Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MATA KULIAH METODOLOGI PENCIPTAAN

Me af a da Re aV a

D e Pe ga : D . I Wa a Se e , S.S ., M.S

Oe :

VANESA MARTIDA, S.S


NIM 202121021

PROGRAM STUDI SENI PROGRAM MAGISTER


PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA
DENPASAR
2021
1

METAFORA DAN RETORIKA VISUAL

Pengertian Metafora
Apa yang disebut dengan metafora? Metafora secra leksikal berasal dari bahasa
Yunani dari kata meta dan pherein yang berarti memindahkan. Makna awalnya merujuk
pada membawa beban dari satu tempat ke tempat lain. Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008), metafora adalah pemakaian kata ataupun kelompok kata bukan dengan
arti sebenarnya melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.
Menurut pandangan Aristoteles, metafora merujuk pada sebuah kata yang
digunakan dalam arti yang berubah. Suatu bentuk ucapan di mana suatu kata (ungkapan,
pernyataan) yang menunjukkan suatu hal diterapkan pada hal lainnya untuk memberikan
suatu keserupaan antara hal-hal itu. Gorys Keraf (2007) berpendapat bahwa metafora
tergolong dalam gaya bahasa kiasan. Gaya ini dibentuk berdasarkan perbandingan atau
persamaan. Misalnya, “dia sama nakalnya dengan kakaknya” atau “giginya seperti untaian
mutiara berkilau”.
Sementara George Lakoff dan Mark Johnson (1980) berpendapat bahwa metafora
bukan sekadar ekspresi linguistik semata, melainkan penyampaian dalam sistem
konseptual. Metafora tidak hanya berkutat atau terbatas pada karya sastra atau ekspresi
puitis semata, namun lebih luas dari itu. Metafora terdapat dalam konsep keseharian,
seperti waktu, keadaan, perbuahan, sebab akibat, dan tujuan.

Jenis Metafora
Beekman dan Callow (Parera, 2004:19) berpendapat sebuah metafora terdiri atas
tiga bagian. Pertama, “topik” yaitu benda atau hal yang dibicarakan. Kedua, “citra“ yaitu
bagian metaforis dari majas tersebut yang digunakan untuk mendeskripsikan topik dalam
rangka perbandingan. Terakhir, titik kemiripan, yaitu bagian yang memperlihatkan
persamaan antara topik dan citra. Ketiga bagian yang menyusun metafora tersebut tidak
selalu disebutkan secara eksplisit. Ada kalanya, salah satu dari ketiga bagian itu, yaitu
topik, sebagian dari citra, atau titik kemiripannya implisit. Berdasarkan pilihan citranya
sendiri, menurut Parera (2004:119), metafora dibedakan atas 4 kelompok, yaitu: metafora
bercitra antropomorfik, metafora bercitra hewan, metafora bercitra abstrak ke konkret, dan
metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indera.
2

Metafora yang tergolong bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta.


Para pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan yang terdapat
pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam banyak bahasa
dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota, bahu jalan, dan lain-lain.
Sementara itu, metafora bercitra hewan sendiri lazim digunakan oleh pemakai
bahasa untuk menggambarkan satu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman
pemakai bahasa. Metafora bercitra hewan cenderung dikenakan pada tanaman, misalnya
kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah. Metafora jenis ini juga kadang dilekatkan pada
manusia dengan citra humor, ironi, peyoratif ataupun citra konotasi.
Ketiga, metafora bercitra abstrak ke konkret. Metafora jenis ini mengalihkan
ungkapan-ungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan
ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi
perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Contohnya ‘secepat kilat‘
berarti merujuk pada satu kecepatan yang luar biasa.
Keempat, metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora
berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain. Dalam
ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan ―enak didengar untuk musik
walaupun makna enak selalu dikaitkan dengan indra rasa ― sedap dipandang mata
merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra lihat.
Menurut pendapat Gerald Zaltman dan Lindsay Zaltman (2008), orang biasanya
kerap mendefinisikan metafora sebagai representasi sesuatu atas sesuatu yang lain.
Metafora kemudian menjadi semacam ―jalan pintas bagi beragam bentuk idiomatis,
ekspresi non-literal ataupun representasi. Menurut pandangan mereka, ada tiga level
metafora. Pertama, surface metaphors atau struktur lahir metafora. Bentuk ini biasanya
digunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari, seperti ― masalah ini hanya puncak
dari gunung es. Metafora jenis ini selain bermakna dengan sendirinya, tapi juga memuat
poin-poin loncatan untuk kemungkinan pemikiran ataupun eksplorasi perasaan yang lebih
dalam.
Kedua, metaphor themes yang terletak ―di bawah surface metaphors, namun
tidak benar-benar terkubur dalam alam pikiran kita. Sebagaimana dimensi- dimensi umum
yang serupa dengan surface metaphors, tema-tema ini penting bagi para pemasar. Ketiga,
metaphor themes merefleksikan suatu cerminan cara pandang dasar level ketiga yang
disebut deep metaphors.
3

Implementasi Metafora
Keberadaan bahasa dalam kehidupan kemanusiaan tidak dapat dilepaskan dari
hubungan antara bahasa sebagai sign (lambang) dengan sesuatu yang dilambangkan
olehnya. Sebab itulah gambaran realitas yang direpresentasikan oleh lambang kebahasaan
bukan merupakan gambaran objektif konkret realitas tersebut secara an sich, melainkan
merupakan concretum suatu bahasa. Biasanya para filsuf membedakan manusia dari dari
binatang karena manusia memiliki logika. Namun ada unsur pembeda lain, yaitu
kemampuan manusia berkomunikasi dengan simbol-simbol. Manusia adalah makhluk
yang tahu bagaimana harus bereaksi tidak hanya terhadap lingkungan fisiknya, namun juga
kepada simbol-simbol yang dibuatnya sendiri.
Misalnya anjing yang lapar hanya akan bereaksi terhadap makanan yang
disodorkan dengan memakannya, sedangkan manusia akan menanggapinya dengan
berbagai cara bergantung pada penafsirannya atas simbol-simbol yang ada. Bisa jadi
ia akan membuang makanan itu, meskipun ia lapar, kalau cara atau orang yang
menyodorkannya tidak disukainya; bisa pula ia menolak karena kebetulan makanan itu
tidak sesuai dengan selera atau dietnya. Itu berarti manusia memiliki lingkungan yang tidak
dikenal oleh hewan. Hewan hanya kenal lingkungan fisik, dan reaksi terhadap segala
sesuatu sangat sederhana. Kenneth Boulding (dalam Rivers, dkk., 2003) mengingatkan
hewan tidak punya gagasan kesadaran dan lingkungan simbolik (bahasa, seni dan mitos)
seperti manusia.

Metafora dan Komunikasi


Kehidupan keseharian kita dihadapkan dengan problematika komunikasi untuk
menjalin hubungan dengan seseorang atau masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa
komunikasi yang efektif dibutuhkan untuk saling memahami. Pemahaman komunikasi
inilah barangkali memerlukan bahasa yang efektif. Bahasa metaforis memiliki daya retoris
baik verbal ataupun visual.
Bahasa merupakan seperangkat ungkapan verbal dalam aspek linguistik berperan
penting untuk melakukan pemahaman proses komunikasi. Berbicara tentang wacana maka
hal itu berkaitan dengan sebuah tindakan dan tidak sekedar problematika untuk
didiskusikan, tetapi lebih dari itu. Akan tetapi menurut Foucoltd, untuk memahami wacana
maka melampaui sebuah kompleksitas sosial dan praktiknya tidak sekedar tuturan semata.
Maka sebuah tindakan itu harus bisa dipertanggugjawabkan. Maka sebuah karya seni
4

memiliki wacana untuk didiskusikan dan praktiknya dieksekusi untuk bisa


dipertangungjawabkan sebagai nilai karya seni ataupun desain. Karena sebuah karya seni
melalui proses perenungan untuk mencari ide atau gagasan yang diwacanakan dalam
pikiran agar bisa dipersepsi maksud dan tujuannya. Apalagi seringkali meminjam kode dan
ikon budaya dalam melakukan eksekusi wacana dalam seni, sehingga metaforanya
terbangun dalam nilai karya seni itu.
Di era modern saat ini media komunikasi yang bersifat nilai bujuk rayu sebagai
modal persuasi barang konsumsi, adalah sihir bagi mereka yang terkena bujuk rayu dalam
iklan. Sehingga tidak bisa menghindari apa yang dinamakan iklan dalam setiap kedip mata
tertuju pada karya visual berwujud poster, iklan cetak, billboard, baliho, bahkan dalam
wujud media dan audio-visual media sosial seperti youtube, instagram, dan lain-lain. Nilai
bujuk rayu yang metaforis retoris inilah pesan kaum kapitalisme disampaikan melalui
iklan. Manusia sebagai 2 target sasaran iklan adalah domain yang diperebutkan.

Retorika Visual
Apakah retorika itu dan bagaimana definisinya? Hendrikus (1990: 14) menjelaskan
bahwa titik tolak retorika adalah seni berbicara. Seni berbicara berarti bagaimana
melakukan atau mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau kelompok orang,
untuk mencapai tujuan tertentu (misalkan untuk memberikan informasi). Dengan demikian
retorika itu dapat diartikan sebagai seni untuk berbicara yang baik baik, yang dapat dicapai
atas dasar bakat alam (talenta) atau dalam diri lahir manusia dan ketrampilan teknis
berbicara secara verbal. Maka ketrampilan teknis verbal itu dalam dunia periklanan dapat
dilihat pada aspek pesan komunikasi persuasifnya pada unsur headline dan subheadline.
Namun bagaimana unsur retorisnya secara visual? Seharusnya berkorelasi atau terjadi
analogi antar elemen baik retorika verbal dan retorika visualnya yang bersifat membujuk
kepada audiens atau sasaran iklan.
Menurut KBBI, retorika berasal dari kata /re·to·ri·ka / /rétorika / n 1 keterampilan
berbahasa secara efektif; 2 studi tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang-
mengarang; 3 seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis. Kemudian tentang visual
maka visual/vi·su·al/ a dapat dilihat dengan indra penglihat (mata); berdasarkan
penglihatan: bentuk -- sebuah metode pengajaran bahasa; memvisualkan/mem·vi·su·al·kan/
v menjadikan suatu konsep dapat dilihat dengan indra penglihatan. Menurut Danesi
Retorika Visual adalah bentuk retorika dan komunikasi melalui penggunaan gambar visual,
5

tipografi dan teks. Retorika visual mencakup keterampilan literasi visual dan kemampuan
untuk menganalisis gambar untuk bentuk dan artinya. Menggambar pada teknik dari
semiotika dan analisis retoris, retorika visual meneliti struktur gambar, dan efek persuasif
konsekuen pada audiens (Danesi, 2011). Sehingga Retorika Visual adalah analisis kritis
teks visual (lukisan, film, iklan, poster, dan sebagainya) dengan teknik semiotik dan
analisis retoris.
Metafora retorika visual merupakan wujud dari hubungan antara pesan verbal
disampaikan secara visual, ataupun audiovisual. Pananda pada visual retoris pada metafora
iklan komersial mulai marak ketika iklan memiliki nilai ekonomi. Pemahaman makna
metafora retorika iklan dapat dipahami dengan proses pemaknaan dengan teori semiotika
terutama pada semiotika poststrukturalis dari konsep idiologi Roland Barthes dan CS.
Peirce.
Sebelum proses pembacaan makna pada metafora pesan, maka sebuah nilai retorika
pesan metafor memiliki sumber dan target sasaran, karena menghubungkan antara domain
yang berbeda jenis tetapi bisa jadi oposisi yang sama maknanya. Jika dihadapkan pada
masalah metafora visual maka metafora visual adalah representasi seseorang, tempat,
benda, atau ide melalui gambar visual yang menunjukkan asosiasi atau titik kesamaan
tertentu. Ini juga dikenal sebagai metafora bergambar dan penjajaran analogis.

Metafora dan Seni

Menurut Miekke Susanto dalam Diksi Rupa (2002: 73) mengatakan:


metafora biasanya dipakai untuk mengacu pada pergantian sebuah kata
yang harfiah dengan sebuah kata lain yang figuratif. Mereka memiliki kemiripan
atau analogi di antara kata yang harfiah. Bagi Recour metafora adalah sebuah
bentuk wacana atau pun proses yang bersifat retorik yang memungkinkan kita
mendapatkan kemampuan untuk mendeskripsikan kenyataan sebuah kemampuan
yang biasanya dimiliki sebuah karya-karya fiksi. Metafora dapat berupa
perlambangan dan bahasa tanda yang dapat mewakili pikiran pemakaiannya dalam
menumpahkan gagasan- gagasannya.

Sementara menurut Aristoteles dalam Post Modernisme Bambang Sugiharto (1996:


102-103):
metafora secara tradisional ditandai dengan tiga pilar yaitu: Pertama,
metafora merupakan sesuatu yang dikenakan pada benda maka untuk berabad-abad
lamanya, metafora hanya diberikan dengan benda saja. Kedua, metafora
didefinisikan dalam konteks gerakan. Metafora dalam konteks ini dikenal dengan
6

istilah Ephipora, adalah semacam perpindahan atau gerakan “dari…ke…” dalam


konteks ini metafora berlaku untuk segala bentuk transposisi. Ketiga, Metafora
merupakan transposisi sebuah nama yang asing, yakni nama yang sebetulnya milik
sesuatu yang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas metafora meliputi bentuk (visual, gerak atau kinetik)
dan ucapan (verbal), sehingga metafora memakai media-media tersebut untuk
menghasilkan makna baru dari suatu bentuk atau komposisi. Dalam konteks seni rupa,
metafora merupakan bagian yang cukup penting dalam melukiskan, atau membuat makna
baru dalam sebuah karya seni. Sebenarnya dalam konteks seni rupa intinya sama dengan
konteks linnguistik (verbal), hanya medianya yang berbeda yaitu dengan bentuk visual atau
gambar. Dalam seni rupa metafora bekerja melalui peminjaman bentuk atau objek untuk
menghasilkan sebuah makna. Fungsi metafora dalam seni rupa, mungkin bekerja pada
pengaburan makna yang ekstrim, negatif atau sebagainya.
Sebagai contoh pada sebuah karya lukisan Djoko Pekik berjudul “Raja Celeng”
1998. Dalam lukisan tersebut dilukiskan penangkapan raja celeng yang gemuk ditengah
kerumunan manusia. Dalam hal ini Djoko Pekik memakai metafora binatang sebagai
bahasa ungkapan dalam karya seninya. Pada periode tersebut keadaan bangsa Indonesia
sedang dalam situasi yang carut-marut, penggulingan Rezim sehingga dalam lukisan
tersebut memunculkan interpretasi yang beragam seperti sakit hati, balas dendam,
kelaparan, atau bahkan kematian yang tragis.

Gambar 1. Karya Djoko Pekik berjudul: Raja Celeng Cat minyak di atas kanvas, tahun 1998.
(Sumber : (http://www. alixbumiartyou.blogspot)
7

Berbagai pemikiran tentang bahasa metaforis dalam perkembangan filsafat melihat


bahasa ini lahir dari imajinasi kreatif, pengalaman estetik, rasa sublim, sikap kritis,
kepekaan bahkan pengalaman mistik. Bahasa ini memunculkan metafor yang tidak tampil
sebagai proposisi yang memburu kebenaran.
Menurut pengamatan Bambang Sugiharto metafor mencari “kebenaran ideal” yang
muncul karena melihat berbagai kondisi “tidak ideal” pada realitas. Sepuluh kebenaran
ideal ini tidak punya pretensi menemukan kebenaran absolut karena itu hadir dalam
tegangan dengan berbagai kebenaran ideal lain. Selain pada pemikiran termasuk filsafat
metafor banyak ditemukan pada karya seni. Di dalam karya seni, metafora seringkali tampil
sebagai keanehan yang memancing pertanyaan-pertanyaan karena metafor cenderung
menabrak kategori-kategori pemahaman. Namun justru keanehan ini yang membuat
metafor bisa dilihat membawa gejala realitas yang belum dikenali atau belum disadari.
Karena itu keanehan ini membangkitkan rasa ingin tahu yang merangsang pemikiran
apresiatornya.

DAFTAR PUSTAKA

Danesi, Marcel. 2011. Pesan, Tanda, dan Makna Teori Teks Dasar Mengenai Semiotika
dan Teori Komunikasi. Jakarta: Jalasutra.
Fales, Iwan. 2012. Kehidupan dalam Lukisan Metafora. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta, TA Karya Seni S1.
KBBI. 2008. Kamus Besar Bahasa Indoesia. Jakarta: Pustaka Phoenix.
Handriyotopo. 2019. Metafora dan Jejak Retorika Visual Karya Seni. Surabaya: Penerbit
ISI Press.
Hendrikus, Dori Wuwur. 1991. Retorika: Terampil berpidato, berdiskusi, berargumentasi,
bernegosiasi. Yogyakarta:Penerbit Kanisius
Keraf, Gorys. 2007. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Lakoff, George & Mark Johnson. 1980. Metaphor We Live By. Chicago : University of
Chicago Press
Parera, J. D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme : Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta: Kanisius.
William R. Rivers et.al. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern: Edisi Kedua.
Jakarta: Prenada Media.
Zaltman, Gerald dan Lindsay Zaltman. 2008. Marketing Metaphoria. HBS Press.

Anda mungkin juga menyukai