Anda di halaman 1dari 9

Bahasa dan filsafat, dilihat dari keterkaitannya boleh dikatakan merupakan dua

entitas yang sama-sama saling melengkapi. Pandangan ini muncul ketika


seseorang yang sedang mendalami filsafat dibingungkan dengan pertanyaan-
pertanyaan filosofis, atau dengan kata lain konsep filsafat yang ditelurkan melalui
bahasa ontologis. Seperti pertanyaan mendasar “apa itu ada?”, “apa itu bahasa?”
dan “bagaimana yang ada itu menjadi tidak ada?”. Rumusan pertanyaan tersebut
sebenarnya meliputi bahasa. Namun, bahasa yang disampaikan dikemas secara
filosofis, supaya orang bisa lebih berpikir radikal dan sistematis.

Kajian bahasa telah lama diperhatikan, tepatnya zaman pra Sokrates. Para filsuf
seperti Heraklitos sudah menerapkan filsafat bahasa untuk mengkaji segala
sesuatunya termasuk alam semesta. Pada zaman Sokrates, bahasa menjadi
salah satu pusat utama, di mana retorika dipakai sebagai medium untuk dialog
filosofis. Bahkan, ketika Sokrates berdialog dengan kaum sofis, ia lebih
menggunakan metode penguraian bahasa yang sering disebut dengan
“dialektika kritis”. Oleh sebabnya, bahasa sangat erat sekali dengan filsafat,
melihat aspek-aspek filosofis seluruhnya terkandung dalam bahasa.

Perkembangan pemikiran filsafat bahasa tumbuh dan populer pada awal abad
20-an khususnya di Inggris dan di Eropa pada umumnya. Salah satu peletak
utama pemikiran filsafat analitik ini menjadi populer berkat Betrand Russell dan
Ludwig Wittgenstein. Akan tetapi, ada banyak tokoh lainnya yang memberikan
sumbangsih terhadap pemikiran filsafat bahasa dengan pelbagai aliran yang
dianutnya. Aliran-aliran ini meliputi atomisme logis, positivisme logis, dan yang
terakhir, filsafat bahasa biasa (ordinary language philosopy).

Atomisme Logis

Sebenarnya, puncak utama dari pemikiran atomisme logis ini dirintis oleh
seorang filsuf Cambridge bernama George Edward Moore (1873-1958). Namun,
tokoh utama yang mengemukakan serta merumuskan nama dari aliran ini ialah
Betrand Russell dan Ludwig Wittgenstein. Pertama, awal mula konsep atomisme
logis bagi Russell bahwa, logika itu menurutnya bersifat atomis. Atomis
berdasarkan etimologi berasal dari kata a “tidak” dan tomos “potong”. Lalu,
atomis dipahami secara umum sebagai pandangan matrealistis bahwa alam
semesta terdiri dari entitas paling sederhana (Loren Bagus, 2005:97). Dari
paham ini pula Russell mampu mensintesiskan pemikiran filsuf-filsuf
sebelumnya. Dalam pemikirannya, dia memakai tradisi pemikiran empirisme
John Locke dan David Hume terutama mengenai struktur logis dari proposisi-
proposisi, dari proposisi sederhana (atomis) sampai pada proposisi kompleks
yang memiliki corak logis yang sama dengan konsep ide-ide sederhana (ide
atomis) sampai pada ide-ide yang bersifat kompleks. Kemudian, dalam hal ini
Russellpun ingin membangun bahasa yang mampu mengungkapkan realitas,
yang berdasarkan formulasi logika (Kaelan, 2009:82). Ada beberapa prinsip yang
dikemukakan oleh Russel mengenai filsafat analitiknya, tentang prinsip formulasi
logika bahasa, prinsip kesesuaian, dan terakhir prinsip mengenai struktur
proposisi.
Kedua, filsafat atomisme logis yang dirujuk oleh Ludwig Wittgenstein. Dalam
mengungkapkan realitas dunia Wittgenstein merumuskan mengenai suatu
proposisi-proposisi, sama halnya seperti Russell, bagi Wittgenstein terdapat
suatu kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia.
Karenanya, proposisi-proposisi itu terungkapkan melalui bahasa pada hakikatnya
merupakan suatu gambaran dunia (Kaelan, 2009:98). Maka dari itu, prinsip dasar
atomisme logis yang dia anut untuk mengungkapkan realitas dunia dinamakan
dengan teori gambar (picture theory). Lalu, konsep pemikiran
filosofis tractatus Wittgenstein terdiri atas pernyataan-pernyataan yang secara
logis memiliki hubungan. Pada persfektif ini yang dia maksud dengan fakta
adalah suatu peristiwa atau keadaan dan suatu peristiwa itu adalah kombinasi
dari benda-benda atau objek-objek bagaimana hal itu berada di dunia. Jadi,
menurut Wittgeinstein bahwa sebuah fakta itu adalah suatu keberadaan
peristiwa, yaitu bagaimana objek-objek itu memiliki interrelasi dan keadaan,
hubungan kausalitas, kualitas, kuantitas, ruang, waktu, dan keadaan
(Poerwowidagdo dalam Kaelan, 2009:96).

Positivisme Logis dan Filsafat Bahasa Biasa

Aliran positivisme logis serta aliran filsafat bahasa biasa berkembang dan
berpusat di Wina Austria kurang lebih awal tahun 1922. Dua gerakan ini sama-
sama dipengaruhi oleh Ludwig Wittgenstein, namun, ada perbedaan pemikiran
dari kedua aliran ini. Jika positivisme logis didasarkan pada tradisi empirisme
David Hume, John Stuart Mill dan Ernest Mach. Pada pemikiran filsafat bahasa
biasa didasarkan melalui peralihan pemikiran Ludwig Wittgenstein I yang
awalnya menganut paham atomisme logis menjadi paham filsafat bahasa biasa
(ordinary language philosopy) yang dikenal dengan pemikiran Wittgenstein II.
Aliran filsafat bahasa biasa yang dikembangkan oleh Wittgenstein ini sangat
bertolak belakang dengan pemikiran tractatus ketika dia masih menganut
atomisme logis. Dari pemikiran keduanya itu, Wittgeinstein banyak mengkritik
pola pemahaman atomisme logis. Berangkat dari karyanya yang kedua,
Wittgeinstein mulai menyadari bahwa bahasa diformulasikan melalui logika yang
sebenarnya sangat tidak mungkin untuk dikembangkan dalam filsafat, bahkan
dalam pelbagai kehidupan manusia terdapat banyak macam konteks yang tidak
mungkin hanya diungkapkan melalui logika bahasa (Kaelan, 2009:123).

Kedua aliran ini perlu rasanya untuk menyebutkan siapa tokoh yang menjadi
tolak ukur pemikiran filsafat analitiknya. Pertama, tokoh yang mengembangkan
tradisi positivisme logis salah satunya adalah Alfred Jules Ayer. Dia memiliki
gagasan terhadap filsafat analitik bahwa, proposisi-proposisi itu bermakna
manakala pernyataan itu bisa diverifikasi dengan pengalaman. Kedua, tokoh-
tokoh yang mempopulerkan aliran filsafat bahasa biasa diantaranya, Ludwig
Wittgeinstein II, Gilbert Ryle, John Langshaw Austin, dan Peter Strawson. Secara
umum, pemikiran aliran filsafat bahasa biasa menekankan pada aspek
permainan bahasa, fungsi bahasa, dan konteks bahasa (pragmatik).

Dari pelbagai pemikiran aliran filsafat analitik, intinya, seluruhnya menekankan


pada aspek penggunaan bahasa yang menggunakan struktur bahasa yang khas.
Namun, perlu diketahui jika bahasa filsafat memerlukan banyak pemahaman
terhadap si pembacanya, dengan demikian filsafat analitik di sini sangat
dibutuhkan. Sebab, dari filsafat bahasa ini kita tidak hanya mampu mempelajari
pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh si penutur. Lebih dari itu, filsafat
analitik banyak berperan terhadap bagaimana kita menggunakan logika dalam
berbahasa.

Daftar Bacaan:

Kaelan, Filsafat Bahasa, Semiotika dan Hermeneutika Paradigma:Yogjakarta


2009.

Muntasyir, Rizal Filsafat Analitik Pustaka Pelajar:Yogjakarta 2013

Bagus, Loren Kamus Filsafat Gramedia:Jakarta 2005

BAB 1
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra-Yunani Kuno hingga abad
XX sekarang ini, telah banyak aliran filsafat yang bermunculan. Setiap aliran filsafat
itu memiliki kekhasannya masing-masing, sesuai dengan metode yang dijalankan
dalam rangka memperoleh kebenaran. Telah banyak metode filsafat yang diajukan
oleh para filsuf, namun tidak ada satupun yang luput dari kelemahan. Kelemahan
metode filsafat yang satu akan dikritik dan dikoreksi oleh filsuf-filsuf lainnya.
Demikian seterusnya, sehingga pada umumnya suatu aliran filsafat itu muncul atau
tampil kearena filsafat, karena bereaksi terhadap aliran filsafat sebelumnya.
Demikian pula halnya dengan Mazhab Analitika Bahasa(MAB) atau Filsafat
Analitik atau Filsafat Bahasa, kemunculannya di tengah kancah filsafat erat kaitannya
dengan aliran filsafat sebelumnya, terutama Rasionalisme, Empirisisme Inggris,
Kritisismenya Immanuel Khan. Gerakan MAB muncul pada abad XX.
Kekhasan MAB ini tidak hanya menyangkut masalah metode melainkan terletak
pada ruang lingkup kegiatan MAB itu sendiri.
Tokoh-tokoh penting yang paling mewakili corak pandangan pada filsafat analitik
ini adalah Bertrand Russel, Ludwig Wittgenstein, Alfred Jules Ayer, Gilbert Ryle, dan
John Langshaw Austin.

II. Rumusan Masalah


Dari penjelasan dan uraian di atas maka penulis merumuskan beberapa permasalahan
dalam pembahasan filsafat analitik ini sebagai berikut :

1. Apa itu filsafat analitik?


2. Siapa-siapa saja penyebar benih Filsafat analitik?
3. Apa saja aliran yang terdapat dalam filsafat analitik?
4. Apa saja teori-teori arti dalam filasafat analitik?
5. Bagaimana sejarah hidup Ludwig Wittgenstein dalam mengembangkan filsafat
analitik?

BAB 2
PEMBAHASAN

A. PengertianFilsafat Analitik
Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam
dan tersusun. Beberapa pengertian tentang filsafat analitik secara terminologi yaitu :
 Menurut Rudolp Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik
tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep
dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.
 Menurut Roger Jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak
menganalisis berarti tindak memecah sesuatu kedalam bagian-bagiannya. Tepat
bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.
 Didalam kamus popular filsafat, filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang
berpangkal pada lingkaran Wina. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang
berbau metafisik.
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof abad ke XX, khususnya di Inggris dan
Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba
menganalisa pernyatan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan,
atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis
dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang
pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistic(ilmu
tentang bahasa) atau nonlinguistic nyata atau yang konstektual.
Filsafat analitik sendiri secara umum hendak mengklarifikasi makna dari pernyataan
dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.
Oleh karena itu pemakaian istilah analisis ini lebih mengacu pada pengertian yang
bersifat umum, yaitu suatu upaya untuk menyelidiki atau memeriksa konsep-konsep
dalam rangka mengetahui benar atau tidak, logis atau tidak logis, bermakna atau tidak
bermaknanya konsep-konsep tersebut. Konsep dalam hal ini adalah hasil pemikiran
atau pandangan seseorang yang diungkapkan dalam bentuk bahasa. [1]
Analitik (filsafat analitik) aliran dalam fisafat yang berpangkal pada Lingkaran Wina.
Terus dikembangkan oleh Wittgenstein,Russel dan Moore di Negara-negara yang
berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap
bentuk filsafat yang berbau “metafisik”. [2]

B. Penyebar Benih Filsafat Anaitik


Kalau ada orang yang menganggap analisis bahasa merupakan hal yang baru dalam
arena filsafat, maka anggapan yang demikian itu sebenarnya kurang tepat. Sebab
kendati analisis bahasa baru dicanangkan sebagai suatu metode dalam berfilsafat oleh
Wittgeinstein pada abad keduapuluh ini, tetapi benih analisis bahasa itu sendiri
sesungguhnya sudah ada dalam pemikiran filsuf terdahulu. Oleh karena itu
perkembangan filsafat analitik hingga mencapai taraf sekarang ini tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari ide yang pernah dilontarkan oleh para filsuf terdahulu.
Filsuf yang dapat dianggap sebagai penyebar benih filsafat analitik itu antara lain
Socrates, Aristoteles, Descartes, David Hume, Immanuel Khan, dan George Edward
Moore.

C. Aliran Dalam Filsafat Analitik


a. Atomisme Logik
Aliran ini mulai dikenal pertama kali pada tahun 1918 melalui tulisan-tulisan
Bertrand Russell, dan kemudian mencapai puncaknya dalam pemikiran Wittgenstein
melalui karyanya yang berjudul Tractatus Logico-Philosophicus.
Atomisme logik ini adalah suatu faham atau ajaran yang berpandangan bahwa
bahasa itu dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomik atau proposisi-proposisi
elementer, melalui teknik analisis logik atau analisis bahasa. Kaum Atomisme logic
bermaksud menunjukkan adanya hubungan yang mutlak antara bahasa dengan
realitas.
b. Positivisme Logik
Aliran yang semula dikenal dengan nama Lingkungan Wina ini didirikan pada
tahun 1922 oleh Moritz Schlick. Tokoh yang tergabung dalam aliran ini adalah para
ahli matematik, logika, dan sains. Kecenderungan terhadap sesuatu yang bersifat
postitif dan pasti, serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah merupakan curhat
pandangan yang khas dari kaum positivism logik ini. Aliran ini secara nyata
dipengaruhi oleh pemikiran Moore dan Atomisme Logik(Russell dan Wittgenstein),
terutama dalam penerapan teknik analisis bahasa. Namun dalam hal tertentu
mereka(kaum positivisme logik) bahkan lebih tegas dan menunjukkan corak
pandangan yang pasti, yaitu menolak metafisika,teologi dan etika.
c. Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy)
Filsuf analitik yang muncul belakangan mulai meragukan keampuhan bahasa
logika dalam penentuan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan. Sekarang mereka
mulai mengalihkan perhatian pada titik-tolak penggunaan bahasa biasa. Oleh karena
itu faham yang demikian itu dikenal dengan nama Filsafat Bahasa Biasa.
Bagi penganut faham filsafat bahasa biasa, permasalahan utama yang lebih
penting daripada masalah makna, yaitu bagaimana penggunaan suatu istilah atau
ungkapan dapat mengandung arti demikian. Tokoh Analtika bahasa yang dapat
dianggap sebagai perintis aliran filsafat bahasa biasa adalah Wittgenstein.
D. Teori-Teori Arti
Masalah arti atau makna suatu ungkapan bahasa, merupakan persoalan yang
paling mendasar didalam filsafat bahasa.
1. Teori Acuan (Referential Theory)
Menurut Alson teori acuan ini merupakan salah satu jenis teori arti yang mengenali
(mengidentifikasikan) arti suatu ungkapan dengan apa yang diacukanya atau dengan
hubungan acuan itu. Kita dapat mengenali arti suatu istilah atau ungkapan berdasarkan
sesuatu yang dipacu oleh istilah atau ungkapan tersebut, dan juga berdasarkan
hubungan antara istilah atau ungkapan itu dengansesuatu yang diacu.
2. Teori Ideasi (The Ideatonal Theory)
Teori ideasi merupakan salah satu teori jenis teori arti yang menawarkan alternatef
lain untuk memecahkan arti ungkapan ini.
Menurut Alston teori ideasi ini adalah suatu jenis teori arti yang menganali
(mengidentifikasi) arti ungkapan dengan gagasan-gagasan (idea-idea) yang
berhubungan dengan ungkapan tersebut. Dengan kata lain, teori ideasi ini
mengidentifikasikan arti E(Expression, atau ungkapan), dengan gagasan-gagasan (ide-
ide) yang menimbulkan atau juga yang ditimbulkan E(Expression). Teori
inimelatarbelakangi pola berpikir orang mengenai bahasa sebagai “suatu arti atau alat
(instrument) bagi komunikasi pikiran atau gagasan’, atau sebagai suatu ‘gambaran
fisik dan eksternal dari suatu keadaan internal’, atau bilamana orang menetapkan suatu
kalimat sebagai suatu ‘rangkaian kata-kata yang mengungkapkan suatu pikiran yang
lengkap”.
3. Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory)
Menurut Alston, teori tingkah laku ini merupakan salah satu jenis teori arti yang
mengenai (mengidentifikasi)arti suatu kata atau ungkapan bahasa dengan rangsangan-
rangsangan (stimuli) yang menimbulkan ucapan tersebut, dan atau tanggapan-
tanggapan (responses) yang ditimbulkan oleh ucapan tersebut.[3]

E. Ludwig Wittgenstein (1889-1951)


a) Orangnya
Wittgenstein lahir di Austria. Tahun 1906 ia belajar pada Sekolah Tinggi Teknik di
Berlin (Nuchelmans, Overzicht van de analytiche wijsbegeerte, 106; Encyclopedia of
Philosophy, 8-327).
b) Filasafatnya
Wittgenstein membuat analitika sendiri menjadi suatu filsafat ekslusif. Filsafat bagi
dia hanya dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu metodologi, yaitu analisa
bahasa (critique of language). Filsafat tidak mempunyai obyek formal sendiri, hanya
menjelaskan apa yang telah diketahui sarana lain. Dalam filsafat Wittgenstein
dibedakan dengan jelas dua periode. Kedua tahap itu tidak dapat dipisahkan.
1) Periode Reduktif (sampai 1930)
Gagasan teori pertama diungkapkan dalam bukunya Tractatus. Menurut Wittgenstein,
dunia terdiri dari fakta-fakta sederhana yang serba lepas satu sama lain (pluralisme
mutlak), tetapi yang dapat dihubungkan pula. Seluruh tugas filsafat adalah
menjelaskan dan menepatkan bahasa, sebab dengan jelas demikian juga dunia sendiri
menjadi jelas.
2) Periode “Language-games” (Mulai 1930)
Gagasan periode ini sesuai dengan Philosophical investigations. Wittgenstein
mengandaikan bahwa berbicara merupakan suatu tingkah laku tertentu, dalam situasi
tertentu. Pikiran dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Pikiran bukanlah suatu proses di
balik bahasa,melainkan terjadi dalam dan terdiri dari linguistic behavior.
Permainan-permainan bahasa mempergunakan kata-kata yang sama menurut art
berbeda-beda, sesuai dengan fungsi berbeda-beda pula. Filsafat bertugas untuk
meneliti dan membedakan permainan-permainan bahasa itu agar tidak ada kekeliruan
dan kesalahpahaman.
c) Metodenya
Seluruh filsafat menurut Wittgenstein tidak lain hanya merupakan metode, yaitu
critique of language. Analisa bahasa ini merupakan metode netral, tidak
mengandaikan salah satu epistemology, filsafat, atau metafisika. Maksud metode
Wittgenstein itu bersegi dua :
1) Positif
Menjelaskan bahasa sendiri. Memperlihatkan apakah yang memang dapat dikatakan,
dan bagaimanakah dapat dikatakan.
2) Negative
3) Justru dengan jalan postif itu, metode mempunyai efek therapeutis (penyembuhan)
terhadap kekeliruan dan kekacauan (logis). Ditampakkan jalannya bahasa (the
working of language), dengan demikian orang terbuka untuk melihat hal-hal menurut
adanya. Kelihatanlah bahwa ada ucapan-ucapan (filosofis) yang tidak dapat
dipersoalkan banar salahnya. Maka metode filsafat dapat dipandang sebagai terapi ahli
psiko-analisa. Menyembuhkan teka-teki filosofis (penyakit) dengan memperlihatkan
bagaimana genesisnya. Tetapi ini pun mempunyai segi positif pula yaitu
menampakkan apa yang tidak dapat dikatakan (mystical).
d) Filsafat Menghapuskan Dirinya Sendiri
Sebenarnya analitika bahasa tidak dapat dipertanggungjawabkan secara prinsipiil.
Filsafat analitis itu bersifat serba pragmatis, dan buktinya letak dalam penyembuhan
yang dihasilkan Wittgenstein. Jikalau orang telah membebaskan dirinya dari
kekacauan dan menyesuaikan dirinya dengan pemakaian bahasa yang wajar, maka
filsafat analitis tidak dibutuhkan lagi.[4]
Kesimpulan

Dari uraian tentang filsafat analitik diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof abad ke XX, khususnya di Inggris
dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba
menganalisa pernyatan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan,
atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis
dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan.
2. Filsuf yang dapat dianggap sebagai penyebar benih filsafat analitik itu antara lain
Socrates, Aristoteles, Descartes, David Hume, Immanuel Khan, dan George Edward
Moore.
3. Aliran dalam filsafat analitik terbagi menjadi tiga yaitu, anotisme logik (dikenal
pertama kali pada tahun 1918 melalui tulisan Bertrand Russell dan di sempurnakan
oleh Wittgenstein. Positivisme logik (Aliran yang semula dikenal dengan nama
Lingkungan Wina ini didirikan pada tahun 1922 oleh Moritz Schlick). Filsafat bahasa
biasa (Filsuf analitik yang muncul belakangan mulai meragukan keampuhan bahasa
logika dalam penentuan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan)
4. Teori teori arti terbagi menjadi tiga yaitu, Teori acuan (merupakan salah satu jenis
teori arti yang mengenali (mengidentifikasikan) arti suatu ungkapan dengan apa yang
diacukanya atau dengan hubungan acuan itu). Teori ediasi (menawarkan alternatif lain
untuk memecahkan arti ungkapan. Teori tingkah laku (merupakan salah satu jenis
teori arti yang mengenai (mengidentifikasi)arti suatu kata atau ungkapan bahasa)
5. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) ahli analitika. Dalam pembahasan nya,
filsafat dibedakan dengan jelas dua periode. Yaitu periode periode reduktif dan
periode language-games
Daftar Pustaka
Mustansyir, Rizal. Filsafat Analitik, Penerbit : Pustaka Pelajar, 2007
Hartoko, Dick. Kamus populer Filsafat
http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/02/filsafat-analitik/
Metode-metode Filsafat

[1] http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/02/filsafat-analitik/
[2] Hartoko, Dick. Kamus populer Filsafat
[3] Mustansyir, Rizal. Filsafat Analitik, Penerbit : Pustaka Pelajar, 2007
[4] Metode-metode Filsafat

Anda mungkin juga menyukai