Anda di halaman 1dari 5

FILSAFAT BAHASA POSTMODERNISME Tugas ini disusun guna memenuhi mata kuliah filsafat ilmu Pengampu: Ibu Waljinah

Disusun Oleh: Tia Erlin Fradita A310120231/3 E

PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

A. Pengantar

Dalam dunia filsafat

postomodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan

epistimologi. Dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologism sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Sejak dari perkembangan yang pertama sampai kini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia yang Pertama, kosmosentris: yaitu fase

pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat yaitu yang terjadi pada zaman kuno. Kedua, teosentris: yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris: yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat, hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang, yang sering disebut pasca modern ataupostmodern. Logosentrisme yang menandai berkembangnya filsafat postmodernisme seiring dengan berkembangnya strukturalisme dan pascastrukturalisme yang kemudian melahirkan filsuf-filsuf hermeneutika. Dalam masalah ini manusia tidak berbicara sendiri melainkan dibicarakan, yaitu oleh struktur-struktur bahasa. Manusia bukan lagi dopandang sebagai subjek yang mengendalikan atau mencetak struktur dan system melainkan dicetak atau dikendalikan system (Hakim, 1994:78). Dalam bidang ilmu filsafat berkembangnya paham postmodernisme, tidak dapat dipisahkan dengan berkembangnya strukturalisme dan poststrukturalisme yang memiliki perhatian yang besar terhadap analisis bahasa. Perkembangan paham pemikiran yang demikian ini diistilahkan oleh Best Kellner dengan postmodern ( pembalikan kea rah postmodern) (Best Kellner, 1991:24). Sumber perhatian utama pemikiran postmodernisme dalam bidang filsafat tersebt adalah pada bahasa. Hal ini sebagaimana kita lihat di Prancis misalnya Derrida mengembangkan pemikiran bertolak dari konsep strukturalisme bahasa

Ferdinand de Saussure, adapun Lyotard dari konsep language game Ludwig Wittgenstein (Awuy, 1995:162). Gadamer mendasarkan pada prinsip hermeneutikanya, yang dikatakan bahwa berbicara tentang bahasa adalah sebagai fungsi aktualisasi tradisi, sedangkan Habermas berbicara tentang bahasa sebagai sarana integrasi social antara berbagai subjek komunikasi dan sarana sosialisasi kebutuhan dan kepentingan yang melatarbelakangi komunikasi itu (Sugihart0,1996:63, sertaberbagai tokoh lainnya dimana pemikiran ini berkembang di Jerman. B. Bahasa sebagai Paradigma Dekonstruksi Era postmodern membawa manusia untuk mengkaji kembali harkat dan martabatnya. Manusia tidak lagi dipandang sebagai sentral pemikiran yang dalam kenyataannya mengakibatkan manusia terkuasai oleh sains dan teknologi, wibawa moral dan religious menjadi semakin pudar. Tradisi modernism secara linguistis membangun suatu narasi besar yaitu totalitarian dalam arti hanya ada satu prinsip saja yang mendasari dan membangun realitas ini, yang menurut istilah Lyotard disebut homologi ( Awuy, 1995:161). Manusia tidak dipahami sebagai makhluk yang bersifat total tetapi bersifat persial. Oleh karena itu manusia haruslah dipahami dalam realitas keanekaragamannya. Dalam keadaan yang demikian inilah maka hadirlah para pendekar filsafat untuk melakukan suatu dekonstruksi terhadap paradigm modernism tersebut, yaitu melakukan suatu pembongkaran, dan menyusun kembali dalam suatu konstruksi baru akan tetapi bukan melakukan penghapusan. Melalui analisis bahasa model language game, Lyotard sampailah pada suatu kesimpulan bahwa realitas tidak mungkin bias diwakili oleh sebuah konsep bermakna tunggal. Jikalau hal ini dipaksakan maka hal ini merupakan suatu kesewenangan dan berarti mereduksi da meresepsi bahasa-bahasa lain yang ada. Dalam pengertian ilmiah maka Lyotard menawarkan konsep yang berlawanan yaitu disensus. Hal ini diartikan bahwa

masing-masing unsur kehidupan karena telah memiliki logikanya masing-masing maka biarkanlah hal itu berjalan, sebagaimana aturan-aturan permainan catur, sepak bola dan lain sebagainya. Dengan analisis permainan bahasa atau dengan prinsip paralogi, maka manusia dibawa seolah-olah bermain dalam suatu arena. Menurut istilah Susan Sontag arena ini merupakan suatu sensibilitas baru. Kita tidak perlu lagi hidup secara dikotomis yang logikanya either/or, atau pilihan hitam putih, melainkan kita memerlukan semacam relasi seni, tanpa adanya suatu paksaan (Awuy, 1995:163). C. Aspek-Aspek 1. Aspek Ontologi Dalam perspektif hermeneutika, bahas dilihat sebagai pusat gravitasi. Gadamer mengatakan bahwa Ada (Being) yang bias dimengerti adalah bahasa (Gadamer, 1975:xxii). Demikian pula seperti halnya ungkapan bahasa yunani, manusia dipandang sebagai zoon logon echon, dalam arti bahwa manusia sebagai makhluk yang berbicara, pengada yang memiliki logos, Manusia adalah binatang yang bercerita dengan menggunakan bahasa. 2. Aspek Epistimologi Dalam filsafat kebenaran atau kenyataan yang benar tidak dapat dilihat sebagai mempresentasikan kenyataan objektif ekstralinguistik. Tidak lagi bias dipahami sekedar sebagai potret masa lalu. Dari perspektik hermeneutika kebenaran menunjukan pada proses transformasi yang terjadi pada setiap peristiwa pemahaman. Disini filsafat lebih membicarakan tentang apa yang dikerjakan orang atau tentang tindakan manusia. 3. Aspek Aksiologi Ilmu filsafat tidak dapat dipisahkan dengan berkembangnya strukturalisme dan poststrukturalisme yang memiliki perhatian yang besar terhadap analisis bahasa. Sumber

perhatian utama yaitu pemikiran postmodernisme dalam bidang filsafat tersebut adalah pada bahasa. D. Kesimpulan Bahasa sebenarnya bukanlah sekedar sebagai substansi fisis yang merupakan suat objek ilmu pengetahuan saja, melainkan hakikatnya lebih luas karena bahasa tidak dapat dilepaskan dengan pengalaman manusia. Dalam filsafat sendiri juga mempunyai peranan bahasa yaitu postmodernisme untuk menemukan suatu kebenaran hakiki. Filsafat yang dinamsi dan hakiki inilah yang menyebabkan filsafat berkembang terus sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia. Pemikiran filsafat mengkaji terdapat empat fase yang terdiri dari kosmosentris, teosentris, antroposentris dan yang terakhir logosentris. Filsafat pada umunya justru ingin melepaskan diri dari statusnya sebagai tulisan. dalam prespektif tradisional filsafat senantiasa memiliki proyek yang ambisius untuk menjaring segala jenis persoalan, atau menjadi mathesis universal. Menurut peristilahan Derrida itulah cita-cita ambisius filsafat. Dalam kenyataannya filsafat senantiasa ingin mereduksi segala persoalan ke dalam suatu system metafor. E. Daftar Pustaka Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya.Yogyakarta Paradigma.

Anda mungkin juga menyukai