Anda di halaman 1dari 21

Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.

For internal use only.

Linguistik Fungsional Sistemik (Systemic Functional Linguistics) dan


Tatabahasa Generatif (Generative Grammar):
Perbandingan Teoretis dan Filosofis

Ikmi Nur Oktavianti


S-3 Ilmu-Ilmu Humaniora
Fakultas Ilmu Budaya UGM

Abstract
The emergence of various linguistic theories recently indicates the rapid
growing of linguistics as a science. In England and USA, as the centre of
science, there are different traditions of the study of language. Two of the
most influential theories in those countries are Systemic Functional Linguistics
(England-based) and Generative Grammar (USA-based). Nevertheless, both
work in the opposite ways and result in undeniable “war” that both followers
keep arguing on their methods and claiming theirs as the best one. Therefore,
this paper aims at describing the basic assumptions and the philosophical
bases of Systemic Functional Linguistics and Generative Grammar in order to
figure out the background of the unstoppable arguments among them and to
map the development of linguistic theory in this century.

Keywords: linguistics, systemic functional linguistics, generative grammar,


philosophical basis

I. Pengantar
Bahasa sebagai salah satu aspek penting kehidupan ternyata menarik banyak pihak untuk
mengkajinya. Studi bahasa belakangan berkembang sebagai salah satu studi dalam ilmu
sosial humaniora yang paling berkembang. Namun, studi bahasa bukanlah sesuatu yang
baru. Pada dasarnya studi bahasa sudah dimulai pada tradisi Yunani ketika aksara mulai
ditemukan di sana (Robins, 1979:13). Saat itu, kajian bahasa masih terbatas pada
bagaimana menulis—juga membaca—dengan baik. Mengacu pada Lyons (1972) dan
Robins (1979), studi bahasa dapat dipetakan menjadi tiga tahap besar perkembangan,
antara lain tatabahasa tradisional, filologi komparatif, dan linguistik modern.
Dalam tradisi tatabahasa tradisional, ilmu bahasa berkembang dalam ranah filsafat
dan membahas mengenai hakikat bahasa: apakah bahasa adalah sesuatu yang alamiah
ataukah konvensi, apakah bahasa bersifat analogi (teratur) atau anomali (tidak teratur)
(Lyons, 1972:4—8). Nama-nama seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles tidak dapat
dilepaskan begitu saja dalam masa ini. Terlebih berbicara tentang pencapaian kajian
kebahasaan, Aristoteles merupakan salah satu tokoh sentral yang memaparkan konsep
subjek dan predikat (Robins, 1979:14—15). Di samping itu, pada abad ke-3 sebelum Masehi,
muncul filsafat Stoik yang menandakan pencapaian cukup mengagumkan dalam ilmu
bahasa dengan mengemukakan bahwa bahasa terdiri atas bentuk (form) dan makna
(meaning). Selain Stoik, ada pula kelompok Alexandrian. Tidak seperti filsuf Stoik, filsuf
Alexandrian lebih tertarik pada kajian bahasa sebagai bagian dari karya sastra. Kendati
demikian, justru dari kalangan ini lahirlah tatabahasa Yunani Téchnē grammatiké yang
disusun oleh Dyonisius Thrax, seorang Alexandrian yang banyak mendapat pengaruh Stoik
(Robins, 1979:30). Selanjutnya dalam era tatabahasa tradisional ilmu bahasa berkembang
dalam tataran mendeskripsikan tatabahasa suatu bahasa tertentu.
Tahapan perkembangan ilmu bahasa selanjutnya dipengaruhi oleh asumsi bahwa
bahasa-bahasa di dunia berkerabat. Salah satu pemrakarsanya adalah Sir William Jones
yang menyatakan bahwa bahasa Sanskerta berasal dari sebuah bahasa kuno yang sudah
mati dan selanjutnya “melahirkan” bahasa Yunani dan bahasa Yunani berkembang menjadi

1
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

bahasa Latin (Crowley, 1992:24). Kendati apa yang dia kemukakan adalah hal yang salah
karena menganggap perkembangan bahasa sebagai sesuatu yang paralel, setidaknya ada
dua poin penting dalam asumsinya, yakni (1) asumsi bahwa bahasa-bahasa di dunia
berkerabat dan (2) munculnya konsep bahasa proto sebagai bahasa nenek moyang.
Semenjak saat itu, peneliti bahasa fokus terhadap kajian pencarian kekerabatan bahasa,
pencarian bahasa proto, dan perubahan bahasa dari masa lampau ke masa sekarang
melalui peninggalan-peninggalan tertulis. Maka tidak mengherankan, kajian ini dinamakan
comparative philology ‘filologi komparatif’ karena menggunakan teks-teks lama sebagai
sumber data (Lyons, 1972; Campbell, 1998:328). Istilah filologi berhubungan dengan studi
terhadap teks-teks masa lampau sehingga dapat berupa pencarian etimologi, studi
perbandingan bahasa, dan kajian tekstual terhadap teks-teks lama (Istanti, 2013:2). Oleh
sebab itu, agar tidak rancu dengan filologi yang mengacu pada kajian tekstual terhadap teks-
teks lama, filologi komparatif kemudian dikenal dengan nama linguistik komparatif atau
linguistik historis (Robins, 1979; Campbell, 1998).
Dewasa ini, studi bahasa diakui sebagai suatu sains dengan lahirnya pemikiran
Saussure. Saussure mulai mempertanyakan apa itu bahasa, sesuatu yang dilupakan oleh
ilmuwan bahasa sebelumnya, dengan membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu langage,
langue, dan parole (Saussure, 1959). Di samping itu, Saussure memperkenalkan unit dalam
bahasa sebagai petanda dan penanda dan bagaimana unit-unit tersebut dirangkai dalam
bahasa. Saussure juga memisahkan studi sinkronis dari studi diakronis dan lebih
menekankan pada yang pertama (1959). Dengan demikian, kajian linguistik tidak lagi
berkaitan dengan studi bahasa tertentu, tetapi bahasa pada umumnya (Verhaar, 2010:4).
Mengamati perkembangan studi bahasa yang kini berada dalam ranah linguistik
merupakan hal yang menarik. Apalagi belakangan lahir banyak teori seiring pemikiran-
pemikiran yang berkembang. Di Eropa, aliran Praha menancapkan kekuasaan pemikirannya
melalui tokoh-tokohnya seperti Nikolai Trubetzkoy, Roman Jakobson, Andre Martinet, dan
lain-lain, yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Saussure (Sampson, 1980).
Perkembangan linguistik di Inggris juga tidak kalah menarik. Di sana muncul Aliran London
dengan J.R. Firth sebagai tokoh pemrakarsanya (Sampson, 1980). Adapun linguistik di
Amerika berkembang relatif lebih beragam yang diawali dengan kemunculan Boas, dan
dilanjutkan oleh Sapir, dan Bloomfield yang dikenal sebagai para linguis struktural
(Newmeyer, 1980; Matthews, 1996). Perkembangan linguistik tidak berhenti sampai di situ.
Tradisi linguistik di Inggris mengembangkan tatabahasa sistemik (systemic grammar)—yang
digagas oleh Firth—dan salah satu tokohnya yang terkenal hingga saat ini adalah M.A.K.
Halliday. Tidak kalah dengan Inggris, tradisi linguistik di Amerika menjadi marak di era Sapir
dan Bloomfield dan menjadi sangat berwarna semenjak munculnya tatabahasa generatif
yang digagas oleh Noam Chomsky, yang menolak linguistik struktural, yang ditandai dengan
diterbitkannya buku Syntactic Structure tahun 1956 (Newmeyer, 1980:19). Sejak saat itu,
teori-teori linguistik bermunculan, baik untuk mendukung Chomsky, maupun untuk menolak
gagasannya. Pengaruh tatabahasa generatif—baik menghasilkan dukungan ataupun
kritikan—rupanya tidak terbatas di Amerika saja. Bahkan, tatabahasa sistemik juga secara
terang-terangan “menyerang” tatabahasa generatif dengan mengklaim bahwa teori yang
mereka susun jauh lebih sempurna dibanding analisis dalam teori Chomsky (Sampson,
1980: 231). Para pengikut kedua “aliran” tersebut juga masih “berperang” hingga saat ini—
atau lebih tepatnya pengikut LFS yang menabuh genderang perang dengan pengikut TG—
jika diamati dalam berbagai forum ilmiah dan forum di dunia maya. Tidak berlebihan jika
dinyatakan bahwa LFS dan TG merupakan dua aliran 1 linguistik besar pada era ini, setara
dengan Aliran Praha atau Aliran London pada masanya, terlebih lagi pengikut LFS kerap
dijuluki Hallidayan dan pengikut Chomsky pun mendapat sebutan Chomskyan.
Berbicara tentang ilmu pengetahuan tentu tidak dapat dilepaskan dengan teori-teori
yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, linguistik fungsional sistemik (selanjutnya disingkat
LFS) dan tatabahasa generatif (selanjutnya disingkat TG) menarik untuk dikaji

1Penggunaan istilah “teori” atau “aliran” untuk merujuk pada LFS dan TG akan digunakan secara acak,
tanpa ada maksud tertentu

2
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

(dibandingkan) lebih lanjut. Oleh sebab itu, tulisan sederhana ini akan berusaha menjawab
pertanyaan: (1) apa sebenarnya asumsi-asumsi dasar LFS dan TG tentang bahasa? (2)
bagaimana LFS dan TG bekerja dalam menganalisis fenomena bahasa? dan (3) apa basis
filosofis keduanya? Dengan menjawab ketiga pertanyaan tersebut, maka apa saja yang
melatarbelakangi “pertentangan” di antara kedua aliran linguistik tersebut dapat diketahui
dan pada akhirnya linguis-linguis muda dapat menempatkan dirinya dengan bijak.

II. Pemikiran-Pemikiran dalam Linguistik Modern


Sebelum beranjak ke perbandingan LFS dan TG, akan lebih baik jika dideskripsikan terlebih
dahulu peta pemikiran dalam linguistik modern setelah Saussure untuk mengetahui posisi
LFS dan TG dalam kancah teori linguistik. Perlu ditekankan bahwa selain memandang
bahasa sebagai unit-unit yang dirangkai, Saussure juga melihat bahasa sebagai fakta sosial
sehingga bahasa juga dilihat dari posisinya di tengah-tengah masyarakat; Bahasa
merupakan produk dari interaksi dan perilaku sosial (Sampson, 1980:34—35). Hal ini sejalan
dengan pemikiran Emilie Durkheim tentang fakta sosial, yakni sebagai bagian dari pikiran
kolektif masyarakatnya (Koentjoroningrat, 2009:87). Dengan demikian, bahasa tidak hanya
berupa struktur tetapi juga berupa bagian dari masyarakat (langue). Ketika bahasa berada di
tengah masyarakat penuturnya, maka bahasa dapat dilihat dari kacamata fungsinya sebagai
alat komunikasi. Sementara itu, pengaruh Saussure yang berbeda dapat dilihat dalam kajian
Antropologi Lévi-Strauss. Lévi-Strauss mengambil model bahasa dalam kaitannya dengan
struktur, maka antropologinya disebut sebagai strukturalisme. Lebih lanjut mengenai
pelabelan Saussure sebagai pelopor strukturalisme adalah sesuatu hal yang tidak akan
diperdebatkan lebih lanjut dalam tulisan ini demi menghemat ruang pemaparan. Berikut ini
adalah uraian singkat ihwal beberapa tradisi linguistik pasca Saussure.

Tradisi Eropa
Pemikiran Saussure tentang bahasa—yang disusun dalam Cours de linguistique générale
yang diterbitkan tahun 1916 oleh mahasiswanya—berpengaruh besar pada pemikiran
ilmuwan bahasa atau linguis. Dampaknya di eropa cukup terasa di kalangan Aliran Praha
(Prague School). Beberapa tokohnya antara lain Andre Martinett, Nikolai Trubetzkoy, dan
Roman Jakobson (Sampson, 1980). Di antara tokoh tersebut, Jakobson dapat disebut
sebagai yang paling berpengaruh. Bahkan, mulai dikenalnya nama Saussure di Amerika
salah satunya adalah melalui kuliah-kuliah Jakobson di New York (Harris, 2001:152).
Secara garis besar, Aliran Praha menganggap bahasa sebagai suatu struktur—
dengan adanya pemakaian istilah fonem dan morfem—dan juga sistem yang mempunyai
fungsi masing-masing (Sampson, 1980:104). Di samping mendeskripsikan bahasa sebagai
struktur, bahasa juga tidak dapat dilepaskan dari fungsinya. Oleh sebab itu, Jakobson
dikenal mencetuskan model fungsi bahasa, antara lain (1) fungsi referensial, (2) fungsi
ekspresif, (3) fungsi konatif, (4) fungsi poetik, (5) fungsi fatis, dan (6) fungsi metalingual
(Jakobson, 1960:350—377). Maka tidak terlalu menyimpang apabila tradisi linguistik Aliran
Praha dapat disebut Strukturalisme-Fungsionalisme, meskipun beberapa pakar
menyebutnya sebagai aliran Fungsionalisme.

Tradisi Inggris
Lahir dari kajian antropologi fungsionalisme Inggris, studi bahasa pada masa itu tidak dapat
dilepaskan dari bayang-bayang Malinowski. Fungsionalisme Malinowski menekankan bahwa
segala aktivitas kebudayaan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan suatu rangkaian
yang berhubungan dengan seluruh kehidupan (Koentjoroningrat, 2009:171). Lebih khusus
tentang bahasa, menurutnya bahasa mempunyai fungsi sebagai alat yang menghubungkan
kegiatan-kegiatan manusia yang harmonis (Malinowski via Sampson, 1980:224). Dengan
kata lain, kehidupan ini diumpamakan sebagai suatu sistem dan bahasa merupakan alat
yang memediasi bagian-bagian dalam sistem tersebut. Pemikiran-pemikiran tersebut lah
yang mempengaruhi Firth sebagai salah satu pendiri Aliran London di Inggris. Darinya, lahir
tatabahasa sistemik, suatu tatabahasa yang bertujuan untuk mendeskripsikan struktur
kalimat dan makna yang dikandungnya (Sampson, 1980:229).

3
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

Salah satu tatabahasa sistemik yang masih bertahan hingga saat ini adalah linguistik
fungsional sistemik—yang dikaji dalam tulisan ini—yang digagas oleh Halliday, salah satu
murid Firth. LFS memandang bahasa sebagai sebuh teks. Jika teks tersebut diibaratkan
bangunan, maka bagian-bagiannya mempunyai fungsi masing-masing untuk membentuk
kesatuan. Di samping itu, bagi LFS—dan tatabahasa sistemik sebelumnya—mengkaji
bahasa tidak boleh terpisah dari fungsinya, oleh sebab itu harus memperhatikan konteks.
Bahasa dianggap sebagai sebuah teks dan ada teks di luar teks tersebut sebagai
konteksnya (Halliday dan Hasan, 1992:6).

Tradisi Amerika
Tidak jauh berbeda dari Inggris dan Eropa, linguistik di Amerika juga berkembang pesat
dalam seratus tahun terakhir. Kemunculannya ditandai dengan diterbitkannya buku
Handbook of American Indian Language yang ditulis oleh Boas, seorang antropolog, pada
tahun 1911 (Matthews, 1996: 5). Maka dapat dilihat persamaan tradisi linguistik di Inggris
dan di Amerika yakni dimulai dari antropologi atau studi budaya. Adapun pengaruh Saussure
sebagai pemrakarsa linguistik modern mulai terasa dalam karya Sapir yang berjudul
Language: An Introduction to the Study of Speech sebagaimana diulas oleh Bloomfield
dalam tinjauannya. Nama yang terakhir ini selanjutnya menjadi tokoh sentral dalam linguistik
di Amerika. Sebelum hadirnya Bloomfield dengan strukturalisme-nya pada tahun 1920-an,
linguis di Amerika berkutat dengan korpus data. Kehadiran Bloomfield seolah membawa
angin segar karena akhirnya ada linguis yang memadukan antara sekumpulan data dan teori
sebagai mata pisau analisis data tersebut (Newmeyer, 1980:4). Oleh sebab itu, tidak
mengherankan jika Bloomfield disebut sebagai bapak strukturalisme Amerika. Dari kacamata
strukturalisme, bahasa terdiri atas struktur-struktur yang berpola. Maka tugas seorang linguis
adalah untuk memerikan struktur bahasa tersebut. Struktur tersebut meliputi struktur fonologi,
struktur morfologi, dan (sedikit) struktur sintaksis dari suatu bahasa.
Perkembangan strukturalisme tidak dapat dibendung lagi dengan munculnya banyak
linguis struktural. Salah satunya adalah Zellig Harris. Kendati seorang strukturalis, Harris
menyadari bahwa strukturalisme tidak mampu menjawab adanya realisasi kalimat yang
beragam untuk informasi yang sama. Fokus Strukturalisme memang bukan pada kalimat,
tetapi pada struktur fonologi dan struktur kata (Chomsky, 1986:19). Oleh sebab itu, Harris
mengemukakan konsep transformasi sebagai jawaban (Newmeyer, 1980: 8). Transformasi
Harris inilah yang memicu munculnya transformasi generatif (istilah lain untuk TG), buah
pemikiran Chomsky, yang adalah murid Harris sendiri. Tatabahasa ini lahir sebagai
penolakan terhadap strukturalisme Bloomfield. TG akan diulas lebih lanjut dalam subbagian
selanjutnya.
Adapun untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut adalah peta posisi
LFS dan TG.

4
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

Pre-Sasssure

Saussure

Inggris Europe Amerika


Firth Prague School Boas, Sapir
(fungsionalisme) (strukturalisme-
fungsionalisme) (strukturalisme)

Bloomfield
Halliday
Zellig Harris

Chomsky

Bagan alur pemikiran teoretis dalam linguistik


: kronologi dan/atau pengaruh
: mendapatkan pengaruh

III. Pembahasan
Linguistik Fungsional Sistemik
Dari pemetaan di atas, dapat dilihat bahwa LFS yang dicetuskan oleh Halliday termasuk ke
dalam tradisi linguistik Inggris yang mendapat pengaruh dari Firth. Karena merupakan
kelanjutan dari tatabahasa sistemik Firth, maka LFS sesungguhnya tidak jauh berbeda
dengan pemikiran Firth. Selain itu, lahirnya tatabahasa sistemik atau LFS tidak dapat
dilepaskan dari tradisi linguistik di Inggris yang bersifat praktis (Sampson, 1980). Selain Firth,
terdapat beberapa nama lain yang sangat menginspirasi Halliday, antara lain Malinowski,
Saussure, Jakobson, dan Dell Hymes.

a. Asumsi-asumsi dasar
Bahasa memang sesuatu yang kompleks maka wajar bila masing-masing pegiat bahasa
mempunyai definisinya sendiri. Selain pendefinisian, teori tertentu lazimnya mempunyai
asumsi dasar bagi apa yang sedang dikajinya. Bagi Halliday dan pengikut LFS, bahasa
merupakan alat komunikasi. Maka bahasa dimodelkan sebagai teks. Lebih lengkapnya,
dalam LFS bahasa adalah (1) sebuah teks dan sebuah sistem atas teks, (2) bunyi, aksara,
dan kata, (3) struktur, dan (4) sumber daya (Halliday, 2004: 19). Dari definisi tersebut, dapat
dilihat bahwa struktur bukan hal yang utama dalam LFS dan tulisan merupakan bagian dari
bahasa. Dengan adanya asumsi tersebut, maka tulisan sebagai isi dari teks merupakan
bahasa.
Bagi LFS, kalimat (atau klausa) merupakan unsur analisis yang utama. Sampson
bahkan menyatakan bahwa analisis Halliday memang fokus terhadap deskripsi kalimat-
kalimat (1980). Bagi Halliday, kalimat sebagai unsur yang utama ibarat sebuah bangunan
yang mempunyai bagian-bagian yang lebih kecil dengan fungsinya masing-masing; bagian-
bagian yang lebih kecil tersebut dapat dibedakan berdasarkan tiga aspek konstituensi, yakni
bunyi, ortografis, dan leksikogramatika (Halliday, 2004: 5—8). Dalam aspek ortografi, kalimat
adalah unsur terbesar dan huruf adalah unsur terkecil. Pada tataran leksikogramatika,
kalimat tersusun oleh klausa-klausa yang lebih kecil, kelompok kata (group), dan yang
terkecil adalah morfem (Halliday, 2004:5—8). Unsur-unsur tersebut saling bekerja sama
sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam menyusun teks dan makna dari teks.

5
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

Menekankankan pada fungsi masing-masing unsur, maka LFS sangat mengutamakan


pelabelan fungsional untuk satuan lingual yang dianalisis (Thompson, 2004:19).
Di bukunya yang lain, Halliday memaparkan tentang bahasa sebagai aktivitas:
aktivitas berbicara, menulis, membaca, dan mendengarkan, yang saling berkaitan satu sama
lain dan digunakan dalam masyarakat. Baginya, bahasa bukanlah organisme atau semata
sebuah struktur, melainkan sebuah aktivitas yang dapat diukur, sesuatu yang bersifat
empiris (Halliday, et al., 1970:4—5). Hal ini semakin mendukung adanya teks dan sistem
tulisan sebagai bahasa dalam pemahaman LFS.
Karena bahasa adalah teks, ada teks-teks lain di luar teks utama tersebut yang
bersifat tidak empiris tetapi mendukung teks utama dan teks-teks lain tersebut dinamakan
konteks (Halliday dan Hasan, 1992:6). Dengan demikian antara teks dan konteks terjalin
relasi dan analisis terhadap teks harus melibatkan konteks. Maka bahasa bukan hanya
struktur, melainkan juga susunan makna, yang didapat dengan menganalisis teks dan
konteks yang menyertainya.
Pentingnya teks dalam LFS tidak terlepas dari pemikiran beberapa tokoh yang
mempengaruhi Halliday. Malinowki dengan konsep konteksnya, misalnya, memperkenalkan
istilah konteks situasi yang artinya adalah lingkungan teks (1923). Sebagai ahli etnografi,
Malinowski melihat pentingnya lingkungan sekitar dalam membentuk kegiatan suatu
masyarakat, termasuk dalam hal berbahasa. Pemahaman ini mempengaruhi Firth, salah
satu koleganya, untuk menerapkan konteks situasi dalam teori kebahasaan. Menurut Firth,
dalam ilmu bahasa, konteks situasi bersifat lebih abstrak untuk membantu menjelaskan teks
yang lebih empiris. Maka beberapa konteks tersebut meliputi partisipan, tindakan, ciri-ciri
situasi lain yang relevan, dampak dari tindakan tutur (Firth via Halliday dan Hasan, 1992: 11).
Selain Malinowski dan Firth, Halliday juga mendapatkan pengaruh dari Hymes, seorang
pakar etnografi komunikasi, yang memerikan perangkat konteks situasi yang dikenal dengan
istilah SPEAKING yang merupakan kependekan dari perangkat tersebut, antara lain Setting,
Participants, Ends, Act squence, Key, Instrumentalities, Norms, dan Genre (Hymes, 1974).

b. Cara kerja dalam menganalisis bahasa


Penggunaan istilah sistem dalam penamaan teori ini membawa indikasi analisis
holistik yang digadang-gadang oleh para pengikutnya sebagai teori yang dapat menggeser
posisi TG; Mereka menganggap LFS lebih baik dibandingkan TG karena sifatnya yang
holistik tersebut. Analisis LFS disebut menyeluruh karena tidak hanya memerikan struktur
teks dari yang terbesar ke yang terkecil (atau sebaliknya) tetapi juga konteks situasi untuk
memerikan makna dari teks. Kendati terdiri atas kalimat-kalimat, teks sesungguhnya terdiri
atas makna-makna yang diungkapkan dalam susunan kata-kata atau kalimat-kalimatnya
(Halliday dan Hasan, 1992:13—14). Oleh karena itu, struktur dan makna adalah dua sisi
yang tidak dapat dilepaskan. Maka kajian LFS bersifat holistik dan meliputi aspek fonetis,
fonologi, leksikogramatika, semantik, dan konteks (pragmatik).
Dalam menganalisis suatu kalimat, LFS akan memerikan konstituen-konstituennya,
yakni fonologi, ortografi, dan leksikogramatika. Tidak terlewatkan, LFS juga memerikan
struktur dari kalimat, yaitu struktur ideasional (dapat dilihat dari transitivitas), struktur
interpersonal (dimatai dari mood kalimat), dan struktur tekstual (struktur tema), yang
ketiganya berkaitan dengan pilihan semantis (Halliday, 2004:129). Selanjutnya, makna dari
kalimat juga dideskripsikan meliputi makna pengalaman, makna interpersonal, dan makna
logis dari kalimat (Halliday dan Hasan, 1992). Di sini jelas terlihat bahwa LFS memulai
analisisnya dari tataran kalimat. Selain memerikan konstituensi dan struktur (semantik)
kalimat, LFS juga memerikan konteks situasi dari teks tersebut karena bahasa digunakan
dalam masyarakat dan tentu saja tidak dapat dilepaskan dari situasi tertentu yang
melatarbelakangi. Konteks situasi tersebut meliputi medan wacana, pelibat wacana, dan
sarana wacana (Halliday dan Hasan, 1992: 16—17). Dengan model analisis semacam ini,
bagi Halliday dan pengikutnya, LFS telah memberikan analisis yang menyeluruh karena
telah melibatkan beragam aspek dalam bahasa, mulai dari bunyi, makna, hingga konteks.
Bahkan, LFS pun turut memperhatikan pemakaian tanda baca sebagai alat bantu analisis
kalimat. Menurutnya, tanda baca seperti tanda koma (,), titik koma (;) menandakan

6
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

pembagian kalimat ke dalam satuan yang lebih kecil yakni subkalimat (Halliday, 2004: 6).
Terlebih lagi, tanda baca menurut LFS lebih membantu analisis fonologis karena dapat
menunjukkan struktur fonologis (Halliday, 2004:8). Pemikiran-pemikiran tersebut semakin
mendukung posisi ortografis yang memegang peranan dalam analisis bahasa versi LFS.
Dengan kata lain, bunyi dan representasi bunyi yang berupa huruf atau sistem aksara
merupakan hal yang saling berkaitan. Mengamati semua unsur yang dianalisis dan
hubungan antarunsur tersebut dalam LFS, semakin menguatkan “keunggulan” LFS yang
bekerja secara holistik dalam memerikan gejala bahasa.
Berdasarkan uraian terhadap cara kerja LFS dalam menganalisis gejala bahasa,
dapat dilihat bahwa analisis dalam LFS bersifat empiris di satu sisi, yakni di sisi objek
materialnya, yaitu bahasa yang berupa teks. Penganalogian bahasa sebagai sebuah teks
yang terdiri atas kalimat-kalimat merupakan upaya untuk menjadikan bahasa sebagai
sesuatu yang empiris. Hal ini semakin didukung dengan pentingnya ortografis dalam LFS.
Tidak mengherankan apabila asumsi yang belakangan muncul bahwa bahasa dan pikiran
saling berkorelasi tidak menarik minat LFS karena pikiran (mind) bukan sesuatu yang
empiris. Karena tidak bersifat empiris, pikiran tidak dapat diukur sehingga tidak mungkin
dianalisis. Maka syarat utama keilmiahan analisis dalam LFS adalah bersifat empiris.
Selain analisisnya yang bersifat holistik dan mengedepankan sifat empiris, analisis
dalam LFS juga berhubungan dengan bahasa dalam pemakaiannya. Menurut Halliday dan
Hasan (1992:13), teks dalam definisi LFS adalah bahasa yang berfungsi (menjalankan
perannya sebagai alat komunikasi). Teks merupakan salah satu alat yang paling empiris
dalam pemakaian bahasa. Halliday juga mempercayai bahwa konsepsi bahasa yang penting
adalah tentang fungsinya. Dengan kata lain, fungsi bahasa merupakan salah satu hal
penting dalam studi bahasa. Analisis yang berlandaskan pada fungsionalisme tentu tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh Firth dan Malinowski, yang memang menekankan aspek
fungsi. Menurut fungsionalisme, language is collective product of social interaction; Bahasa
disebut sebagai produk kolektif dari interaksi sosial. Itulah sebabnya, LFS sangat
memperhatikan konteks atau bersifat context-based sebagai bagian dari terjadinya interaksi
tersebut. Di samping itu, fungsionalisme menekankan bahwa bahasa terdiri atas unsur-unsur
dengan fungsinya. Ketertarikannya pada fungsi bahasa pula lah yang menjadikan Halliday
memerikan fungsi bahasa untuk menyempurnakan fungsi bahasa yang dirumuskan oleh
Jakobson dan Buhler. Halliday menyebutkan bahwa fungsi bahasa meliputi (1) fungsi
instrumental, (2) fungsi personal, (3) fungsi interaksi atau relasi sosial, (4) fungsi pengaturan,
(5) fungsi representasional, (6) fungsi heuristik, dan (7) fungsi imajinatif (Halliday, 1977).
Dengan model analisis seperti yang dipaparkan di atas, jelas terlihat bahwa LFS
sangat fokus dalam menganalisis kalimat demi kalimat dalam suatu teks. Tatabahasa
semacam ini bersifat deskriptif. Pendeskripsiannya pun tampaknya terbatas pada kalimat-
kalimat yang berada dalam suatu wacana. Karena bahasa harus empiris sebagai teks, LFS
memerikan salah satu representasi bahasa saja, yaitu wacana, dan bukan bahasa sebagai
langue—terlebih langage—sebagaimana konsep dalam Saussure. LFS pun tidak mengenal
kesemestaan bahasa, kaidah universal yang berlaku dalam banyak bahasa dan memang
bukan itu tujuan analisis LFS. Pendeskripsian yang dilakukan sebatas pada apa yang ada
pada data sehingga hasil analisisnya “hanya” mempunyai descriptive power, tetapi tidak
mempunyai predictive power.
Ilmu bahasa—dan teori-teori di dalamnya—bagi LFS adalah salah satu jenis dari
semiotika karena ilmu bahasa juga mengkaji tanda-tanda (sistem bahasa) dan makna dari
tanda-tanda itu (Halliday dan Hasan, 1992: 4). Dari sini jelas terlihat pengaruh Saussure
dalam kerangka berpikir LFS. Walaupun tanda tidak hanya terbatas pada bahasa, tetapi
bahasa adalah salah satu jenis tanda yang penting dalam kehidupan manusia. Bahasa
sebagai tanda memang bukan pemikiran baru; Pakar filsafat Stoik sudah pernah
memperkenalkannya yang dikembangkan lebih lanjut oleh Saussure ribuan tahun kemudian.
LFS menekankan pada pemaknaan bahasa sebagai sistem tanda yang membentuk jalinan
kesatuan makna dalam budaya manusia. Di samping itu, karena bahasa dipandang dari
pemakaiannya, aspek sosial yang bersifat eksternal tidak dapat dilepaskan. Struktur sosial
penutur dan lawan tutur dalam kegiatan berbahasa memegang peranan penting dalam

7
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

realisasi kegiatan berbahasa. Maka LFS mengkonsep ilmu bahasa sebagai semiotika sosial
(Halliday dan Hasan, 1992: 4).
Selain itu, tatabahasa LFS merupakan tatabahasa yang menyediakan pilihan
(choices). Ketika ingin mendapat informasi tertentu, misal, seorang penutur akan memilih
untuk menggunakan kalimat tanya daripada kalimat deklaratif; Ketika pertanyaan tersebut
diajukan pada teman, maka penutur akan memilih perwujudan yang informal dibandingkan
yang formal. LFS mendefinisikan aktivitas berbahasa sebagai aktivitas yang mengharuskan
penuturnya memilih dan pilihan tersebut, tentu saja, tidak dapat dilepaskan dari konteks.
Dalam hal ini LFS dapat menjelaskan mengapa seorang penutur melakukan pilihan tertentu
dalam pemakaian bahasanya (Thompson, 2004:8—9). Jawaban atas pertanyaan mengapa
inilah hasil analisis tertinggi dalam LFS.

c. Pengaruh LFS
Sebagai salah satu teori linguistik yang cukup dikenal, eksistensi LFS memang patut
diacungi jempol. Teori ini cukup dikenal di Inggris dan Asia Pasifik. Bahkan Halliday kini
mengajar di salah satu perguruan tinggi di Australia bersama istrinya yang juga menggagas
LFS, Ruqaiya Hasan. Eksistensi teori ini dapat dilihat pula dari banyaknya tulisan ilmiah yang
menerapkan teori ini sebagai mata pisau analisis tunggal. Seminar khusus tentang LFS juga
pernah diadakan di Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2009 dan 2011.
Meskipun popularitasnya tidak perlu diragukan, sayangnya teori ini tidak pernah
diikuti perbaikan-perbaikan. Adanya paham bahwa tidak ada teori yang sempurna
tampaknya tidak berlaku untuk LFS karena tidak banyak perkembangan yang signifikan
pada teori ini dari waktu ke waktu. Di samping itu, teori ini juga tidak memicu lahirnya teori-
teori yang lain yang terinspirasi dengannya. Hal ini berbeda dengan TG—sebagai salah satu
teori linguistik yang populer—yang memicu lahirnya banyak teori setelah kemunculannya
dan teori-teori tersebut berusaha menyempurnakan TG menurut versi penggagasnya
masing-masing. Bahkan Halliday terkesan “menyerang” TG yang dianggap banyak
kekurangannya dan dapat ditutupi dengan LFS. Entah apa yang menjadi motif Halliday
melakukan penyerangan tersebut karena sejauh ini Chomsky tidak pernah melakukan
serangan terlebih dahulu terhadap LFS. Oleh sebab itu, bagian selanjutnya akan mengulas
tentang TG agar dapat diperoleh pemahaman yang menyeluruh terhadap kedua teori ini.

Tatabahasa Generatif
Pada awal abad ke-20, strukturalisme Bloomfieldian tampaknya menancapkan cakarnya di
Amerika. Pada masa itu, linguis struktural tertarik untuk mendeskripsikan struktur bahasa:
struktur fonologis, morfologis, dan sedikit struktur sintaksis. Namun, kekuasaan linguistik
struktural bukan tanpa cela. Hal ini dapat dilihat dengan kemunculan TG yang digagas oleh
Chomksy. Menurut Givon, seorang pakar sintaksis fungsional, lahirnya TG dapat dimaknai
sebagai kelanjutan dari prinsip-prinsip fundamental dalam strukturalisme Saussure (2001).
Meskipun demikian, TG sesungguhnya lahir atas ketidakpuasan Chomsky terhadap
strukturalisme di Amerika pada saat itu. Menurutnya, linguistik struktural terlalu mendasarkan
konsep pada antropologi, yakni mengandalkan banyak data dan menganalisis banyak
bahasa. Baginya, analisis semacam itu terlalu empiris dan kurang teoretis (Newmeyer, 1980).
Padahal ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan pada pengalaman sensorik yang
bersifat empiris semata. Selain itu, teori dalam strukturalisme, bagi Chomsky, tidak mampu
menjelaskan struktur yang ambigu. Hal ini dapat dijelaskan, contohnya, dengan kalimat (1)
John is easy to please dan (2) John is eager to please (Chomsky, 1970: 34). Kalimat (1) dan
(2) tersebut secara struktur (permukaan) terlihat sama, padahal arti dari kedua kalimat itu
berbeda. TG berupaya untuk menjelaskan ketaksaan kedua kalimat tersebut. Linguistik
struktural juga hanya fokus pada struktur, tetapi tidak mendeskripsikan apakah struktur itu
berterima secara semantis atau tidak (Newmeyer, 1980:21).
Tidak terbatas pada itu, Chomsky juga menyempurnakan transformasi yang sudah
diperkenalkan oleh mentornya, Zellig Harris, seorang Bloomfieldian. Secara garis besar, TG
dapat dideskripsikan dalam tiga hal, yaitu: (1) sebuah tatabahasa, (2) deskripsi tentang
bahasa manusia tertentu, dan (3) analisisnya bersifat eksplisit (Botha, 1991:2). Kehadiran

8
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

Chomsky dengan TG-nya disebut oleh Uhlenbeck sebagai pemberi warna baru di tengah-
tengah dunia kajian bahasa yang bercorak fungsional dan struktural (Uhlenbeck, 1973:1)
Sebelum dijelaskan lebih lanjut, barangkali perlu ditekankan bahwa pemakaian istilah
TG dalam tulisan ini mencakup tatabahasa generatif dan teori-teori perbaikannya seperti
Teori Standard (Standard Theory), Teori Kuasa dan Pengikatan (Government and Binding),
Teori Minimalis (Minimalist Program), dan lain-lain. Selain itu, perlu dilakukan pembatasan
bahwa tatabahasa generatif yang dipaparkan di sini adalah tatabahasa generatif Chomskyan,
sehingga teori-teori yang berbasis generatif yang dihasilkan bukan oleh Chomsky—tetapi
oleh para mahasiswanya—tidak termasuk dalam pemaparan.

a. Asumsi-asumsi dasar
Sebagaimana LFS, TG juga mempunyai konsepsinya tentang bahasa. Bahasa menurut TG
terkait dengan pengetahuan yang dimiliki oleh penutur asli bahasa tersebut. Karena berupa
pengetahuan, bahasa sangat terkait dengan akal pikiran seseorang. Maka TG
mendefinisikan bahasa sebagai seperangkat aturan mengenai pengetahuan bahasa; aturan
yang mendeskripsikan bagaimana menghasilkan kalimat yang termasuk sebagai kalimat
dalam bahasa tersebut (Chomsky, 1956). Sehubungan dengan konsep TG yang
menganggap bahasa sebagai pengetahuan dari penutur asli, maka bagi TG, bahasa bersifat
kodrati; pengetahuan terhadap seperangkat aturan tersebut bersifat tidak disadari
(Haegeman, 1994:12).
Konsep tentang bahasa sebagai seperangkat aturan yang dipaparkan Chomsky
tampaknya merupakan pengaruh dari sintaksis logika (logical syntax). Carnap menjelaskan
bahwa bahasa dapat diformulasikan ke dalam seperangkat aturan-aturan; aturan-aturan
tersebut dinyatakan dengan penggunaan simbol-simbol berdasarkan susunan ekspresi
linguistisnya (Carnap, 2001:1). Simbol-simbol tersebut dinamakan bahasa formal dan
tabahasa yang dihasilkan dinamakan tatabahasa formal. Pengaruh Carnap dengan sintaksis
logikanya pada Chomsky diperoleh lewat mentornya, Harris, yang selain seorang linguis,
juga seorang pakar matematika.
TG menjelaskan bahwa seperangkat aturan tersebut bersifat terbatas, tetapi
konstruksi yang dihasilkan dari aturan tersebut bersifat tidak terbatas. Bahasa Inggris, misal,
mempunyai aturan urutan kata subjek-verba-objek, dan konstruksi-konstruksi kalimat yang
dihasilkan dari pola tersebut—dengan menggunakan leksikon bahasa Inggris—termasuk ke
dalam kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris. Dengan demikian penutur bahasa tidak perlu
mendaftar semua kalimat yang ada (Chomsky, 1956:16—17). Dari sini lah istilah generatif
berasal; seperangkat aturan untuk menghasilkan (to generate) semua kalimat yang mungkin
dalam bahasa tersebut. Konsep “finite set of rules for infinite use” yang dipaparkan oleh
Chomsky sebenarnya pernah digagas sebelumnya oleh Wilhlem von Humboldt yang
menyebutkan konsep “infinite use of finite means” (Chomsky, 2006:.113).
Pengetahuan tentang seperangkat aturan tersebut merupakan kompetensi
(competence) seorang penutur dan realisasi pemakaiannya dalam kegiatan berbahasa
merupakan performa (performance) orang tersebut (Chomsky, 1956). Konsep kompetensi
dan performa bukan lah hal yang baru; agaknya dalam hal ini Chomsky terinspirasi dengan
konsep langue dan parole dari Saussure (Harris, 2001:153). Bedanya, langue bagi Saussure
adalah sebuah produk sosial (Chomsky, 1986:16); Chomsky tidak melihat kompetensi hanya
sebagai produk sosial, tetapi sesuatu yang kodrati. Adapun seperangkat aturan dalam TG
mencakup (1) aturan finite for infinite (yang sudah dijelaskan tadi), (2) aturan struktur frase
(phrase structure) yang terinspirasi dari immediate constituent analysis dalam linguistik
struktural, dan (3) aturan transformasi yang mampu menjawab persoalan yang tidak
terpecahkan dalam strukturalisme.
Di samping itu, TG juga mempunyai beberapa konsep tentang hakikat bahasa.
Pertama, bahasa manusia bersifat kreatif. Manusia dibekali akal pikiran yang menjadikannya
mampu menghasilkan sistem bahasa yang tidak sekadar instingtif sebagaimana dinyatakan
oleh Descartes. Hal ini lah yang membedakannya, misal, dari “bahasa” lebah atau “bahasa”
monyet. Bahasa manusia dapat menghasilkan konstruksi baru yang belum pernah disusun
atau bahkan belum pernah didengar sebelumnya (Chomsky, 2009:1). Adapun lebah dan

9
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

monyet tidak dapat melakukan hal tersebut. Apa yang dianggap sebagai bahasa dalam
kedua jenis binatang tersebut adalah semacam komunikasi yang hanya bersifat instingtif.
Binatang-binatang tersebut tidak dapat merangkai kata untuk mengekspresikan pemikiran
mereka; Inilah letak kelebihan bahasa manusia (Chomsky, 2009:1). Bahasa manusia ini
pulalah yang menjadi objek kajian dalam TG.
Kedua, bahasa manusia bersifat rekursif, dalam artian rangkaian konstruksi lingual
manusia bersifat tanpa batas (Chomsky, 2006:27). Pola bahasa dapat diulang dengan cara
yang sama. Penutur, contohnya, dapat terus menambahkan adjektiva pada frase nomina
“Perempuan cantik” menjadi “Perempuan cantik yang berkerudung merah” atau “Perempuan
cantik yang berkerudung merah yang berbaju putih” dan seterusnya. Sifat bahasa yang
rekursif ini masih mengacu pada konsep dalam matematika (Tomalin, 2006: 60). Poin kedua
ini masih berhubungan dengan aspek kreativitas bahasa manusia. Binatang tidak dapat
merangkaikan kata baru ke dalam konstruksi; Yang dilakukan binatang dalam berkomunikasi
adalah menghasilkan sinyal-sinyal suara tertentu yang sama.
Selain membahas bahasa sebagai seperangkat aturan dan hakikat bahasa, TG juga
meyakini struktur bahasa terdiri atas dua jenis, yakni struktur dalam (deep structure) dan
struktur luar atau struktur permukaan (surface structure). Struktur dalam merupakan apa
yang ada dalam alam kognisi manusia yang direalisasikan ke dalam struktur luar melalui
proses derivasi (Chomsky, 1956). Inilah sebabnya informasi yang sama dapat disampaikan
dalam susunan konstruksi yang beragam, tergantung pementingan informasi yang diinginkan
penutur bahasa. Konsep transformasi pernah dicetuskan oleh Zellig Harris yang menyatakan
bahwa, contohnya, kookurensi (dan informasi) “N 1, V, N2” bisa menghasilkan perwujudan
yang berbeda-beda seperti “N2 is V-ed by N1” atau “it is N2 that N1 V” (Newmeyer, 1980:8).
Sebagai seorang linguis dan pakar matematika, Harris berusaha memformalkan bahasa,
berusaha menerapkan prinsip transformasi dalam sintaksis logika ke dalam bahasa biasa.

b. Cara kerja dalam menganalisis bahasa


TG mempercayai bahwa bahasa adalah cermin terbaik untuk mendeskripsikan pemikiran
manusia (Chomsky, 1986:1). Keterkaitan bahasa dengan pikiran manusia (human mind)
menjadikan fokus utama dalam TG adalah pendekatan mentalistik untuk memahami hakikat
dan properti pikiran manusia tersebut (Chonmsky via Botha, 1991: 3). Tidak mengherankan
apabila buah pemikiran Chomsky juga menarik kalangan psikolog, salah satunya adalah
Steven Pinker yang tertarik mencari hubungan antara bahasa dan pikiran.
Dalam menganalisis gejala bahasa, TG bekerja dengan mengutamakan teori dan
intuisi. Di dalam TG, kemampuan penutur bahasa untuk mengenali mana yang bahasanya
dan mana yang bukan adalah salah satu dasar analisis. Dalam TG, penutur bahasa dapat
melakukan penilaian terhadap kegramatikalan dan keberterimaan kalimat. Dapat dilihat
bahwa semantik memegang peranan pada tataran kalimat dalam TG, yakni menentukan
apakah kalimatnya semantically well-formed atau semantically ill-formed. Kalimat “Colorless
green ideas sleep furiously”, contohnya, merupakan kalimat yang gramatikal karena sesuai
dengan aturan dalam penyusunan kalimat bahasa Inggris, akan tetapi kalimat tersebut tidak
berterima karena secara semantis tidak mempunyai arti yang logis (Chomsky, 1956).
Penerimaan semantik dalam tatabahasa merupakan suatu hal baru karena selama tradisi
linguistik struktural aspek semantik tidak mendapatkan tempat.
Mengenai pendeskripsian bahasa, TG tidak memerlukan adanya objek tertentu, misal
wacana, untuk melakukan pemerian. Metode introspektif/reflektif dengan menggali
pengetahuan seorang penutur bahasa adalah yang utama. Oleh sebab itu, TG tidak
memaksakan konsep bahasa yang empiris seperti LFS. Bagi TG, empirisme bahasa adalah
bahasa sebagai bunyi; bahasa tidak dianalogikan dengan teks, terlebih melibatkan ortografi
dalam analisis linguistis.
Adapun TG bekerja untuk memerikan kondisi ideal penutur dan lawan tutur. Chomsky
menyatakan bahwa teori linguistik (teori tatabahasa) berkutat dengan pengetahuan bahasa
seorang penutur, bukan realisasinya (Chomsky via Botha, 1991: 128—129). Itulah sebabnya
TG tidak mengenal istilah bahasa standard dan bahasa non-standard yang banyak digaung-
gaungkan belakangan ini. Model pemahaman seperti ini agaknya mendapat pengaruh dari

10
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

Saussure. Menurutnya, studi tentang bahasa adalah kajian terhadap langue (Saussure,
1959). Walaupun tidak mengkaji performa, Chomsky tidak pernah menentang hasil studi ilmu
bahasa yang menganalisis performa penutur bahasa. Menurutnya, teori tatabahasa yang
dihasilkan dari deskripsi kompetensi dan deskripsi performa penutur harus saling melengkapi
(Chomsky via Botha, 1991:128).
Tidak hanya memerikan kompetensi penutur, TG pun mendeskripsikan
kegramatikalan atau ketidakgramatikalan konstruksi yang dihasilkan penutur bahasa.
Ketidakgramatikalan terjadi karena penutur menghasilkan konstruksi yang bukan termasuk
dalam bahasanya. Selain itu, konstruksi yang sudah sesuai dengan tatabahasa suatu
bahasa tetapi tidak mempunyai arti dinamakan sebagai konstruksi yang tidak berterima.
Penutur asli bahasa Indonesia, misalnya, akan dapat menyebut kalimat “Buah apel
memakan Andi” sebagai konstruksi yang tidak berterima karena yang dapat melakukan
aktivitas memakan hanya makhluk hidup.
Selain itu, TG yang digagas Chomsky ini juga berusaha mencari tatabahasa semesta
(universal grammar). Chomsky meyakini bahwa bahasa-bahasa di dunia ini mempunyai
properti yang bersifat semesta, yakni properti-properti yang mengkategorikan bahasa
tersebut sebagai bahasa manusia. Hal ini tidak dapat terlepas dari sifat kodrati dari bahasa
bahwa otak manusia memang didesain khusus untuk berbahasa sehingga berkenaan pula
dengan bagaimana bahasa tersebut diperoleh oleh manusia penuturnya. Adapun yang
dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah bagaimana prinsip-prinsip yang bersifat
semesta tersebut diterapkan dalam masing-masing bahasa dan bagaimana corak
realisasinya di tiap bahasa yang berbeda (Cook, 1989:1—2). Prinsip-prinsip bahasa
manusia yang berlaku semesta yang ditemukan Chomsky, antara lain movement, pro-
drop/non-pro-drop, extended projection principle, head parameter, structure dependency
(Cook, 1989). Selain cara bahasa bekerja, kesemestaan juga menyentuh subkomponen
dalam tatabahasa. Chomsky menjelaskan bahwa terdapat tiga subkomponen utama dalam
tatabahasa (subcomponents of rule systems), yakni (i) leksikon, (ii) sintaksis: (iia) komponen
kategorial, (iib) komponen transformasi, (iii) komponen bentuk fonetis, (iv) komponen bentuk
logis (Chomsky, 1981:5). Tiga komponen pertama tersebut bekerja sama dimulai dengan
perpaduan leksikon dengan komponen kategorial untuk membentuk struktur dalam dalam
pikiran manusia. Selanjutnya, konstruksi pada struktur dalam tersebut mengalami
transformasi dan menghasilkan struktur permukaan yang berupa bentuk fonetis (bunyi) dan
bentuk logis (keberterimaan konstruksi).
Apa yang dipaparkan Chomsky sebagai tatabahasa semesta berbeda dengan
kesemestaan Greenberg. Bagi Greenberg, kesemestaan bahasa baru dapat dideskripsikan
apabila telah mengkaji bahasa dalam jumlah yang signifikan dan dengan menggunakan data
yang empiris dari bahasa-bahasa tersebut (Greenberg, 1980). Adapun bagi Chomsky,
kesemestaan yang ia maksud adalah kesemestaan dalam tataran konseptual tatabahasa
sehingga tidak perlu mengkaji banyak bahasa, tetapi cukup dengan mengkaji satu bahasa
(manusia) secara mendalam (Chomsky, 1965). Terlepas dari perbedaan pendapat kedua
linguis itu, kesemestaan bahasa bukan hal baru dalam ilmu bahasa. Di abad ke-14 terdapat
sekelompok filsuf Speculative Grammarian yang menggagas tentang adanya prinsip-prinsip
yang sama pada bahasa-bahasa di dunia (Robins, 1979; Allan, 2009). Di era yang lebih
modern, Jakobson pernah memaparkan konsep kesemestaan dalam fonologi. Menurutnya,
di antara bahasa-bahasa di dunia terdapat sistem fonologi semesta yang mendasari realisasi
bunyi yang berbeda-beda pada masing-masing bahasa (Sampson, 1980:118). Mengetahui
hal tersebut, tentu sulit untuk tidak menyebutkan pengaruh Jakobson dan filsuf Speculative
Grammarian bagi pemikiran Chomsky dan TG yang disusunnya.
Sebagai salah satu aliran dalam linguistik, TG menghasilkan teori-teori tatabahasa.
Menurut TG, teori tatabahasa harus menggambarkan kondisi ideal antara penutur dan lawan
tutur (Chomsky via Botha, 1991:129). Teori tatabahasa yang dihasilkan TG mempunyai
keistimewaan karena bersifat explanatory adequacy (Carnie, 2006: 24). Menurut Chomsky
(1965), ada tiga jenis tatabahasa, antara lain observational adequacy (jika hanya
menampilkan data berupa korpus), descriptive adequacy (apabila dapat menjelaskan
“penilaian” dari penutur asli), dan explanatory adequacy (jika teori tatabahasa tersebut juga

11
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

menjelaskan bagaimana pemerolehan bahasa pada anak). Teori-teori dalam TG berusaha


menjadi teori yang memenuhi kriteria explanatory adequacy dengan berupaya menjelaskan
fenomena pemerolehan bahasa.
Sebegitu tertariknya Chomsky dengan peristiwa pemerolehan bahasa, seperti yang
sudah disebutkan di atas, ia pun melahirkan gagasan tentang adanya suatu bagian di otak
manusia yang khusus memproses bahasa. Setiap anak kecil yang terlahir ke dunia dibekali
dengan tatabahasa kodrati (innate grammar) dalam language acquisition device (LAD).
Tatabahasa kodrati ini—sekali lagi—bersifat semesta. Dengan pemaparan yang cukup
terhadap bahasa tertentu di sekitar anak tersebut, maka sistem dalam LAD yang dimilikinya
akan menyesuaikan dan akan melakukan pengaturan. Oleh sebab itu, semakin intensif
terpapar bahasa tertentu, semakin mudah si anak menyerap “perbekalan” yang cukup untuk
pengaturan dalam LAD yang dimilikinya (Haegeman, 1994). Oleh sebab itu, anak Indonesia
yang lahir di Australia dan terpapar bahasa Inggris akan berbicara bahasa Inggris, bukan
bahasa Indonesia. Konsep tatabahasa kodrati yang semesta ini bertentangan dengan
behaviorisme Skinner. Menurut kaum behaviorisme, bahasa adalah perilaku pembiasaan,
maka seorang anak harus dikondisikan—dengan diberi stimulus—untuk terus menerus
menggunakan bahasa tersebut dalam proses pembelajaran (Audi, 1999:77).
Berbeda dengan Halliday yang memerikan fungsi bahasa, Chomsky tidak tertarik
untuk menganalisis fungsi bahasa. Baginya, bahasa bukan hanya alat komunikasi. Ia
mengikuti pandangan Descartes yang menyatakan bahwa “language is a form of self-
expression, not merely communication”. Ketika berbahasa, sesungguhnya seorang penutur
tidak hanya menggunakannya sebagai alat komunikasi atau pertukaran ide dengan
melibatkan lawan tutur. Yang tidak dapat dilupakan adalah bahwa manusia acapkali
berbicara untuk mengekspresikan diri sebagai makhluk yang rumit. Berbincang dengan
dirinya sendiri, misalnya, merupakan bentuk ekspresi diri yang tidak memerlukan lawan tutur.
Sebagai tambahan, dalam TG, komponen fonologi dan komponen semantik hanyalah
alat bantu terhadap komponen sintaksis. Komponen sintaksis mempunyai peran sebagai
komponen kreatif dalam tatabahasa. Sementara itu, komponen fonologi merupakan
komponen representatif dari tatabahasa yang mewujudkan bentuk dalam struktur dalam
sehingga dapat ditangkap oleh indera manusia. Komponen semantik, komponen terakhir
tatabahasa, merupakan komponen interpretatif atau komponen yang “menangkap” bentuk
fonologi tersebut.

c. Pengaruh TG
Status TG sebagai teori linguistik yang paling dikenal oleh ilmuwan bahasa hingga saat ini
tentu tidak berlebihan. Buku-buku ilmiah di bidang linguistik ditulis berdasarkan pemikiran
Chomsky. Berbagai kajian juga dilakukan dengan menggunakan TG sebagai mata pisau
analisisnya. Sebagai penggagas, Chomsky pun tidak pernah puas dengan teori yang
dihasilkannya, terbukti dengan perbaikan-perbaikan yang selalu dilakukannya dari waktu ke
waktu, hingga terakhir kali ia merevisi TG dalam teori minimalis pada tahun 1995.
Salah satu hal yang menarik adalah, setelah lahir tatabahasa generatif,
perkembangan teori linguistik di Amerika menjadi sangat pesat. Pengaruh Chomsky tidak
dapat dimungkiri karena banyak tatabahasa generatif versi lain bermunculan, sebut saja
lexical functional grammar, relational grammar, case grammar, role and reference grammar,
dan lain-lain, yang menganggap teorinya masing-masing sebagai bentuk penyempurnaan
atau pelengkap TG Chomsky. Selain lahir teori-teori yang berbasis generatif, lahir pula
disiplin linguistik kognitif yang dipelopori oleh murid Chomsky, George Lakoff.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, TG juga mempengaruhi bidang ilmu lain,
semisal psikologi. Psikolog mulai tertarik untuk mempelajari relasi bahasa dan pikiran. Selain
itu, salah satu cabang linguistik yang dekat dengan psikologi, psikolinguistik, juga turut
mendapatkan pengaruh dari buah pemikiran Chomsky tentang tatabahasa kodrati dan LAD.

12
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

Basis Filosofis Linguistik Sistemik Fungsional dan Tatabahasa Generatif


Setelah menguraikan pemikiran-pemikiran dalam LFS dan TG, sejauh ini dapat disimpulkan
beberapa hal terkait aspek filosofis kedua teori linguistik tersebut, yaitu paradigma dan
epistemologis keduanya. Untuk dapat mengetahui basis filosofis sebuah teori linguistik dapat
dimulai dengan menanyakan (i) keyakinan yang dianut oleh linguis penggagas teori tersebut
dalam menganalisis bahasa dan (ii) definisi bahasa menurut linguis tersebut (Katz, 1985).
Yang dimaksud dengan poin (i) adalah pendekatan-pendekatan apa yang digunakan
dalam menganalisis fenomena bahasa. LFS mendekati bahasa sebagai sebuah sistem yang
menyusun makna dalam fungsinya sebagai alat komunikasi. LFS selalu menggunakan teks,
baik teks lisan (spoken text) atau tuturan yang ditranskripsikan maupun teks dalam artian
sesungguhnya dalam bentuk tertulis, sebagai objek analisisnya. Teks adalah salah satu
contoh nyata pemakaian bahasa. Bahasa harus mempunyai objek fisik dalam hal ini tulisan.
“Persyaratan” tersebut mengindikasikan LFS menghendaki sesuatu yang empiris, data yang
empiris, tidak hanya data yang digali dari pengetahuan dan/atau intuisi penutur yang
barangkali sedang meneliti bahasanya, dan berupa studi bahasa yang empiris terhadap
pemakaian nyata bahasa. Kajian-kajian yang menerapkan analisis LFS pun pada umumnya
tengah berupaya memerikan suatu wacana tertentu. Dalam hal ini, LFS terlihat sebagai
suatu teori linguistik dengan pendekatan empiris; Tidak jauh berbeda, misalnya, dengan
linguistik struktural yang menekankan pada data bahasa yang empiris. Hanya saja
keempirisan LFS tidak hanya pada data, tetapi dalam cara memandang bagaimanakah studi
bahasa itu.
Kata empirisme berasal dari bahasa Yunani empiria yang berarti ‘pengalaman’ (Audi,
1999:262). Tradisi empirisisme berasal dari filsuf Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa
pengetahuan harus diperoleh dari pengalaman sensorik. Olehnya, akal manusia diibaratkan
sebagai tabula rasa, batu sabak yang belum ditulisi—Locke menyebutnya dengan istilah
white paper—dan pengalaman lah yang akan mengisi batu sabak atau kertas putih tersebut
(Verhaar, 1980:10—11).
Akan tetapi, Analisis yang dilakukan Halliday dalam LFS-nya tidak bersifat empiris
semata. Ia juga mencari hubungan antar unsur yang membentuk bahasa (teks). Hubungan-
hubungan tersebut tidak empiris. Dalam hal ini, apa yang tidak empiris (hubungan
antarunsur) adalah hal yang lebih penting. Jika ditilik lebih lanjut, upaya untuk mencari
struktur dari hubungan antarunsur sama halnya konsep yang ada dalam strukturalisme.
Selain itu, strukturalisme mementingkan apa yang ada dibalik yang tampak, demikian halnya
analisis LFS dalam menganalisis relasi antarunsur dalam teks. Tentu tidak aneh apabila LFS
masih terpengaruh strukturalisme karena Halliday dan pendahulunya di aliran London juga
mendapatkan pengaruh dari Saussure. Menurut Allan (2009:254), kendati Saussure
menaruh perhatian pada fungsi bahasa, namun pandangan utamanya tentang struktur
bahasa menjadikannya lebih tepat dijuluki sebagai strukturalis.
Salah satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah, sejalan dengan namanya
“linguistik fungsional sistemik”, sebenarnya salah satu paradigma yang digunakan dalam
teori ini sudah cukup eksplisit, yakni fungsionalisme. Menurut salah satu fungsionalis Inggris,
budaya terdiri atas berbagai aspek yang mempunyai fungsi masing-masing dan membentuk
satu kesatuan (Malinowski, 1923). Jika diaplikasikan pada bahasa, dapat dinyatakan bahwa
bahasa juga terdiri atas bagian-bagian dengan fungsi masing-masing dan saling berkaitan
membentuk satu kesatuan makna. Struktur semantik—yang mempunyai fungsinya sendiri—
bekerja sama dengan unsur-unsur lain seperti konteks situasi—yang juga mempunyai fungsi
sendiri—membentuk satu kesatuan makna dan fungsi. Fungsionalisme melihat bahwa fungsi
bahasa dalam masyarakat mempengaruhi struktur konstruksi lingual dan makna dari satuan
lingual (Allan, 2009:254). Bagi fungsionalisme, sulit memisahkan struktur tuturan yang
dihasilkan penutur tanpa melihat pengaruh dari aspek semantis dan pragmatik (Allan,
2009:263).
Apabila dirangkum dari pemaparan sebelumnya, maka pendekatan yang digunakan
dalam LFS meliputi—tetapi tidak terbatas pada—empirisme, strukturalisme, dan
fungsionalisme. Ketiga pendekatan tersebut digunakan dalam mendekati objek material LFS,
yakni bahasa yang berupa teks. Beberapa pendekatan tersebut (strukturalisme dan

13
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

fungsionalisme) sudah didaftar oleh Ahimsa-Putra (2009) sebagai salah dua paradigma
dalam ilmu sosial budaya. Sementara itu, empirisme tidak terdapat dalam kategorisasi
tersebut. Hal ini barangkali karena empirisme merupakan basis filosofis yang dapat masuk
ke berbagai basis filosofis lainnya. Apalagi menilik The Cambridge Dictionary of Philosophy,
empirisme sendiri dapat berupa empirisme konsep atau empirisme keyakinan. Agar tidak
terlalu jauh, maka ada baiknya tidak terlalu mempermasalahkan ihwal empirisme.
Adapun untuk membahas epistemologis dari LFS adalah hal yang tidak mudah. Dari
pendekatan yang beragam yang digunakan dan tujuan analisisnya yang holistik, maka cukup
sulit untuk menjustifikasi LFS ke dalam salah satu basis filosofis dan memang tidak perlu
melakukan hal tersebut. Untuk mencapai model analisis gejala bahasa yang holistik, LFS
menggabungkan berbagai tataran analisis linguistik, mulai dari bunyi hingga konteks. Yang
menjadi cukup mengacaukan adalah keterlibatan aspek ortografi dalam analisis. Objek
material linguistik adalah bahasa (bunyi) dan menggabungkan analisis bunyi dengan
ortografis seperti yang dilakukan Halliday agak sulit diterima di banyak kalangan, kecuali jika
sedari awal ia mengemukakan bahwa analisisnya digunakan untuk mendeskripsikan struktur
wacana, dan tidak untuk mengkaji bahasa dalam artian yang lebih luas (langue atau
langage). Dengan kata lain, Halliday dapat disebut sebagai seorang positivis karena
inisiatifnya untuk menjadikan bahasa berwujud fisik dalam tulisan dan cara kerjanya dalam
menganalisis hubungan dan mencari kaidah dari relasi tersebut. Selain itu, cara kerjanya
yang berbasis fungsi (fungsionalisme) juga merupakan salah satu paradigma yang terdapat
dalam positivisme.
Filsafat positivisme lahir ketika pemikiran manusia dalam menjelaskan gejala-gejala
alam tidak lagi mengacu pada sosok Tuhan atau kekuatan yang impersonal. Sejak
munculnya positivisme, pemikiran manusia tidak lagi bersifat teologis atau metafisis dalam
mendeskripsikan gejala alam, termasuk bahasa. Cassirer (1944: 143—144) menjelaskan
bahwa dahulu kala manusia berbahasa karena dikaitkan dengan kekuatan impersonal pada
alam. Bahasa digunakan sebagai alat agar dapat berkomunikasi dengan alam yang lebih
superior dibandingkan manusia. Dengan demikian, manusia dapat terhindar dari segala
bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alam. Positivisme lahir membawa pemikiran manusia
menjauhi penafsiran impersonal; Positivisme meyakini bahwa semua gejala yang terjadi di
alam semesta dapat dijelaskan secara ilmiah dan dapat dicari hukumnya (Craig, 2005:826).
Adapun sistem pengkategorian atau pengelompokan dalam dunia ini selalu bersifat
seperti kontinuum; Tidak ada yang benar-benar pasti sebagai A atau B. Demikian pula dalam
pengkategorian Halliday sebagai positivis tidak dapat dilakukan sepenuhnya.
Ketidaktertarikannya pada konsep kesemestaan menjadikannya hanya mendeskripsikan
pola sehingga ia pun lebih condong berbasis filosofis strukturalisme. Linguis di Inggris yang
mengikuti tradisi Aliran London acapkali dijuluki post-Saussurean dan masih berada dalam
benang merah strukturalisme Saussure. Dalam linguistik, strukturalisme Saussure
menegaskan bahwa bahasa yang terdiri atas suara, kata, dan makna merupakan satu
kesatuan dalam sebuah sistem (Craig, 2005:1004).
Kendati LFS berbasis strukturalisme, tetapi tidak sepenuhnya mengacu pada
Saussure karena LFS lebih fokus pada parole (teks), sedangkan Saussure mengkaji langue
(bukan korpus data). Di samping itu, strukturalisme Halliday berbeda dengan strukturalisme
Bloomfield karena Bloomfield tidak memasukkan makna dan memusatkan analisis pada
struktur bahasa (Craig, 2005:1004—1005). Hemat kata, keempirisan data dan asumsinya
terhadap bahasa yang empiris mengacu pada positivisme, namun cara kerjanya dalam
menganalisis bahasa merupakan cara kerja berbasis filosofis strukturalisme.
Seperti halnya LFS, TG juga mempunyai paradigma dan basis filosofis sebagai
landasan berpikir dalam teorinya. Namun, perlu diingat sebelumnya bahwa kelahiran teori
TG dalam kancah linguistik sudah menyiratkan banyak pergeseran filosofis dalam linguistik
kala itu. Penolakan Chomsky terhadap linguistik struktural mengindikasikan krisis yang
memang tengah dialami oleh para strukturalis. Bahasa sebagai sesuatu yang kompleks
“hanya” sebatas dikaji strukturnya. Kajiannya pun terbatas pada bahasa tertentu, yang
bersifat spesifik dan tidak semesta. Padahal manusia, sebagai penutur bahasa, merupakan
makhluk yang kompleks, berbeda dari binatang. Kompleksitas manusia semakin didukung

14
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

dengan sistem kognitif atau sistem mental (alam pikiran) manusia yang juga kompleks.
Bahasa sebagai salah satu produk yang dihasilkan dari sistem kognitif yang melibatkan
sistem mental (akal pikiran) merupakan pintu gerbang yang tepat untuk memerikan
kompleksitas hakikat seorang manusia. Dengan adanya akal pikiran manusia pula lah, maka
bahasa manusia berbeda dari bahasa binatang. Bahasa manusia tidak perlu stimulus untuk
dapat dituturkan, sedangkan sistem komunikasi binatang mengharuskan ada stimulus, bisa
berupa pertahanan diri, rasa lapar, atau hasrat untuk berkembang biak (Chomsky,
2009:59—60). Pandangan semacam ini merupakan pandangan rasionalisme.
Menurut Descartes dan para rasionalis, manusia mempunyai kemampuan unik yang
tidak dapat dijelaskan secara mekanis, meskipun cara tubuh dan organ tubuh bekerja
memang mekanis. Descartes menganalogikan manusia sebagai automata, sebuah mesin
yang bekerja mekanis. Binatang pun sebuah automata. Bedanya, manusia sebagai
automata tidak hanya dibekali tubuh, tetapi juga akal pikiran (Gaukroger, 2002:216). Karena
manusia dibekali akal pikiran, manusia dapat menggunakannya untuk menalar sesuatu.
Maka sesungguhnya sumber ilmu pengetahuan bukan hanya dari pengalaman sensorik,
tetapi juga dari penalaran terhadap sesuatu hal secara logis. Di sinilah rasionalisme tidak
sepaham dengan empirisme yang mengharuskan segala sesuatu berwujud sehingga dapat
diidentifikasi oleh indera manusia. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika salah satu
pendekatan dalam TG adalah rasionalisme.
Rasionalisme adalah salah satu konsep yang seringkali dikontraskan dengan
empirisme. Descartes menyatakan bahwa pengalaman inderawi dapat menyesatkan karena
dapat mengarahkan pada pemerian kualitas fisik yang salah, sedangkan akal pikiran
manusia adalah sumber dari deduksi ilmu pengetahuan (Dictionary of Philosophy, 1999:771).
Sebelum Descartes, Plato pun sudah menyatakan bahwa innate idea atau ide kodrati (ide
hakiki) itu pra-ada dan abadi. Tokoh rasionalis pada umumnya tertarik dengan matematika
sebagai model pengetahuan.
Salah satu hal yang menarik ketika mengamati TG adalah sifatnya yang sangat
matematis. Saat membaca Syntactic Structure dan buku-buku Chomsky yang lain, dapat
diamati penggunaan bahasa formal dalam merumuskan bahasa. Maka teori TG dapat
dikategorikan teori tatabahasa formal karena memenuhi kriteria tatabahasa tersebut, yaitu
menyusun formula—dengan menggunakan simbol-simbol—dari urutan konstruksi lingual
(Carnap, 2001:1). Oleh karena itu, pendekatan selanjutnya yang dapat ditemui dalam teori
TG untuk menjelaskan fenomena bahasa adalah pendekatan formalisme. Pendekatan formal
menganalogikan bahasa dengan seperangkat aturan dan menggunakan bahasa formal
untuk merumuskannya. Dengan kata lain, salah satu tujuan TG adalah memformalkan
bahasa karena dengan demikian ilmu bahasa menjadi terlihat seperti halnya ilmu-ilmu alam.
Seperti disebutkan sebelumnya, rasionalis tertarik memodelkan ilmu pengetahuan dengan
matematika. Tidak aneh rasanya apabila Chomsky yang seorang rasionalis ini turut
mematematikakan bahasa.
Ihwal pengambilan data dalam TG, penganut teori ini menggunakan data yang lebih
fleksibel. Pengambilan data dapat dilakukan dengan mengambil dari “pengetahuan” penutur
bahasa (intuisi/reflektif). Dalam hal ini, TG mengaitkan antara bahasa dan pikiran. Dapat
dikatakan bahwa lahirnya TG merupakan pergeseran dari studi bahasa sebagai produk ke
bahasa sebagai representasi mental (pikiran) (Chomsky, 1986:51). Tidak aneh pula untuk
menyebutkan mentalisme sebagai salah satu pendekatan dalam TG. Mentalisme
berhubungan dengan proses mental (Audi, 1999: 557). Aliran filsafat mentalisme ini
bertentangan dengan behavorisme Skinner. Itulah sebabnya Chomsky tidak setuju dengan
pemikiran dalam behaviorisme. Walaupun demikian, data analisis TG tidak terbatas pada
intuisi penutur bahasa. Peneliti yang menggunakan TG sebagai alat analisisnya juga dapat
melakukan pengambilan data dari sumber yang sudah ada, baik lisan dan tulisan (sebagai
representasi dari bahasa lisan).
Dari uraian singkat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan yang
digunakan dalam TG meliputi rasionalisme, formalisme, dan mentalisme. Apabila menilik
daftar paradigma yang disusun oleh Ahimsa-Putra (2009), ketiga pendekatan tersebut tidak
dapat ditemukan. Kendati demikian, ketiga konsep tersebut dapat ditemukan dalam berbagai

15
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

literatur filsafat. Maka tidak salah apabila ketiganya dinyatakan dalam tulisan ini sebagai
pendekatan yang digunakan oleh TG dalam mendekati objek formalnya yang berupa bahasa.
Sekali lagi, objek material TG adalah bahasa sebagai kompetensi dan bukan bahasa
sebagai performa sebagaimana dalam LFS. Maka ragam bahasa yang merupakan performa
tidak dianalisis dalam TG.
Menentukan basis filosofis pemikiran Chomsky ternyata tidak serumit ketika
menelusuri basis filosofis pemikiran Halliday. Barangkali karena Chomsky mempunyai
pemikiran yang mempunyai benang merah dan tokoh-tokoh yang dianutnya pun mempunyai
pemikiran yang jelas. Sebagai sebuah alat analisis, TG tidak berupaya sebagai teori yang
holistik dalam menjelaskan gejala bahasa. Cara kerja TG yang menyusun formula atas
bahasa menjadikan studi bahasa layaknya studi ilmu-ilmu alam. Bagi Chomsky, bahasa
ibarat matematika. Maka ilmu bahasa dapat pula menggunakan simbol-simbol seperti dalam
matematika. Hal ini sejalan dengan konsep dalam positivisme yang menghendaki hukum
universal. Sebagaimana dinyatakan oleh Craig, salah satu kunci positivisme adalah
tersusunnya rumus-rumus yang bersifat semesta (2005:826). Adapun positivisme TG lebih
cenderung pada positivisme logis. Kesimpulan ini tidak diambil dengan sembarangan, tetapi
merupakan hasil pengamatan terhadap salah satu tokoh yang menginspirasi Chomsky, yakni
Carnap. Carnap merupakan tokoh pemikir positivisme logis yang mengkaji sintaksis pada
bahasa dengan menggunakan konsep logika. Selain itu, untuk memperkuat pengkategorian
basis filosofis TG, konsep rasionalisme, formalisme, dan mentalisme melibatkan logika
(logic) dan pikiran (mind), maka tidak salah apabila mengkategorikan basis filosofis Chomsky
dan TG ke dalam positivisme logis.
Positivisme logis meyakini bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya berasal dari evidensi
yang empiris, tetapi juga dari penalaran yang logis (Craig, 2005:603). Karena bermain di
tataran logika, positivisme logis dekat dengan matematika, khususnya logika. Positivisme
logis menghasilkan pengetahuan atau penilaian yang terpisah dari aspek pengalaman atau
bersifat a priori. Hal ini berkebalikan dengan positivisme Comte yang bersifat a posteriori
atau melibatkan pengalaman empiris dalam justifikasi. Dengan adanya pengaruh dari
positivisme logis pada seorang Chomsky, tidak aneh apabila disertasi yang ditulisnya di
University of Pennsylvania pun—sebelum melahirkan TG—berjudul Logical Structure of
Linguistic Theory. Oleh sebab itu, konsep-konsep positivisme logis dapat dijumpai dalam
konsep teori TG pula.
Sebagai alternatif dan pandangan lain, baik kiranya diuraikan pendapat dari seorang
filsuf dan linguis, J.J. Katz, yang membuat klasifikasi teori linguistik dan pencetusnya
berdasarkan basis filosofisnya dalam bukunya The Philosophy of Linguistics (1985). Kendati
tidak secara langsung menyebut nama Halliday, menurutnya, linguis yang bekerja secara
fungsional dengan analisisnya yang peka konteks termasuk ke dalam basis filosofis
emergentist. Emergentist menganggap sintaksis tidak dapat berdiri sendiri tanpa semantik
dan pragmatik. Sebaliknya, Katz menyebutkan nama Chomsky dan secara jelas
menyebutnya sebagai linguis yang essentialist karena pendekatannya yang rasionalis dan
formalis. Berkebalikan dengan pandangan emergentist, essentialist menganggap bahwa
sintaksis (atau tatabahasa) dapat berdiri sendiri.
Dalam tulisan Katz yang lain (1991), ia menyebutkan kalangan linguis yang bekerja
dengan memperhatikan aspek eksternal ke dalam golongan yang berpandangan nominalis.
Karena Halliday memperhatikan situasi tutur dan kondisi sosial dalam analisis bahasanya, ia
pun dapat diasumsikan termasuk ke dalam kelompok nominalisme. Adapun Chomsky
bekerja untuk menyusun teori dan memformalkan bahasa, maka oleh Katz, ia diasumsikan
mempunyai basis filosofis konseptualisme (conceptualism). Yang dimaksud dengan
konseptualisme adalah pemikiran bahwa kesemestaan berada di tataran konsep (pikiran)
(Audi, 1999:169), bukan kesemestaan yang empiris seperti dalam pemikiran Greenberg.

“Penyerangan” LFS terhadap TG

16
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

Sebagaimana dijelaskan di bagian awal tulisan ini, TG yang notabene menjadi teori yang
fenomenal dalam linguistik mendapatkan banyak “serangan” berupa kritikan tajam terhadap
konsep teorinya, salah satunya datang dari LFS. Menurut pandangan LFS, konsep struktur
dalam Chomsky terlalu abstrak dan membuka kemungkinan untuk struktur yang lebih dalam
lagi dan tidak jelas batasannya. Selain itu, pendekatan logika yang digunakan Chomsky
menuntunnya untuk memahami bahasa sebagai pemikiran, bukan alat komunikasi
antarsesama. Analisis Chomsky yang membebaskan bahasa dari konteks membuat kalimat-
kalimat yang dianalisisnya berada dalam isolasi (Thompson, 2004: 2—6).
Meskipun mendapatkan kritik-kritik tajam, TG tidak melakukan yang sebaliknya pada
LFS. TG cenderung fokus untuk selalu melakukan perbaikan dalam teori-teorinya. Selain itu,
meskipun tidak menerapkannya dalam analisisnya, Chomsky mengakui bahwa ada relasi
yang sistematik antara struktur kalimat dan makna. Namun, baginya tatabahasa dapat berdiri
sendiri (autonomous), tetapi bukan berarti tidak membutuhkan aspek-aspek lainnya dalam
sistem kerjanya (Newmeyer, 2010:302). Alih-alih melakukan penyerangan terhadap LFS,
Chomsky lebih memilih untuk menjelaskan alasannya untuk tidak melibatkan aspek-aspek
tersebut. Konteks situasi, contohnya, bukan merupakan elemen dalam teori Chomsky.
Menurutnya, konteks situasi adalah hal yang terlalu rumit untuk disusun formulanya, padahal
tatabahasa Chomsky adalah tatabahasa yang bersifat formal. Oleh sebab itu, TG
menghindari keterlibatan konteks.
Secara hakiki, kedua teori tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua jenis teori
linguistik yang berbeda. Teori LFS Halliday merupakan teori yang mengakui tingkat ekspresi
(struktur bunyi, kata, kalimat) dan tingkat situasi dan keduanya menjadi faktor penentu atas
tingkat makna. Sebaliknya, teori TG Chomsky termasuk dalam tipe teori yang mengakui
adanya tingkat ekspresi dan tingkat makna, tetapi tidak mengakui tingkat situasi (Verhaar,
1980:14).

Ilustrasi Akhir dan Contoh Analisis


Untuk mempermudah pemahaman terhadap LFS dan TG, berikut ditampilkan tabel yang
merupakan abstraksi pemikiran kedua teori linguistik itu.

Linguistik Fungsional Sistemik Tatabahasa Generatif

definisi bahasa bahasa adalah artefak budaya, bahasa adalah pengetahuan,


bahasa dipakai kegiatan berbahasa
menggunakan pengetahuan
bahasa

objek material bahasa (teks) bahasa (kompetensi)

objek formal fungsionalisme, empirisme, formalisme, rasionalisme,


strukturalisme mentalisme, nativisme

langage, mengkaji parole mengkaji langue untuk mencari


langue, parole langage

keemprisan bahasa sebagai teks (harus bahasa sebagai bunyi (phonetic


bahasa berwujud fisik) form)

data empiris, teks intuitif, reflektif, bisa pula empiris

analisis peka konteks tidak peka konteks

mencari hubungan unsur-unsur menjelaskan transformasi

17
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

melibatkan ortografi tidak melibatkan ortografi

fokus analisis kalimat kalimat

hasil deskripsi teks deskripsi bahasa, teori bahasa

sifat hasil deskriptif, asemesta deksriptif, semesta

pengetahuan berbasis empiris dan sedikit berbasis penalaran dan sedikit


penalaran empiris

dekat dengan semiotika, ilmu sosial psikologi, matematika, logika

ragam bahasa ya tidak

kesemestaan tidak ya (tataran konsep dan logika)

pengetahuan a posteriori a priori

epistemologis positivisme, strukturalisme positivisme (positivisme logis)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, terlepas dari segala perbedaan, LFS dan TG
mempunyai persamaan, yakni sama-sama menganggap kalimat (klausa) adalah unsur yang
terpenting.
Demi kejelasan pemahaman, di bawah ini adalah contoh sederhana penerapan
analisis LFS dan TG pada sebuah kalimat.
Did Ana take her bag?

Berdasarkan penggalan contoh di atas, LFS akan menganalisis strukturnya yang terdiri atas
struktur eksperensial, interpersonal, dan tekstual. Struktur eksperensial akan
mengidentifikasi Ana sebagai aktor (pelaku), take sebagai (verba) proses, dan her bag
sebagai tujuan (goal). Dari sudut pandang struktur interpersonal, did merupakan elemen
penanda kefinitan, Ana adalah subjek, take adalah predikat, her bag dideskripsikan sebagai
komplemen. Sementara itu, struktur tekstual dapat dideksripsikan menjadi tema dan rema
dengan Did Ana sebagai tema dan take her bag sebagai rema.
Adapun TG menganalisis kalimat di atas dengan memulai membahas kegramatikalan
dan keberterimaan semantisnya. Menurut TG, kalimat tersebut gramatikal dan berterima
karena sesuai dengan tatabahasa bahasa Inggris berdasarkan justifikasi dari penutur asli. Di
samping itu, contoh di atas merupakan hasil transformasi dari struktur dalam. Leksikon Ana,
take, her, bag dan aturan N1 V N2 membentuk struktur dalam Ana take(s) her bag. Dalam
realisasi pemakaiannya, struktur dalam tersebut mengalami transformasi do-insertion 2 .
Menurut TG, untuk menyusun kalimat interogatif dari kalimat yang tidak mempunyai verba
bantu, dibutuhkan bantuan dari do sebagai tempat melekatnya infleksi dan sekaligus
menduduki posisi I’ (Infleksi). Ketika bertransformasi menjadi kalimat interogatif, terjadi
perpindahan dari I’ ke C’ (Complementizer); kalimat tersebut tidak lagi berupa IP (Inflectional
Phrase3), tetapi CP (Complementizer Phrase).

2 Lebih lanjut mengenai do-insertion dapat dibaca dalam Carnie (2006:261—263)


3 Dalam TG, kalimat diibaratkan seperti frase (dalam bahasa Inggris, Frase Infleksional) karena keduanya
mempunyai proses pembentukan yang sama, yakni dari unit-unit terkecil yang membentuk unit yang
lebih besar.

18
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

IV. Penutup
Setelah menguraikan dua teori linguistik ini, kiranya perlu disimpulkan beberapa hal. Yang
pertama adalah, walaupun tidak berjalan dalam konsep yang sama, LFS dan TG sebenarnya
tidak saling bertolak belakang karena keduanya mempunyai basis filosofis yang berbeda.
LFS dan TG justru dapat saling melengkapi sehingga pemerian suatu bahasa menjadi
komprehensif dan lebih beragam karena menggunakan berbagai pendekatan terhadap
bahasa. Kontra yang berkepanjangan di antara formalis (TG) dan fungsionalis (LFS)
tampaknya tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang fundamental; Adalah hal yang wajar
mempunyai dua pandangan yang berbeda karena cara melihat objek juga berbeda. Lebih
lanjut dapat disimpulkan, setelah mengamati cara kerja keduanya, bahwa LFS cocok untuk
menganalisis struktur wacana (misal analisis wacana) dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan wacana, misalnya penerjemahan atau pengajaran bahasa (pemakaian wacana
dalam pengajaran), tetapi tidak cocok sebagai alat analisis bahasa (langue/langage).
Sebaliknya, TG tidak cocok untuk memerikan struktur wacana tertentu, tetapi cocok untuk
mendeskripsikan bahasa (langue/langage) dan hakikatnya secara formal.

Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2009. “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”.
Makalah disampaikan pada kuliah umum Paradigma Penelitian Ilmu-Ilmu Humaniora
di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 7 Desember 2009.

Allan, Keith. 2009. The Western Classical Traditions in Linguistics. London: Equinox
Publishing.

Audi, Robert. 1999. The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge


University Press.

Botha, Rudolf P. 1991. Challenging Chomsky. Oxford: Basil Blackwell.

Campbell, Lyle. 1998. Historical Linguistics: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University


Press.

Carnap, Rudolf. 2001. Logical Syntax of Language. London: Routledge.

Cassirer, Ernst. 1944. An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture.


New York: Double Day and Company.

Carnie, Andrew. 2006. Syntax: A Generative Introduction. Oxford: Blackwell Publishing.

Chomsky, Noam. 1956. Syntactic Structure. The Hague: Mouton.

Chomsky, Noam. 1965. Aspects of Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.

Chomsky, Noam. 1970. Current Issues in Linguistic Theory. The Hague: Mouton.

Chomsky, Noam. 1981. Lectures on Government and Binding. Dodrecht: Foris Publication.

Chomsky, Noam. 1986. Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use. New York:
Praeger.

Chomsky, Noam. 2006. Language and Mind. Cambridge: Cambridge University Press.

Chomsky, Noam. 2009. Cartesian Linguistics: A Chapter in the History of Rasionalist


Thought. Cambridge: Cambridge University Press.

Craig, Edward (Ed.). 2005. The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy. Oxon:
Routledge.

19
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

Crowley, Terry. 1992. An Introduction to Historical Linguistics. Oxford: Oxford University


Press.

Gaukroger, Stephen. 2002. Descartes’ System of Natural Philosophy. Cambridge:


Cambridge University Press.

Givon, Talmy. 2001. Syntax: Volume I. Amsterdam: John Benjamin Publishing.

Greenberg, J. H. 1980. Language Universals. The Hague: Mouton Publisher.

Haegeman, Liliane. 1994. Introduction to Government and Binding. Oxford: Blackwell


Publishing.

Halliday, M.A.K, Angus McIntosh, dan Peter Strevens. 1970. The Linguistic Sciences and
Language Teaching. London: Longman Group.

Halliday, M.A.K. 1977. Exploration in the Functions of Language. North-Holland: Elsevier.

Halliday, M.A.K. 2004. Introduction to Functional Grammar. London: Hodder Arnold.

Halliday, M.A.K. dan Hasan, Ruqaiya. 1992. Bahasa, Teks dan Konteks. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Harris, Roy. 2001. Saussure and his Interpreters. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Hymes, Dell. 1974. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.


Pennsylvania: University of Pennsylvania Press.

Istanti, Kun Zahrun. 2013. Metode Penelitian Filologi dan Penerapannya. Yogyakarta:
Elmatera.

Jakobson, Roman. 1960. “Linguistic Poetics” Dalam: Sebeok, T (Ed.). 1960. Style in
Language. Massachuset: MIT Press, 350—377.

Katz, J.J. 1985. The Philosophy of Linguistics. Oxford: Oxford University Press.

Katz, J.J. 1991. “Realism vs. Conceptualism”. Dalam: Linguistics and Philosophy, Vol. 14 No.
15: halaman 515—544.

Koentjoroningrat. 2009. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.

Lyons, John. 1977. Introduction to Theoretical Linguistics. Oxford: Oxford University Press.

Malinowski, Brown. 1923. “The Problem of Meaning in Primitive Language”. Dalam: Ogden,
C.K. dan Richards, I.A. (Ed.). The Meaning of Meaning. London: Kegan Paul.

Matthews, P.H. 1996. Grammatical Theory in the United States from Bloomfield to Chomsky.
Cambridge: Cambridge University Press.

Newmeyer, Frederick J. 1980. Linguistic Theory in America: The First Quarter-Century


Transformational Generative Grammar. New York: Academic Press.

Newmeyer, Frederick. 2010. “Formalism and Functionalism in Linguistics”. In: Wiley


Interdisciplinary Review: Cognitive Science Volume I Issue 3, page 301—307

Robins, R.H. 1979. A Short History of Linguistics. London: Longman.

Sampson, George. 1980. Schools of Linguistics. London: Hutchinson.

20
Paper ini merupakan paper tugas kuliah dosen pengampu. Mohon tidak menyebarkan file ini.
For internal use only.

Saussure, Ferdinand de. 1959. Course in General Linguistics. New York: Columbia
University Press.

Thompson, Geoff. 2004. Introducing Functional Grammar. London: Arnold.

Tomalin, Marcus. 2006. Linguistics and Formal Sciences: The Origins of Generative
Grammar. Cambridge: Cambridge University Press.

Uhlenbeck, U.M. 1973. Critical Comments on Transformational-Generative Grammar 1962—


1972. The Hague: Smits, Drukkers-Uigevers B.V.

Verhaar, J.W.M. 1980. Teori Linguistik dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbitan
Yayasan Kanisius.

Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

21

Anda mungkin juga menyukai