Anda di halaman 1dari 10

Peranan Logika dan Matematika

Aliran positivisme logis yang tokoh-tokohnya teriri atas pakar-pakar pada bidang ilmu
pengetahuan alam dan matematika menaruh perhatian terhadap logika dan matematika.
Perbedaan antara logika modern dan logika tradisional (logika klasik) ialah:
1) penggunaan simbol-simbol menurut analogi dengan matematika
2) bertambahnya wilayah-wilayah yang sama sekali baru
Logika dan matematika bersifat apriori. Da ilmu ini hanya menyatakan relasi-relasi pikiran .
ungkapan-ungkapan logika dan matematika bersifat tautologi, tetapi semua ungkapan realitas
empiris bersifat sintetis, berarti dilakukan atas dasar pengalaman.
Konsep Positivisme Logis tentang Filsafat
Filsafat tidak memiliki wilayah penelitian sendiri. Realitas empiris menurut segala aspeknya
dipelajari oleh ilmu-ilmu pengetahuan empiris yang khusus, adapun realitas nonempiris tidak
mungkin menjadi wilayah penelitian.
Menurut Carnap dalam Sintaksis Logis dari Bahasa ia menyadari bahwa filsafat harus
menyelidiki sintaksis logis dari ucapan-ucapan ilmiah. Sintaksis logis itu harus disusun secara
formal belaka tanpa mencari makna dan hanya dengan memperhatikan relasi antara satu dan
lainnya.
Filsafat menyibukkan diri dengan tiga hal:
1) masalah-masalah yang menyangkut fakta-fakta empiris
2) masalah-masalah yang menyangkut pengekspresian pengetahuan kita atau dengan lain
perkataan melalui ungkapan bahasa
3) masalah-masalah metafisis
Bahasa Universal bagi Seluruh Ilmu Pengetahuan
Carnap dalam buku Konstruksi Logis Dunia membuktikan bahwa objek ilmu pengetahuan
dapat diasalkan pada pengalaman-pengalaman elemen subjek. Kemudian disusunlah hierarki
atau tingkatan bahasa sesuai dengan objek-objek. Dasar seluruh konstruksi ini ialah tingkatan
auto-psikologis, yang disusun berturut-turut tingkatan fisis, biologis, psikologis, social, dan
cultural. Setiap ungkapan yang termasuk ilmu pengetahuan yang khusus, dapat diterjemahkan
melalui tahap-tahap tertentu ke dalam ucapan yang termasuk ilmu pengetahuan yang lain.

Tingkatan sosio cultural dapat diasalkan pada tingkatan psikologis, dan yang terakhir dapat
diasalkan pada tingkatan ilmu pengetahuan alam.
Terdapat kesulitan-kesulitan yang menghadang proyek Carnap, salah satunya adalah
dispositional terms. Dispositional terms adalah suatu istilah yang mengungkapkan suatu ciri
yang harus disifatkan kepada suatu objek bukan berdasarkan fakta-fakta aktual, melainkan
karena objek tersebut mempunyai semacam kemampuan (disposition) untuk menimbulkan
fakta tertentu.
Neutrath tidak setuju dengan konsep Carnap. Menurutnya fundamen itu tidak boleh dikaitkan
dengan ucapan-ucapan yang menyangkut suasana keakuan akan tetapi harus terdiri atas
ungkapan-ungkapan yang bersifat umum dan terbuka secara intersubjektif. Menurut Neutrath,
bahasa fisika merupakan yang paling fundamental, dan semua bahasa ilmiah harus dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa fisika itu. Pendapat tersebut membawanya kepada
fisikalisme. Fisikalisme bermaksud menyangkal setiap perbedaan prinsipial antara ilmu
pengetahuan alam dengan ilmu pengetahuan cultural. Fisikalisme tidak mengatakan bahwa
tidak ada pengalaman-pengalaman psikis. Pengalaman-pengalaman macam itu tidak
mempunyai nilai ilmiah karena secara prinsipial tidak terbuka bagi pemeriksaan intersubjektif
dan oleh karena itu tidak dapat dirumuskan secara fisikalistis.
Positivisme Logis Alfred Jules Ayer
Ayer (seorang filsuf dari Oxford Inggris) mengembangkan konsep filosofis positivism logis
ssecara lebih radikal. Positivisme Ayer meneruskan garis lurus tradisi empirisme Inggris
terutama Hume dan menekankan pada garis logis versi Bertrand Russell. Ayer mengambil
alih program positivism logis tersebut dan merumuskan prinsip verifikasi.
Prinsip verifikasi bermaksud untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan dan
bukannya untuk menentukan suatu criteria kebenarannya. Menurut Ayer, ungkapan itu
bermakna bila ungkapan itu merupakan observation statement artinya merupakan suatu
pernyataan yang menyangkut realitas inderawi. Dengan kata lainperkataan dikatakan
bermakna apabila dilakukan berdasarkan observasi atau verifikasi.
Ayer menekankan dua macam pengertian verifikasi:
1) Verifikasi dalam arti yang ketat (strong verifiable) yaitu sejauh kebenaran suatu

proposisi itu didukung oleh pengalaman secara meyakinkan.

2) Verifikasi dalam arti yang lunak yaitu jika suatu proposisi itu mengandung suatu
kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan.
Ungkapan-ungkapan matematika dan logika itu tidak mengungkapkan realitas inderawi
sehingga tidak dapat diverifikasi atas dasar pengalaman. Maka untuk menentukan benar
tidaknya suatu ungkapan matematika dan logika maka kita tidak dapat meninggalkan bahasa
karena kebenarannya sangat tergantung pada makna symbol yang digunakan sehingga
kebenarannya bersifat pasti atau bersifat tautology.
Verifikasi juga tidak harus dilakukan secara lengkap melainkan sebagian saja dan hal ini
sangat banyak dilakukan dalam verifikasi dalam bidang ilmu-ilmu alam dan fisika.
Keyakinan atas prinsip verifikasi ini memiliki konsekuensi bahwa ungkapan-ungkapan
metafisis adalah tidak bermakna.
Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy)
Para tokoh filsafat analitika bahasa menyadari bahwa pada kenyataannya banyak problemaproblema filsafat yang dapat diselesaikan melalui analisis bahasa. mereka memiliki keinginan
untuk mewujudkan suatu bahasa yang ideal yaitu bahasa yang memiliki struktur logika yang
sesuai dengan struktur logika realitas dunia.
Bertrand Russell menyatakan bahwa ungkapan-ungkapan bahasa metafisika pada hakikatnya
adalah omong kosong belaka karena tidak memelukiskan suatu realitas dunia. Namun dengan
dasar-dasar yang kuat para tokoh filsafat analitik yang mendasarkan aspek semantic bahasa
melaui struktur logika.
Russell sendiri mengakui bahwa teori atomisme logis ingin menjelaskan suatu struktur hakiki
bahasa yang sepadan dengan dunia, atau dengan kata lain teori ini juga mengungkapkan
bahwa bagaimana akhirnya dunia diasalkan pada fakta fakta atomis. Pemikiran Russell
tersebut berasar dari suatu analisis melalui bahasa. dengan demikian, metafisika dalam teori
Russell merupakan pluralisme radikal.
Wittgenstein dalam Tractatus yang mendasarkan pada aspek semantic bahasa dengan
menekankan struktur logika dalam kenyataannya juga terkandung didalamnya dasar-dasar
metafisika. Formulasi logika bahasa yang dikembangkan oleh Wittgenstein pada akhirnya
menemui banyak keterbatasan dan kesulitan.
Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode II

Philosophical Investigation
Philosophical Investigation memiliki corak yang berlainan dengan Tractatus. Dalam
Philosophical Investigation, ia menyadari bahwa bahasa yang diformulasikan melalui logika
sebenarnya sangat tidak mungkin untuk dikembangkan dalam filsafat. Ia mengkritik
pendapatnya yang pertama yang berkaitan dengan struktur hakikat bahasa.
Dalam Tractatus Wittgenstein menganggap bahwa bahasa sebagai suatu kumpulan besar
yang tak terbatas dari proposisi-proposisi yang sederhana atau yang atomis. Proposisi atomis
pada hakikatnya menggambarkan realitas fakta atomis yaitu keberadaan suatu peristiwa yang
paling sederhana yang memiliki satu analisis yang lengkap. Dalam Philosophical
Investigation ia menolak pendapatnya yang pertama. Menurutnya bahasa itu digunakan tidak
hanya untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis, melainkan digunakan dalam banyak
cara yang berbeda untuk mengungkapkan pembenaran, pertanyaan-pertanyaan, perintah,
pengumuman, dan banyak lagi gejala-gejala yang diungkapkan dengan kata-kata.
Tata Permainan Bahasa (Language Game)
Philosophical Investigation merupakan suatu bentuk filsafat bahasa biasa yang paling kuat
sekaligus sebagai penunjuk jalan atas terbukanya pemikiran filsafat yang menaruh perhatian
terhadap bahasa biasa (ordinary language). Karya Wittgenstein yang kedua ini lebih
menekankan pada aspek pragmatic bahasa atau dengan perkataan lain lebih meletakkan
bahasa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi dalam hidup manusia.
Wittgenstein mengemukakan :
-

makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa


orang tidak dapat menduga bagaimana sebuah kata itu berfungsi. Orang hanya harus

melihat pengunaannya dan belajar daripadanya.


Filsafat sama sekali tidak boleh turut campur dalam penggunaan bahasa yang
sesungguhnya, dan sebenarnya filsafat hanya dapat menguraikan.

Istilah language game dipakai dalam arti bahwa menurut kenyataan pengunaannya, bahasa
merupakan sebagian dari suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan. Ia
menunjukkan bahwa dalam berbagai macam permainan terdapat aturan-aturan main
tersendiri yang aturan tersebut harus ditaati dan harus merupakan pedoman dalam tata
permainan. Permainan bahasa memiliki aturan sendiri yang tidak dapat dicampuradukkan
dengan tata aturan permainan satu dan lainnya.

Oleh karena itu dalam hubungannya dengan segi pragmatic bahasa yaitu penggunaan bahasa
dalam hidup manusia, makna sebuah kata sangat tergantung penggunaannya dalam suatu
kalimat. Demikian pula makna sebuah kalimat pada hakikatnya sangat tergantung
penggunaannya dalam sebuah bahasa (wacana) dan akhirnya makna bahasa itu sangat
tergantung pada penggunaannya dalam hudup manusia. Bahasa akan memiliki makna
manakala mampu mencerminkan aturan-aturan yang terdapat dalam setiap konteks kehidupan
manusia. Jadi walaupun terdapat ungkapan sama namun maknanya tetap sangat tergantung
pada penggunaan dalam situasi atau konteks yang bersangkutan yang memiliki aturan
masing-masing.
Kritik Wittgenstein atas Bahasa Filsafat
Pada periode pertama Wittgenstein mengkritik bahasa filsafat yang dikatakannya bahwa
penggunaan bahasa filsafat tidak memiliki struktur logis sehingga ia mengungkapkan
persoalan filsafat timbul karena para filsuf yang kurang tepat dalam mengungkapkan realitas
melalui logika bahasa. Namun demikian, melalui konsep tata permainan bahasa ia
berupaya menunjukkan berbagai macam kelemahan bahasa dalam filsafat. ia menyatakan
bahwa persoalan-persoalan filsafat timbul karena terdapat kekacauan dalam penerapan tata
permainan bahasa. Dua hal yang dikemukakan oleh Wittgenstein berkaitan dengan bahasa
filsafat tersebut yaiut:
1) Kekacauan bahasa filsafat timbul karena penggunaan istilah atau ungkapan dalam
bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan permainan bahasa
2) Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan
merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya.
Kelemahan filsafat ini disebut dengan craving for generality yaitu suatu
kecenderungan untuk mencari sesuatu yang umum pada semua satuan-satuan kongkrit
(entities) yang diletakkan dibawah istilah yang bersifat umum. Atau dengan kata lain
kita mencari kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan,
ketunggalan dalam kemajemukan (craving for unity)
3) Penyamarab atau pengertian terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dapat
difahami misalnya keberadaan, ketiadaan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu
Wittgenstein menganjurkan agar kita menghindari atau melewati penyamaran dari
sesuatu yang tidak terfahami itu dengan menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya
nirarti belaka.

Tugas Filsafat
Bahasa filsafat memiliki berbagai kelemahan. Kelemahan bahasa filsafat tersebut dapat
teratasi bilamana meletakkan tugas filsafat sebagai analisis bahasa. terdapat dua macam cara
untuk menempatkan filsafat sebagai analisis, yaitu (1) aspek penyembuhan (therapheutics)
yaitu dengan menghilangkan kekacauan-kekacauan yang terjadi dalam bahasa filsafat (2)
aspek metodis yaitu cara berfilsafat yang seharusnya ditempuh yang hal itu meliputi aspek
sebagai berikut:
a) Dalam berfilsafat haruslah meletakkan landasannya pada penggunaan bahasa seharihari
b) Upaya untuk keluar dari kemelut kekacauan filsafat yang diakibatkan oleh kekacauan
penggunaan bahasa
c) Metode analisis bahasa harus diletakkan dalam posisi yang netral artinya untuk tidak
turut campur dalam memberikan interpretasi filosofis yaitu memberikan penafsiran
tentang identitas.
Beberapa filsuf dari Oxford
Gilbert Ryle
Pemikiran filsafat mendasarkan pada filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy)
Warna filsafat Ryle Nampak adanya pengaruh dari pemikiran Ludwig Wittgenstein dalam hal
titik tolaknya pada bahasa biasa. Ryle tidak mendasarkan pada struktur logika bahasa seharihari berdasarkan prinsip-prinsip logika.
Kekeliruan Kategori (Category mistake)
Menurut Ryle kekeliruan pokok yang sering terjadi dalam filsafat adalah kekeliruan
mengenai kategori. Kekeliruan terjadi dalam penggunaan bahasa dalam melukiskan faktafakta yang termasuk kategori satu dengan menggunakan ciri-ciri logis yang menandakan
kategori lain.
Menurut Ryle filsafat Descartes tentang manusia bertumpu pada suatu category mistake.
Pandangan Descartes tentang manusia mendasarkan pada pandangan yang dualistic yaitu dua
substansi yang bebeda yang meliputi roh atau substansi yang berpikir dan materi atau
substansi yang meluas. Realitas yang demikian ini menurut Ryle merupakan dua unsure yang
memiliki corak logis atau kategori yang berbeda dan sangat janggal bilamana merupakan

suatu kesatuan yang harmonis.filsafat Ryle ini merupakan suatu kritik yang sangat tajam pada
konsep Rene Descartes yang pada saat itu lazimnya merupakan dasar tumpuan konsep
manusia.
Bahasa Biasa (The Ordinary Language)
Filsafat bahasa biasa menurut Ryle pada hakikatnya memperhatikan penggunaan yang biasa
dari bahasa atau penggunaan bahasa baku yang standard dan bukannya penggunaan bahasa
yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Tujuan dilakukannya analisis bahasa yang baku
atau yang standard dalam penggunaan ungkapan-ungkapan dalam filsafat adalah untuk
mendafat suatu kejelasan yang memadai bagi penggunaan bahasa-bahasa yang baku atau
yang standard tersebut. Ryle berpendapat bahwa banyak diskusi filsafat itu berkaitan dengan
persoalan yang menyangkut tentang penggunaan yang biasa dari ungkapan.
John Langshaw Austin
Austin adalah seorang filsuf yang menaruh minat terhadap filsafat bahasa biasa. Menurut
Austin kita akan mendapatkan pelajaran yang sangat banyak dari perhatian kita terhadap
bahasa sehari-hari yang digunakan dalam pergaulan hidup. Penggunaan bahassa tidak dapat
dilepaskan dengan situasi kongkrit dimana ungkapan-ungkapan yang kita kemukakan
berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut.
Pembedaan Ucapan Bahasa
Ucapan Konstatif (Constative Utterance)
Ucapan konstatif adalah salah satu jenis ucapan bahasa yang melukiskan suatu keadaan
faktual yang menyatakan sesuatu atau terdapat sesuatu yang konstatif dalam ucapan tersebut.
Dalam pengertian ini ucapan konstantif memang memiliki konsekuensi untuk ditentukan
benar atau salah. Walaupun ucapan konstantif itu dapat dibuktikan benar salahnya oleh si
pendengar. Benar atau salah dari ucapan konstantif itu didasarkan atas konsekuensi ucapan
dengan fakta yang terjadi yang dilukiskan melalui ucapan tersebut. Menurut Austin, ucapan
konstantif itu isinya mengandung acuan kejadian atau fakta historis yaitu kejadian masa
lampau yang merupakan peristiwa nyata atau benar-benar terjadi.
Ucapan Performatif (Performative Utterance)

Ucapan performatif tidak dapat ditentukan benar atau salah berdasarkan peristiwa atau fakta
yang telah lampau melainkan suatu ucapan yang memiliki konsekuensi perbuatan bagi
penuturnya. Ucapan-ucapan performatif memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1) suatu ucapan performatif pasti tidak sah jikalau diucapkan oleh seseorang yang tidak
memiliki kompetensi dengan masalah ini atau suatu keadaan yang tidak memenuhi syarat
atau tidak mengizinkan ucapan itu.
2) Suatu ucapan performatif juga tidak sah jika seseorang yang mengungkapkan kalimat
tersebut tidak bonafide atau tidak bersikap jujur. misalnya seseorang yang berjanjiakan
tetapi tidak mau menepatinya
3) suatu ucapan performatif tidak sah manakala orang yang bersangkutan menyimpang dari
apa yang diucapkanya.
Tiga syarat tersebut tidak mengakibatkan suatu ucapan benar atau salah karena ucapan
performatif itu berkaitan dengan layak atau tidak layak, wajar atau tidak wajar.
Ciri-ciri ucapan performatif:
1)
2)
3)
4)

Diucapkan oleh orang pertama


Orang yang mengucapkan hadir dalam situasi tersebut
Bersifat indikatif
Orang yang menyatakan terlibat secara aktif dengan isi pernyataan tersebut.

Tindakan bahasa (Speech Act)


TIndakan bahasa dibedakan atas:
1. Tindakan Lokusi (Locutionary Act)
Tindakan kolusi dimaksudkan untuk mengatakan sesuatu secara jelas yaitu tindakan
bicara si penutur dikaitkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturannya.
Tindakan bahasa lokusi yatu suatu tindakan bahasa untuk mengatakan sesuatu.
Austin menggolongkan tindakan lokusi menjadi tiga
1) Phonetic act
Tindakan fonetik yaitu suatu tindakan bahasa dengan mengucapkan bunyi tertentu.
Suatu tindakan bahasa pasti dilakukan melalui tindakan mengucapkan bunyi bahasa.
2) Phatic act
Tindakan bahasa patic yaitu berupa pengucapan kosa kata tertentu. Dengan
tersusunnya kosa kata tersebut dalam suatu system tata bahasa berarti menurut suatu
kaidah tertentu sehingga memiliki makna tertentu dan oleh karena itu dituturkan
melalui bunyi, maka intonasi juga mempengaruhi makna bahasa.
3) Rhetic act

Tindakan bahasa rhetic adalah penampilan suatu tindakan bahasa dengan


menggunakan kosa kata tertentu yang ada pada phatic act dengan acuan dan
pengertian yang sudah pasti. Dapat disimpulkan bahwa phatic act merupakan kalimat
langsung dan rhetic act merupakan kalimat tak langsung.
2. Tindakan Illokusi (Illocutionary act)
Tindakan bahasa ilokusi yaitu suatu penampilan tindakan bahasa dalam mengatakan
sesuatu yang dilawankan dengan suatu tindakan bahasa dengan mengatakan sesuatu.
Austin membedakan tindakan bahasa ilokusi ini menjadi lima macam yaitu:
1) Verdictives
Tindakan bahasa verdiktif adalah suatu tindakan bahasa yang mengatakan sesuatu
yang ditandai dengan adanya suatu keputusan sebagaimana dilakukan oleh hakim,
wasit dan juri.
2) Exercitives
Tindakan bahasa exesitif adalah suatu jenis tindakan bahasa yang menrupakan akibat
adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh
3) Commisitives
Tindakan bahasa komisif yaitu jenis tindakan dengan melakukan suatu perbuatan atau
perjanjian. Hal ini memiliki konsekuensi kepada si penutur untuk melakukan sesuatu.
Secara lebih luas tindakan bahasa semacam ini mempunyai suatu hubungan dengan
tindakan verdiktif dan exersif.
4) Behabitives
Tindakan bahasa behabitif adalah tindakan bahasa dalam melakukan sesuatu
menyangkukt simpati, sikap, memaafkan, memberikan selamat yang senantiasa
timbul dalam komunikasi sosial
5) Expositives
Tindakan expositif adalah tindakan bahasa yang digunakan dalam tindakan
memberikan suatu pandangan, memberikan suatu keterangan atau pendapat,
memberikan suatu penjelasan tentang penggunaan dari acuan.
3. Tindakan bahasa perlokusi (perlocutionary act)
Tindakan bahasa perlokusi yaitu suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu dengan
maksud untuk menimbulkan efek, reaksi atau respon atas pikiran atau tindakan pada
orang yang diajak berbicara. Tindakan bahasa perlokusi lebih berkaitan dengan respon
atau efek bagi orang yang diajak berbicara oleh si penutur bahasa.
Peter Strawson
Peter Strawson dalam karyanya Individuals membahas tentang persoalan referensi atau
menunjuk kepada suatu objek. Dalam ucapan-ucapan yang kita kemukakan senantiasa
menunjuk kepada suatu objek. Menurut Strawson, objek-objek individual yang dilukiskan

dalam rangka system ruang dan waktu adalah objek-objek material. Dalam karyanya tersebut,
Strawson memberikan suatu argumentasi-argumentasi atas akal sehat kita terutama pemikiran
tentang objek-objek material.

Anda mungkin juga menyukai