Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana laki-laki dan
perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan oleh
kultur setempat yang berkaitan dengan peran, sifat, kedudukan, dan posisi dalam masyarakat
tersebut. Seks atau jenis kelamin merupakan perbedaan antara laki-laki dengan perempuan
berdasarkan ciri biologisnya. Manusia yang berjenis kelamin laki-laki adalah manusia yang
bercirikan memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma.
Perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan,
memproduksi telur, memiliki vagina, dan memiliki alat menyusui (Mansour Fakih, 2008: 8).
Pembedaan laki-laki dengan perempuan berdasarkan sex atau jenis kelamin merupakan suatu
kodrat atau ketentuan dari Tuhan. Ciri-ciri biologis yang melekat pada masing-masing jenis
kelamin tidak dapat dipertukarkan. Alat-alat yang dimiliki laki-laki maupun perempuan tidak
akan pernah berubah atau bersifat permanen.

Dalam konsep gender, pembedaan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan


konstruksi secara sosial maupun budaya. Perilaku yang menjadi identitas laki-laki maupun
perempuan dibentuk melalui proses sosial dan budaya yang telah diperkenalkan sejak lahir.
Ketika terlahir bayi laki-laki maka orang tua akan mengecat kamar bayi dengan warna biru,
dihiasi dengan gambar mobil-mobilan dan pesawat, serta memberikannya mainan seperti
bola, robot-robotan, dan tamia. Apabila terlahir bayi perempuan maka orang tua akan
mengecat kamar bayinya dengan warna merah jambu, menghiasinya dengan gambar hello
kitty, dan menyiapkan boneka-boneka lucu untuk putrinya. Watak sosial budaya selalu
mengalami perubahan dalam sejarah, gender juga berubah dari waktu ke waktu, dari satu
tempat ke tempat lain. Sementara jenis kelamin sebagai kodrat Tuhan tidak mengalami
perubahan dengan konsekuensi-konsekuensi logisnya (Elfi Muawanah, 2009: 8).

Masyarakat menentukan dan membentuk sifat-sifat individu, yang mencakup penampilan,


pakaian, sikap, dan kepribadian. Jika ia seorang laki-laki maka ia harus terlihat maskulin dan
apabila ia perempuan maka ia harus feminim. Maskulinitas seorang laki-laki ditunjukkan
dengan karakter yang gagah berani, kuat, tangguh, pantang menyerah, egois, dan berpikir
rasional. Apabila sifat-sifat tersebut banyak ditinggalkan atau bahkan tidak dimiliki oleh
seorang laki-laki, maka ia akan dianggap sebagai laki-laki yang kebanci-bancian.
Feminimitas seorang perempuan ditunjukkan dengan karakter yang lembut, rendah hati,
anggun, suka mengalah, keibuan, lemah, dan dapat memahami kondisi orang lain. Apabila
sifat-sifat positif ini banyak ditinggalkan oleh seorang wanita, atau bahkan tidak dimilikinya,
maka wanita yang bersangkutan dikatakan sebagai wanita yang tidak menarik (Heniy
Astiyanto, 2006: 310).

1
Sesungguhnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama tidak melahirkan
ketidakadilan gender, namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum
perempuan (Mansour Fakih, 2008: 12).

Ketidaksetaraan gender juga disebabkan oleh adanya sikap bias gender yang didasarkan
pengetahuan-pengetahuan masyarakat yang memiliki kecenderungan bersifat tidak adil
gender. Kultur sosial budaya yang ada menempatkan perempuan pada kelas kedua,
perempuan lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Budaya hegemoni patriarkhi
menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga, organisasi, maupun politik,
sehingga partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan masih relatif rendah.
Kurangnya kesempatan yang dimiliki perempuan untuk ikut serta dalam pengambilan
keputusan atau bahkan menjadi pemimpin dari suatu organisasi, membuat perempuan lebih
memilih bersikap pasif.

Manifestasi ketidakadilan gender masih terjadi dalam setiap pengambilan keputusan,


kepengurusan, maupun kepemimpinan dalam Organisasi Himpunan Mahasiswa Mesin.
Pengaruh budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai pengurus dan
penanggung jawab dalam pekerjaan domestik, membuat perempuan dalam organisasi
cenderung ditunjuk sebagai sie konsumsi, bendahara, sekretaris, dan posisi lain yang
mengacu pada sektor domestik. Kebijakan-kebijakan ini tentu dapat melanggengkan
ketidaksetaraan gender dalam masyarakat yang menganut hegemoni patriarkhi.

Dapur dan garasi memiliki konotasi gender yang kuat. Dapur ruang untuk mengolah
makanan sangat kuat asosiasinya dengan aktivitas feminim, sementara garasi ruang untuk
menyimpan kendaraan dengan aktivitas yang lebih maskulin (Irwan Abdullah, 1997: 145).
Persepsi ini memunculkan stereotipe terhadap beberapa jurusan yang sangat kental dengan
identitas gender, misalnya adanya pelabelan bahwa Jurusan Teknik Mesin untuk laki-laki
sebab hal-hal yang bersinggungan dengan mesin menunjukkan sifat maskulin, sedangkan
Jurusan Tata Boga untuk perempuan, sebab di Jurusan Tata Boga mengajarkan hal-hal yang
berkaitan dengan dapur. Kultur yang ada menganggap perempuan sebagai konco wingking,
sehingga segala urusan yang berkaitan dengan dapur merupakan hak dan kewajiban
perempuan.

Seiring dengan perkembangan masyarakat yang memperjuangkan kesetaraan gender,


beberapa peran yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan telah dipertukarkan. Hal ini
dapat dibuktikan dengan cukup banyaknya kaum perempuan yang berani memasuki area
maskulinitas dan berani tampil di sektor publik. Tidak jarang pula kaum pria yang ikut
mengerjakan tugas perempuan di sektor domestik. Sejalan dengan pengarusutamaan gender,
telah ada perempuan yang mendalami ilmu permesinan dengan menjadi mahasiswa jurusan
teknik mesin meski pun masih dianggap tabu oleh kultur setempat, dan mereka merupakan
kelompok minoritas dari total keseluruhan mahasiswa di jurusan tersebut.

2
Organisasi kemahasiswaan sebagai wadah bagi aspirasi seluruh mahasiswa seharusnya
netral gender, tidak mengandung unsur hegemoni patriarkhi di mana laki-laki lebih dominan
dalam kepengurusan organisasi Kemahasiswaan Jurusan Teknik Mesin. Dibutuhkan usaha
dari organisasi itu sendiri melalui kebijakan-kebijakannya untuk menyetarakan peran gender
dalam berbagai aspek kepengurusan organisasi.

Menurut McDonald dalam Amin Abdullah (2004: 39), suatu organisasi atau institusi
tidaklah netral gender, karena mereka merupakan gambaran dari Lebih banyaknya jumlah
mahasiswa laki-laki dari pada jumlah mahasiswa perempuan di Jurusan Teknik Mesin,
mendukung besarnya potensi adanya ketidaksetaraan gender dalam menjalankan organisasi
mereka. Perempuan masih distereotipkan tidak memiliki kemampuan dalam memimpin
seperti laki-laki. Perempuan ditempatkan di jabatan-jabatan yang tidak membutuhkan tenaga
dan tanggung jawab yang besar. Peneliti ingin melihat sejauh mana aplikasi kesetaraan
gender dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Mesin Fakultas Teknik Universitas
Negeri Yogyakarta Periode 2012.

1.2 Tujuan penulisan

Tujuan disusunnya makalah ini adalah agar para pembaca dapat mengetahui dan
memahami institusi gender dan komunikasi , gender dalam media,global media monitoring
project,kecenderungan gender dalam news, kategori news berdasarkan gender, pembawa
acara berdasarkan gender, profesional media berdasarkan gender,perbandingan isi media
berdasarkan gender.

1.3 manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, maka makalah ini diharapkan mempunyai
manfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.3.1 manfaat teoritis

Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran oleh pembaca,
serta dengan memahami gender dan komunikasi lebih dalam, diharapkan pembaca menjadi
lebiih bijaksana dalam menyikapi gender dan komunikasi.

1.3.2 Manfaat praktis


 Bagi mahasiswa, makalah ini dapat menjadi bahan pembelajaran dan referensi untuk
membuat makalah lain yang juga membahas gender dan komunikasi
 Bagi pembacanya, makalah ini dapat memperdalam pengetahuan mereka tentang
gender dan komunikasi, menambah wawasan mereka.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Gender dalam media.

Peter L. Berger dan Luckmann menjelaskan konstruksi sosial atas sebuah realitas melalui “The
Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge” (1996), (dalam Burhan Bungin,
2008:193). Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas sosial yang terjadi secara simultan
melalui tiga proses sosial, yaitu : ekternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Tiga proses ini terjadi di
antara individu satu dengan individu lainnya dalam masyarakat. Subtansi teori dan pendekatan sebuah
konstruksi sosial atas realitas sosial, Menurut Berger dan Luckmann :

“Pendekatan konstruksi sosial atas realitas sosial adalah sebuah proses simultan yang terjadi secara
alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan
semisekunder. Basis sosial teori pada pendekatan ini adalah masyarakat transisi-modern di Amerika
pada tahun sekitar tahun 1960-an dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik
dibicarakan” (dalam Burhan Bungin 2008: 193).

Pada kenyataanya kontruksi sosial atas realitas sosial berlangsung lamban dan membutuhkan
waktu lama,bersifat spasial serta berlangsung secara hierarkis-vertikal. Pendekatan konstruksi ini
memiliki kemandulan dan ketajaman atau dengan kata lain tidak bisa menjawab perubahan zaman
yang terjadi, dikarenakan adanya sebuah transisi-modern di Amerika telah habis dan berubah menjadi
masyarakat yang modern dan postmodern. Dengan demikian, teori dan pendekatan konstruksi sosial
atas realitas sosial Peter L. Ber, dan Luckmann menjadi tidak bermakna lagi. Setelah dilakukan revisi
terhadap teori Peter L. Ber, dan Luckmann lebih melihat kepada variabel atau fenomena media massa
menjadi sangat subtansi dalam proses ekternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi.

“Subtansi “teori konstruksi sosial media massa” adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan
luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas
yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa
cenderung sinis” (Bungin, 2008:194).

“Posisi “konstruksi sosial media massa” adalah mengoreksi subtansi dan melengkapi “konstruksi
sosial atas realitas” dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada
keunggulan proses konstruksi sosial media massa atas konstruksi

4
2.2 Global media monitoring project

Pada masa remaja, baik laki-laki maupun perempuan, kedekatannya dengan teman
sekelompok (peer-group) sangat tinggi karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan
keluarga, mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi
pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi. Informasi
dari teman-temannya tersebut tak jarang menimbulkan rasa penasaran yang membentuk
serangkaian pertanyaan dalam diri remaja, pertanyaan yang ambigu, dan ketika individu sulit
untuk memutuskan atau menjawab pertanyaan tersebut, maka semakin mudah individu
tersebut untuk berkonformitas.

Penyesuaian remaja terhadap norma dengan berperilaku sama dengan kelompok teman
sebaya disebut konformitas (Baron & Byrne, 2005). Sementara menurut Kim dan Markus
(dalam Sears dkk., 2009) konformitas mengandung arti kedewasaan dan kekuatan batin.
Kesediaan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok dianggap sebagai sesuatu yang
perlu dan penting bagi kerukunan antar anggota kelompok.

Penelitian membuktikan bahwa tidak semua orang mempunyai tingkat konformitas yang
sama. Sebagian orang lebih mudah berkonformitas dari pada orang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Hollander dan Julian (dalam Zikmund, dkk 1984)
menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang lebih besar bagi perempuan untuk melakukan
konformitas dibanding dengan laki-laki. Senada dengan pendapat tersebut, penelitian yang
dilakukan Cruthchfield (dalam Zikmund, dkk 1984) menemukan bahwa perempuan lebih
cenderung melakukan konformitas di dalam kelompok dibanding laki-laki.

Di dalam penelitian ini, kami tertarik untuk mengkaji kembali perbedaan gender dalam
kecenderungan melakukan konformitas dalam seting persekolahan. Secara spesifik, kami
memeriksa sejauh apa perebedaan siswa perempuan dengan laki-laki dalam hal melakukan
konformitas terhadap peer group di mana diri bernaung. Hasil studi ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pustaka dan menjadi bahan masukan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya pada masa yang akan datang.

5
Konformitas dan remaja

Morgan, dkk (dalam Indria & Nindyawati, 2007) mendefinisikan konformitas sebagai
kecenderungan individu untuk mengubah pandangan atau perilaku agar lebih sesuai dengan
norma sosial. Definisi lainnya diberikan oleh Asch (dalam Indria & Nindyawati, 2007) yang
menyatakan bahwa konformitas merupakan proses yang bersifat relatif rasional, di mana
individu membangun norma dari norma individu lain sebagai acuan untuk dapat berperilaku
dengan benar dan pantas.

Sarwono (2005) menjelaskan karena kuatnya ikatan emosi dan konformitas kelompok
pada remaja, biasanya hal ini menjadi faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku
remaja yang buruk. Sementara menurut Wiggins dan Zanden (dalam Indria & Nindyawati,
2007) konformitas adalah penyesuaian perilaku terhadap norma-norma atau standar-standar
yang ditentukan oleh orang lain

Dasar utama dari konformitas adalah ketika individu melakukan aktivitas di mana terdapat
tendensi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya, walaupun
tindakan tersebut merupakan cara-cara yang menyimpang. Remaja yang mempunyai tingkat
konformitas tinggi akan lebih banyak tergantung pada aturan dan norma yang berlaku dalam
kelompoknya, sehingga remaja cenderung mengatribusikan setiap aktivitasnya sebagai usaha
kelompok, bukan usahanya sendiri. Sears, dkk (2009) menambahkan bahwa kesediaan
individu untuk berbeda secara mencolok dengan orang lain berbeda-beda pula. Beberapa
orang lebih suka melebur dalam kelompok dan mengikuti opini kelompok, sebagian hanya
memilih tampil beda.

Maslach (dalam Sears, dkk 2009) mengatakan bahwa orang-orang yang ingin tampil beda
disebut dengan desire for individuation (keinginan individuasi), yaitu kesediaan seseorang
untuk melakukan hal-hal yang secara publik membedakan mereka dari orang lain atau yang
membuat mereka tampil beda.

Ketika memaknai penyesuaian diri sebagai usaha konformitas, menyiratkan bahwa di sana
individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu menghindarkan diri
dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional. Dalam sudut
pandang ini, individu selalu diarahkan kepada tuntutan konformitas dan terancam akan
tertolak dirinya manakala perilakunya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Secara
tradisional, ada dua alasan mengapa seseorang konformitas: (1) untuk menghindari celaan

6
dan (2) untuk mengambil keuntungan dari informasi yang diperoleh dari kelompok referensi
(Deutsch dan Gerard dalam Charpenter, 2004).

2.3 Profesional Media berdasarkan Gender

Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada
masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi
alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Sebelum
membahas lebih jauh mengenai prinsip dasar yang harus dimiliki pelaku media terhadap
permasalahan perempuan, terlebih dulu harus diketahui pengertian gender dan perbedaan
antara seks dan gender.

Banyak yang keliru ketika mengartikan seks dan gender. Pengertian gender adalah
pembagian peran serta tanggung jawab, baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan
masyarakat maupun budaya. Misalnya, keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional,
sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional. Hal ini bukanlah ketentuan kodrat
Tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang. Pembagian peran, sifat,
maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari
tempat dan adat satu ke tempat dan adat yang lain, dan dari kelas kaya ke kelas miskin.
Gender memang bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan
masyarakat atau konstruksi sosial.

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan


ketidakadilan gender. Namun, timbul persoalan bahwa perbedaan gender telah melahirkan
berbagai ketidakadilan. Walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban
ketidakadilan gender, tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai
korban ketidakadilan gender. Lebih lanjut, menurut Mansour Fakih, ketidakadilan gender
termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, di antaranya marjinalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi, atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotipe, atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih
panjang, serta sosialisasi ideologi peran gender.

Ketidakadilan gender inilah yang digugat ideologi feminis, yang berangkat dari suatu
kesadaran akan suatu penindasan dan pemeresan terhadap wanita dalam masyarakat, baik itu
di tempat kerja ataupun dalam konteks masyarakat secara makro, serta tindakan sadar, baik
oleh perempuan atau pun laki-laki dalam mengubah keadaan tersebut.

7
Pentingnya jurnalis dan institusi media mempunyai sensitif yang tinggi dalam
permasalahan perempuan, dan untuk menghasilkan jurnalisme yang berperspektif gender,
sepertinya profesional media massa harus bekerja keras. Setidaknya, ada beberapa prinsip
dasar yang perlu diperhatikan para pelaku media massa, yaitu:5 pertama, kemampuan
profesional, etika dan perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender masih
rendah. Akibatnya, hasil penyiaran belum sepenuhnya mampu mengangkat permasalahan
perempuan pada arus utama (mainstream).

Penumbuhan rasa empati terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan, merupakan


salah satu jalan bagi media untuk bertindak fair, proporsional, serta berimbang dalam
memberitakan kasus-kasus yang melibatkan perempuan. Kedua, media massa belum mampu
melepaskan diri dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan, baik yang datang dari
penguasa, otoritas intelektual, ideologi poitik, ataupun pemilik modal.

2.4 Kecenderungan Gender Terhadap News

Budaya patriarki yang amat kuat dan mewarnai berbagai sektor kehidupan di Indonesia
menyebabkan hampir seluruh aktivitas hidup diwarnai ketimpangan gender. Hampir seluruh
bidang atau sektor yang diterjuni perempuan tidak terlepas dari kontrol laki-laki. Kontrol
laki-laki dan sistem patriarki tersebut bisa berupa daya produktif atau tenaga kerja
perempuan, reproduksi perempuan, kontrol atas seksualitas perempuan, gerak perempuan,
harta milik dan sumber daya ekonomi lainnya (Basin,1996). Budaya patriarki yang kuat
tersebut tercermin pula dalam pemberitaan media massa. Hal ini terjadi karena pada dasarnya
media massa adalah cermin dan refleksi dari kondisi sosial budaya masyarakat.

Pandangan yang biasa dari seorang wartawan dan media terhadap patriarki, akhirnya
menghasilkan pula pemberitaan yang biasa terhadap perempuan. Pemberitaan yang biasa
terhadap perempuan dalam media massa secara sadar atau tidak turut memberikan andil
melanggengkan keyakinan budaya patriarki yang tidak adil itu, sehingga peran publik yang
dimainkan perempuan sulit ditemukan dalam pemberitaan media (Atmonobudi, 2004) .
Misalnya masih sedikit pemberitaan mengenai pemimpin, ilmuan, ulama dan lain-lainnya
yang perempuan.

Padahal diharapkan pemberitaan media dapat mendorong perempuan untuk lebih berdaya
dalam peran publik dan tidak begitu saja menerima stereotip yang dilekatkan kepadanya.

8
Penyajian informasi pada media massa tidak terlepas dari wartawan sebagai pencari dan
penulis berita. Wartawan sebagai unsur penting dalam media massa harus terbuka dan tahu
terhadap isu gender yang sedang berkembang sehingga penulisan berita yang bias gender
dapat dihindari (Subono, 2003). Selain wartawan, kebijakan pemberitaan yang disampaikan
sebuah media cetak kepada khalayak terdapat beberapa posisi penting dalam pengelolaan
pemberitaan media.

Di antaranya adalah editor yang bertanggungjawab dalam penyuntingan dan pengeditan


sebuah naskah berita sebelum diterbitkan. Seorang editor memiliki peran besar dalam
mengkonstruksi realitas dalam bentuk berita yang siap dipublikasikan Ia sangat menentukan
penampilan sebuah media cetak, karena ditangannya terdapat tanggungjawab besar dalam
menentukan layak tidaknya sebuah berita dimuat, tentu dari tinjauan estetika dan etika
berbahasa. Posisi menentukan lainnya adalah redaktur. Seorang redaktur memiliki wewenang
untuk menentukan mana peristiwa yang layak diangkat menjadi berita sehingga apapun
bentuk dan isi media tidak lepas dari bagaimana seorang redaktur menetapkan agenda media
dalam operasionalnya.

Dan berikut merupakan contoh dari kasus dari kecenderungan gender terhadap berita :

2.4.1 Keberpihakan Surat Kabar Terhadap Pemberitaan Perempuan

Hingga saat ini pemberitaan mengenai perempuan dalam berbagai sudut baik sebagai
korban, pelaku dan bahkan sebagai tokoh yang menjadi sumber berita masih dianggap tidak
sensitif gender. Hal ini terjadi karena dalam banyak kasus perempuan memang masih
diposisikan sebagai obyek berita. Pendapat para ahli mengatakan bahwa media massa
termasuk surat kabar menempatkan perempuan sebagai pajangan, obyek seks, komoditas dan
berbagai atribut negatif yang dilekatkan padanya. Wajah surat kabar kita memang diwarnai
dengan pemberitaan perempuan yang hanya menempatkannya pada posisi subordinat bahkan
menjadi korban kekerasan.

Keberpihakan pengelolaan surat kabar pada tiga surat kabar yang diteliti menunjukkan
bahwa masih rendahnya sensitifitas gender disebabkan oleh masih kentalnya budaya patriarki
pada sektor publik. Meskipun sebagian besar wartawan yang diwawancara pada dasarnya
mengaku mengerti dengan persoalan gender sehingga upaya penyadaran dan pembekalan
khusus bagi wartawan yang akan meliput atau memuat persoalan gender tidak menjadi
masalah. Keberpihakan pengelola surat kabar terhadap isu gender dapat tergambar dari

9
bagaimana sebuah peristiwa yang berkaitan dengan perempuan dikonstruksi dalam bentuk
berita, gambar dan ilustrasi di media yang diterbitkan.

Dari hasil wawancara diperoleh bahwa ketiga surat kabar yang diteliti tidak memiliki
standar pemberitaan khusus yang berkaitan dengan gender, sehingga seorang wartawan atau
redaktur hanya menggunakan pakem penulisan berita umum dengan konsep 5W+1H. Artinya
tidak ada intervensi khusus yang dilakukan oleh redaktur, editor dan layouter untuk
meminimalkan aspek bias gender pada berita yang berkaitan dengan perempuan, misalnya
dalam kasus perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual sehingga apa
yang muncul dalam berita benar sebuah fakta tetapi terkadang merugikan pihak korbankarena
identitas, konstruksi kalimat yang malah memojokkan pihak korban yang tidak lain adalah
perempuan.

2.5 Kategori news Berdasarkan Gender

Isi berita: Sisi yang diangkat oleh berita tersebut dalam sebuah pemberitaan dalam
penyampaian info mengenai suatu peristiwa. Unit analisis ini dibagi dalam 6 kategori
yaitu :

a. Kesetaraan Gender dan Kehidupan Masyarakat: Suatu berita /informasi yang


menceritakan tentang apa yang terjadi dilingkungan masyarakat sekitarnya

b. Kesetaraaan Gender dan Kebijakan Pemerintah : Sebuah berita yang mempunyai


isi atau komentar dari pemerintah dalam menanggapi permasalahan kesetaraan
gender.

c. Kesetaraan Gender dan Politik: Sebuah berita yang mempunyai isi tentang politik
kaitannya dengan kesetraan gender atau kiprah perempuan dikancah politik.

d. Kesetaraan Gender dan Pendidikan: Sebuah berita tentang dunia pendidikan dan
kesetaraan gender.

e. Kesetaraan Gender dan Kesehatan: Sebuah berita yang mempunyai isi tentang
dunia esehatan perempuan atau kesadaran gender dalam dunia kesehatan.

f. Kesetaraan Gender dan Hukum: Sebuah berita tentang kesetaraan gender


kaitannya dengan hukum.

10
2.6 Pembawa Acara Berdasarkan Gender

Perbedaan Gender dalam Membawakan Acara Program Berita Olahraga

Dalam program acara berita televisi selalu ada orang yang membawakan berita
tersebut agar terlihat lebih menarik dan memiliki suatu identitas yang berbeda dengan
program yang lainnya. Presenter atau host adalah orang yang membawakan program berita
televise. Menurut arti kata host atau presenter adalah seseorang yang mengantarkan suatu
sajian, sajian tersebut bermacam-macam, seerti music, aneka program feature, magazine, dan
kuis. Salah satunya adalah pembawa acara program berita olahraga yang menyajikan berita
seputar olahraga.
Program berita Olahraga sama halnya dengan program berita yang lainnya. Yang
membedakannya hanya isi dari berita tersebut dan cara penyampaian berita yang lebih santai.
Presenter yang membawakan acara dan berita pun berpenampilan lebih sporty dan cenderung
sexy untuk pembawa acara perempuan. Sedangkan untuk pembawa acara laki-laki hamper
sama namun lebih sering terlihat elegan dengan menggunakan jass.
Dari sini dapat terlihat perbedaan yang cukup mencolok dalam membawakan acara
berita olahraga yang dibawakan laki-laki dan perempuan. Pembagian jam tayang yang
dibawakan oleh presenter laki-laki dan peremuan terkadang berbeda. Bahkan presenter
program berita lahraga di bebera stasiun televisi di Indonesia lebih didominasi oleh kaum
perempuan. Hal ini dapat dicermati dan kita pahami karena sebagian besar menikmat
program olahraga di televisi adalah laki-laki.

11
Berikut ini adalah sebagian data dari program olahraga di televisi yang dibawakan
oleh presenter peremuan :

NO Stasiun Televisi Program Acara


- One Stop Football
- Galeri Sepa Bola Indonesia
1 Trans7 - Sport7 Malam
- Highlight MotoGP
- Sport7
- Kampiun
- Total Football
2 ANTV
- Lensa Olahraga
- Lensa Olahraga Malam
- Kabar Arena
3 TV One
- Soccer One

Sedangkan program berita yang dipandu presenter laki-laki hanya ada beberapa dan
sebagian dipasangkan dengan presenter presenter peremuan. Salah satu program berita yang
dipandu oleh presenter laki-laki adalah program Net. Sportyang dipandu oleh Genindra Bimo
dan Temmy Rahardi.

Pembawa acara Net.Sport berpenampilan formal dengan menggunakan jas dan


mengenakan dasi sehingga terlihat lebih serius meski pembawaan program tersebut secara
santai. Berbeda dengan program yang dibawakaan oleh pembawa acara perempuan yang
lebih berpenampilan sexy dan menampilkan bentuk lekuk tubuhnya sehingga menandakan
jika pembawa acara tersebut terlihat sehat dan juga sporty.

Dari kedua perbandingan diatas dapat dilihat perbedaan yang cukup mencolok antara
program berita olahraga yang dibawakan oleh pembawa acara perempuan dan pembawa
acara laki-laki. Meskipun materi yang disampaikan hampir sama namun kebanyakan program
yang dipandu oleh pembawa acara perempuan lebih menarik untuk dilihat oleh khalayak. Hal
ini karena sebagian besar penggemar olahraga di Indonesia adalah laki-laki.

12
2.7 Perbandingan Isi Media Berdasarkan Gender
Karier
Vemale.com menampilkan beberapa artikel yang memperlihatkan keaktifan perempuan
dalam bidang pekerjaan. Perempuan diajak berpikir kreatif dalam melihat keadaan, di mana
mereka dapat melihat peluang pekerjaan seperti yang disampaikan pada artikel “Wah, Jasa
Merapikan Lemari Bisa Jadi Peluang Bisnis Menguntungkan” yang dimuat pada 2 Mei 2016.
Artikel tersebut mengajak perempuan mengembangkan kreativitas untuk berani
membuka peluang pekerjaan baru.
Peluang yang ditawarkan oleh Vemale.com tidak jauh dari bagaimana patriaki melakukan
pembagian kerja bagi perempuan yang berkaitan dengan rumah. Meskipun peluang pekerjaan
baru tersebut berada pada ruang publik, namun masih erat kaitannya dengan peran domestik
perempuan.
Dua artikel Vemale.com yang dimuat pada 6 Mei 2016 berjudul “Karier Sukses dan
Keluarga Bahagia, Ini Rahasianya”, serta artikel pada 1 Mei 2016 berjudul “Dilema Working
Mom: Ajak Anak Saat Bekerja di Kantor, Mungkinkah?”, memperlihatkan bagaimana
perempuan berusaha menyeimbangkan antara kepentingan ruang privat dan publiknya,
yakni antara keluarga dan pekerjaannya. Seperti yang tersurat pada isi
artikel tersebut: Sejak lama perdebatan antara working mom vs stay-at-home mom menjadi
perbincangan di antara kaum ibu. Tanpa memihak siapapun, saya yakin tak ada seorangpun
ibu yang ingin ketinggalan perkembangan anak-anaknya sekaligus ingin dapat
mengembangkan dirinya sendiri (Dilema working, 2016).
Penjelasan ini memperlihatkan bahwa perempuan memiliki peluang untuk ikut serta
dalam beberapa pekerjaan. Namun tidak begitu jelas penggambaran jenis lapangan pekerjaan
apa yang dapat digeluti oleh perempuan. Partisipasi perempuan pada ruang publik yang
menguat tampak diiringi partisipasi di ruang privat, yakni berkaitan dengan peran perempuan
dalam keluarga yaitu mengurus anak. Akan tetapi hal tersebut menimbulkan dilema bagi
perempuan untuk memilih perannya di ruang privat atau publik.
Melalui artikel-artikel yang dimuatnya, Vemale.com memberikan solusi bagi perempuan
untuk bisa menyeimbangkan perannya di ruang privat dan publik. Secara kontradiktif di
artikel lain yang dimuat 10 Mei 2016 berjudul “Cerita Single Mom: Kulepas Karier
Bergengsi demi Putri Kecilku” menunjukkan perempuan yang memilih untuk merawat
anaknya daripada pekerjaannya. Artikel tersebut menunjukkan perempuan yang memiliki
karier bagus akhirnya harus mengalah demi melakukan kodratnya sebagai ibu dan kembali ke
ruang privat domestiknya.

13
Partisipasi perempuan dalam kehidupan dilihat dalam dua bentuk partisipasi yakni
partisipasi tradisi/domestik dan transisi. Partisipasi tradisi melibatkan perempuan dalam
kehidupan rumah tangga seperti pekerjaan mengurus suami, mengasuh anak, dan mengurus
rumah tangga. Partisipasi transisi melibatkan perempuan pada sektor pekerjaan di luar rumah
yang berkaitan dengan kegiatan ekonomis yang disesuaikan dengan pendidikan dan
keterampilan perempuan (Sukesi dalam Wibowo, 2011, h. 356).
Perempuan pada Vemale.com digambarkan memiliki kesamaan dalam hal kesempatan
kerja, kesetaraan pendapatan serta adanya hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Namun peran perempuan pada ruang privat juga masih tergambar dengan jelas di website ini.
Meskipun beberapa artikel menunjukkan perempuan memiliki pekerjaan di ruang publik atau
sebagai perempuan karier, mereka masih kerap dikaitkan dengan peran domestiknya di ruang
privat yang berkaitan dengan anak dan rumah tangga.
Perempuan yang aktif berkarier dibicarakan juga dalam artikel-artikel Sooperboy.com,
meskipun fokus utamanya bukan pada sisi bisnis dan karier, melainkan pada sisi penampilan.
Seperti pada artikel yang dimuat pada 1 Mei 2016 berjudul “Alamak..Pesona Penjual Bakso
Djingkrak Begitu Menggoda”. Selain karena baksonya yang enak dan bersih, kecantikan dan
keseksian pemilik sekaligus pelayan warung Bakso Djingkrak ini menjadi daya tarik
tersendiri hingga mengundang masyarakat untuk datang ke warung mereka (Alamak pesona,
2016).
Artikel-artikel di atas memperlihatkan bahwa perempuan kini memiliki variasi pekerjaan
yang awalnya cenderung didominasi oleh laki-laki. Sooperboy. com lebih berfokus pada
penggambaran perempuan yang aktif di ruang publik, walaupun cara mempresentasikannya
tidak terlepas dari daya tarik fi sik perempuan. Budaya patriarkal dan partisipasi perempuan
di ruang privat sama sekali tidak diperlihatkan oleh Sooperboy.com. Perempuan lebih dilihat
sebagai sosok yang memiliki kemampuan sama dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan, di
mana semakin banyak perempuan yang menggeluti pekerjaan yang awalnya memerlukan
sifat maskulinitas laki-laki.
Stereotip gender yang selama ini beredar di masyarakat. Adanya perbedaan bentuk fisik
perempuan dan laki-laki, serta sifat yang dianggap menyertainya, seperti lemah lembut,
berperasaan halus dan senang melakukan pekerjaan yang bersifat menata membuat
perempuan distereotipkan dengan pekerjaan ringan atau yang bersifat melayani dan merawat.
Hal tersebut memunculkan suatu aturan yang menegaskan bahwa perempuan diposisikan
sebagai bidan atau perawat dalam konsep pemikiran laki laki (Nurlian, 2008, h. 77). Apa
yang digambarkan oleh kedua situs berusaha menentang pembagian pekerjaan patriaki di

14
mana laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga, bekerja di luar ruang rumah, dan
perempuan berada di wilayah privat (Durham & Kellner, 2006).

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan makalah berjudul ‘Gender dan Komunikasi’ ini bisa disimpulkan bahwa
Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia
dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-
laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Kemudian melahirkan gender aware therapy yang ditandai dengan berkembangnya terapi
feminis (feminist therapy) yang mengintegrasikan prinsip-prinsip terapi feminis dengan
pemahaman tentang gender untuk melakukan intervensi pada konteks sosial, terlibat aktif
dalam perubahan dan difokuskan pada kerjasama antara konselor dengan konseli.

Problem yang direkomendasi diselesaikan dengan teknik gender aware therapy berkaitan
dengan jenis kelamin dan keluarga (laki-laki, perempuan, pasangan dan keluarga). Perbedaan
mendasar pada ketiga dimensi problem adalah pandangan masing-masing person terhadap
konsep gender. Hal ini akan berimplikasi pada karakteristik problem yang dihadapi.

3.2 Saran

Penulis menyarankan agar pembaca lebih bijaksana dalam menyikapi informasi yang
disampaikan media massa. Selain itu penulis juga menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kata kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dan kesimpulan di atas.

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender. 2002. Apa itu gender. Edisi 2. Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia

Jurnal:

Aripurnami, Sita, Daniel Dakhidae. 1999. Media dan Gender. Perspektif Gender

atas Industri Surat Kabar Indonesia. Yogyakarta : LP3Y

Astoria, Donna. 2002. Representasi Kecantikan Dalam Iklan Kosmetik Sari Ayu

Marta Tilaar Sebagai Simbolisasi Budaya Jawa. Jakarta: Jurnal Studi Wanita Universitas
Indonesia Vol. I.

Atmonobudi, Billi Sarwono. 2004. Pemaknaan Karir Politik Perempuan Dalam

Masyarakat Patriarki. Jakarta : Jurnal Tesis Volume III/No.2 Departemen Ilmu Komunikasi
UI.

Abdullah, Irwan.1997. Sangkan Paran Gender.Jakarta : Pustaka Pelajar

Bhasin, Kamla. 2000. Memahami Gender. Jakarta : Teplok

Fakih, Mansur. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jogjakarta : Pustaka Pelajar.

Marta Tilaar Sebagai Simbolisasi Budaya Jawa. Jakarta: Jurnal Studi Wanita Universitas
Indonesia Vol. I.

Sari, Ambar. Stereotipe Perempuan dalam Iklan Radio di Yogyakarta,Tayangan Iklan Radio
dalam jurnal Nirmana Vol.4.

17

Anda mungkin juga menyukai