Ilmu ini
menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta dasardasar konseptual dan teoretis linguistik. Filsafat bahasa dibagi menjadi filsafat
bahasa ideal dan filsafat bahasa sehari-hari.
Filsafat bahasa ialah teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para
filsuf, sementara mereka itu dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual.
Filsafat bahasa ialah usaha para filsuf memahami conceptual knowledge melalui
pemahaman terhadap bahasa.
Dalam rangka mencari pemahaman ini, para filsuf telah juga mencoba mendalami
hal-hal lain, misalnya fisika, matematika, seni, sejarah, dan lain-lain. Cara
bagaimana pengetahuan itu diekspresikan dan dikomunikasikan di dalam bahasa, di
dalam fisika, matematika dan lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat
dengan hakikat pengetahuan atau dengan pengetahuan konseptual itu sendiri. Jadi,
dengan meneliti berbagai cabang ilmu itu, termasuk bahasa, para filsuf berharap
dapat membuat filsafat tentang pengetahuan manusia pada umumnya.
Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah linguistik bertujuan
mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi,
para sarjana bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah
tujuan akhir kegiatannya, sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu
pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari
hakikat pengetahuan konseptual itu, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai
tujuan akhir, melainkan sebagai objek sementara agar pada akhirnya dapat
diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.
Daftar isi
1 Perhatian Para Filosof terhadap bahasa
1.1 Metafisika
1.2 Logika
1.3 Epistemologi
1.4 Reformasi Bahasa
2 Aturan-aturan terpokok suatu bahasa
3 Standarisasi (Pembakuaan)
4 Fungsi Bahasa
5 Referensi
Perhatian Para Filosof terhadap bahasa[sunting | sunting sumber]
Masalah kebahasaan yang sering dibahas oleh para filsuf biasanya berkisar pada
hubungan antara simbol dan arti. Pembahasan mereka agak sukar untuk
disistematikakan. Secara garis besar, pemikiran itu dapat digambarkan sebagai
berikut :
Di dalam buku Metaphysics, Aristoteles menulis ... Kita boleh bertanya apakah
kata-kata seperti berjalan, duduk, sehat itu ada. Bukankah yang ada itu ialah
pekerjaan berjalan, duduk, atau sakit. Kegiatan itu dianggap lebih nyata karena
ada sesuatu yang pasti yang mendasarinya, yaitu benda atau orang.... Dalam hal
ini, Aristoteles mulai dengan kenyataan bahwa orang tidak menggunakan kata kerja
kecuali berhubungan dengan subjek yang dalam hidupnya memang menjalankan
pekerjaan-pekerjaan seperti berjalan, duduk, dan sakit. Dari kenyataan ini,
Aristoteles berkesimpulan bahwa benda itu mempunyai keberadaan yang lebih
bebas dari kata kerja, benda itu lebih pokok daripada kegiatan.
Pada akhir abad 19, seorang Filsuf Jerman, Meinong, berkata bahwa setiap tutur
yang bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai referent (acuan). Kalau tidak,
maka tutur itu tidak akan bermakna, sehingga tentulah istilah itu ada benda
acuannya. Kalau benda acuan itu tidak dapat dilihat di sekitar kita, maka tentulah
benda itu ada dengan cara keberadaan yang lain.
Pada abad dua puluh ini, ada aliran filsafat yang disebut logica atomism. Tokohtokohnya yang terkenal antara lain ialah Bertrand Russel dan Ludwig Wittgenstein.
Berkenaan dengan hal ini, Russel berkata antara lain : ...di dalam simbolisme yang
benar dan logis, antara fakta dan simbol yang melambangi fakta itu tentulah
terdapat struktur yang beridentitas jelas. Kekompleksitasan simbol tentu
menyerupai kekompleksitasan fakta yang dilambanginya.
Dalam hal ini, Russel mengisyaratkan bagaimana sebaiknya bahasa itu. Bahasa
yang benar dan logis seharusnya dapat melambangi secara jelas apa saja yang ada
di dalam alam sekitar kita.
mempunyai makna dan bagaimana statement itu juga dapat mempunyai makna
dengan hanya mendasarkan bahwa istilah yang terpakai itu punya makna.
Keluhan para filsuf terhadap kelemahan bahasa terwujud dalam beberapa bentuk.
Sebagai misal, Plotinus dan Bergson menganggap bahwa bahasa itu tidak cocok
untuk dipakai sebagai dasar formulasi kebenaran yang fundamental. Menurut
pendapat mereka, orang akan dapat memahami kebenaran hanya kalau mereka itu
menyatu dengan kenyataan dan tanpa bahasa. Paling-paling bahasa hanya mampu
menggambarkan kebenaran itu dengan gambaran yang bengkok.
Jadi, dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda terhadap bahasa ini. Pertama,
pandangan yang mengatakan bahwa bahasa itu masih dapat berfungsi untuk
menjadi sarana pengantar filsafat. Akan tetapi, dalam pengalaman pemakaian ini
tidak baik, karena si pemakai sendirilah yang salah. Si pemakai menyimpang dari
cara pemakaian bahasa yang baik dan yang benar, tanpa memberikan makna apaapa terhadap penyimpangan yang mereka lakukan. Dalam kelompok ini terdapatlah
misalnya orang-orang seperti Locke dan Ludwig Wittgenstein. Locke tidak menyukai
jargon scholastik. Wittgenstein berkata bahwa kebanyakan masalah yang timbul
dalam pembicaraan filsafat berasal dari kenyataan bahwa para filsuf menggunakan
terminologi (istilah) secara menyimpang, berlainan dengan makna yang
sebenarnya.
Orang-orang dari kelompok kedua berpendapat bahwa bahasa yang kita pakai
sehari-hari ini memang kurang kuat, kurang cermat, kurang memenuhi syarat,
kurang sesuai untuk dipakai sebagai sarana pengantar filsafat. Bahasa kita itu
samar, tidak eksplisit (tidak lugas), mengandung keraguan (ambigu), kurang
mandiri atau suka tergantung pada konteks (context dependent) dan sering
menimbulkan salah paham. Di dalam kelompok ini terdapatlah orang-orang seperti
Leibniz, Russel, dan Carnap yang menginginkan timbulnya suatu bahasa buatan
manusia yang lebih sesuai untuk filsafat. Bahasa buatan manusia itu perlu
diusahakan agar kelemahan-kelemahan yang ada di dalam bahasa alamiah dapat
dikoreksi.
Bahasa standar (baku) timbul ketika beberapa masyarakat yang terpisah merasa
ada keperluan untuk saling berhubungan. Bahasa baku atau dialek baku ialah
bahasa atau dialek yang dipilih oleh anggota berbagai masyarakat untuk saling
berkomunikasi. Bahasa standar ialah bahasa yang dianggap betul oleh masyarakat
pemakainya. Bentuk dan pemakaian bahasa baku ini menjadi model percontohan
bagi seluruh rakyat.
2. Fungsi standardisasi
Karena orang dari masyarakat lain itu biasanya belum dikenal secara akrab, maka
sebaiknyalah bahasa yang dipakai itu bersifat sopan. Jadi, kalau dialek
memancarkan nuansa arti akrab, maka bahasa baku memancarkan nuansa arti
sopan santun. Jadi, di samping berfungsi sebagai lingua franca di dalam masyarakat
dari berbagai macam dialek, bahasa baku juga berfungsi sebagai pengantar
kesopan-santunan. Bahasa baku harus dapat dipakai untuk menyampaikan hal-hal
dalam suasana yang santun.
3. Bentuk standardisasi
Ragam bahasa yang santun biasanya jelas dan lengkap. Ucapannya harus jelas.
Komponen wacananya lengkap dan logis, dan tidak berputar-putar. Karena tuntutan
kejelasan inilah, maka biasanya bahasa baku itu bersifat kaya (elaborated) dan
mempunyai aturan tata bahasa yang ketat. Aturan sintaksis, aturan morfologi,
aturan fonologi, dan aturan semantiknya stabil dan ketat. Bentuk dan aturan yang
ada tidak boleh digunakan semau-maunya dan tidak boleh mudah berubah. Di
samping itu, pola kalimatnya, pola morfo-sintatiknya, pola fonologinya, dan juga
perbendaharaan katanya kaya. Dalam hal ini, bahasa baku berbeda dengan dialekdialek yang tidak standar, karena dialek yang tidak standar itu relatif miskin
(restriced) dan kondisifikasinya longgar. Apapun boleh dikatakan, asal si lawan
bicara tahu maksud kita.
4. Tempat standardisasi
Itulah sebabnya, maka sekarang ini ragam bahasa yang dipakai di pusat negeri
biasanya terpakai sebagai ragam bahasa baku. Ibukota negara seperti Jakarta,
London, Bangkok, Bandar Seri Begawan, dan lain-lain menjadi tempat di mana
bahasa baku berkembang. Di Jawa, untuk bahasa Jawa, bahasa yang dipakai di
pusat kesultanan di Yogyakarta dan Surakarta pun menjadi bahasa standar.
Masyarakat yang hanya mempunyai satu bahasa menggunakan ragam tutur untuk
membedakan situasi yang resmi, tak resmi, indah, dan sakral. Dalam keadaan
santai, ragam informal dipakai. Dalam suasana resmi, ragam formal dipakai. Dalam
situasi yang indah romantis, ragam susastra digunakan. Dalam situasi sakral, ragam
sakral dipakai.
Ragam formal sering berbentuk sama dengan apa yang dinamakan bahasa baku
atau ragam bahasa standar. Ragam informal kadang-kadang terdiri dari dialek
bahasa yang sama, tetapi yang bukan baku. Kadang-kadang juga, ragam informal
itu terdiri dari penyantaian bahasa standar itu. Kata-katanya sering tidak
diucapkan secara penuh, aturan tata kalimatnya sering tidak ketat, kata-kata yang
teknis sering diganti dengan kata-kata yang umum saja. (Poedjosoedarmo, 1978).
Di dalam masyarakat, orang yang satu harus berhubungan dengan orang yang lain.
Orang lain ini barangkali ayahnya sendiri, adiknya, tetangganya, teman sekelasnya,
kenalan baru, atau orang lain yang kebetulan berpapasan di jalan. Di dalam relasi
ini, orang dituntut menentukan sikapnya, yaitu akan menganggap lawan tutur
sebagai orang yang perlu dihormati atau tidak. Orang lain itu perlu dipastikan
dalam jaringan hubungannya dengan si penutur. Kalau dia adalah orang yang
seharusnya kita hormati, maka harus kita hormatilah dia. Kalau orang itu tidak kita
hormati, maka akan marahlah dia, atau akan marahlah orang lain kepada kita.
Bahasa biasanya mempunyai cara-cara untuk menyatakan rasa hormat atau tidak
hormat kepada orang lain. Ada masyarakat yang menganggap sudah cukup untuk
menyampaikan rasa hormat itu dengan cara berelasi yang berjarak, tetapi ada
masyarakat lain yang menyatakan relasi hormat itu dengan kode bahasa yang
khusus. Yang pertama bertutur bahasa secara biasa, sedangkan yang kedua
memerlukan istilah honorific (hormat) untuk menyampaikan perasaan hormat itu.
Setiap pribadi, karena keadaan fisik dan kejiwaan bahasa yang unik, bahasa
mempunyai idioleknya sendiri-sendiri. Walaupun aturan sintaksis, morfologi, dan
fonologi itu seragam, tetapi setiap orang mempunyai gaya bicaranya masingmasing. Setiap orang mempunyai kecenderungannya sendiri-sendiri di dalam
memilih dan menggunakan berbagai cara mengucapkan bunyi. Setiap orang
mempunyai keanehan-keanehannya sendiri di dalam cara membentuk kata dan
kalimat, cara menaati sopan santun bahasa dan memilih ragam dan tingkat tutur,
cara mengacu kepada orang yang dipercakapkannya, cara mengorganisasi
wacananya, cara menyalurkan isi kejiwaannya. Tentu saja setiap pribadi itu sangat
dipengaruhi oleh idiolek-idiolek lain yang menjadi idolanya. Idiolek itu mencoba
meniru idiolek-idiolek yang lain. Akan tetapi, bagaimana pun dia itu ialah pribadi
yang unik sehingga pada akhirnya idiolek itu pun berwujud lain dari yang lainnya.
Mungkin kelainan itu terletak misalnya hanya pada warna suara dan salah satu
kebiasaan ucapan bunyi /r/ nya, atau cara menghubungkan kalimat pengandaian,
atau di dalam mengatur cara menyampaikan permintaan. Atau, perbedaan antara
individu itu mungkin menyangkut perbedaan dalam kebiasaan memakai beberapa
segi kebahasaan sekaligus. Bagaimanapun, di dalam kenyataannya, setiap pribadi
di muka bumi ini biasanya mempunyai cara bertutur yang sedikit berlain-lainan
antara yang satu dengan yang lainnya.
Kalau hal ini dibalik, dapatlah dikatakan bahwa idiolek yang berlain-lainan itu
sebetulnya dimiliki oleh pribadi yang berlain-lainan pula. Dengan kata lain, idiolek
yang berlain-lainan itu dapatlah dipakai untuk mengidentifikasi pribadi orang yang
berlain-lainan pula. Dengan kata lain, sesuatu variasi bahasa itu dapat dipakai
untuk menjadi tandanya seseorang individu. Kalau individu itu sabar, maka akan
tercerminlah kesabaran itu di dalam idioleknya. Kalau individu itu peramah, maka
akan tercerminlah keramahan itu di dalam idioleknya. Kalau individu seorang yang
pemberani, maka akan tercermin di dalam cara bicaranyalah sifat keberanian itu,
dst.
Kalau identitas seseorang individu ditandai oleh idiolek, maka identitas kelompok
anggota masyarakat tertentu ditandai oleh dialek. Dalam masyarakat bilingual atau
multilingual, kelompok itu bahkan ditandai oleh bahasa.
Bahasa atau dialek memang dapat dipakai untuk menandakan dari mana seseorang
berasal. Segi apanyakah yang dapat dipakai sebagai tanda itu? Segi cara
mengucapkan bunyi-bunyi konsonan atau vokal atau intonasi kalimatnya. Mungkin
juga perbedaan dalam bentuk kata serta istilah yang terpakai. Ada juga perbedaan
dalam idiom atau ungkapan-ungkapan tertentu. Atau perbedaan dalam strategi
bercakap secara keseluruhannya. Kecuali sebagai penanda asal usul seseorang,
dialek atau bahasa juga dapat dipakai untuk mendapatkan rasa solidaritas, rasa
senasib dan sepenanggungan oleh para penggunanya di hadapan orang dari
kelompok masyarakat lain. Sebagai contoh, kalau sewaktu di negeri lain kita
berjumpa orang dari daerah kita, rasanya seperti berjumpa dengan saudara sendiri,
walaupun sebetulnya orang lain itu belum pernah kita lihat sebelumnya. Di Jakarta,
pegawai-pegawai di pusat pemerintahan biasanya merasa senang melayani orang
yang datang dari daerah seasal. Mereka senang melayani orang yang bercakap
dengan dialek atau bahasa yang sama dengannya. Mengapa begitu? Karena
dirasanya orang-orang itu seperti keluarganya sendiri.
Mengapa dialek atau bahasa yang sama dapat menimbulkan rasa solidaritas?
Sebabnya ialah karena dialek atau bahasa yang sama itu adalah milik penutur
bersama. Bukan saja milik mereka bersama, tetapi hasil kreasi mereka bersama.
Anggota masyarakat bukan saja secara bersama menggunakan dialek atau bahasa
itu, melainkan juga menghasilkan inovasi-inovasi secara bersama dan melupakan
hal yang tak perlu secara bersama. Siapakah yang menjadikan dialek itu berbeda
dengan dialek yang lain kalau bukan seluruh anggota masyarakat dalam kawasan
dialek atau bahasa itu. Dialek itu timbul dan tenggelam karena ulah bersama
seluruh anggota kelompok masyarakat, dan gunanya memang hanya dinikmati oleh
seluruh anggota kelompok masyarakat itu. Dari satu segi, dialek atau bahasa dapat
dipersamakan dengan anak kandung, dan anggota masyarakat sebagai suami-isteri.
Dialek atau bahasa itu ialah hasil karya orang-orang yang menjadi anggota
kelompok masyarakat. Maka dari itu, dialek atau bahasa itu dapat menjadi pengikat
rasa solidaritas orang-orang dalam kelompok itu. Rasa solidaritas ini tampak kuat
pada waktu kelompok itu menghadapi orang luar.
Berhubungan erat dengan fungsinya sebagai pemupuk rasa solidaritas, bahasa juga
dapat dipakai sebagai alat penunjang rasa kemandirian bangsa. Suatu bangsa
biasanya mempunyai bahasa sendiri untuk mengekspresikan dirinya tanpa didikte
oleh bangsa lain. Bahasa yang tersendiri ini diperlakukan, karena bangsa itu
biasanya memiliki segi-segi kehidupan yang khusus, yang tak dimiliki oleh bangsa
lain. Bangsa itu mungkin mempunyai sistem pemerintahannya sendiri; mungkin
mempunyai adat-istiadat yang berbeda dengan bangsa lain yang mana pun;
mungkin mempunyai agama dan kehidupan kesenian yang khas; mungkin
mempunyai cara-cara menyelesaikan perkara secara lain, dst. Kesemuanya itu ada
lambang-lambangnya sendiri. Karena inilah, maka biasanya bahasa yang dimilikinya
lain dari bahasa yang lainnya.
Rasa kemandirian ini biasanya ditentukan oleh pemilikan bahasa yang mempunyai
standarnya sendiri. Kalau si bangsa itu mempunyai bahasa yang bermartabat tinggi
di negerinya sendiri, maka bangsa itu biasanya juga merasa menjadi tuan di
negerinya sendiri. Tetapi, kalau bahasa yang dipakainya itu hanyalah dialek dari
bahasa lain, maka bangsa itu sering merasa tergantung pada bangsa yang memiliki
bahasa yang ada standarnya itu. Bangsa itu kurang berdikari dalam berbagai segi
kehidupannya. Bangsa itu kurang dapat membanggakan pencapaiannya sendiri.
Sebetulnya, yang terpenting di dalam rasa kemandirian ini ialah adanya kebebasan
bangsa itu di dalam menentukan standar bahasa itu, sistem tulisnya, tata
kalimatnya, idiom-idiomnya, nilai-nilai kesopanan serta keindahan di dalam bahasa
itu, dan selanjutnya dapat memakai bahasa itu secara natural untuk
mengekspresikan diri dan menciptakan apa saja yang ingin mereka ciptakan tanpa
berkiblat pada bangsa yang mana pun.
Jadi, bahasa itu mungkin seasal dengan bahasa yang dimiliki oleh bangsa lain. Akan
tetapi, asal saja bangsa itu bebas di dalam menentukan segala-galanya, maka
bahasa yang dimilikinya itu pun sudah mencukupi sebagai alat untuk menopang
rasa kebebasannya. Akan tetapi, sebaliknya, kalau aturan gramatika dari bahasa itu
ditentukan oleh bangsa lain, karena bahasa itu memang asalnya ialah milik bangsa
lain itu, maka rasa kebebasan itu pun tidak ada. Kalau aturan dan nilai-nilai
ditentukan oleh bangsa lain, maka rasa mandiri dengan sendirinya tidak ada.
Melalui variasi bentuknya yang sesuai dengan warna perasaan yang ada pada
seseorang individu, bahasa juga dapat dipakai sebagai penyalur tekanan jiwa.
Dalam hidupnya, seseorang individu sering dirundung perasaan yang berat, pikiran
yang mendalam, serta keinginan mengerjakan sesuatu yang keras. Kalau saja halhal yang merundung itu dapat diekspresikan, kadang-kadang orang lalu merasa
lega. Tekanan perasaan dan yang lainnya pun menjadi berkurang. Tetapi sebaliknya,
kalau hal itu tidak dikatakan kepada orang lain, kalau hanya ditahan saja di dalam
diri sendiri, letupan emosi yang keras pun dapat timbul.
Segi apakah yang menjadi penyalur tekanan pikiran dan perasaan itu? Segi
ekspresinya. Manakala bahasa itu dapat dituturkan sesuai dengan pikiran atau
perasaannya, maka tuturan itu pun telah melaksanakan fungsinya sebagai penyalur
perasaan dan pikiran itu.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal dari bahasa itu yang
dapat dipakai untuk menandai maju dan mundurnya kebudayaan suatu bangsa.
Perbendaharaan unsur fonologi dan morfosintaksis kiranya tak dapat dipakai
sebagai cermin kemajuan kebudayaan itu. Tetapi perbendaharaan kata dan idiom
jelas mencerminkan ide dan pengalaman-pengalaman yang pernah dan sedang
dihayati oleh suatu bangsa. Di samping perbendaharaan kata, berbagai variasi tutur
seperti ragam, dialek, tingkat tutur, register khusus, genre dan tata format yang
ada di dalam bahasa itu pun dengan baik mencerminkan apa yang dialami oleh
bangsa di dalam berbagai segi kehidupannya.
Ragam tutur mencerminkan adat sopan santun bangsa sehubungan dengan sikapsikapnya terhadap berbagai peristiwa dan situasi bicara. Dialek mencerminkan
kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk bangsa itu. Tingkat tutur
mencerminkan adat sopan santun sehubungan dengan berbagai status sosial yang
dimiliki oleh anggota masyarakatnya. Register khusus mencerminkan materi yang
biasanya dipercakapkan oleh bangsa itu dan juga maksud dan kehendak yang
biasanya dikomunikasikan dan dihayati oleh bangsa. Format cara bertutur
mencerminkan berbagai sarana tutur yang dimiliki oleh bangsa. Selanjutnya, genre
mencerminkan berbagai emosi yang biasanya terpancar dari diri para penuturnya.
Fungsi bahasa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Ada usul agar artikel atau bagian ini digabungkan dengan Bahasa. (Diskusikan)
Bahasa merupakan alat komunikasi sosial yang berupa sistem simbol bunyiyang
dihasilkan dari ucapan manusia. [1] Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan
sarana untuk berinteraksi dengan manusia lainnya di masyarakat. [2] Untuk
kepentingan interaksi sosial itu, maka dibutuhkan suatu wahana komunikasi yang
disebut bahasa. Setiap masyrakat tentunya memiliki bahasa. [3]
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Hal
ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilainilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang di dalamnya
selalu ada nilai-nilai dan status bahasa tidak dapat ditinggalkan.
Bahasa mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan
seseorang, karena dengan menggunakan bahasa seseorang juga dapat
mengekspresikan dirinya, fungsi bahasa sangat beragam. Bahasa digunakan
sebagai alat untuk berkomunikasi, selain itu bahasa juga digunakan sebagai alat
untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi
tertentu dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang sangat penting
digunakan. Karena bahasa merupakan simbol yang di hasilkan menjadi alat ucap
yang biasa digunakan oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari
B. Masalah
1.
Masalah umum
a.
Bagaimana fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa
nasional?
b.
Sejauh mana fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa
nasional?
.
2.
A.
B.
C.
1)
Masalah khusus
Apa sebenarnya fungsi bahasa indonesia dalam kehidupan kita.
Seberapa jauh pemahaman kita terhadap bahasa Indonesia
Tujuan
Tujuan umum
a.
Mengetahui fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa
nasional.
b.
Memahami fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa
nasional.
c.
d.
2)
Tujuan khusus
a.
Agar kita paham tentang fungsi bahas Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Mengetahui secara rinci tentang fungsi bahasa Indonesia dalam kehidupa kita
sehari-hari.
D.
Manfaat
BAB 2
PEMBAHASAN
FUNGSI BAHASA INDONESIA
A. FUNGSI BAHASA SECARA UMUM
Bahasa Indonesia merupakan bahasa kenegaraan yang kita pakai di negara
Indonesia untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sebenarnya Bahasa Indonesia
tidak semudah yang terlihat. Bahasa ini memiliki aturan yang cukup detail dalam
pengaturan tatabahasa yang digunakan. Bahasa Indonesia merupakan bahasa
formal yang ditetapkan di negara kita.
Dalam literatur bahasa, para ahli merumuskan fungsi bahasa secara umum ada
empat, yaitu:
1.
2.
3.
4.
2)
Sebagai sarana komunikasi dalam arti media yang anda gunakan sebagai
penghubung antara anda dengan orang lain. Dalam berkomunikasi anda tentu saja
mengharapkan timbal balik dari lawan bicara anda. Jika anda tidak memiliki bahasa
(dalam kasus ini Bahasa Indonesia) yang baik maka lawan bicara anda tidak akan
mengerti apa yang anda maksudkan. Sehingga mereka tidak bisa memberikan
timbal balik kepada anda. Bila hal ini terjadi maka komunikasi tidak dapat berjalan.
Dengan kata lain Bahasa merupakan saluran maksud seseorang, yang melahirkan
perasaan dan memungkinkan masyarakat untuk bekerja sama. Komunikasi
merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Pada saat menggunakan
bahasa sebagai komunikasi,berarti memiliki tujuan agar para pembaca atau
pendengar menjadi sasaran utama perhatian seseorang. Bahasa yang dikatakan
komunikatif karena bersifat umum. Selaku makhluk sosial yang memerlukan orang
lain sebagai mitra berkomunikasi, manusia memakai dua cara berkomunikasi, yaitu
verbal dan non verbal. Berkomunikasi secara verbal dilakukan menggunakan
alat/media bahsa (lisan dan tulis), sedangkan berkomunikasi cesara non verbal
dilakukan menggunakan media berupa aneka symbol, isyarat, kode, dan bunyi
seperti tanda lalu lintas,sirene setelah itu diterjemahkan kedalam bahasa manusia.
Contoh dari penerapan fungsi ini yang paling sederhana adalah saat anda
mengobrol dengan teman,orang tua, guru, dan lain-lain.
3)
Pada saat beradaptasi dilingkungan sosial, seseorang akan memilih bahasa yang
digunakan tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi. Seseorang akan
menggunakan bahasa yang non standar pada saat berbicara dengan teman- teman
dan menggunakan bahasa standar pada saat berbicara dengan orang tua atau yang
dihormati. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa memudahkan seseorang untuk
berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa.
Sebagai adaptasi dan integrasi pada suatu lingkungan masyarakat, fungsi kali ini
memiliki makna bila kita ingin mempelajari suatu kebudayaan, lingkungan sosial,
ataupun tinggal pada suatu negara tertentu kita harus mempelajari bahasa yang
digunakan di negara tersebut. Agar kita dapat mengetahui kapan kita
menggunakan suatu kata dalam bentuk formal ataupun bahasa sehari-hari. Karena
bahasa merupakan media yang kita gunakan untuk berhubungan dengan orang lain
jadi kita harus menguasai bahasa tersebut agar bisa beradaptasi pada suatu
lingkungan.
4)
Sebagai alat kontrol sosial memiliki arti sebagai suatu media yang dapat
mempengaruhi sikap, tingkah laku, maupun kepribadian seseorang. Dengan Bahasa
Indonesia kita dapat mengubah sifat ataupun kepribadian seseorang hanya dengan
kata-kata. misalkan anda ingin merokok di suatu tempat namun pada saat itu anda
membaca suatu pemberitahuan yang menyatakan bahwa di tempat ini dilarang
merokok, maka anda akan mencari tempat lain ataupun tidak jadi merokok di
tempat itu. Contoh sederhana seperti ini suda bisa membuktikan bahwa Bahasa
Indonesia memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial yang dapat mengubah sifat,
tingkah laku, maupun kepribadian suatu individu ataupun kelompok.
B.
Bagi bangsa Indonesia ada dua fungsi bahsa Indonesia secara khusus dan sangat
penting bagi kita pahami, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa
Negara.
1.
Nasional Bangsa Indonesia. Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah
Pemuda, bahasa melayu dipakai sebagi lingua franca di seluruh kawasan tanah air
kita. Hal itu sudah terjadi berabad-abad sebelumnya.Dengan adanya kondisi
semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya
disaingi. Sebalikanya, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak
mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak
komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang
dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah.
Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang.
Kesadaran masyarakat yang semacam itulah, khususnya pemuda-pemudanya yang
mendukung lancarnya inspirasi tersebut. "Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa
Nasional" yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Febuari 1975 antara
lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya bahasa nasional, Bahasa Indonesia
berfungsi sebagai :
a)
b)
c)
Sebagai Alat Pemersatu Berbagai Masyarakat yang Berbeda Latar belakang
Sosial, Budaya dan Bahasanya.
Dengan adanya fungsi ini maka seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai suku
bisa bersatu padu. Dengan Bahasa Indonesia akan merasa serasi dan aman
hidupnya karena mereka tidak merasa dijajah oleh suku bangsa lain. Ditambah lagi
adanya fakta bahwa identitas dan nilai-nilai budaya dari suku lain masih tercemin
d)
2.
Pada awalnya yaitu pada zaman penjajahan Belanda, bahasa yang digunakan untuk
bahasa negara adalah bahasa melayu. Selain itu, bahasa melayu merupakan
bahasa negara (resmi) kedua yang dipakai untuk golongan-golongan rendah.
Bahasa Indonesia belum bisa tersebar bebas pada saat itu. Hanya segelintir orang
yang berjiwa nasionalis yang menggunakan Bahasa Indonesia.
Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia diangkat pula Bahasa
indonesia menjadi bahasa negara. Hal ini tercantum dalam UUD 1945, Bab XV,
pasal 36. Pengangkatan Bahasa Indonesia menjadi bahasa negara bukanlah hal
mudah, banyak hal yang harus dipertimbangkan. Karena bila terjadi kesalahan
dapat berakbat ketidak stabilan suatu negara. Dalam "Hasil Perumusan Seminar
Politik Bahasa Nasional" yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 25 sampai dengan
28 Febuari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa
negara, bahasa Indonesia sebagai berikut :
a.
b.
c.
Bahasa Resmi dalam Perhubungan pada Tingkat Nasional untuk Kepentingan
Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan serta Pemerintah.
Bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antar badan pemerintah dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya
diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa.
Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang
disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa Sebagai bahasa resmi,
bahasa Indonesia dipakai sebagai bhasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan
mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk
kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang anak didiknya hanya
menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar
bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga
Sekolah Dasar.
Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Hal
ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilainilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang di dalamnya
selalu ada nilai-nilai dan status bahasa tidak dapat ditinggalkan.
B.
Saran
Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Hal
ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilainilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang di dalamnya
selalu ada nilai-nilai dan status bahasa tidak dapat ditinggalkan.
Setelah mengetahui fungsi bahasa Indonesia dalam pembahasan diatas maka kita
harus mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari apalagi dilingkungan yang
berbeda kita harus pandai menyesuaikan diri, agar kita dapat dipandang baik oleh
orang lain, disamping itu sebagai calon seorang guru kita harus lebih tau tentang
fungsi bahasa itu untuk bekal mengajar peserta didik agar kemampuan berbahasa
mereka lebih matang dan untuk menumbuhkansikap positif dalam berbahasa
Indonesia.
DAFTAR PUSTKA
http://community.gunadarma.ac.id/user/blogs/view/name_pinkers/id_10943/title_per
anan-bahasa-indonesia-dalam-kehidupan/
http://muslich-m.blogspot.com/2007/04/kedudukan-dan-fungsi-bahasaindonesia.html
http://id.shvoong.com/humanities/linguistics/2093715-fungsi-bahasa-indonesia/
http://www.scribd.com/doc/21785947/Kedudukan-Dan-Fungsi-Bahasa-Indonesia
http://www.scribd.com/doc/13800606/Peranan-Bahasa-Indonesia-DalamMencerdaskan-Bangsa-Indonesia