Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

FILSAFAT BAHASA BIASA

Disusun oleh:

Muhammad Fawaz Fabio (2020401024)

Siti Tamara (2010401003)

Dosen Pengampu: Merry Choironi, M.H

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH


PALEMBANG
2021
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat


dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Filsafat Bahasa Biasa” Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Filsafat Bahasa. Dalam
penulisan makalah ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Merry Choironi,M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Bahasa.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam


rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Filsafat
Bahasa Oleh sebab itu, penulis berharap mengingat tidak adanya yang
sempurna tanpa saran yang membangun. Harapan penyusun, makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi sumber pengetahuan
bagi mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Program Studi Bahasa
dan Sastra Arab.

Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih


jauh dari sempurna. Besar harapan penulis agar pembaca berkenan
memberikan keritik dan saran. Semoga makalah ini bisa memberikan
manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Wassalamualaikum wr. wb.

Palembang 22 September 2021.

Kelompok 6.

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Bahasa merupakan wujud yang totalitas antar sub-sistem. Objek yang dikaji
dalam setiap studi Bahasa adalah upaya identifikasi, analisis, dan korelasi lintas
sub-sistem tersebut, yang tujuan pokoknya adalah terciptanya kebermaknaan
bahasa sebagai media komunikasi manusia.1

Dalam perkembangannya, bahasa sudah dijadikan objek menarik bagi


perenungan, pembahasaan dan penelitian dunia filsafat. Selain mempunyai
daya tarik tersendiri, bahasa juga mempunyai kelemahan sehubungan dengan
fungsidan perannya yang begitu luas dan kompleks, seperti belum dapat
dipahami secara tuntas, sehingga disini merupakan peranan filsafat untuk
memberikan pengetahuan dalam suatu kebahasaan.
Filsafat bahasa adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat bahasa, sebab, asal, dan hukumnya.2 Pada dasarnya,
perkembangan filsafat analitika bahasa meliputi tiga aliran pokok, yaitu
atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa.

Aliran filsafat bahasa biasa inilah yang memiliki bentuk yang paling kuat
apabila dibandingkan dengan aliran yang lain, dan memiliki pengaruh yang
sangat luas, baik di Eropa maupun di Amerika. Aliran ini dipelopori oleh
Wittgenstein.
Aliran filsafat bahasa juga memiliki kelemahan yaitu kekaburan makna,
bergantung pada konteks, penuh emosi, dan menyesatkan. Selebihnya akan
kami bahas secara lebih rinci mengenai filsafat bahasa biasa dalam bab
selanjutnya, yaitu pembahasan.

1
M.Kholison, hlm. Viii
2
Drs Muhammad Khoyin, hlm.7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tentang Filsafat Bahasa Biasa
Pada umumnya, aliran yang ada dalam filsafat analitik itu memiliki titik
tolak yang berbeda tentang masalah penggunaan bahasa bagi maksud-maksud
filsafat.

Yang pertama, kelompok yang berpandangan bahwa Bahasa biasa ( ordinary


language ) itu cukup memadai untuk maksud filsafat. Kelemahannya hanya
terletak pada penyimpangan terhadap penggunaan bahasa biasa, tanpa
penjelasan atau pengertian apapun. Adapun tokoh-tokohnya :

1. George Edward Moore


2. Wittgenstein II
3. Gilbert Ryle
4. Austin

Mereka sering dikenal sebagai penganut aliran Filsafat Bahasa Biasa.

Yang kedua, kelompok yang berpandangan bahwa bahasa biasa itu tidaklah
cukup memadai bagi maksud filsafat karena bahasa biasa itu mengandung
kekaburan, dan tidak dapat mengungkapkan sesuatu secara jelas.

Menurut Moore penyebab utama timbulnya kekacauan ataupun perselisihan


paham dalam rana filsafat adalah karena para filsuf berusaha menjawab
pertanyaan tanpa mengetahui secara tepat apakah pertanyaan itu memang layak
untuk dijawab.3 Dari sinilah kita dapat melihat bahwa perkataan yang dituju
kedalam persoalan filsafat sesuatu ilmu yang membingungkan banyak orang,
yang menurut moore, persoalan itu tidak lazim bagi akal sehat.

Misalnya saja Moore menolak pandangan kaum hagelian yang menyatakan


bahwa “kita tidak dapat mengetahui dunia lahiriah itu ada, sebelum kita
memiliki pandangan filsafat yang memutuskan bahwa hal itu memang ada.”

3
Charlesworth, M.J analisis filosofi dan linguistik, hlm.14
Bagi Moore keputusan itu tidak hanya membingungkan, tetapi juga tidak
dapat diterima oleh akal sehat. Dalam karyanya, Proof Of The External World,
Moore menyanggah ungkapan kaum hagelian itu melalui analogi sebagai
berikut :

“ Sebagai contoh, saya dapat membuktikan bahwa kedua tangan manusia itu
benar-benar ada dalam fakta. Caranya adalah dengan menggenggam kedua
tangan saya itu, sambil menggerakkan tangan kanan, saya mengatakan “ini
tangan yang satu” kemudian sambil menggerakkan tangan sebelah kiri, saya
mengatakan “ini tangan kedua”. Melalui Tindakan ini, saya telah membuktikan
keperiadaan benda-benda lahiriah berdasarkan fakta”.4

Untuk menjelaskan penggunaan bahasa biasa yang berbeda dengan


penggunaan bahasa filsafat itu, moore menunjukkan contoh melalui dua
pernyataan sebagai berikut.

Pernyataan pertama (semua harimau pasti mengaum) lebih mudah dipahami


pengertiannya daripada pernyataan kedua (semua harimau itu “ada”).
Kebanyakan pernyataan filsafat itu serupa dengan pernyataan kedua. Padahal,
menurut Moore, “ada” itu bukanlah predikat yang sejenis dengan “mengaum”.
Inilah salah satu titik kelemahan atas kekacauan penggunaan bahasa dalam
filsafat yang berhasil dipecahkan oleh Moore.

Berbeda dengan Moore yang merupakan tokoh kenamaan dari Universitas


Cambridge, Gilbert Ryle adalah tokoh kenamaan dari Universitas Oxford.
Sebelum Perang Dunia Kedua, filsafat analitik didominasi oleh tokoh dari
Cambridge, terutama Moore. Akan tetapi, setelah Perang Dunia Kedua,
Peranan itu diambil alih oleh tokoh dari Oxford, yaitu Ryle dan Austin.

Ryle pernah menggantikan kedudukan Moore sebagai pemimpin majalah


Mind pada tahun 1947. Oleh karena itu terdapat pengaruh pemikiran Moorw
terhadap konsep filsafatnya, terutama titik-tolak pada penggunaan bahasa biasa
bagi maksud-maksud filsafat.

4
Charlesworth, M.J analisis filosofi dan linguistik, hlm.13
2.2 Penggunaan Bahasa Biasa (Ordinary Language)

Jika dalam pandangan Moore, kita belum dapat membedakan antara


penggunakaan bahasa sehari-hari dan penggunaan bahasa biasa dan bahasa
baku atau standar, dalam pandangan Ryle, kita akan menjumpai perbedaan
yang cukup tajam diantara keduanya. “Kesalahan filsafat yang paling
menggelikan adalah saat penggunaan bahasa yang biasa/yang baku (ordinary
use) dianggap tumbuh dengan penggunaan bahasa yang biasa menurut
kebiasaan sehari-hari”.5

Untuk membedakannya, saat kita menggunakan bahasa Indonesia baku yang


sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan dan memenuhi tata bahasa yang
baik dan benar, inilah yang dimaksudkan dengan penggunaan bahasa
biasa/bahasa baku. Adapun penyusunan bahasa yang biasa menurut kebiasaan
sehari hari lebih dapat kita jumpai dalam pergaulan, seperti penggunaan bahasa
daerah dengan tata bahasa yang baik dan benar, penggunaan istilah asing yang
belum dibakukan.

Filsafat bahasa seharusnya mengarah kepada penggunaan bahasa yang baku,


dan bukan penggunaan bahasa menurut kebiasaan sehari-hari, yang pastinya
bertentangan dengan pandangan Wittgenstein II yang banyak mengarahkan
perhatiannya kepada penggunaan bahasa menurut kebiasaan sehari-hari.

Menurut Ryle, penggunaan bahasa baku dalam teknik analisis bahasa yaitu
agar dapat memberikan kita penjelasan yang memadai bagi ungkapan
pengguna yang standar.

Penggunaan ungkapan yang standar (ordinarily use expressions) berarti


penggunaan istilah dalam bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai anti yang
tepat. Para ilmuan secara teperinci atau khusus menerapkan istilah teknis itu
dalambidang masing-masing.6

Misalnya, untuk menjelaskan dengan penggunaan istilah bidang biologi,


seperti kata “rantai” dalam “rantai makanan”, kita harus menjelaskannya

5
Charlesworth, M.J analisis filosofi dan linguistik, hlm.180
6
Charlesworth, M.J analisis filosofi dan linguistik, hlm.181
dengan bahasa yang baku pula. Dengan demikian kita bisa membatasi
pengertian “rantai” itu sesuai lingkup penggunaannya dalam ilmu biologi.

Barangkali, kita mengira bahwa “rantai” untuk mengunci sebuah pagar


didepan rumah, sama dengan arti “rantai makanan” yang berlaku dalam ilmu
biologi. Sebab, apabila kita menjelaskan istilah tersebut dalam penggunaan
bahasa sehari-hari, akan timbul kesalah pahaman terhadap arti istilah yang
sesungguhnya.

Oleh sebab itu, Ryle menyarankan para filsuf mencari penggunaan kata yang
standar sebagaimana menemukan penggunaan yang past dan tepat dari suatu
alat, yaitu dengan cara memanipulasi alat yang dipergunakan itu sendiri.7

Seperti seorang anak kecil, kita mempelajari sebuah istilah melalui uji coba
(trial and error), misalnya jika menjelaskan kata “Tuhan” kepada seorang anak
kecil, ada baiknya menggunakan kata yang mudah dipahami, seperti
“pencipta”. Oleh karena itu Ryle menyimpulkan tentang penggunaan bahasa
biasa itu dengan mengatakan bahwa kita semua mengetahui cara menerapkan
setiap kata, dan kita pun mengerti pada saat orang lain menerapkannya.

2.3 Kekeliruan Kategori (Category Mistake)

Salah satu teori Ryle yang menyoroti masalah penyimpangan atau


penyalahgunaan bahasa biasa dikenal dengan istilah kesalahan kategori.
Kekeliruan kategori adalah kekeliruan atau kesalahan yang terjadi pada saat
seseorang menggambarkan fakta yang sebenarnya termasuk kategori yang satu
dengan menggunakan ciri-ciri logis yang menandai kategori lainnya.8

Untuk memahami kesalahan kategori ini dapat diberikan ilustrasi sebagai


berikut, Sering kita lupa membedakan antara merek dan jenis produk, untuk
produk minuman kemasan, kita sering sebut “Aqua”, padahal Aqua adalah
salah satu merek air minuman kemasan.

Jadi, kekeliruan kategori ini merupakan pertentangan umum “bentuk logis”


atau “kategori” dari ungkapan yang bertentangan satu sama lain oleh pemikiran
kita.
7
Charlesworth, M.J analisis filosofi dan linguistik, hlm.181
8
Muhammad Khoyin, hlm.234
Melalui konsep “kekeliruan kategori” ini pula, Ryle mengkritik konsep
dualism Descartes. Descartes menampilkan dua substansi dalam diri manusia,
yaitu substansi yang berpikir dalam artian manusia mengenal dirinya sendiri
sebagai makhluk yang berpikir, Yang tidak bersifat kebendaan, jadi suatu
substansi yang kekal, dan mengenal dirinya sabagai suatu kesadaran (Res
Cogitans). dan substansi yang meluas dalam artian yang tidak berpikir, tetapi
hanya bersifat lapang dan luas (Res Extensa).

Menurut Ryle, sangatlah aneh dua substansi yang begitu berbeda corak
logis, atau kategorinya dapat bergabung secara harmonis dalam diri manusia.
Ini menurutnya sebagai dogma tentang hantu dalam sebuah mesin.9 Descartes
telah melakukan kekeliruan ketika menjelaskan kedua hal tersebut sebagai dua
istilah yang terpisah dari kategori manusia. Untuk menjelaskannya, Ryle
membuat analogi seperti berikut:

“Jadi seseorang pembeli boleh saja mengatakan ia telah membeli sebuah


sarung tangan kiri dan sebuah sarung tangan kanan, tetapi ia tidak dapat
mengatakan telah membeli sebuah sarung tangan kiri dan sebuah sarung
tangan kanan dengan sepasang sarung tangan”.10

Upaya pemecahan yang dilakukan Ryle disini bertujuan untuk menandaskan


bahwa dogma hantu dalam sebuah mesin harus melakukan hal yang serupa,
yaitu menetapkan bahwa disana mempunyai raga dan sekaligus jiwa. Itu
ditujukan untuk membuktikan bahwa sesungguhnya manusia itu mempunyai
jiwa/pikiran dengan cara yang sama seperti ia juga memiliki badan.

9
Gilbert Ryle, The Concept of mind , hlm 23
10
Gilbert Ryle, The Concept of mind , hlm 23
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan

Pada dasarnya, perkembangan filsafat analitika bahasa meliputi tiga aliran


pokok, yaitu atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa.Aliran
filsafat bahasa biasa inilah yang memiliki bentuk yang paling kuat apabila
dibandingkan dengan aliran yang lain, dan memiliki pengaruh yang sangat luas,
baik di Eropa maupun di Amerika. Aliran ini dipelopori oleh Wittgenstein.Aliran
filsafat bahasa juga memiliki kelemahan yaitu kekaburan makna, bergantung pada
konteks, penuh emosi, dan menyesatkan.
Berbeda dengan Moore yang merupakan tokoh kenamaan dari Universitas
Cambridge, Gilbert Ryle adalah tokoh kenamaan dari Universitas Oxford. Sebelum
Perang Dunia Kedua, filsafat analitik didominasi oleh tokoh dari Cambridge,
terutama Moore. Akan tetapi, setelah Perang Dunia Kedua, Peranan itu diambil
alih oleh tokoh dari Oxford, yaitu Ryle dan Austin.
Dalam pandangan Ryle, kita telah menjumpai perbedaan yang cukup tajam
diantara keduanya. “Kesalahan filsafat yang paling menggelikan adalah saat
penggunaan bahasa yang biasa/baku (ordinary use) dianggap tumbuh dengan
penggunaan bahasa yang biasa menurut kebiasaan sehari-hari”.
Bukan hanya iru Ryle juga menguraikan kesalahan polapikir Descartes yang
menyebutkan dua substansi yang berbeda dalam diri manusia dengan sebuah
dogma hantu dalam sebuah mesin, dan juga mengajukan analogi yang berbunyi
“Jadi seseorang pembeli boleh saja mengatakan ia telah membeli sebuah sarung
tangan kiri dan sebuah sarung tangan kanan, tetapi ia tidak dapat mengatakan telah
membeli sebuah sarung tangan kiri dan sebuah sarung tangan kanan dengan
sepasang sarung tangan”.

Anda mungkin juga menyukai