Anda di halaman 1dari 5

LINGUISTIC RELATIVITY

Roy Cahyo Putranto, S.Pd.


Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang 50131
Email: roy_cah@yahoo.com

ABSTRAK

Language differs dramatically from one another in terms of how they describe the world. Language has different ways of
describing the world lead speakers of different language, and also different ways of thinking about the world. The idea of
that thought is shaped by language is commonly associated with the writings of Benjamin Lee Whorf ( 1956 ) who impressed
linguistic diversity and pro posed the categories and distinctions of each language enshrine a way of perceiving, analyzing,
and acting in the world. This paper reviews several lines of evidence regarding the effect of language, on people’s
representations of space, time, sub tansce and shape, and objects. The poin of analysis is my own preview about the
Hypothesis.

Kata kunci: linguistic relativity, language, thought, shape

1. PENDAHULUAN

Dewasa ini ada lebih dari 5000 bahasa digunakan umat manusia di dunia. Beberapa bahasa mempunyai kemiripan atau
berasal dari bahasa proto yang sama, beberapa lagi jauh berbeda dengan yang lain. Beberapa pendapat dari pemikir – pemikir
terdahulu menyebutkan bahwa perbedaan dari masing – masing bahasa tersebut mempengaruhi perbedaan pengalaman dan
pemikiran. Salah satu pemikiran yang menjadi landasan dalam antropolinguistik adalah linguistic relativity.
Seperti hipotesis yang bertema relativity lainnya, hipotesis ini juga berkembang pada akhir abad 18–19 M. Hipotesis ini
menjadi bahan diskusi yang hangat di antara para pemikir – pemikir di Jerman seperti Johan Georg Hamann( 1730-1788 ),
Johann Gottfried Herder ( 1744-1803 ) dan Wilhelm von Humboldt ( 1767-1835 ). Format pemikiran ini kemudian dikenal
dengan nama Hipotesis Whorf atau Hipotesis Sapir-Whorf, seperti nama linguis yang mempopulerkannya, yakni Edward Sapir
dan Benjamin Lee Whorf, muridnya. Hipotesis ini sendiri terdiri dari 3 konsep( Gentner and Meadow, 2003: 4 ), yakni:
1. Secara semantis, bahasa yang ada di dunia ini banyak ragamnya
2. Struktur sebuah bahasa akan mempengaruhi cara dan sikap seseorang dalam memandang dan memahami
dunia ini.
3. Pengguna bahasa yang berbeda akan memberikan pandangan dan pendapat berbeda juga terhadap dunia
Hipotesis yang sekarang lebih umum disebut linguistic relativity itu semakin jelas benang pemisahnya dengan
pandangan Saphir-Whorf yang konsep dasarnya adalah language determines thought. ( Duranti, 1997: 57 ). Dalam hipotesis
linguistic relativity ini disebutkan bahwa beberapa aspek khusus bahasa juga mempengaruhi perilaku manusia. Banyak
komponen bahasa yang dapat mempengaruhi aspek – aspek perilaku manusia. Seperti ragam leksikon bahasa mempengaruhi
ragam pendefinisian dan penginderaan warna, ragam leksikon jarak atau letak mempengaruhi pengenalan penalaran jarak atau
letak, dan sebagainya.( http://plato.stanford.edu/entries/relativism/supplement2...). Beberapa pendapat yang mengatakan bahwa
perbedaan bahasa menentukan perbedaan pandangan tentang dunia. Ada 2 cara pandang terhadap dunia dalam hipotesis
linguistics relativity ini :
1. Adanya keragaman bahasa ( language diversity )
Bahasa- bahasa yang berasal dari bahasa proto yang beda, berbeda pula komponen bahasanya
2. Bahasa mempengaruhi pemikiran ( language influence in thought )
Struktur bahasa dan leksikon mempengaruhi pandangan dan pendapat seseorang mengenai dunia.

Namun A. Lucy ( 1997: 295 ) mencoba memberikan garis batas yang lebih tegas dalam mendefinisikan linguistic
relativity ini. A. Lucy menyatakan 3 hal:
1. Linguistic Relativity tidak sama dengan Linguistic Diversity yang hanya melihat keragaman bahasa yang ada di
dunia tanpa mengaitkan dengan konsep pikiran
2. Linguistic Relativity bukan berbagai pengaruh konsep bahasa terhadap pikiran. Di sini kita tidak mempelajari
perbedaan pengaruh umum dari berbagai bahasa terhadap pikiran, namun kita mempelajari mekanisme
psikologis konsep bahasa tertentu terhadap pola pikir penuturnya.
3. Linguistic Relativity tidak sama dengan Cultural Relativity, yang lebih menekankan pada keberadaan
kebudayaan ditinjau dari historisnya dan eksistensinya dalam suatu komunitas.

Sementara itu dalam bukunya The Status of Linguistics as Science( 1929: 209 ), sSaphir mengatakan yang dikutip di
bawah ini:
Humans beings do not live in the objective world alone, nor alone in the world of
social activity as ordinarily understood, but are very much at the mercy of the particular language which has became
the medium of expression for their society. It quite an illusion to imagine that one adjusts to reality essentially without
the use of language and that language is merely an incidental means of solving specific problems of communication
or reflection. ( http://plato.stanford.edu/entries/relativism/supplement2... ).

Ada beberapa contoh yang menggarisbawahi Hipotesis Saphir-Whorf tersebut, seperti bangsa Turki yang terbiasa
menceritakan kembali sebuah fakta baik yang mereka alami sendiri ataupun tidak dengan lebih detil, seolah – olah mereka
mengalaminya atau menyaksikannya sendiri. Mereka menceritakan kejadian – kejadian di dunia dengan menyeluruh dan lebih
tuntas, dibanding orang Inggris. ( Aksu-Koc dan Slobin,1986 dalam Gentner dan Goldin-Meadow, 2003: 4 ). Pengungkapan
kejadian yang sama dengan fitur linguistik dan cara yang berbeda, sedikit banyak mendukung kebenaran hipotesis ini.
Sementara itu antara tahun 1950-60an, dengan tujuan menguji hipotesis di atas Brown dan Lenneberg’s ( 1954 )
mengungkapkan apa yang disebut dengan Basic Color Terms dalam bahasa Inggris. Hal ini dipertegas oleh Brent Berlin dan
Paul Kay ( 1969 ) yang memulai penelitian di berbagai wilayah di dunia untuk mengetahui pengkategorisasian leksikon
warna.. Menurut Berlin dan Kay, warna yang dapat dikategorikan Basic color terms ini yaitu: (1) merupakan leksem tunggal,
(2) bukan merupakan hiponim dari warna lain seperti scarlet dalam bahasa Inggris, yang merupakan bagian dari warna merah,
(3) pemakaiannya tidak terbatas, seperti blond, yang terbatas pemakaiannya hanya untuk rambut dan kayu, dan (4) warna yang
dapat dimasukkan kategori Basic color terms ini adalah yang secara psikologis menonjol dan dikenal lebih dulu oleh
masyarakat tertentu. ( Foley, 2002: 153 )
Dari penelitian terdahulu ditemukan bahwa suku Dani di Papua hanya memiliki 2 leksikon untuk merepresentasikan
warna, yakni terang light (terang) dan gelap (dark). Hal ini kontras dengan leksikon warna dalam bahasa Inggris yang ada 11,
yakni :

White Green Purple


Pink
Red. Blue Brown Orange
Grey
Black Yellow

Gambar 1: Leksikon Warna

Gentner dan Goldin-Meadow ( 2003: 4 ) menyatakan bahwa Rosch ( 1972 ) menemukan suku Dani lebih mudah
mengklasifikasikan warna dibanding orang Inggris. Hal ini menyimpulkan bahwa persepsi warna ditentukan oleh kemampuan
biologis seseorang, bukan ditentukan oleh bahasa yang digunakannya. Kesimpulan ini juga mendukung Hipotesis Saphir-
Whorf. Dalam buku yang sama Rosch juga menyebutkan bahwa dalam mengembangkan corak warna dasar tersebut, ternyata
muncul beberapa pola; pertama, penamaan corak warna yang muncul mengabaikan jumlah leksikon warna. Kedua, pola
universal dalam sistem penamaan warna terlihat melalui bahasa masing – masing. ( idem, hal: 154 ).
Sementara itu muncul beberapa pendapat yang menekankan pada kemungkinan bahasa mempengaruhi pemikiran.
Misalnya pendapat dari pemikir- pemikir seperti Clark dan Clark ( 1977 ), Devitt dan Sterelny (1987 ), Pinker (1994 ) yang
muncul mendampingi Konsep Piagetian yang dalam pengaruhnya terhadap pengembangan perilaku tetap menunjukkan arah
dari pikiran mempengaruhi bahasa. Inti dari konsep ini yaitu: (1) struktur konsep manusia relatif konstan dalam fitur intinya,
kebudayaan, (2) struktur makna dan struktur konsep saling mempengaruhi.( Gentner dan Goldin-Meadow, 2003: 5 ).
Meskipun sampai sekarang masih terdapat silang pendapat mengenai arah pengaruh antara pemikiran dalam core
featurenya yakni budaya dan bahasa, namun pada dasarnya linguistics relativity ini merangkum 2 hal yakni; (1) bahwa bahasa
itu relatif dan (2) hubungan pemikiran serta budaya dengan bahasa bisa dua arah, (3) relativity di sini artinya kontekstual,
dinamis dan subjektif.

2. BEBERAPA BUKTI PENGARUH BAHASA TERHADAP KONSEP BERPIKIR


Berikut ini adalah beberapa bukti pengaruh bahasa dalam merepresentasikan space, waktu, substansi dan objek.

2.1Space
Bahwa representasi dari tiap bahasa yang ada di dunia terhadap relasi jarak atau space berbeda- beda adalah sudah
kita ketahui. Bahasa Inggris membedakan penggunaan preposisi (in)’di dalam’ dengan (on)’pada’ seperti contoh kalimat di
bawah ini:
a. The apple in the bowl
b. The letter in the envelope
Yang mana preposisinya menunjukkan makna space yang berbeda dengan kalimat di bawah ini:
c. The apple on the table
d. The magnet on the refrigerator door.
Preposisi in pada contoh a dan b menunjukkan keadaan benda ( apple dan letter ) terletak di dalam wadahnya ( bowl dan
envelope ). Sedangkan contoh c dan d menunjukkan keadaan benda yang terletak di atas( pada, bukan di dalam ) wadahnya.
Sementara itu untuk merepresentasikan keadaan yang sama dengan di atas, bahasa Korea berbeda. Dalam bahasa Korea untuk
merepresentasikan space yang dekat, melekat ( pada ), terletak dalam wadahnya, seperti contoh b dan d, digunakan leksikon
kitta. Pada contoh b dan d, benda melekat atau menempel pada wadahnya. Konsep kitta’tight’ dan nechta ‘loose’ inilah yang
mendasari bahasa Korea dalam mengekspresikan space .( Boroditsky, 2000: 1 ).
Mc Donough ( 2000 ) dalam Boroditsky juga membuktikannya dalam beberapa penelitian. Pertama, sewaktu
dilakukan uji coba terhadap beberapa orang dewasa penutur asli bahasa Inggris dan orang dewasa penutur asli bahasa Korea.
Mereka diminta mengekspresikan beberapa space benda. Ternyata penutur asli bahasa Korea lebih detil dalam membedakan
antara space yang tight dengan yang loose, sedangkan penutur asli bahasa Inggris sama sekali tidak mempedulikan hal tersebut
dan hanya menyebutkan letak bendanya. Penelitian lainnya yakni ketika dilakukan uji coba terhadap anak – anak yang tumbuh
dalam keluarga bilingual yang menguasai bahasa Korea dan Inggris. Mereka ternyata tetap menggunakan konsep kitta dan
nechta dari bahasa Korea dalam mengekspresikan letak suatu benda, meskipun saat berbahasa menggunakan bahasa Inggris
( ibid ).

2.2. Waktu
Sama seperti di atas, dalam mengekspresikan waktu, masing- masing bahasa jelas berbeda. Bahasa Inggris
menggunakan terminologi back/ front dalam merepresentasikan waktu. Contoh:
a. Falling behind schedule. ( back )
b. Looking forward to a brighter tomorrow. ( front )
c. Proposing theories ahead of our times. ( front )
d. Push deadlines back. ( back )

Scott (1989) dalam Boroditsky menyatakan bahwa terminologi yang sama juga digunakan bahasa Mandarin, dalam fitur
linguistik yang beda yaitu shàng ( up ) dan xià ( down ) yang vertikal, di samping terminologi qián (front ) dan hòu ( back )
yang horizontal. Penutur asli bahasa Mandarin lebih cepat dalam menyebutkan bahwa bulan Maret lebih awal dari Juli, bila
mereka diberi petunjuk gambar panah vertikal. Sebaliknya dengan penutur bahasa Inggris, dengan arah panah horizontal.. Hal
ini karena konsep bahasa Mandarin yang lebih sering merepresentasikan waktu suatu kejadian dengan terminologi vertikal,
sehingga mempermudah penutur bahasa Mandarin dalam mengklasifikasikan yang terjadi awal dengan yang terjadi kemudian (
seperti bulan Maret dan Juli ) dengan imajiner garis vertikal. Hal itu berbanding terbalik dengan konsep bahasa Inggris.
Pemelajar bahasa kedua baik bahasa Inggris maupun bahasa Mandarin, dari penelitian ini menunjukkan persamaan, bahwa
konsep waktu masing- masing bahasa tersebut dapat dipahami dan digunakan setelah mereka menguasai bahasa tersebut.
Masalahnya mana yang lebih dulu mereka pelajari sebagai bahasa pertama, atau salience ( penonjolan karakter bahasa )
bahasa mana yang dominan.
Dari hasil penelitiannya Scott ( 1989 ) menyimpulkan 2 hal: (1) bahasa adalah powerful tool dalam pembentukan pola
pikiran, (2) bahasan memegang peranan penting dalam penggunaan bahasa sehari – hari. Namun peranan bahasa itu dapat
berkurang seiring pembelajaran bahasa baru pada seseorang. Dengan selalu menggunakan bahasa keduanya, tidak mustahil
mengurangi peranan konsep bahasa lama.( Boroditsky: 2000: 3 )

2.3. Bentuk dan Substansi


Penggunaan bahasa yang berbeda juga berkembang pada pengekspresian bentuk benda dan subtansinya. Di dalam
bahasa Inggris, penyebutan benda juga dipengaruhi oleh kuantitasnya, tunggal atau jamak. Contohnya: one candle’sebatang
lilin’ jelas beda dengan three candles’tiga batang lilin’. Namun untuk benda yang tidak dapat dihitung, seperti pasir, wax, dan
sebagainya, hitungan jamak satu, dua tidak digunakan. Dalam bahasa Jepang juga digunakan konsep yang sama. Untuk benda
yang bentuknya kecil bulat dipakai leksikon ~ ko’sebutir’, sedangkan benda yang panjang satuannya memakai ~
hon’sebatang’. Bahasa Indonesia juga menggunakan konsep yang sama, contohnya ‘sebatang pohon’ ( karena pohon
batangnya panjang ) dan ‘sebutir kelereng’ ( karena kelereng berbentuk bulat kecil ).
Namun ini berbeda dengan bahasa Yucatec Mayan, yang penelitiannya dilakukan oleh Lucy and Gaskins (2001)
dalam Boroditsky ( 2000: 3 ). Bahasa Yucatec Mayan tidak mengenal leksikon – leksikon satuan unit benda. Bahasa ini
menyebut two candles dengan terminologi yang bermakna ‘dua kali bentuk panjang dari wax’ . Lucy dan Gaskins melakukan
uji coba terhadap penutur asli bahasa Yucatec Mayan dan bahasa Inggris. Mereka masing- masing diberi sebuah sisir plastik
yang ada pegangannya. Kemudian mereka diminta mencari benda yang menyerupai sisir tadi, dari benda yang disediakan
yakni sebuah sisir kayu dengan bentuk serupa, dan sisir plastik yang tidak ada pegangannya. Ternyata penutur bahasa Inggris
memilih sisir kayu, karena bentuknya sama dengan sisir plastik yang yang pertama. Sedangkan penutur bahasa Yucatec Mayan
lebih memilih sisir plastik dengan alasan bahan dasarnya sama. Penemuan ini menurut Lucy dan Gaskins membuktikan bahwa
aspek gramatikal bahasa mempengaruhi konseptualitas berpikir seseorang, yang salah satunya direpresentasikan dalam
penentuan bentuk dan subtansi benda.

2.4. Objek
Pembedaan gender benda ( feminine dan masculine ) dalam bahasa Jerman dan Spanyol yang unik, telah dibuktikan
oleh Boroditsky dan kawan- kawannya dalam sebuah penelitian dan uji coba. Meskipun uji coba yang dilakukan dengan
menggunakan instruksi dan setting bahasa Inggris, namun tetap saja konsep bahasa ibu masing – masing yang mereka
pergunakan. Sebagai contoh, dalam mengekspresikan bridge’jembatan’, penutur bahasa Spanyol mengklasifikasikannya
feminine, karena cantik, elegan, mengkilat, berkilau oleh cahaya lampu, membuat tenang yang memandang. Di lain pihak,
penutur asli bahasa Jerman menyebutnya bergender masculine karena besar, menakutkan, gagah, bermenara tinggi, tegak.
Contoh lain sewaktu mereka diminta mengekspresikan kata key’kunci’. Bahasa Spanyol menyebutnya feminine karena tipis,
kurus, berkilat, unik, dan indah bentuknya. Namun bahasa Jerman mengklasifikasikannya masculine karena kunci bergerigi,
kuat karena terbuat dari besi, dan keras.
Dari beberapa penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama, bahasa mempengaruhi pikiran, dan yang kedua,
seseorang yang menguasai bilingual, atau lebih, pemikirannya akan dipengaruhi konsep dari bahasa yang paling dominan
language repertoirenya.( Boroditsky, 2000: 4 ).

3. ANALISIS REALISASI DALAM BAHASA JEPANG


Bila melihat pendapat para linguis terdahulu dan berbagai eksperimen yang telah mereka lakukan, kita tidak dapat
memungkiri betapa kuatnya pengaruh konsep bahasa terhadap pikiran. Hal ini kemudian terealisasikan dalam penggunaan fitur
linguistik yang berbeda – beda dari setiap penutur bahasa tersebut, meskipun untuk mengekspresikan hal yang sama. Bukti ini
ikut memberikan dukungan bagi Hipotesis Saphir Whorf, meskipun tidak menyetujuinya secara absolut, karena pengaruh
konsep bahasa itu bisa mengalami perubahan, seiring dengan perubahan bahasa yang sering digunakan seseorang. Bila
seseorang yang bahasa ibunya misal bahasa Indonesia, karena tinggal lama di Amerika dan mungkin juga berubah
kewarganegaraan Amerika, maka konsep bahasa yang dianutnya juga akan berubah dari bahasa Indonesia menjadi konsep
bahasa Inggris. Pola pemikirannya juga akan mengikuti konsep bahasa Inggris.
Dalam pembelajaran bahasa Jepang, mau tidak mau, konsep yang ada dalam bahasa Jepang ikut diterapkan dalam pola
berpikir pemelajar setiap kali menghadapi native speaker bahasa Jepang .Juga di saat pemelajar menghadapi pengajar bahasa
Jepang atau bahkan dengan orang Jepang di luar lingkungan akademis. Konsep kesantunan yang kental yang terdapat dalam
bahasa Jepang turut memberi masukan bagi pemelajar bahasa Jepang untuk lebih santun dalam bertutur, meskipun saat bertutur
dalam bahasa Indonesia atau Jawa sekalipun. Bagaimana tidak, sebagai bangsa Indonesia yang bersuku Jawa yang dianggap
berbudaya halus dan sangat menjunjung tinggi kesantunan, ternyata dalam tuturan keseharian masih lebih vulgar dan terus
terang, bahkan terkadang tidak menyadari perasaan lawan bicara, dibanding bangsa Jepang.
Namun akan penulis coba memberikan beberapa contoh yang lebih riil. Dalam sebuah kalimat yang isinya penolakan
terhadap ajakan seseorang, penutur bahasa Indonesia kadang menggunakan bahasa yang terus terang, meskipun tujuannya juga
tidak salah, supaya yang mengajak mengetahui kebenarannya mengapa tidak bisa memenuhi ajakannya. Namun ternyata jika
diterapkan kepada orang Jepang hal itu menjadi kurang sopan. Untuk itu penulis akan memberikan contoh kalimat ajakan
berikut penolakan dari lawan bicara dalam dua bahasa.
Bahasa Indonesia:
A: Besok sore mau ngga makan malam sama saya di Restoran baru itu?
B: Aduh, maaf, saya sudah ada janji dengan orang tua saya tuh…..

Si B menjawab dengan terus terang demi menghindari kecurigaan dari si A, atau juga supaya tidak menyinggung perasaan si
A, maka lebih baik dia berterus terang mempunyai janji dengan siapa. Jawaban si B menurut konsep bahasa Indonesia sudah
cukup sopan untuk menolak ajakan.
Namun dalam bahasa Jepang untuk mengekspresikan hal yang sama, kita akan melihat fenomena yang lain:

A: Ashita no yubee, ano atarashii resutoran de ban gohan wo tabemasenka.


Besok sore itu baru restoran malam nasi makan(Vajakan)
B: Chotto …

Jawaban ‘chotto …’ yang bermakna literal ‘sedikit’ namun bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bisa berarti
‘maaf …’ adalah ungkapan yang biasa digunakan dalam melakukan penolakan terhadap ajakan. Dengan mengucapkannya,
tanpa menjelaskan alasan penolakan, si A langsung tahu bahwa ajakannya ditolak. Sangat tidak sopan untuk menanyakan
alasan penolakan. Bagi si B, dengan tidak menjelaskan alasan penolakan, maka resiko menyinggung perasaan si A semakin
kecil pula. Apalagi bila alasan penolakan itu adalah karena urusan keluarga atau pribadi, maka akan menyinggung bila
diungkapkan dengan terus terang. Dari contoh kecil ini saja sudah terlihat betapa orang Jepang sangat mempertimbangkan
perasaan lawan bicara dalam suatu peristiwa tutur, yang menunjukkan konsep kesantunan bahasa Jepang.
Contoh di atas juga merupakan realisasi konsep ketidak terusterangan yang dianut bangsa Jepang. Pemelajar bahasa
Jepang yang sudah mencapai tingkat mahir, atau kemudian menjadikan bahasa Jepang sebagai bahasa sehari – hari, tentu juga
akan terbawa menggunakan bentuk kalimat elips. Dalam bahasa Jepang banyak ditemui penggunaan kalimat ellips seperti di
atas Mau tidak mau konsep kesantunan dan ketidak terusterangan yang terdapat dalam bahasa Jepang juga mempengaruhi
perilaku tiap pemelajar dalam bertutur, khususnya bila menghadapi orang Jepang.
Dengan melihat berbagai pembuktian penelitian dari para linguis di atas, ini mendukung teori bahwa bahasa adalah
powerful tool yang dapat memperngaruhi konsep pikiran seseorang baik secara insindental maupun habitual.

4. KESIMPULAN
Hipotesis Saphir Whorf adalah sebagai pelopor dalam pengungkapan hubungan bahasa dengan konsep pikiran atau
yang lingkupnya lebih luas yakni kebudayaan. Meskipun arah pengaruhnya dari mana ke mana dulu, sampai sekarang masih
menjadi perdebatan, namun tidak ada yang menolak teori yang menyatakan ada hubungan antara bahasa dengan pikiran /
kebudayaan. Dari tulisan di atas, setidaknya kita mengetahui bahwa ekspresi bahasa yang dipergunakan seseorang untuk
merepresentasikan konsep pikirannya terhadap entitas yang ada di dunia ini, ternyata sangat dipengaruhi oleh konsep bahasa
yang dikuasai seseorang. Ini memperkuat teori yang mengatakan bahwa bahasa membentuk konsep pikiran seseorang. Namun
seberapa jauh dan seberapa besar pengaruhnya, antara beberapa bahasa yang dipelajari dan dikuasai seseorang, sangat
tergantung pada berapa lama penggunaannya dan dominasi repertoire bahasa mana yang paling kuat.

5. REFERENSI
[1] Dedre Gentner dan S. Goldin- Meadow. Language and Mind. 2003. USA:Massachussetts Institute of Technology
[2] Lera Boroditsky. 2000. Linguistik Relativity. USA: Massachusetts Institute of Technology. Diunduh dari http
:www_psych.stanford.edu/~lera/papers/ECS-proof.pdf tanggal 10 Mei 2009
[3] ________. The Linguistics Relativity Hypothesis. ______. diunduh dari (
http://plato.stanford.edu/entries/relativism/supplement2...) pada tanggal 10 Mei 2009.
[4] William A. Foley. 2002. Anthropological Linguistics. An Introduction. England: Blackwell Publisher Ltd.
[5] Alessandro Duranti. 1977. Linguistic Anthropology. USA: Cambridge University Press
[6] John A. Lucy. 1997. Linguistic Relativity. Illinois: University of Chicago Press

Anda mungkin juga menyukai