Anda di halaman 1dari 14

TEORI KOMUNIKASI INTERPERSONAL

Mata Kuliah Kecakaan Antar Personal

Dosen Pengampu : Theofilus Bayu D., S.T., M.Sc

Disusun Oleh Kelompok 5 :

1. DYAH AYU RISANTI NPM. 14111100032

2. MA’RUF SHODIQIN NPM. 14111100044

3. AHMAD FEBRIANDI NPM. 14111100088

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA


2017KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan

tugas kuliah Kecakapan Antar Personal.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya tugas ini tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Paiman, MP. selaku Rektor Universitas PGRI Yogyakarta yang

telah mengijinkan penulis menempuh kuliah di Universitas PGRI Yogyakarta.

2. Ibu Meilany Nonsi Tentua, S.Si, MT, selaku Dekan Fakultas Teknik

Universitas PGRI Yogyakarta yang telah memberi ijin menyusunan skripsi ini.

3. Ibu Setia Wardani, M.Kom, selaku Ketua Program Studi Teknik Informatika

Universitas PGRI Yogyakarta.

4. Bapak Theofilus Bayu D., S.T., M.Sc selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah

Kecakapan Antar Personal yang telah membantu, membimbing, dan

mengarahkan dalam penyusunan tugas ini.

5. Dosen-dosen Fakultas Teknik Universitas PGRI Yogyakarta beserta staf

karyawan.

6. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu dalam penyusunan tugas ini.

i
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan tugas ini masih banyak

kekurangan. Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak yang

berkepentingan, amin.

Yogyakarta, Desember 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iv

BAB I ISI MAKALAH...........................................................................................1

A. Teori Komunikasi Antarpersonal...............................................................1

1. Speech Act Theory (Teori Tindakan)........................................................2

2. Uncertainty Reduction Theory..................................................................3

3. Politeness Theory (Teori Etika).................................................................5

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................9

iii
BAB I

ISI MAKALAH

A. Teori Komunikasi Antarpersonal

Para peneliti atau ahli telah menelurkan beberapa pengertian

komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi. Secara umum, yang

dimaksud dengan komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi

adalah komunikasi yang mempelajari berbagai aspek yang terkait dengan

penciptaan makna yang terjadi antara dua orang serta bagaimana makna itu

memiliki pengaruh terhadap orang lain agar dapat mengubah pengetahuan,

sikap, dan perilakunya.

Komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi adalah

sebuah proses interaksi antara dua orang yang dilakukan secara tatap muka

atau face to face atau melalui media. Karena itu, dengan kata lain, sebuah

dialog atau percakapan yang terjadi antara dua orang bersifat personal,

langsung, dan akrab. Komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi

yang terjadi sebagian besar bergantung pada hubungan antara dua individu,

kesetaraan status, lingkungan sosial budaya dimana komunikasi terjadi, dan

lain sebagainya. Komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi

yang  menggunakan media dalam proses pertukaran pesan biasanya disebut

dengan komunikasi interpersonal bermedia.

1
1

1. Speech Act Theory (Teori Tindakan)

Teori Tindak Tutur atau Speech Act dikemukakan oleh Jhon

Langhsaw Austin melalui serangkaian kuliah yang dikenal sebagai the

William James Lectures di Universitas Harvard pada tahun 1955. Namun

teori tindak tutur yang paling sepenuhnya dikembangkan oleh anak didiknya,

John Reagers Searle. Konsep tindak tutur bertumpu pada dasar-dasar

pendekatan pragmatis dan bahasa biasa untuk linguistik. Akibatnya, dalam

pemahamannya bahasa bukan hanya praktek pasif menggambarkan suatu

realitas tertentu, tetapi suatu praktek tertentu yang dapat digunakan untuk

menciptakan dan mempengaruhi realitas.

Teorinya tersebut kemudian dikembangkan oleh Paul Grice pada

tahun 1957 dalam karyanya mengenai teori makna. Peter Strawson lalu

mengembangkan kedua pendekatan ini dalam karyanya Tindak Ilokusi. Tidak

ketinggalan pula John Searle dan Eike von Savigny yang turut

mengembangkan teori Tindak Tutur Austin. Hingga akhirnya Donald

Davidson dan Arthur C. Danto membuat penelitian lebih seksama terhadap

pendapat Austin mengenai tindak bebahasa verbal dan non-verbal tersebut

secara sistematis.

Sebelumnya para ahli bahasa beranggapan bahwa sebuah kalimat

hanya berfungsi untuk menggambarkan suatu keadaan atau untuk menyatakan

suatu fakta, dan kalimat tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Austin

berpendapat bahwa tidak semua kalimat semata-mata diujarkan untuk

menyatakan atau melaporkan sesuatu (Austin. 1962). Menurut Austin dalam


2

menuturkan sebuah kalimat seseorang tidak hanya menyatakan suatu hal

tetapi ia juga melakukan suatu tindakan. Pada dasarnya pada saat seseorang

mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu.

Austin mengemukakan bahwa dalam mengatakan sesuatu,

memerlukan tiga hal yaitu;

1. Phonetic Act, menghasilkan suara atau bunyi (phone).

2. Phatic Act, mengahasilkan ujaran bermakna dengan unsur kosakata, tata

bahasa dan intonasi (pheme).

3. Rhetic Act, menghasilkan makna dengan sense dan refrence (rheme).

Ketiga action tersebut secara bersama membentuk tindak lokusi

(luctionary act). Dalam sebuah komunikasi, ketika seseorang melakukan

tindak lokusi maka biasanya orang tersebut sekaligus melakukan tindak

ilokusi (ilucutionary act).

2. Uncertainty Reduction Theory

Uncertainty Reduction Theory (URT) atau Teori Pengurangan

Ketidakpastian adalah sebuah teori  yang di kemukakan oleh Charles Berger

dan Richard Calabrese. Teori ini membahas tentang sebuah proses

komunikasi pada dua individu yang sebelumnya saling tidak kenal, menjadi

kenal sehingga dapat mengurangi ketidak pastian dalam komunikasi, dan

kemudian memutuskan untuk melanjutkan komunikasi atau tidak. Dikatakan

juga bahwa teori ini berhubungan dengan cara-cara kita mengumpulkan

informasi tentang orang lain. Teori ini berhubungan dengan cara-cara individu
3

memantau lingkungan sosial mereka dan menjadi tahu lebih banyak tentang

diri mereka sendiri dan orang lain.

 Uncertainty reduction theory atau teori pengurangan ketidakpastian,

terkadang juga disebut Initial interaction theory. Teori ini diciptakan pada

tahun 1975. Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang -orang asing

pertama kali bertemu, mereka mula-mula meningkatkan kemampuan untuk

bisa memprediksi dalam usaha untuk mengeluarkan perasaan dari

pengalaman komunikasi mereka. Prediksi dapat diartikan sebagai

kemampuan untuk memperkirakan pilihan perilaku yang mungkin bisa dipilih

dari kemungkinan pilihan yang tersedia bagi diri sendiri atau bagi partner

relasi. Explanation (keterangan) digunakan untuk menafsirkan makna dari

perbuatan masa lalu dari sebuah hubungan. Prediksi dan explanation

merupakan dua konsep awal dari dua subproses utama pengurangan

ketidakpastian (uncertainty reduction).

 Versi umum dari teori ini menyatakan bahwa ada dua tipe dari

ketidakpastian dalam perjumpaan pertama yaitu: Cognitive danbehavioral.

 Cognitive uncertainty merupakan tingkatan ketidakpastian yang

diasosiasikan dengan keyakinan dan sikap.

 Behavioral uncertainty, dilain pihak berkenaan dengan luasnya perilaku

yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan.

Selanjutnya Berger dan Calabrese (1975) berpendapat bahwa uncertainty

reduction memiliki proses yang proaktif dan retroaktif. Uncertainty

reduction yang proaktif yaitu ketika seseorang berpikir tentang pilihan


4

komunikasi sebelum benar-benar terikat dengan orang lain. Uncertainty

reduction yang retroaktif terdiri dari usaha-usaha untuk menerangkan

perilaku setelah pertemuan itu sendiri.

3. Politeness Theory (Teori Etika)

Politeness theory dikenalkan kepada publik oleh Penelope Brown dan

Stephen Levinson pada tahun 1980. Teori ini berpendapat bahwa orang akan

menggunakan pesan-pesan yang berbeda tergantung pada persepsinya

terhadap situasi dan pendengar. Teori ini menitikberatkan pada bagaimana

orang membentuk pesan-pesan yang ditujukan pada satu atau dua aspek

wajah serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi produksi pesan.

Dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1978, 1987), teori

kesantunan atau Politeness Theory (PT) menjelaskan bagaimana kita

mengelola identitas kita sendiri dan orang lain melalui interaksi, khususnya,

melalui penggunaan strategi kesantunan.

Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh

Goffman (1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada

“wajah” atau “muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,”

dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah” dalam artian

public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri”

dalam pandangan masyarakat.

Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial,

maka Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan

atribut pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal.
5

Asumsi

Tiga asumsi dasar panduan teori kesantunan. Pertama, PT

mengasumsikan bahwa semua individu perlu untuk mengatur mimik wajah

mereka (Brown & Levinson, 1978, 1987). Sederhananya, wajah mengacu

pada citra diri yang dikehendaki; juga termasuk pengakuan bahwa mitra

interaksional Anda memiliki kebutuhan mimik wajah bagaimana yang mereka

harapkan. Ada dua dimensi mengenai konsep wajah: wajah positif dan wajah

negatif.

Wajah Positif mencakup kebutuhan seseorang untuk disukai, dihargai,

dan dikagumi oleh orang lain. Wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai

keakraban antara penutur dan mitra tutur. Wajah negatif mengasumsikan

keinginan seseorang untuk bertindak bebas, tanpa kendala atau memposisikan

diri sebagai orang lain. Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan

mitra tutur mengharapkan terjaganya nilai-nilai keakraban, ketakformalan,

kesekoncoan, maka wajah negatif ini dimana penutur dan mitra tutur

mengharapkan adanya jarak sosial. Yang jelas, sulit untuk mencapai wajah

positif dan negatif secara bersamaan, karena keduanya saling bertolak

belakang.

Kedua, teori kesopanan mengasumsikan bahwa manusia rasional dan

berorientasi tujuan, mereka menghormati dan menghargai kebutuhan mimik

wajah (Brown & Levinson, 1978, 1987). Dengan kata lain, Anda memiliki

pilihan dan membuat keputusan komunikatif untuk secara relasional dan

berorientasi tujuan dalam konteks menjaga wajah. Brown dan Levinson


6

mengemukakan bahwa manajemen wajah terbaik ketika semua orang terlibat

membantu untuk menjaga wajah orang lain.

Asumsi terakhir, PT berpendapat bahwa beberapa perilaku wajah

secara fundamental dapat ‘mengancam’ (Brown & Levinson, 1978, 1987).

Wajah ‘mengancam’ ini meliputi perilaku umum seperti permintaan maaf,

pujian, kritik, permintaan, dan ancaman (Craig, Tracy, & Spisak, 1993).

Kesantunan (dan kesopanan) berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah

penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain (Yule, 2006:104).

Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur

menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan

individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri (hal.106).

Pengancaman wajah melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi

jikalau penutur dan mitra tutur sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan

jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini, dimana terjadi interaksi antara

tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:

Tua: He… so malam deng apa kong baribut sampe, tarada rumah ka?

(Heh… ini kan sudah malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?)

Muda: Saya, om. Maaf lagi… (Saya, om. Kami minta maaf).

Dalam konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan

pengancaman wajah dengan mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut

pengancaman wajah karena jarak sosial (usia dan mungkin juga jarak

keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan hanya mengancam

wajah mitra tutur muda, bahkan wajah penutur tua itu sendiri. Hal ini
7

disebabkan oleh jatuhnya “harga diri” sosial dengan menggunakan

pernyataan yang kasar.


Respon dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face

saving act); yaitu dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan

mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan kesadaran atas jarak sosial

dan wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda menyadari

keinginan wajah penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk tidak

terganggu.DAFTAR PUSTAKA

Aziz, E. A. (2000). Refusing in Indonesian: Strategies and Politeness


Implications. Disertasi, Australia: Monash University.

Aziz, E. A. (2008). Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai


yang Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang
Hakiki. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Indonesia: Universitas Pendidikan
Indonesia.

Brown, P & S.C. Levinson. (1987). Universals in Language Usage: Politeness


Phenomena. In E.N. Goody (ed). Questions and Politeness: Strategies in
social interaction, 56-289. Cambridge: Cambridge University Press.

Goffman, E. (1967). Interaction Ritual. Garden City, NY: Doubleday.

Griffin Emory A. 2003. A First Look at Communication Theory. Singapore:

McGraw-Hill.

Littlejohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication. Belmont,

California: Thomson Wadsworth Publishing Company.

Thomas, J. (1995). Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics.


London: Longman.

Wood, Julia T. (1997). Communication in Our Lives. Belmont CA: Wadsworth P

C.

1
Yule, G. (2008). Pragmatik. Indonesia: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai