Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat multi etnis, berbagai budaya dan
suku didalamnya sehingga menimbulkan suatu aturan atau hukum yang berbeda pula.
Pluralisme demikian yang menyebabkan negara Indonesia mengadopsi berbagai produk
hukum sebagaimana kita ketahui bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah
system hukum yang majemuk yaitu hukum adat, Islam dan Barat (kontinental). Mungkin dari
ketiga hukum tersebut dipandang representatif dalam menegakkan keadilan dan menjawab
persoalan-persoalan yang sangat kompleks untuk konteks sekarang dan yang akan datang.
Dari ketiga hukum tersebut kami lebih tertarik dalam makalah ini untuk membicarakan
masalah hukum adat, karena bentuk dari hukum adat itu tidak tertulis dan berkembang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan berlaku untuk golongan-golongan tertentu saja.
Dibawah ini kami akan lebih khusus menulis tentang hukum perkawinan adat dan
macam-macamnya, asas-asas, sistem hukum adat, tujuan hukum adat, adat pertunangan serta
permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum adat seperti perceraian dan
sebagainya. Semoga dalam pembahasan makalah ini dapat memberikan kontribusi pada
pemikiran hukum perkawinan pada umumnya dan hukum perkawinan adat pada khususnya.
Leech (1993:335) mengemukakan bahwa keluran merupakan campuran antara
ekspresif dan asertif (assertives). Kategori asertif melibatkan pembicara pada kebenaran
proposisi yang diekspresikan. Khusus pada ketrampilan berbahasa, pragmatik termasuk
didalamnya tindak tutur dianjurkan oleh para ahli untuk diintegrasikan dalam kurikulum.

Lakoff (1972,1973b) mengembangkan teori kesatuan yang meramalkan bahwa


penambahan kebebasan pada pihak petutur untuk menolak suatu permohonan akan
berkorelasi dengan penambahan kesatuan. Dengan kata lainnya, maka makin tinggi
kesantunan atau kesantunan bertambah bersamaan dengan berkurangnya pembebanan pada
pihak petutur.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana bentuk dan fungsi belis dalam adat perkawinan masyarakat Rote Nemberala?

2. Bagaimana dampak sosial dan budaya yang dirasakan masyarakat Rote Nemberala?

1.3 Tujuan Penelitian

1. untuk mengetahui gambaran umum bentuk dan fungsi belis dalam perkawinan adat
masyarakat Rote.
2. Untuk mengetahui dampak sosial budaya dan ekonomi pembayaran belis dalam sistem
perkawinan adat masyarakat Rote serta mengetahui bentuk perubahan pembayaran belis
dalam adat perkawinan masyarakat Rote.

1.4 Landasan Teori

Dalam penelitian ini diperlukan teori-teori yang dapat dijadikan acuan atau pedoman
untuk mendukung penelitian tindak tutur pada upacara perkawinan masyarakat Rote
Nemberala. Tindak tutur adalah telaan bagaimana sesorang menggunakan tuturan sekaligus

dengan melakukan tindakan atau ucapan kepada orang lain. Menurut Leech (1983), teori
tindak tutur dari Austin dan Searle merupakan satu bentuk tuturan yang mempunyai lebih dari
satu fungsi. Tindak ilokusi adalah salah satu dari tiga tipe tindak tutur (speech acts) yang
dikemukakan oleh dua filsuf, Austin (1962) dan Searle (1969), yaitu:
1. Tindak lokusi : melakukan tindakan untuk melakukan sesuatu
2. Tindak ilokusi : melakukan sesuatu kegiatan dalam mengatakan sesuatu
3. Tindak perlokusi : melakukan sesuatu tindakan dengan mengatakan sesuatu
Menurut Hymes, pengetahuan dan kinerja bahasa harus mencakup sesuai tindaknya
bahasa yang digunakan dalam konteks sosial dan didalam bahasa kaidah-kaidah penggunaan
bahasa, yang apabila diabaikan maka kaidah-kaidah gramatik menjadi tidak berguna sama
sekali. Dalam proses pemerolehan bahasanya, sesorang mempelajari aturan-aturan kapan,
kepada siapa, dimana dan bagaimana suatu kalimat digunakan.

1.5 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Memberikan sumbangan pada kajian pragmatik, khususnya kajian tindak tutur
(speech acts).
2. Memberikan sumbangan praktis pada masyakat Rote tentang tindak tutur yang
digunakan pada upacara perkawinan.
3. Menambah khazanah kepustakaan atau bahan bacaan dalam bidang linguistik.
4. Menjadi bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.
5. Merupakan cara melestarikan budaya Rote khususnya dalam tindak tutur dalam
upacara perkawinan.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Deskripsi Teori

Penelitian berjudul Belis Dalam Adat Perkawinan Masyarakat Rote Nemberala Di


Kecamatan Rote Barat Daya Kabupaten Rote Ndao merupakan penelitian dalam disiplin
ilmu sosiolinguistik. Kajian teori yang dipergunakan dalam penelitian antara lain teori:
sosioliguistik, bilingualisme, dan diglosia.
2.1.1 Sosiolinguistik
Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua kata, yaitu sosio dan lingustik. Sosio- adalah
masyarakat, dan ligustik adalah kajian bahasa, jadi sosioliguistik merupakan kajian bahasa
yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (Sumarsono, 2004: 1). Nababan (1991: 2)
menyimpulkan istilah sosioliguistik sebagai studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan
dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Adapun Chaer (2004: 4) merumuskan
sosiolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu
sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dan faktor-faktor sosial di dalam
suatu masyarakat tutur.

2.1.2 Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud
dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode
bahasa. Secara sosialinguistik secara umum, bilinguslisme diartikan sebagai penggunaan dua
bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian
(Mackey 1962:12, Fishman 1975:73).
Dibawah ini adalah pendapat-pendapat atau definisi tantang kedwibahasaan atau
bilingualisme oleh para pakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan
sebagai berikut:
1.

Robert Lado (1964-214)

Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir
sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana
tingkatnya oleh seseorang.
2.

MacKey (1956:155)
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan
kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the
alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini
dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur
gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan
berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

3.

Hartman dan Stork (1972:27)


Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat
ujaran.

4.

Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama
baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama
baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa
dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.

5.

Haugen (1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka
pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara
produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan
kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui
dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.

6.

Oksaar

Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus


diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat
dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Perencis sebagai
bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di Montreal Kanada,
bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya, sehingga warga
montreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan murni.

2.1.3 Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh
Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi sosiolingustik
setelah digunakan oleh seorang swarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun
1958 dalam suatu symposium tentang Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar yang
diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian
Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang
berjudul diglosia.

2.2 Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat


Seperti apa yang disinggung dalam pengertian bahwa dalam masyarakat adat,
perkawinan tersebut mempunyai tujuan tersendiri baik secara umum maupun khusus. Secara
umum mempunyai tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera, secara
khusus dengan berbagai ritual-ritualnya dan sesajen-sesajen atau persyaratan-persyaratan
yang melengkapi upacara tersebut akan mendukung lancarnya proses upacara baik jangka
pendek maupun panjang namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mendapatkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan keluarga yang utuh.

2.3 Asas-asas dalam Hukum Perkawinan Adat


Dalam masyarakat adat, hukum perkawinan mempunyai asas-asas atau bentuk yang
menjadi parameter masyarakat dalam melaksanakan hukum tersebut, masing-masing daerah
mempunyai aturan sendiri dan berbeda-beda sesuai kesepakatan dan kebiasaan setempat,
biasanya hukum adat mempunyai sumber pengenal sesuai apa yang terjadi dan benar-benar
terlaksana di dalam pergaulan hukum dan berasal dari segala gejala sosial yang terjadi dalam
masyarakat tertentu. terkadang juga eksistensi dari penguasa setempat atau bisa disebut
kepala suku atau penguasa adat sangat berpengaruh dan mempunyai andil besar dalam
memberikan keputusan berupa keputusan. Secara garis besar asas-asas dalam hukum adat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Bentuk perkawinan berdasarkan arah persiapan


a. Pertunangan
Seperti yang kita ketahui dan melihat ada tahapan sebelum perkawinan itu
dilaksanakan, yang dimaksud tahap tersebut adalah pertunangan, tahap ini dilakukan awal
kali pertemuan setelah ada persetujuan antara kedua belah pihak (pihak keluarga pihak
suami dan pihak keluarga bakal istri) untuk mengadakan perkawinan, dan mempunyai sifat
yang mengikat. Tujuan dari pertunangan ini adalah untuk membatasi pergaulan kedua
belah pihak dan menjamin perkawinan akan berlangsung dalam waktu dekat.

b. Tanpa lamaran dan tanpa pertunangan.


Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan pertunangan.
Corak perkawinan yang demikian kebanyakan ditemukan dalam persekutuan yang bersifat
patrilineal. Namun dalam matrilineal dan patrilineal (garis ibu-bapak) juga ditemukan

walaupun hanya sedikit. Seperti di daerah Lampung, kalimantan, bali, sulawesi selatan.
Mereka mempunyai tujuan tersendiri diantaranya yaitu secara umum untuk membebaskan
diri dari pelbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dan pertunangan seperti memberi
hadiah, atau paningset dan sebagainya.

2. Bentuk perkawinan berdasarkan tata susunan kekerabatan


a. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal (garis keturunan ibu).
Setelah kawin, suami tetap masuk pada keluarganya sendiri. Pada prosesnya calon
suami di jemput dari rumahnya kemudian tinggal dan menetap di rumah keluarga istri,
tetapi anak-anak dan keturunannya masuk keluarga istri dan si ayah pada hakikatnya tidak
mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya. Karena rumah tangga suami istri dan anakanak keturunannya dibiayai dari milik kerabat si istri.

b. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal (garis keturunan bapak).


Sifat utama dari perkawinan ini adalah dengan memberikan jujur oleh pihak lakilaki kepada pihak perempuan sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si
istri dengan orang tuanya, nenek moyangnya dan singkatnya dengan kerabat dan
persekutuannya. Setelah perkawinan si istri masuk dalam lingkungan keluarga suami
begitu juga anak-anak keturunannya .
Sistem jujur ini tidak lantas kemudian difahami sebagaimana yang difahami oleh para
etnolog barat yaitu sebagai pembelian tetapi sesuai dengan pengertian etnolog hukum
adat yang murni, maka jujur itu adalah suatu penggantian memahami bahwa kedudukan
gadis itu dalam pengertian religio-magis-kosmis, diganti dengan suatu benda sehingga
terjaga keseimbangan, tidak mengosongkan arti religio-magis-kosmis tersebut.

Kawin jujur mengandung tiga segi pengertian yaitu pada sisi yuridis akan terjadi
perubahan status, pada sisi sosial (politis), perkawinan tersebut akan mempererat
hubungan antar kerabat, hubungan kekeluargaan dan menghilangkan permusuhan
sedangkan yang ketiga yaitu dari sisi ekonomis adanya pertukaran barang .

c. Dalam sifat susunan kekeluargaan parental (garis keturunan Keibu-Bapaan).


Setelah perkawinan baik si istri maupun suami menjadi milik keluarga bersama begitu
juga anak-anak dan keturunannya. Dalam sifat ini juga terdapat kebiasaan berupa
pemberian-pemberian dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, tetapi pemberian
disini tidak mempunyai arti seperti jujur, mungkin dulu dasarnya seperti jujur tetapi lebih
banyak diartikan sebagai hadiah perkawinan. Hal demikian banyak dijumpai di daerah
Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan.

2.4. Sistem Perkawinan dalam Hukum Adat


Dalam perkawinan sekiranya harus ada pengelompokkan berupa system perkawinan
agar teridentifikasi system yang digunakan dalam hukum perkawinan adat itu sendiri seperti
apa?. Di Indonesia selama ini ada tiga system yang berlaku di masyarakat yaitu endogamy,
exogami dan eleutherogami.
1. Sistem Endogamy
Dalam system ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku
keluarganya sendiri, sekarang sudah jarang sekali di Indonesia karena system ini
dipandang sangat sempit dan membatasi ruang gerak orang. Sistem ini masih berlaku di
daerah Toraja, tetapi dalam waktu dekat akan lenyap sebab sangat bertentangan sekali
dengan sifat susunan yang ada di daerah itu, yaitu parental.

2. Sistem Exogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya sendiri.
Sistem ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau. Namun dalam
perkembangannya

sedikit-sedikit

akan

mengalami

pelunakan

dan

mendekati

eleutherogami. Mungkin larangan itu masih berlaku pada lingkungan kekeluargaan yang
sangat kecil saja.

3. Sistem Eleutherogami
Pada system ini tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan-batasan wilayah
seperti halnya pada endogamy dan exogami. System ini hanya menggunakan berupa
larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan (nasab)
turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu dan saudara kandung , saudara
bapak atau ibu.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian


Permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti merupakan masalah yang bersifat sosial
dan dinamis. Oleh karena itu, peneliti memilih menggunakan metode penelitian kualitatif

untuk menentukan cara mencari, mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data hasil
penelitian tersebut. Penelitian kualitatif ini dapat digunakan untuk memahami interaksi sosial,
misalnya dengan wawancara mendalam sehingga akan ditemukan pola-pola yang jelas.
3.2. Penelitian Kualitatif
Secara teoritis format penelitian kualitatif berbeda dengan format penelitian
kuantitatif. Perbedaan tersebut terletak pada kesulitan dalam membuat desain penelitian
kualitatif, karena pada umumnya penelitian kualitatif yang tidak berpola. Format desain
penelitian kualitatif terdiri dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikasi, dan
format grounded research. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain
deskriptif, yaitu penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau
kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi (Koentjaraningrat, 1993:89).
Selanjutnya penelitian kualitatif menurut Moleong (2007:6) adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) yang dikutip oleh Moleong (2007:4)
mengemukakan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.
Selanjutnya dijelaskan oleh David Williams (1995) seperti yang dikutip Moleong
(2007:5) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu
latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti
yang tertarik secara alamiah.

Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut
pandangan manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi,
pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur dengan
angka.
3.3 Informan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, hal yang menjadi bahan pertimbangan utama dalam
pengumpulan data adalah pemilihan informan. Dalam penelitian kualitatif tidak digunakan
istilah populasi. Teknik sampling yang digunakan oleh peneliti adalah purposive sample.
Purposive sample adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,
2009:85). Selanjutnya menurut Arikunto (2010:183) pemilihan sampel secara purposive pada
penelitian ini akan berpedoman pada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut :
a. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu,
yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.
b. Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang paling banyak
mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi (key subjectis).
c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan.

DAFTAR PUSTAKA

Havilland, William A.,1993. Antropologi Jilid 2. Jakarta : Erlangga

Koentjaraningrat.,1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta

1990. Sejarah Teori Antropologi Jilid II. Jakarta : UI Press


Sumarsono.2004. Sosiolingusitik. Yogyakarta: Sabda.
http://16arief.wordpress.com/2009/03/31/pengertianbilingualismkedwibahasaan/
http://doctorseducati.blogspot.com/2011/03/apa-sih-bilingualisme-dan-diglosia-itu.html
http://library.usu.ac.id/download/fs/06007435.pdf (di unduh pada sabtu 16 mei 2015)

Ali Muhammad, Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Raja grafindo Persada, 2002. (Di unduh pada sabtu 16 mei 2015)
Bushar, Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2000. (di unduh
pada sabtu 16 mei 2015)
Soerojo, Wignjodipoero, Pengantar dan Asa-asa Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, 1995.
(diunduh pada sabtu 16 mei 2015)

Anda mungkin juga menyukai