Anda di halaman 1dari 11

 

Judul : Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika *)

Pengarang : Prof. Dr. Kaelan, MS

Edisi : I

Penerbit : Paradigma, Yogyakarta

Tahun Terbit : 2009

Jumlah Halaman : 364 + viii

Pendahluan

Hubungan bahasa dengan masalah-masalah filsafat telah lama menjadi perhatian para
filsuf, bahkan hal ini telah berlangsung sejak zaman Yunani. Suatu perubahan
terpenting terjadi ketika para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat
dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Sebagai contoh problem filsafat yang
menyangkut pertanyaan, ‘keadilan’, ‘kebaikan’, ‘kebenaran’, ‘kewajiban’, ‘hakikat ada’
dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan denga menggunakan
metode analisis bahasa. Tradisi ini oleh ahli sejarah filsafat disebut sebagai ‘Filsafat
Analitik’, yang berkembang di Eropa terutama di Inggris pada abad XX.
Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan
urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya non-
empiris. Dengan demikian bahwa bahasa adalah sistem simbol yang memiliki makna,
merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan
sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam
mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya.

Akan tetapi dalam kenyataannya bahasa memiliki sejumlah kelemahan dalam


hubungannya dengan ungkapan-ungkapan dalam aktifitas filsafat, antara lain;
vagueness (kesamaran), inexplicitness (tidak eksplisit), ambiguity (ketaksaan), contex-
dependence (tergantung pada konteks) dan misleadingness (menyesatkan). (Alston,
1964:6).

Bahasa memiliki sifat vagueness karena makna yang terkandung dalam suatu
ungkapan bahasa pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diacunya. Penjelasan
secara verbal tentang aneka warna bunga mawar, tidak akan setepat dan sejelas
pengamatan secara langsung tentang aneka bunga mawar tersebut.

Ambiguity berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu bentuk kebahasaan. Kata
‘orang tua’ misalnya, dapat berarti ‘bapak-ibu’ ataupun orang yang memang sudah tua.
Kesamaran dan ketaksaan bahasa tersebut disamping merupakan kelemahan bahasa
untuk aktivitas filsafat juga sebaliknya justeru kelebihan bahasa manusia, yaitu bersifat
‘multifungsi’,selain berfungsi simbolik, bahasa juga memiliki fungsi ‘emotif’ dan ‘afektif’.
Selain itu adanya sinonimi, hiponimi, maupun polisemi juga menjadi faktor kesamaran
dan ketaksaan bahasa.

Metafisika adalah salah satu cabang filsafat di samping cabang-cabang lainnya.


Aristoteles menamakan metafisika sebagai filsafat yang pertama, yang membahas
tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada secara keseluruhan
bersangkutan dengan sebab-sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertinggi dari segala
sesuatu. Untuk itu Aristoteles menyebutnya dengan istilah ‘sofia dan teologi’
(Steenberghen, 1970:8). Secara etimologis istilah metafisika berasal dari bahasa
Yunani ‘ta meta ta physica’ yang secara harfiah di balik fisika atau di balik hal-hal yang
bersifat fisik. Andronikus menemukan bahwa sesudah karya-karya Aristoteles
mengenai fisika, terdapat 14 buku tanpa nama dan ia menyebut empat belas karya
tersebut dengan ‘buku-buku yang datang sesudah fisika’. Dalam buku-buku ini ia
menemukan pembahasan mengenai realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada yang
tidak ada di dunia fisik. Kesimpulannya adalah terdapat hal-hal yang bersifat metafisik.
(Bagus, 1991:18).

Aristoteles menjelaskan tentang 10 kategori yaitu meliputi substansi yang merupakan


hakikat dari segala sesuatu yang bersifat fundamental, dan sembilan aksidensia.
Keberadaan aksiden tergantung dan terlekat pada substansi yang meliputi:

1) Kuantitas, yaitu unsur fisis dari segala sesuatu yang meliputi luas, bentuk dan berat
sehingga menempati ruang tertentu, tempat tertentu.
2) Kualitas, berkaitan dengan aksidensia sifat-sifat terutama sifat-sifat yang dapat
ditangkap oleh indera (untuk substansi yang memiliki kuantitas).

3) Aksi, yaitu yang menyangkut perubahan dinamika segala sesuatu yang ada dan
yang mungkin terjadi.

4) Passi, menyangkut penerimaan perubahan yang dikaitkan dengan sesuatu yang lain.

5) Relasi, setiap hal termasuk benda senantiasa memiliki hubungan dengan sesuatu
yang lainnya.

6) Tempat, segala sesuatu di alam semesta ini mengambil ruangan di mana sesuatu itu
berada, hal itu dikarenakan substansi memiliki kuantitas.

7) Waktu, segala sesuatu di dalam alam semesta ini berada dalam suatu waktu
tertentu, kapan sesuatu itu berada dan kapan sesuatu itu tidak berada kembali.

8) Keadaan, yaitu bagaimana sesuatu itu berada di tempatnya.

9) Kedudukan, bagaimana sesuatu itu berada di samping sesutu yang lainnya.

Epitemologi adalah salah satu cabang filsafat yang pokok, secara etimologis istilah
epistemologi berasal dari bahasa Yunani ‘episteme’ yang berarti pengetahuan.
Berdasarkan bidang pembahasannya epsitemologi adalah cabang filsafat yang
membahas tentang pengetahuan manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan
kebenaran pengetahuan manusia. Bilamana dirinci persoalan-persoalan epistemologi
meliputi bidang sebagai berikut:

(1) Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu
datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Hal ini semua merupakan problem asal
pengetahuan manusia.

(2) Apakah watak dari pengetahuan itu? Adakah dunia yang reak du luar akal manusia,
dan kalau ada dapatkah kita mengetahuinya? Hal ini semuanya merupakan problema
penampilan terhadap realitas.

(3) Apakah pengetahuan kita benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara
kebenaran dan kekeliruan? Hal ini merupakan problema kebenaran pengetahuan
manusia. (Titus, 1984:20).

Berdasarkan analisis problema dasar epistemologi tersebut maka dua masalah pokok
sangat ditentukan oleh formulasi bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan
pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang pengetahuannya
meliputi pengetahuan apriori dan aposteriori.

Selain dalam pengetahuan apriori peran penting bahasa dalam epistmologi berkaitan
erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga teori kebenaran dalam epistemologi, yaitu:

(1) Koherensi, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar.

(2) Korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar jika
materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berkorespondensi atau
berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut.

(3) Pragmatis, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar bilamana
pernyataan itu memiliki kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. (Suriasumantri,
1984:55-59).

Dalam ranah logika dan penalaran, bahasa juga mengalami probel. Ketidaksamaan
dalam menentukan arti kata atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam
penalaran. Kesesatan karena bahasa itu biasanya hilang atau berubah kalau penalaran
dari satu bahasa disalin ke dalam bahasa yang lain. Kalau penalaran itu diberi bentuk
lambang, kesesatan itu akan hilang sama sekali, karena itu lambang-lambang dalam
logika diciptakan untuk menghindari ketidakpastian arti dalam bahasa. Berikut beberapa
kesalahan dalam bahasa.
Kesesatan karena aksen atau tekanan

Dalam ucapan tiap-tiap kata ada suku kata yang diberi tekanan. Perubahan tekanan
dapat membawa perubahan arti, maka kurang perhatian terhadap tekanan ucapan
dapat mengakibatkan perbedaan arti dan kesesatan penalaran. Contoh:

Tiap pagi pasukan mengadakan apel.

Apel itu buah.

Jadi: tiap pagi pasukan mengadakan buah


Kesesatan karena term ekuivok

Term ekuivok yaitu term yang mempunyai lebih dari satu arti. Kalau dalam satu
penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah term yang sama, maka terjadilah
kesesatan penalaran. Contoh:

Sifat abadi adalah sifat Tuhan.

Joko adalah mahasiswa abadi.


Jadi: Joko adalah mahasiswa yang memiliki sifat Tuhan.
Kesesatan karena arti kiasan (metaphor)

Ada analogi antara arti kiasan dengan arti sebenarnya, artinya terdapat kesamaan dan
ada juga perbedaan perbedaannya. Kalau dalam penalaran sebuah arti kiasan
disamakan dengan arti sebenarnya atau sebaliknya, terjadilah kesesatan karena arti
kiasan.
Kesesatan karena amfiboli (amphibolia)

Ampiboli terjadi kalau konstruksi kalimat itu sedemikian rupa, sehingga artinya menjadi
bercabang. Contoh:

Mahasiswa yang duduk di atas meja yang paling depan.

Apa yang paling depan, mahasiswanya atau mejanya?

Berdasarkan paparan di atas maka pembahasan filsafat bahasa meliputi masalah


sebagai berikut:

Pertama, salah satu tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep (conceptual
analysis), oleh karena itu salah satu bidang filsafat bahasa adalah untuk memberikan
analisis yang adekuat tentang konsep-konsep dasar dan hal ini dilakukan melalui
analisis bahasa.

Kedua, tidaklah tepat bilamana lingkup pembahasan filsafat bahasa itu berkaitan
dengan filsafat analitik. Lingkup lain filsafat bahasa adalah berkenaan dengan
penggunaan dan fungsi bahasa, yaitu pembahasan tentang bahasa dalam
hubungannya dengan penggunaan bagi tindakan manusia.

Ketiga, berkenaan dengan teori makna dan dimensi-dimensi makna. Pembahasan


tentang lingkup inilah filsafat memiliki keterkaitan erat dengan linguistik, yaitu bidang
semantik.

Keempat, selain masalah-masalah tersebut di atas, filsafat bahasa – sebagaimana


cabang-cabang filsafat lainnya – membahas hakikat bahasa sebagai objek materia
filsafat, bahkan lingkup pembahasan ini telah lama ditekuni oleh para filsuf. Antara lain
hakikat bahasa secara ontologis sebagai dualisme bentuk dan makna, hakikat bahasa
sebagai substansi dan bentuk, dan lain sebagainya. (Kaelan, 2002: 22).

KAJIAN FILSAFAT TENTANG BAHASA

Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya semakin kental, dan kemudian
muncul persoalan filosofis yaitu apakah bahasa dikuasai oleh alam, nature atau fisei
ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos.
Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisesi) yaitu bahwa
bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi
dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tak dapat ditolak. Kaum
naturalis dengan tokohnya seperti Cratylus dalam dialog Plato mengatakan bahwa
semua kata pada umumnya mendekati benda yang ia tunjuk, jadi ada hubungan antara
komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud.

Sebaiknya kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari


hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa ‘tacit agreement’ yang artinya
‘persetujuan diam’. Karena hal ini merupakan tradisi maka dapat dilanggar dan dapat
berubah dalam perjalanan zaman. Bahasa bukanlah pemberian Tuhan, melainkan
bahasa bersifat konvensional. Dalam dialog Plato pendapat ini diwakili oleh tokoh yang
dikenal saat itu Hermogenes.

Protagoras salah satu tokoh kaum sofis Athena membedakan tipe-tipe kalimat atas
tujuh tipe yaitu; narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa, dan undangan. Hal
ini nampaknya mirip dengan konsep J.L. Austin yang membedakan bahasa atas
tindakan dalam menggunakan bahasa. Adapun Georgias membedakan tentang gaya
bahasa yang dewasa ini dikenal dalam studi bahasa secara luas. (Parera, 1977:42).

Protagoras menyatakan bahwa manusia adalah pusat semesta, dan manusia adalah
segala-galanya. Kaum sofis menemukan pendekatan baru yang lebih sederhana untuk
bahasa manusia, untuk itu mereka mengembangkan cabang pengetahuan baru, yaitu
‘retorika’. Dalam defenisi meeka tentang kebijaksanaan (sophia), retorika menduduki
tempat sentral. Semua pertikaian tentang kebenaran atau ketepatan (orthotes), istilah
dan kata menjadi sia-sia dan berlebihan. Tugas bahasa bukanlah untuk merefleksikan
benda-benda, tapi hanya untuk membangkitkan emosi manusia, bukan hanya untuk
menyampaikan gagasan-gagasan atau pikiran saja, tapi lebih mendorong agar manusia
melakukan suatu tindakan. (Cassirer, 1987:173).

Menganggapi kondisi kacau balau akibat kelicinan kaum sofis ini, Sokrates merasa
terpanggil untuk meluruskannya dengan suatu metode ‘dialektis-kritis’. Proses dialektis
kritis dalam hal ini mengandung pengertian “dialog antara dua pendirian yang
bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan
antar-ide” (Titus, 1984:17).

Plato mengatakan hubungan antara simbol dengan objeknya haruslah natural tidak
semata-mata konvesional. Tanpa hubungan natural seperti itu, suatu kata dalam
perbendaharaan bahasa manusia tak akan dapat dipahami. Bila pengandaian ini
bersumber pada teori bahasa maka diperlukan suatu upaya pemecahannya. Dalam
persoalan ini Plato mengemukakan doktrin onomatopoeia (Cassier, 1987: 171).

Aristoteles mengemukakan pemikiran filosofisnya bahwa terdapat sesuatu yang tetap


akan tetapi tidak dalam suatu dunia ideal, melainkan dalam benda-benda jasmani
sendiri. Materi adalah suatu kemungkinan belaka untuk menerima suatu bentuk
(Bertens, 1989: 15).

Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes sehingga ia
layak mendapat gelar ‘bapak filsafat modern’. Menurut Descartes yang dipandang
sebagai pengetahuan yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah, artinya
bahwa gagasan-gagasan atau ide itu harus dapat dibedakan dengan ide-ide lain.
Pengamatan inderawi tidak memberikan keterangan tentang hakikat dan sifat-sifat
dunia di luar kita. Hanya pemikiran yang jelas dan terpilah yang dapat mengajar secara
sempurna tentang hakikat segala sesuatu melalui pengertian-pengertian secara
langsung dan jelas. Yang diketahui pikiran secara langsung dan tanpa melalui
perantara adalah dirinya semata-mata, sedangkan hal-hal diluar diri diketahui secara
tidak langsung. Oleh karena itu, untuk mencapai kebenaran yang kedap dengan
keraguan dapat dilakukan dengan metode:

a. Bertolak dari keraguan metodis bahwa tidak ada yang diterima sebagai sesuatu yang
benar.

b. Semua bahan yang diteliti dibagi dalam sebanyak mungkin bagian.

c. Sistematika pikiran dimulai dari objek yang sederhana sampai pada pengertian yang
lebih kompleks.

d. Tinjauan maasalah yang lebih universal, sehingga ditemukan kepastian. (Bakker,


1984: 74-78).

Hanya satu hal yang tidak dapat diragukan Descartes yaitu bahwa cogito ergo sum ‘aku
berpikir maka aku ada’.

Menurut John Locke seagala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari
itu. Akal bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapat. Akal tidak melahirkan
pengetahuan dari dirinya sendiri, namum diperolehnya dari luar akal melalui indera
(Hadiwijono, 1983: 36). Semula akal semacam secarik kertas yang putih bersih ‘as a
white paper’ tanpa tulisan dan seluruh isinya berasal dari pengalaman inderawi
(Bertens, 1989: 51).

SEMIOTIKA

Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani ‘semeion’ yang berarti ‘tanda’ atau ‘seme’
yang berarti penafsiran tanda (Cobley dan Jansz, 1999:4). Semiotika atau semiologi
menurut Barthes, pada prinsipnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity), memaknai hal-hal, segala sesuatu. Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, dalam arti dalam hal mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, melainkan juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes,
1988:179; Kurniawan, 2001:53). Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya
sendiri, dan makna adalah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda
(Littlejohn, 1996:64).

Dengan tanda-tanda kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang


serba beragam ini, agar setidaknya kita dapat memiliki pegangan. Sehingga semiotika
juga dapat dikatakan sebagai disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi
dengan menggunakan tanda (sign) berdasarkan pada sign system (code) (Sergers,
2000:4).

Berdasarkan tingkatan hubungan semiotika, Nauta membedakan menjadi tiga tingkatan


yaitu syntactic level (tingkatan sintaktik), semantic level (tingkatan semantik) dan
pragmatic level (tingkatan pragamatik). Berdasarkan lingkup pembahasannya semiotika
dibedakan menjadi semiotika murni (pure), semiotika deskriptif (descriptive) dan
semiotika terapan (applied). (Sobur, 2004:19).

Menurut Ferdinand de Saussure sedikitnya ada lima hal dalam semiotika, yaitu:

(1) Signifer (penanda) dan signified (petanda), tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk
penanda dengan sebuah ide atau petanda. Dengan kata lain, penanda adalah bunyi
atau coretan yan bermakna. Petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep.
(Bertens, 2001: 180).

(2) Form and content (bentuk dan materi/isi), untuk membedakan antara form dan
content Saussure mencontohkan misalnya setiap hari kita menaiki kereta api
Parahayangan Bandung-Jakarta sehingga kita katakan bahwa kita menaiki kereta api
yang sama setiap hari, tetapi pada dasarnya kita menaiki kereta api yang berbeda,
karena boleh jadi susunan gerbong dan lokomotifnya berubah. Apa yang ‘tetap’
sehingga kita katakan kita naik kereta api yang sama, tidak lain adalah wadah kereta
api tersebut, sementara isinya berubah-ubah. Lalu persoalannya yang membuat suatu
kata berbeda dalam phonic dan conceptual form-nya? Saussure mengatakan bahwa
suatu kata distinctive form-nya atau bentuk khasnya, tidak lain adalah diffrensiasi
sistematis yang ada antara setiap kata dengan kata-kata lain. Kata kalam, misalnya,
dibedakan menurut suaranya dengan kata salam dan malam, namun secara konseptual
kata tersebut dibedakan dengan buku, kertas, tinta dan sebagainya. Perbedaan yang
memisahkan satu kata dengan kata lainnya itulah yang menjadi identitas pada kata
tersebut. Sehingga kata padi tidak persis sama dengan kata rice dalam bahasa Inggris,
karena kata padi terbedakan dari kata rice. Artinya bahwa padi bukanlah diferensiasi
sistem arti dalam bahasa Inggris. (Sobur, 2004:48).

(3) Langue and parole (bahasa dan tutur), objek yang tidak tergantung pada materi
tanda yang membentuknya disebut langue, tapi disamping itu terdapat parole yang
mencakup bagian bahasa yang sepenuhnya bersifat individual (bunyi, realisasi aturan-
aturan, dan kombinasi tanda) (Sobur, 2004:49). Jika langue mempunyai objek studi
sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah living speech, yaitu bahasa yang
hidup atau bahasa yang sebagaimana terlihat dalam penggunaannya.
(4) Synchronic and diachronic (sinkronik dan diakronik), menurut Saussure linguistik
harus memperhatikan sinkronik sebelum menghiraukan diakronik. Sinkronik adalah
studi bahasa tanpa mempersoalkan urutan waktu, sedangkan diakronik adalah
sebaliknya, studi bahasa yang memperhatikan deskripsi perkembangan sejarah
(waktu). Saussure mengatakan lingustik komparatif-historis harus membandingkan
bahasa sebagi system. Oleh sebab itu, system terlebih dahulu musti dilukiskan
tersendiri menurut prinsip sinkronis. Tak ada manfaatnya mempelajari evolusi atau
perkembangan satu unsur bahasa, terlepas dari system dimana unsur itu berfungsi.

(5) Syntagmatic and associative (sintagmatik dan paradigmatik), contoh sederhana.


Jika kita mengambil sekumpulan tanda, “seekor kucing berbaring di atas karpet”. Maka
satu elemen tertentu-kata ‘kucing’, menjadi bermakna sebab ia memang bisa dibedakan
dengan ‘seekor’, ‘berbaring’ atau ‘karpet’. Kemudian jika digabungkan seluruh kata
akan menghasilkan rangkaian yang membentuk sebuah sintagma (kumpulan tanda
yang berurut secara logis). Malalui cara ini, ‘kucing’ bisa dikatakan memiliki hubungan
paradigmatik (hubungan yang saling menggantikan) dengan ‘singa’ dan ‘harimau’.

HERMENEUTIKA

Frederich Schleiermacher (1768-1834) berpendapat bahwa semua karya, baik berupa


dokumen hukum, kitab suci, atau karya sastra pada hakikatnya sama, yaitu
pemahaman merupakan masalah pokok semua bacaan. Semua teks tertulis
termanifestasikan melalui bahasa, oleh karena itu bilamana prinsip-prinsip pemahaman
melalui bahasa dapat dirumuskan, maka terwujudlah hermeneutika umum.

“Semenjak seni berbicara, dan seni memahami berhubungan satu dengan yang lain,
maka bebicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir dan hermeneutika adalah
merupakan bagian dari seni berpikir itu sehingga bersifat filosofis (Schleiermacher,
1977:77).

Hermeneutika adalah proses kejiwaan, suatu seni untuk menentukan atau


merekonstruksi suatu proses batin. Menurut Schleiermacher “bukan aku yang berpikir”,
tapi ‘objective geist’ yang berpikir dalam diriku. “Objective geist” bereksistensi dalam
komuniasi manusia, ekspresi dan pemakaian bahasa. Hubungan antarpersonal dalam
kehidupan merupakan sesuatu yang fundamental bagi keberadaan manusia. Oleh
karena itu dalam suatu analisis teks, memahami proses batin penulis teks adalah bukan
sesuatu kemustahilan.

Tugas hermeneutika menurut Dilthey adalah untuk melengkapi teori pembuktian


validitas interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan-pandangan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sebelum interpretasi yang sesungguhnya dapat dimulai, maka dituntut adanya suatu
latarbelakang pengetahuan. Pengetahuan tersebut harus bersifat gramatikal
kebahasaan serta bersifat sejarah, maksudnya agar kita mempunyai alat dalam
mempertimbangkan karya, yang ada mengenai lingkungan munculnya karya dan
bahasa yang dipakai dalam karya tersebut. Dengan pengetahuan tersebut kita
mendekati tugas interpretasi. Interpretasi nampaknya niscaya berupa suatu proses
yang melingkar, yaitu setiap bagian dan suatu karya sastra misalnya dapat ditangkap
lewat keseluruhannya. Kemudian sebaliknya keseluruhannya hanya dapat ditangkap
lewat bagian-bagiannya.

Martin Heidegger mengatakan, “Kalau dilihat dari penampakannya saja, maka


sebenarnya bahasa tidak mengatakan apa-apa. Hal ini memang tidak menampakkan
apa-apa selama yang kita dengar adalah kalimat yang diungkapkan lalu kalimat itu diuji
dengan logika. Akan tetapi bagaimana halnya bilamana yang dikatakan itu sebagai
pembimbing pemikiran kita” (Heidegger, 1962:24).

Menurut Heidegger bahasa tidaklah mungkin diformulasi dengan logika yang ketat,
karena dengan demikian, justeru tidak menunjukkan hakikat bahasa yang
sesungguhnya. Oleh karena itu hakikat bahasa ditunjukkan dengan berpikir dan berkata
atau mengungkapkan sesuatu, sebab dengan demikian bahasa akan benar-benar
berupaya untuk menampakkan ‘das sein’. Berkata atau mengungkapkan yang
sesungguhnya adalah memberitahukan, menampakkan atau menujukkan ‘das sein’,
sehingga membuatnya menjadi terbuka berpikir dan mengungkapkan suatu kata adalah
‘sein lassen’ (membicarakan peristiwa ada). Di dalam berpikir dan berkata, maka akan
terciptalah ruang yang dibutuhkan bagi penampakan atau tampilnya ‘das sein’. Bahasa
dan pikiran adalah ruang tempat terjadinya peristiwa ‘das sein’ atau ‘ada’.
(Poespoprodjo, 1987:90).

Setelah menimba gagasan dari Hegel dan Husserl, Jacques Derrida ingin menunjukkan
bahwa bahasa tidak lain adalah intensionalitas. Husserl telah menujukkan perbedaan
antara ‘noesis’ (pikiran) dengan ‘noema’ (yang dipikirkan). Seperti misalnya seseorang
melihat sebuah pohon, harus dibedakan antara siapa yang melihat dengan dari sudut
mana pohon itu dilihat. Sebab seorang tukang kayu dengan seorang pematung akan
mempunyai pandangan yang berbeda tentang pohon yang dilihatnya itu.

Derrida menyatakan bahwa sebuah teks tidak akan mrupakan teks jikalau dalam
pandangan sekilas tidak menyembunyikan hukum-hukum, komposisinya dan aturan
permainannya. Teks tersebut harus selalu kelihatan seakan-akan sulit dimengerti.
Hukum dan aturan-aturannya tidak boleh tersembunyi di balik rahasia yang sulit
dipecahkan. Hukum dan aturan-aturan itu tidak boleh keliahatan rahasia hukum dan
aturan-aturan itu terlalu cepat diketahui oleh akal, maka akan selalu timbul resiko. Lalu
bagaimana kita menghindarkan ‘ketidakkelihatannya’ hukum-hukum dan aturan-aturan
tersebut. Untuk membuka kedok penyamaran susunan tersebut, menurutnya
memerlukan waktu berabad-abad (Derrida, 1972: 70).

Derrida dengan mengutip berbagai macam pendapat para filsuf, sampailah pada
pandangannya, bahwa secara ontologis tulisan mendahului ucapan. Tulisan dapat
mejadi jejak yang bisu, namun juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan yang
belum dapat terkatakan. Yang mendahuli tulisan daripada ucapan hanyalah yang
berasal dari alam, bukan dari waktu. Menurut Derrida tulisan adalah barang ‘asing’ yang
masuk ke dalam sistem bahasa (Derrida, 1967:44). Sudah menjadi suatu keyakinan
umum bahwa penulisan abjad menghadirkan ucapan dan sesaat kemudian hilang
dibalik kata-kata yang diucapkannya (Derrida, 1972:36).

Tulisan akan menghilang ketika ucapan akan mencapai kesempurnaannya, dan akan
sepenuhnya ditampilkan dalam pemindahan sistem penulisannya dan segera hadir
pada subjek yang mengucapkannya, dan pada ucapannya itu tulisan memperoleh arti,
isi serta nilainya.

Derrida berkeyakinan bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun


tulisan sudah siap untuk dicurahkan. Tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan,
karena ucapan itu makna yang tertunda kehadirannya sudah terdapat di dalam tulisan.
Hal ini mengingatkan kita pada logos atau akal pikiran. Sebab jikalau seseorang
berpikir, ia membentuk konsep di dalam bahasa yaitu logos yang mengandaikan
makna. Konsep ini kemudian dipindahkan ke dalam ucapan atau kata yang diucapkan
yang mengikuti aturan-aturan atau kaidah-kaidah tata bahasa dalam suatu bahasa.
Bahkan di balik kata-kata yang diucapkan sudah terdapat logos yang menentukan
unsur-unsur tulisan. Logos atau kata-kata konseptual itu dihasilkan oleh bahasa,
walaupun adanya mendahului bahasa. Untuk dapat berbicara kita harus membedakan
kata-kata. Namun makna ucapan pembicara ditunda dulu sampai ucapan itu selesai.
Oleh karena itu dalam berbicara atau percakapan terdapat penantian harapan akan
makna semacam itu serta arti yang datang dan pergi, sehingga akhirnya orang
memahami pesan yang terdapat di dalam sebuah ucapan dari suatu proses komunikasi
bahasa. Derrida mengatakan bahwa gerakan makna tidak akan mungkin bila setiap
unsurnya tidak ‘hadir’ atau tampil. Adapun yang muncul sebagai yang menampakkan
diri dan berhubungan dengan hal-hal berikut ini mempertahankan tanda unsur yang
lampau dalam dirinya sendiri dan membiarkan dirinya dilipat oleh tanda pertaliannya
dengan masa yang akan datang, jejaknya ditemukan tidak hanya pada masa yang akan
datang, namun pada masa lalunya dan menentukan kehadirannya melalui pertaliannya
dengan sesuatu yang lain dan bukan dengan dirinya sendiri, bukan pula dengan masa
lalu, masa depan atau dengan masa sekarangnya yang telah tergambarkan. Sebuah
interval harus berada di antara yang ada (hadir) dan yang tidak ada (tidak hadir), agar
supaya makna tampil dalam konteks saat ini (Derrida, 1972:13).
 
*) Diresume oleh: Wiwid Kurniandi As

Anda mungkin juga menyukai