnal Oka Antara
edisi ke-4, tahun 2009 menjelaskan bahwa logosentrisme adalah sebuah sistem metafisik yang
mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendental dibalik segala hal yang tampak di
permukaan atau segala hal yang terjadi didalam fenomena.

Selama postmodernisme, logosentrisme telah menjadi nafas dari filsafat bahasa, hingga muncullah
berbagai disiplin ilmu yang menambah luas pembahasan dari filsafat bahasa. Disini penulis ingin
membahas sekilas tentang apakah yang dimaksud dengan filsafat bahasa, logosentrisme, serta
bagaimana hubungan keduanya pada postmodernisme ini.

RUMUSAN MASALAH

Apakah yang dimaksud dengan filsafat bahasa?

Apakah yang dimaksud dengan logosentrisme ?

Apakah hubungan Filsafat Bahasa dengan Logosentrisme?

TUJUAN

Untuk mengetahui pengertian dari Filsafat Bahasa

Untuk mengetahui pengertian dari logosentrisme

Untuk mengetahui hubungan antara Filsafat Bahasa dengan logosentrisme

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian filsafat bahasa

Secara etimologi, istilah filsafat diambil dari kata falsafah yang berasal dari bahasa Arab, yang berarti
pikiran. Istilah ini diadopsi dari bahasa Yunani dari kata “philosopia”, philein yang berarti cinta dan
sophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat sebagai suatu aktifitas yang berpangkal pada pikiran
manusia (logika) untuk menemukan kearifan dan kebijaksanaan dalam hidupnya, terutama dalam
semantik atau makna.

Bahasa sendiri pada hakikatnya merupakan suatu simbol yang memiliki makna, merupakan alat
komunikasi manusia, penuangan emosi manusia, serta merupakan sarana pengeja pikiran manusia
dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Rizal Mustansyir, Filsafat bahasa ialah suatu penyelidikan secara mendalam terhadap
bahasa yang dipergunakan dalam filsafat, sehingga dapat dibedakann pernyataan filsafat yang
mengandung makna (meaningfull) dengan yang tidak bermakna (meaningless).[1]

Pengertian Logosentrisme

Logosentrisme adalah istilah yang diciptakan oleh filsuf Jerman Ludwig Klages pada tahun 1920-an.
Hal ini mengacu pada tradisi ilmu pengetahuan barat dan filsafat yang menempatkan logos (kata)
atau tindak tutur sebagai epistimologi yang unggul dalam suatu system atau struktur, yang mana kita
hanya dapat mengetahuinya atau masuk kedalamnya dengan adanya “metafisika kehadiran”
(logosentrisme).

Ditinjau dari segi kata, “logosentrisme” berasal dari kata logos yang berarti bahasa, teks, isi
pemikiran, kata, kalam, dan pembicaraan. Secara harfiah, logosentrisme artinya keterpusatan pada
logos (kata).[2]

Seorang tokoh filsuf bernama Jacques Derrida mendefinisikan logosentrisme sebagai sebuah
kepercayaan pada “metafisika kehadiran” yang terdapat dalam kata yang terucap antara penutur
dan pendengar.

Eko Ari Widodo dalam Jurnal Oka Antara edisi ke-4, tahun 2009 menjelaskan bahwa logosentrisme
adalah sebuah sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendental
dibalik segala hal yang tampak di permukaan atau segala hal yang terjadi didalam fenomena.

Fase ini juga dinamakan postmodernitas, yang mana bahasa menjadi pusat kajian atau wacana para
filsuf.
Dalam hermeneutika Kelber tentang John, gagasan pra-eksistensi logosentrisme. Logos dalam
wacananya memprioritaskan ranah awal sejarah dan di luar realitas teks naratif. Istilah
‘logosentrisme’ mengacu pada Graeco-Kristen atau tradisi Yohanes Platonis sesuai dengan yang
tertulis bahasa milik ranah yang tidak sempurna sedangkan pengetahuan yang benar berkaitan
dengan pra-ada, dipersonifikasikan Logos.

Dalam bahasa Yunani, Logos mengacu pada kata, alasan, kebenaran, logika dan hukum. Untuk Plato,
Logos dapat dilihat sebagai prinsip landasan transenden ketertiban dan alasan yang memberi makna
pada wacana[3]. Dalam Injil Yohanes Logos mengacu pada kata yang kekal, yang sama dengan status
metafisik dan ontologis Allah. Logos dapat dilihat sebagai dasar mandiri atau identitas diri dimana
semua kebenaran dapat diukur. Ini berfungsi sebagai tolok ukur semua makna. Bahasa, Logos
mengacu pada makna, kehadiran, ide, niat yang ada di balik teks tertulis, sedangkan kata yang
diucapkan berfungsi sebagai kendaraan yang memadai ekspresi[4].

Hubungan filsafat bahasa dengan logosentrisme

Menurut seorang filsuf bernama Derrida, konsep logosentris berhubungan erat dengan filsafat
bahasa yang mengutamakan subjek sebagai asal realitas atau paling sedikit sebagai yang memahami
realitas secara rasional. Bahasa sendiri telah menemukan fungsi lainnya dalam wacana filsafat, yakni
sebagai media untuk mengungkapakan konsep-konsep filsafat. Dan cara mengungkapkan filsafat itu
adalah dengan menggunakan simbol atau teks (logosentris).

Logosentrisme menandai munculnya filsafat era post-modernisme seiring berkembangnya


strukturalisme dan pascastrukturalisme yang menaruh perhatian besar terhadap analisis bahasa.
Pada era logosentrisme, filsuf-filsuf postmodernisme justru memaklumkan manusia bukan lagi
sebagai subjek bahasa, subjek pemikiran, subjek tindakan, dan pusat sejarah, bahkan manusia tidak
dipandang sebagai pusat pemaknaan realitas. Namun di sisi lain, keterpusatan para filsuf terhadap
bahasa telah melahirkan keilmuan seperti hermaneutika, analitik bahasa dan beberapa keilmuan
lainnya yang digunakan sebagai sebuah metode untuk menjelaskan konsep-konsep analisa dari
filsafat.

Dalam teks-teks filsafat sendiri, kehadiran logos ditampilkan dengan hadirnya pengarang (author)
sebagai subjek yang memiliki otoritas terhadap makna yang hendak disampaikannya.

Logosentrisme serupa juga menimpa filsafat pasca-Hegelian yang mengganti roh absolut dengan
konsep-konsep yang diandalkan sebagai “pusat” atau origin dari segala sesuatu. Aletheia
(penyingkapan sang Ada dalam pemikiran Heidegger), eidas (esensi atau struktur eidetik kesadaran
dalam pemikiran Husserl), phone (tuturan, wicara, bunyi dalam linguistik Saussurian), arche, telos,
erergeia (dalam konsep Aristotelian), Tuhan, diri, manusia, transendelitas, kesadaran, konsensius
(consciousness), kesadaran diri (conscience) –semua ini adalah berbagai wujud logosentrisme dalam
metafisika barat. Akar dari kecenderungan totalisasi dalam filsafat dapat ditelusuri dari dominannya
cara berpikir logosentris dalam kebenaran.

Eko Ari Widodo dalam Jurnal Oka Antara, no. 4 tahun 2009 menjelaskan bahwa pertama-tama,
filsafat biasa mereduksi berbagai perso’alan kedalam suatu rumusan universal yang diterima secara
a priori. Ketika sebuah prinsip atau aksioma filosofis diterapkan, maka kebenarannya dianggap
berlaku secara universal. Keuniversalan tersebut kemudian dipercaya sebagai kebenaran yang
subjektif. Objektivitasnya tidak terkait dengan sebujektivitas individu maupun berbagai perubahan
yang terjadi dalam sejarah. Kebenarannya terbebas dari kontingensi karena sifatnya yang absolut
dan transenden diluar pengalaman yang partikular. Kemudian filsafat menciptakan berbagai
kategori atas berbagai fenomena, mencari kesatuan makna dari berbagai hal yang beragam (craving
for generality) dan melakukan penunggalan atau kemajemukan (craving for unity).

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Filsafat bahasa ialah suatu penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan
dalam filsafat, sehingga dapat dibedakann pernyataan filsafat yang mengandung makna
(meaningfull) dengan yang tidak bermakna (meaningless).

Logosentrisme adalah istilah yang diciptakan oleh filsuf Jerman Ludwig Klages pada tahun 1920-an.
Hal ini mengacu pada tradisi ilmu pengetahuan barat dan filsafat yang menempatkan logos (kata)
atau tindak tutur sebagai epistimologi yang unggul dalam suatu system atau struktur, yang mana kita
hanya dapat mengetahuinya atau masuk kedalamnya dengan adanya “metafisika kehadiran”
(logosentrisme). Ditinjau dari segi kata, “logosentrisme” berasal dari kata logos yang berarti bahasa,
teks, isi pemikiran, kata, kalam, dan pembicaraan. Secara harfiah, logosentrisme artinya
keterpusatan pada logos (kata).

Logosentrisme menandai munculnya filsafat era post-modernisme seiring berkembangnya


strukturalisme dan pascastrukturalisme yang menaruh perhatian besar terhadap analisis bahasa.
Pada era logosentrisme, filsuf-filsuf postmodernisme memaklumkan kematian manusia sebagai
subjek. Manusia bukan lagi penentu struktur melainkan ditentukan oleh struktur. Pada fase ini
manusia hanyalah sebuah hasil atau produk struktur. Tidak dapat dielakkan bahwa kehadiran
logosentrisme telah menjadi pusat atau origin atas segala sesuatu, sebagai cara berpikir atau point
of view dalam memandang segala sesuatu dan sebagai subjek yang memiliki otoritas terhadap
makna yang hendak disampaikannya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hidayat, Asep, 2009, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda,
Bandung: Remaja Rosda Karya

Childers, J, 1995, The Columbia dictionary of modern literary and cultural criticism, New York:
Columbia University Press.

Derrida, J, 1976, Of grammatology, transl. G.C. Spivak, Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Kaelan, M.S, 1998, Filsafat Bahasa, Yogyakarta: Paradigma.

Kelber, W.H., 1987, The authority of the word in St John’s Gospel: Charismatic speech, narrative text,
logocentric metaphysics, Journal of Oral Tradition 2(1), 108–131.

Tedlock, D, 1979, Beyond logocentrism: trace and voice among the Quiché Maya, Boundary 2, vol. 8,
no. 1, pp. 321–333.

Ari Widodo, Eko, 2009, Logosentrisme Jacques Derrida dalam Filsafat Bahasa, Jurnal Oka Antara, 1
(4): 13- 29.

Zainul Hamdi, Ahmad, 2003, Hermaneutika Islam, Jurnal Gerbang, 5 (14): 47-75.

Http://en.wikipedia.org/wiki/Logocentrism, diakses Jum’at 13 maret 2015, pukul 21:44

Http://www.angelfire.com/md2/timewarp/derrida.html, diakses Jum’at 13 maret 2015, pukul 21:49

Http://koersjournal.org.za/index.php/koers/article/view/50/2486, diakses Jum’at 13 maret 2015,


pukul 21:55

Http://philosophy.stackexchange.com/questions/21293/how-does-logocentrism-entail-metaphysics-
of-presence, diakses Jum’at 13 maret 2015, pukul 22:03
[1] Verhaar, “Filsafat yang mengelak “, h. 8, dalam Rizal Mustansyir, Filsafat Bahasa, jakarta : Prima
Karya, 1998, cet.ke-1, h. 46

[2] Kata “logos” dalam bahasa Yunani adalah untuk “kata”.

[3] Childers, J, The Columbia dictionary of modern literary and cultural criticism (Columbia:
University Press, 1995), hlm. 154-155.

Anda mungkin juga menyukai