Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

FILSAFAT ANALITIKA BAHASA


Makul : Filsafat Bahasa

Dosen : Habib Zaenal Abidin S.Ag, M.S.I

Disusun Oleh :

Ahmad Nurudin ( 21010146 )

Muhammad Nurul Abidin ( 21010135 )

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR'AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYUBBANUL WATHON


MAGELANG

2023
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai sarana komunikasi, bahasa memiliki peran yang sangat besar dalam
mentransformasi pemikiran seseorang kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan
sehingga dapat dimengerti. penggunaan dan pemahaman bahasa yang baik telah mewujudkan
perkembangan ilmu pengetahuan dari segala bidang, tidak terkecuali filsafat. Dalam tugas
pokoknya, filsuf menggunakan analisis bahasa sebagai sarana untuk menguraikan konsep konsep
filosofis sehingga mudah dipahami danberkembang sesuai dengan peradaban umat manusia.1

Bahasa memegang peran penting dalam kehidupan manusia baik secara lisan maupun
tulisan. tanpa bahasa tidak akan terjadi komunikasi dan transformasi pengetahuan sehingga
manusia selalu berada dalam keterbelakangan. Lazimnya dalam sebuah komunikasi, bahasa
merupakan alat sentral untuk menyampaikan sebuah pesan dan memahami maksudnya. Begitu
juga dalam menyampaikan ilmu pengetahuan, bahasa menjadi salah satu sarana ilmiah dalam
berfikir sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang logis.2

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari peran bahasa didalamnya,
apalagi dalam perkembangan filsafat. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena hubungan antara
bahasa dan filsafat telah berjalan lama, yaitu semenjak zaman Yunani kuno. Dalam hal ini,
terdapat hubungan timbal balik antara bahasa dan filsafat. Pertama, bahasa menjadi subjek atau
alat dalam menganalisis, memecahkan, dan menjelaskan problema-problema dan konsep konsep
filosofis sehingga filsafat dapat berkembang. Kedua, bahasa menjadi objek material, yaitu
menjadi pembahasan dalam filsafat sehingga perkembangan bahasa semakin meningkat.
Hubungan yang sudah lama dan erat ini tidak dapat dipisahkan terutama dalam pengertian pokok
bahwa tugas utama filsafat adalah menganalisis konsep konsep dan hal ini akan terungkap
melalui bahasa. 3

1
Amir Syuhada, PERANAN BAHASA DALAM PERKEMBANGAN FILSAFAT, Jurnal At-Ta’dib Vol. 5.
No. 1 ( Yogyakarta: 2009 ), hlm. 103 - 104.
2
Ibid, hlm. 104.
3
Amsal Bahtiar, Filsafat Agama, ( Jakarta: Logos, 1997 ), hlm. 7.
PEMBAHASAN
A. Filsafat Sebagai Analisis Bahasa

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar bahkan menggunakan makna


(biasanya disamakan dengan makna) untuk menyebut makna, konsep, ide dan makna yang
diciptakan dalam bentuk ekspresi, simbol atau tanda. atau sistem tanda lainnya karena bahasa
sejati juga merupakan sistem simbol. Semantik dalam semantik, ada hubungan antara tanda dan
makna.4
Kedudukan filsafat sebagai dasar analisis konsep dan mempertimbangkan peran sentral
bahasa dalam ekspresi verbal pendapat dan pemikiran filosofis, muncul masalah, yaitu batas
batas bahasa sehari hari yang dalam beberapa masalah tidak mampu mengungkapkan konsep
konsep filosofis.5 Dari kesamaan bahasa dalam kegiatan filsafat, terdapat dua kelompok filosof
yang berbeda pendapat. Pertama, ada sekelompok filosof yang meyakini bahwa sebenarnya
bahasa biasa, yaitu bahasa yang digunakan dalam komunikasi manusia sehari hari, sudah cukup
untuk tujuan filosofis, atau dengan kata lain, kata kata dalam bahasa sehari hari cocok sebagai
sarana komunikasi. mengungkapkan konsep konsep filosofis. Dan kurangnya bahasa sehari hari
dalam filsafat harus diberikan pemahaman khusus atau harus memberikan penjelasan untuk
penyimpangan tersebut. Muncul dalam filsafat, dan penyimpangan penyimpangan tersebut tanpa
penjelasan sehingga dapat dipahami. Sebagai contoh, kita sering mendengar ungkapan filosofis
yang menyatakan bahwa suatu ungkapan memiliki makna metafisik tanpa memberikan alasan
yang cukup untuk memiliki dasar kebenaran yang dapat dijelaskan. Jadi, tugas filosof adalah
memberikan semacam terapi untuk menyembuhkan kelemahan.6

B. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa

4
Rahmat Satria dkk, FILSAFAT ANALITIKA BAHASA: Urgensi Filsafat Bahasa Dalam Landasan
Filosofis Pembelajaran Bahasa Arab, Jurnal Al Aqidah, Vol. 13, ( UIN Imam Bonjol Padang: Desember 2021 ),
hlm. 142.
5
Ibid, hlm. 143.
6
Ibid, hlm. 145.
Perkembangan Filsafat Analitika menurut Bakker dilatarbelakangi oleh adanya
kekacauan bahasa filsafat. Banyak teori serta konsep filsafat dipaparkan dengan bahasa yang
membingungkan, bahkan semakin jauh dari bahasa sehari hari. Secara garis besar fase fase
perkembangan filsafat terbagi menjadi empat, hal ini berjalan secara diakronis. Pertama,
kosmosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran
wacana filsafat yaitu yang terjadi pada zaman kuno. 7 Kedua, teosentris, yaitu fase pemikiran
filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada
zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan
manusia sebagai objek pembahasan filsafat, hal ini terjadi dan berkemang pada zaman modern. 8
Keempat, logosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat
wacaana filsafat, hal ni berkembang setelah abad modern sampai sekarang, yang disebut dengan
pascamodern atau postmodern.9

1. Pemikiran Filsuf Moore dan Bertrand Russel: Atomisme Logis

G.E. Moore (1873 – 1958) adalah seorang filsuf berkebangsaan Inggris yang sering
disebut sebagai pelopor filsafat analitika bahasa dan sudah menuliskan karya pemikirannya
dalam sebuah buku berjudul Principia Ethica. Pemikiran G. E Moore pada dasarnya merupakan
reaksi balik terhadap atmosfer berfilsafat di Inggris yang saat itu didominasi oleh paham
idealisme yang masuk ke Inggris sekitar abad ke 19. Aliran ini sering disebut sebagai neo
hegelianisme. Neo hegelianisme ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan neo Platonisme
yang memberi ruang cukup luas pada gagasan-gagasan metafisika, dan terutama sangat dekat
dengan pandangan-pandangan metafisis agama. Salah satu pandangan pokok neo hegelianisme
adalah realitas itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, itulah roh absolut .10

7
Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 212.
8
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta:Galia Indonesia, 1984), hlm.78.
9
Arif Hakim, Sinyal Kematian Postmodernisme,(Yogyakarta: Aditia Media, 1994), hlm. 78.

10
M.S, Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma1998), hlm. 98 -
99.
G.E Moore memang tidak menolak metafisika, namun dalam berbagai uraiannya dia
tidak mempraktekan metafisika. Ia bahkan lebih banyak bersikap kritis terhadap pandangan
metafisika, sehingga secara tidak langsung telah membangun tumbuhnya sikap kritis dan skeptis
terhadap metafisika. Moore telah memberikan sumbangan tumbuhnya aliran baru di Inggris yaitu
atomisme logis yang mengkritik dan bahkan menolak metafisika. Menurut Moore, banyak
ungkapan-ungkapan dalam filsafat yang tidak dapat dipahami oleh akal sehat (common sense)
karena menggunakan ungkapan ungkapan yang metafisis, seperti waktu adalah tidak real, jiwa
itu adalah abadi.11

Berdasarkan itulah para penganut atomisme logis berpendapat bahwa analisa bahasa
harus berdasarkan pada logika, sehingga ungkapan-ungkapan bahasa yang melukiskan suatu
realitas terwujud dalam bentuk proposisi-proposisi. Formulasi pemikiran filsafat yang
mendasarkan pada suatu analisis melalui bahasa dan didasarkan atas logika inilah yang
merupakan sumbangan terbesar Moore terhadap atomisme logis.12

Konsep dasar pemikiran Moore, kemudian dilanjutkan oleh filsuf berkebangsaan


Inggris lainnya yaitu Bertrand Russel. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh paham idealisme
dan empirisme. Pada beberapa titik, ia memang sejalan dengan Moore, namun sebagian besar
sangat berbeda. Di sisi lain Russel banyak melakukan interaksi dengan Wittgenstein, bahkan
diakui bahwa konsep atomisme logis berkembang dengan pesat atas jasa keduanya.13
Russel berpendapat bahwa tujuan filsafat yang utama ada 3 macam. Pertama, filsafat
memiliki tujuan untuk mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling
padat dan sederhana. Kedua, menghubungkan logika dengan matematika. Dan ketiga, ialah
analisis bahasa. Tujuan analisis bahasa adalah untuk mencari pengetahuan yang benar mengenai
realitas. Berdasarkan ketiga tujuan tersebut, terlihat bahwa logika merupakan kunci pemikiran
Russel. Dia berpendapat bahwa bahasa sehari-hari tidak cukup memadai untuk melakukan

11
Ibid, hlm. 90 - 93.

12
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, ( Bandung:
Remaja Rosdakarya 2006 ), hlm. 43.

13
Ibid, hlm. 48.
kegiatan filsafat karena mengandung banyak kelemahan. Oleh karena itu Russell membangun
pemikirannya melalui bahasa yang berdasarkan formulasi logika.14

2. Filsafat Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein

Ludwig Wittgenstein adalah seorang filsuf berkebangsaan Austria, dan pernah menjadi
murid Bertrand Russell, sehingga tidaklah mengherankan jika pemikiran Russell meninggalkan
jejak di pemikiran filsafat Wittgenstein. Selain oleh Russell, pemikiran Wittgenstein juga
dipengaruhi oleh konsep G.E Moore dan Gottlob Frege. 15 Seperti halnya Russell, Wittgenstein
berpendapat bahasa logika merupakan bentuk bahasa yang paling tepat bagi ekspresi filsafat.
Penggunaan bahasa-bahasa biasa itulah yang menurutnya menimbulkan kekacauan dalam bahasa
filsafat, oleh karena itu Wittgenstein berpaling pada bahasa logika. Dalam karya pertamanya
berjudul Tractacus Logico Philosophicus yang ditulis pada tahun 1922, ia mengajukan teori yang
disebut picture theory. Inti dari teori “gambar” adalah bahwa makna = gambar atau meaning is
picture.16

Menurut Wittgenstein hakikat bahasa merupakan gambaran logis realitas dunia. Hakikat
dunia merupakan keseluruhan fakta-fakta dan bukannya benda-benda, dan dunia terbagi menjadi
fakta-fakta. Adapun fakta merupakan states of affairs, yaitu suatu keberadaan peristiwa. Satuan
bahasa yang menggambarkan dunia tersebut merupakan suatu proposisi proposisi yang bersifat
kompleks dan tidak terbatas. Proposisi itu tersusun atas proposisi yang paling kecil (proposisi
elementer/atomis) yang menggambarkan satu fakta atomis. Totalitas dari proposisi adalah bahasa
yang menggambarkan realitas dunia. Gambaran tersebut merupakan gambaran logis dan bentuk
pictorial dari realitas yang diwakilinya.17

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur logis dunia terungkap melalui
bahasa yang memiliki kesesuaian dengan struktur logis dunia. Kebenaran (Kebermaknaan)

14
Ibid, hlm. 49 - 52.
15
M.S, Kaelan,...... hlm. 135.
16
Asep Ahmad Hidayat , ...... hlm. 55 - 56.
17
Ibid, hlm. 135.
sebuah proposisi akhirnya akan ditentukan oleh seberapa jauh penggambaran fakta didalamnya
dapat dibuktikan secara empiris atau melalui pengalaman inderawi. Oleh karena itu bisa
dipahami, jika Wittgenstein beranggapan bahwa proposisi yang bersifat metafisis tidak bisa
dibuktikan kebermaknaannya. Proposisi yang tidak menggambarkan realitas dunia empiris
adalah proposisi yang tidak bermakna karena tidak mengungkapkan apa-apa. Meskipun
demikian ia tidak menolak mentah-mentah metafisika, karena ia mengakui adanya proposis
proposisi yang bersifat tautologis, dimana kebenarannya hanya bisa ditentukan berdasarkan
prinsip prinsip logis, bukan dengan pengalaman empiris.18

3. Positivisme Logis

Aliran filsafat positivisme logis ini dipelopori oleh sekelompok filsuf di Wina yang
dikenal sebagai Wiener Kreis atau lingkaran Wina pada tahun 1930. Pemikiran kelompok ini
sangat dipengaruhi oleh tradisi empirisme David Hume dan sekaligus juga mendapat pengaruh
dari positivisme, sehingga sering juga disebut sebagai neopositivisme. Menurut Hidayat aliran
ini berpijak pada dua kaki, yaitu empirisme dan logika modern. Dan salah satu ciri yang
menonjol dari aliran ini adalah penolakannya terhadap filsafat tradisional, terutama menolak
metafisika.19

Konsep-konsep dasar dari positivisme logis sangat dipengaruhi oleh logika, matematika
serta imu pengetahuan alam, sehingga tidaklah mengherankan jikalau analisis logis tentang
pernyataan pernyataan ilmiah maupun pernyataan filsafat sangat ditentukan oleh metode ilmu
pengetahuan positif dan empiris tersebut. Mereka selanjutnya mengembangkan prinsip verifikasi.
Suatu proposisi dianggap bermakna jika secara prinsip dapat diverifikasi atau dibuktikan secara
empiris.20
Ayer berpendapat bahwa suatu kalimat mengandung makna, jikalau pernyataan atau
proposisi tersebut dapat diverifikasi atau dapat dianalisis secara empiris. Ia selanjutnya
mengklasifikasikan prinsip verifikasi menjadi dua macam. Pertama, adalah verifikasi yang

18
Ibid, hlm. 136 - 138.
19
Ibid, hlm. 63.
20
M.S, Kaelan,...... hlm. 125.
bersifat ketat (strong verifiable) yaitu sejauh kebenaran suatu proposisi didukung pengalaman
secara meyakinkan. Prinsip verifikasi jenis ini sama dengan pemikiran Sclick, yang menafsirkan
verifikasi dalam pengertian pengamatan empiris secara langsung. Kedua, verifikasi dalam arti
yang lunak, yaitu jika sebuah proposisi mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau
merupakan pengalaman yang memungkinkan, atau secara prinsip memiliki kemungkinan untuk
diverifikasi.21

Menurut Ayer, proposisi bermakna dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu proposisi
analitik dan proposisi sintektik. Proposisi analitik dapat didefinisikan sebagai proposisi yang
kebenarannya hanya tergantung kepada definisi istilah atau simbol yang dipakai, dan bersifat
apriori serta tautologis. Proposisi semacam ini banyak ditemukan dalam logika dan matematika.
Sedang proposisi sintektik, bagi Ayer merupakan seluruh hipotesis yang mengandung
kemungkinan untuk disahkan kebenarannya atau ditolak, karena dihadapkan pada bentuk-bentuk
peristiwa atau realitas yang memungkinkan untuk diverifikasi.22

KESIMPULAN

Filsafat dan bahasa merupakaan satu kesatuan yang sangat sulit bahkat tidak bisa
dipisahkan. Salah satu karakteristik utama dari filsafat analitika bahasa adalah pendekatan
empiris dan positivistiknya. Hal ini terlihat dari kecenderungannya untuk memahami konsep dan
argumen filosofis melalui analisis bahasa dan logika formal. Dalam hal ini, filsafat analitika
bahasa menekankan pentingnya presisi dan kejelasan bahasa sebagai sarana untuk memperjelas

21
Ibid, hlm. 126.
22
Ibid, hlm. 126 - 127
dan memecahkan masalah filosofis. Selain itu, filsafat analitika bahasa juga memiliki orientasi
anti-metafisika.

Proses perkembangan filsafat dari zaman Yunani kuno sampai sekarang yang terbagi
dalam empat fase yaitu kosmosentris, teosentri, antroposentris, dan logosentris, tidak terlepas
dari peran bahasa didalamnya. Dengannya konsep-konsep filosofi dapat diuraikan dengan jelas
sehingga muncullah teori teori baru yang sangat membantu perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Selain itu sikap kritis para filsuf yang didasari oleh analisis bahasa telah membawa
mereka kepada pemahaman baru tanpa melepaskan konsep lama, hal ini berlangsung sesuai
dengan perkembangan peradaban manusia dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi.

Walaupun bahasa memiliki peran yang sangat besar dalam filsafat akan tetapi bahasa
memiliki keterbatasan dalam mengkaji filsafat khususnya hal halyang berkaitan dengan
metafisika. Dan tidak menutup kemungkinan adanya sarana baru dalam mengembankang filsafat
kearah yang lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hidayat, Asep. 2006, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan
Tanda, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Bakker, Anton. 1984, Metode Metode Filsafat, Jakarta: Galia Indonesia

Bahtiar, Amsal. 2009,Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bahtiar, Amsal. 1997, Filsafat Agama, Jakarta: Logos.

Syuhada, Amir. 2009, PERANAN BAHASA DALAM PERKEMBANGAN FILSAFAT,


Jurnal At-Ta’dib Vol. 5. No. 1 Yogyakarta.

Satria, Rahmat dkk. 2021, FILSAFAT ANALITIKA BAHASA: Urgensi Filsafat Bahasa
Dalam Landasan Filosofis Pembelajaran Bahasa Arab, Jurnal Al Aqidah, Vol.
13, UIN Imam Bonjol Padang: Desember.

Hakim, Arif. 1994, Sinyal Kematian Postmodernisme, Yogyakarta: Aditia Media.

Kaelan, M.S. 1998, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta:


Paradigma.

Anda mungkin juga menyukai