Anda di halaman 1dari 9

PERTEMUAN KE- 5

RELASI FILSAFAT DAN BAHASA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari materi pada pertemuan kelima mahasiwa diharapkan mampu


untuk memahami definisi dari filsafat, memahami deinisi dari bahasa dan selanjutnya
dapat memahami kegunaan filsafat dalam ilmu kebahasaan.

B. URAIAN MATERI

Pada pertemuan kali ini materi yang akan dipaparkan adalah relasi keilmuan filsafat
dengan bahasa, relasi tersebut nantinya diperlihatkan dalam bentuk-bentuk penelitian
yang membahas tentang filsafat dan bahasa. Adapun pemaparan materi tersebut akan
dipaparkan pada subbab di bawah ini.

1. Relasi Keilmuan Filsafat dan Bahasa

Hal yang sangat mendasar bahwa filsafat dan bahasa merupakan sebuah kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Secara umum saja filsafat berkembang
dengan adanya eksistensi dari bahasa sehingga secara tidak langsung eksistensi bahasa
sebagai sebuah bentuk yang empiris merupakan hal tidak boleh dianggap sebelah mata
apalagi bahasa merupakan alat yang digunakan oleh semua orang di semua aspek
kehidupan dan bahkan di semua aspek ilmu pengetahuan. Louis Katsoff (2004)
mengatakan bahwa sistem filsafat sebenarnya dapat dipandang sebagai suatu bahasa.
Dalam proses perenungan kefilsafatan bahasa digunakan sebagai alat untuk menyusun
proses perenungan tersebut. Bahasa dianggap sebagai sebuah simbol dan filsafat
merupakan alat utama yang mencari jawaban atas makna-makna dari simbol-simbol yang
menunjukkan diri di alam semesta ini.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa bahasa dan juga filsafat
merupakan dua buah entitas yang salaing berhububungan satu dengan yang lainnya,

Filsafat Bahasa 52
bahasa dan filsafat memiliki hubungan kausalitas (sebab –akibat) yang tentu saja
kehadirannyatidak bisa ditolak sama sekali. Sehingga baik secara langsung atau tidak
sorang filsuf akan menggunakan bahasa sebagai media berfilsafatnya. Dari dulu sampai
saat ini dalam dunia kefilsafatan bahasa sudah dijadikan objek yang sangat menarik dalam
dunia filsafat. Hal ini tentu saja dikarenakan adanya hal-hal yang menarik yang dapat
digali dari bahasa itu sendiri. Selain itu dunia filsafat juga memandang kelemahan-
kelamahan dalam bahasa itu sendirisehingga hal ini mmicu para ilsuf menjadikan bahasa
sebuah kajian yang sangat berpotensi untuk dikaji.
Hidayat (2004) menyebutkan beberapa kelemahan bahasa yang digmbarkan oleh
filsuf. (1) Bahasa sebagai suatu sistem simbol tidak dapat menggambarkan dan
mengungkap seluruh realitas yang ada di dunia ini. (2) Penggunaan bahasa yang
digunakan manusia cenderung memiliki emosionalsehingga terkadang esensinya tidak
tersampaikan dengan logis. (3) Bahasa dapat dimanipulasi untuk kepentingan-
kepentingan tertentu. (4) bahasa sering memiliki makna ganda. (5) Ungkapan dari sebuah
bahasa terkadang menimbulkan banyak penafsiran dan
banyak arti. (6)

Dalam perkembangan filsafat bahasa sendiri relasi yang paling terlihat adalah
filsafat bahasa dalam ranah filsafat analitik. Mengapa demikain? Tentu hal ini
menunjukkan bahwa filsafat analitik ini merupakan sesuatu yang sangat berhubungan
dengan ranah filsafat bahasa itu sendiri.
Filsafat analitik ini merupakan sebuah metode yang digunakan untuk menjelaskan
dan menggambarkan sebuah kebenaran dari ungkapan-ungkaapan filsafat. Metode ini
digunakan pada abad 19-20 oleh Ludwig Waggenstein. Sebenarnya metode analitik
bahasa ini benih-benihnya sudah digunakan pada abad sebelum masehi tetapi baru
dikembangkan pada zaman Modern. Menurut Russel seorang filsuf inggris, menyebutkan
bahwa metode filsafat analitika ini dimulai dari konsep tentang hidup dan dunia beserta
semua seubstansi material yang ada di dalamnya. Bahsa yang merupakan sebuah
substansi yang ada dalam dunia dan kehidupan sudah selayaknya menjadi sebuh objek
materil yang sanagt substansial dalam filsafat.

Filsafat Bahasa
53
Hubungan antara filsafat dan bahasa telah tampak pada zaman Yunani kuno hal ini
terlihat pada saat munculnya paham Phusis. Paham ini menyatakan bahwa bahasa adalah
alamiah (fisei atau fisis). Pernyataan tersebut meyakini bahwa bahasa mempunyai
hubungan dengan asal-usul sebuah penamaan, sumber dalam prinsip-prinsip yang abadi
dan tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tidak dapat ditolak.
Dengan demikian dalam bahasa ada keterkaitan antara kata dan alam. Konsep hubungan
tersebut dikembangkan oleh tokoh paham natural yaitu Cratylus dalam Dialog Pluto
(Solikhan, 2008: 55).

2. Pemaknaan dalam Proses Pemikiran Filsuf

Penelitian sistematis tentang konsep makna dalam bahasa pada awalnya dilakukan
oleh kaum filsuf, yaitu dilakukan oleh Kaum Stoik. Penelitian tersebut membidangi dua
kajian yaitu tentang lekta dan makna. Kaum ini menentang pandangan logika Aristoteles
yang proses analisisnya dianggap tidak sistematis dan terkesan lebih absurd dalam
pemaknaanya. Aristoteles dalam proses analisisnya hanya mengakui adanya bentuk
onoma dan onomata dalam sebuah bahasa. Konsep perubahan dari bentuk onoma yang
sudah sesuai dengan fungsinya tidak beliau benarkan. Beliau hanya meyebutkan hal itu
sebagai contoh kasus saja.
Proses penolakan tersebut disebabkan oleh adanya konsistensi dasar logika
Aristoteles dengan silogisme yang hanya menggunakan kode huruf A, B, dan C dan tidak
mempergunakan bentuk-bentuk onoma yang terbentuk secara praktis dalam contoh.
Kaum Stoik yang menentang mencoba mengatakan bahwa kasus Onoma tersebut sudah
sesuai dengan fungsinya. Lalu mereka membedakan atas kasus nominatif berlanjut
genetif dan diakhiri oleh datif – akusatif. (Parera, 1991: 38).
Selanjutnya permasalahan pemaknaan dibahas oleh Kaum Modiste yang muncul
pada jaman pertengahan. Kaum ini sangat menaruh perhatian besar pada tata bahasa,
perhatian tersebut terlihat dalam proses aplikasi berbagai teori bahasa yang muncul dari
proses berfikir. Kaum ini sering disebut dengan nama De modis Sicnficandi. (Parera,
1991: 46).

Filsafat Bahasa 54
Kaum ini mengulang kembali tentang pertentangan lama antara Fisis dan Nomos,
antara Analogi dan Anomali. Mereka menerima konsep Analogi karena menurut mereka
bahasa bersifat reguler dan universal (Parera, 1991: 46). Keuniversalan yang digagas oleh
kaum ini dapat dibuktikan dengan adanya sifat bahasa dan ciri-ciri bahasa yang sama.
Kesamaan tersebut terlihat dari konsep-konsep yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di
dunia. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri-ciri universal dari bahasa yang paling
umum dijumpai adalah bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai bunyi bahasa yang
umum yang terdiri dari konsonan dan vokal. Bahwa sebuah kalimat pada bahasa-bahasa
di dunia tersusun dari kata-kata yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Kesamaan sifat
dan ciri inilah yang kemudian dikenal sebagai universalitas bahasa. Pada gambar di
bawah ini terlihat hubungan antara bahasa dengan filsafat, hubungan tersebut bersifat
simbiosis, artinya keilmuan filsafat bertugas untuk kemajuan keilmuan bahasa juga .
Gambar 5.1 hubungan ilmu filsafat dan ilmu bahasa 1

Sumber : https://miftahulkhairahanwar.id/2020/03/23/kajian-bahasa-perspektif-
filsafat/

3. Kajian Bahasa Perspektif Filsafat

Bahasa merupakan salah satu permasalahan yang sering dimunculkan dan dicari
jawabannya melalui berbagai perspektif dan kajian. Permasalahan tersebut diidentifikasi
dari berbagai pertanyaaan, dimulai dari hakikat bahasa sampai pada historitas (sejarah)
bahasa. Banyak jawaban dan teori yang telah digunakan untuk menjawab permasalahan

Filsafat Bahasa
55
tersebut, akan tetapi jawaban dari permasalahan tersebut belumlah lengkap ketika tidak
menggunakan kajian filsafat di dalamnya. Mengapa demikian? Karena bahasa senantiasa
hadir dan dihadirkan. Ia berada dalam diri manusia, dalam alam, dalam sejarah, dalam
wahyu Tuhan. Keberadaan bahasa seperti itu akan lengkap ketika proses kajiannya
melibatkan keilmuan filsafat. Adapun gambaran kajian bahasa dengan perspektif filsafat
terlihat pada gambar berikut.
Gambar 5.2 Kajian Bahasa dengan Perspektif bahasa 1

Sumber: https://miftahulkhairahanwar.id/2020/03/23/kajian-bahasa-perspektif-filsafat/
Pada gambar tersebut terlihat konsep-konsep ambigu atau multiinterpretasi yang
terdapat dalam pemaknaan bahasa dapat diuraikan melalui sebuah konsep kenyataan/
realitas yang dibangun oleh picture teori yang akhirnya menghasilkan sebuah proses
pemaknaan yang meaningfull. Pemaknaan ini adalah sebuah bentuk kebenaran,
berbicara tentang kebenaran tidak dapat dihindari bahwa bahasa mempunyai tugas
tersendiri dalam pencarian kebenaran, tugas ini tidak dapat digantikan oleh bidang
keilmuan yang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibrahim (2008:33) yang
menyatakan bahwa kebenaran yang dilalui dalam proses kebahasaan dapat ditelaah
dengan teori kebenaran yang sistematis yang berkaitan dengan bahasa dan tutur kata.
Masih berhubungan dengan hal tersebut Septarina (2011:54) menyatakan hal yang sama
yaitu kebenaran semantis muncul dikarenakan pengembangan oleh paham filsafat
analitika yang ada setelah filsafat Bertrantd Russel.

Filsafat Bahasa 56
Proses kebenaran ini adalah awal mula dari keilmuan semantik dalam kajian
bahasa muncul. Keilmuan semantic menyatakan bahwa kebenaran tersebut diawali dari
proposisi yang mempunyai arti, selanjutnya proposisi yang memiliki referent, atau
acuan, dilanjutkan kembali bahwa arti itu menunjukan makna yang sesungguhnya
dengan menunjukan kenyataan yang diperlihatkan oleh acuan/ referent. Hal ini tentunya
akan memunculkan keberagaman sikap, antara lain

Sikap Epistemologis Sikap Epismologik Sikap Epistemologik

Skeptik Ideologik Pragmatik

Kajian dalam pemaparan realisasi antara bahasa dan filsafat belanjut kepada
permasalahan logika. Realisasi ini dibuktikan munculnya penalaran-penalaran yang
berlaku, baik itu penalaran yang bersifat umum, maupun penalaran yang bersifat khusus.
Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk penalaran yang muncul dimulai dari premis-premis,
seperti penalaran induktif, penalaran deduktif, entinem, silogisme
Berikut ini adalah gambaran secara visual dari proses penalaran-penalaran
tersebut.

Filsafat Bahasa
57
Gambar 5.3 Proses silogisme 1

Sumber : http://andreas-ginting.blogspot.com/2016/03/penalaran-deduktif-silogisme-
entimen.html
Adapun penjelasan diagram tersebut dapat dianalogikan seperti uraian di bawah ini.
Gambar I : Menunjukkan bahwa S identik dengan P
S = P; Semua manusia adalah makhluk hidup
Gambar II : S tidak berhubungan dengan P.
Tidak ada S yang P; Tidak ada mobil yang beroda dua
Gambar III : S adalah sebagian dari P.
Semua S adalah P; Semua unggas adalah binatang.
Gambar IV : Sebagian S adalah P.
Beberapa S = P; Beberapa manusia menyukai matematika.
Selanjutnya, masih berkaitan dengan hal tersebut, Lyons 1995: 406 menyatakan
bahwa pemaknaan mengandung pilihan. Pemaknaan sebuah konteks melalui ujaran
mempunyai berbagai pilihan tergantung. Misal seorang pembicara dapat mengujarkan
sebuah pilihan pemaknaan yang nantinya akan diolah oleh saraf sensorik yang
selanjutnya memunculkan sebuah respon. Sebaliknya jika antara pembicara dan
pendengar tidak mempunyai pengalaman berkomunikasi bersama maka pilihlah kosakata

Filsafat Bahasa 58
tersebut yang bersifat umum atau tidak mempunyai pemilihan yang sama karena ketika
berkomunikasi dengan orang baru sulit sekali sebuah ujaran memiliki pilihan.

Filsafat Bahasa
59
C. SOAL LATIHAN

1. Jelaskan realisasi yang paling terlihat antara filsafat dengan bahasa !


…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………..
2. Sebutkan kelemahan bahasa yang berhasil diungkap oleh para filsuf!
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………..
3. Jelaskan asal mula kajian semantik dalam perspektif keilmuan filsafat!
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………..
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sikap epistemologis Skeptik !
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………….

Filsafat Bahasa 60

Anda mungkin juga menyukai