PENDAHULUAN
2. Bagaimana dampak sosial dan budaya yang dirasakan masyarakat Rote Nemberala?
1. untuk mengetahui gambaran umum bentuk dan fungsi belis dalam perkawinan adat
masyarakat Rote.
2. Untuk mengetahui dampak sosial budaya dan ekonomi pembayaran belis dalam sistem
perkawinan adat masyarakat Rote serta mengetahui bentuk perubahan pembayaran belis
dalam adat perkawinan masyarakat Rote.
Dalam penelitian ini diperlukan teori-teori yang dapat dijadikan acuan atau pedoman
untuk mendukung penelitian tindak tutur pada upacara perkawinan masyarakat Rote
Nemberala. Tindak tutur adalah telaan bagaimana sesorang menggunakan tuturan sekaligus
dengan melakukan tindakan atau ucapan kepada orang lain. Menurut Leech (1983), teori
tindak tutur dari Austin dan Searle merupakan satu bentuk tuturan yang mempunyai lebih dari
satu fungsi. Tindak ilokusi adalah salah satu dari tiga tipe tindak tutur (speech acts) yang
dikemukakan oleh dua filsuf, Austin (1962) dan Searle (1969), yaitu:
1. Tindak lokusi : melakukan tindakan untuk melakukan sesuatu
2. Tindak ilokusi : melakukan sesuatu kegiatan dalam mengatakan sesuatu
3. Tindak perlokusi : melakukan sesuatu tindakan dengan mengatakan sesuatu
Menurut Hymes, pengetahuan dan kinerja bahasa harus mencakup sesuai tindaknya
bahasa yang digunakan dalam konteks sosial dan didalam bahasa kaidah-kaidah penggunaan
bahasa, yang apabila diabaikan maka kaidah-kaidah gramatik menjadi tidak berguna sama
sekali. Dalam proses pemerolehan bahasanya, sesorang mempelajari aturan-aturan kapan,
kepada siapa, dimana dan bagaimana suatu kalimat digunakan.
2.1.2 Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud
dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode
bahasa. Secara sosialinguistik secara umum, bilinguslisme diartikan sebagai penggunaan dua
bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian
(Mackey 1962:12, Fishman 1975:73).
Dibawah ini adalah pendapat-pendapat atau definisi tantang kedwibahasaan atau
bilingualisme oleh para pakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan
sebagai berikut:
1.
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir
sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana
tingkatnya oleh seseorang.
2.
MacKey (1956:155)
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan
kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the
alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini
dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur
gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan
berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
3.
4.
Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama
baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama
baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa
dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.
5.
Haugen (1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka
pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara
produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan
kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui
dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
6.
Oksaar
2.1.3 Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh
Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi sosiolingustik
setelah digunakan oleh seorang swarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun
1958 dalam suatu symposium tentang Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar yang
diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian
Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang
berjudul diglosia.
walaupun hanya sedikit. Seperti di daerah Lampung, kalimantan, bali, sulawesi selatan.
Mereka mempunyai tujuan tersendiri diantaranya yaitu secara umum untuk membebaskan
diri dari pelbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dan pertunangan seperti memberi
hadiah, atau paningset dan sebagainya.
Kawin jujur mengandung tiga segi pengertian yaitu pada sisi yuridis akan terjadi
perubahan status, pada sisi sosial (politis), perkawinan tersebut akan mempererat
hubungan antar kerabat, hubungan kekeluargaan dan menghilangkan permusuhan
sedangkan yang ketiga yaitu dari sisi ekonomis adanya pertukaran barang .
2. Sistem Exogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya sendiri.
Sistem ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau. Namun dalam
perkembangannya
sedikit-sedikit
akan
mengalami
pelunakan
dan
mendekati
eleutherogami. Mungkin larangan itu masih berlaku pada lingkungan kekeluargaan yang
sangat kecil saja.
3. Sistem Eleutherogami
Pada system ini tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan-batasan wilayah
seperti halnya pada endogamy dan exogami. System ini hanya menggunakan berupa
larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan (nasab)
turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu dan saudara kandung , saudara
bapak atau ibu.
BAB III
METODE PENELITIAN
untuk menentukan cara mencari, mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data hasil
penelitian tersebut. Penelitian kualitatif ini dapat digunakan untuk memahami interaksi sosial,
misalnya dengan wawancara mendalam sehingga akan ditemukan pola-pola yang jelas.
3.2. Penelitian Kualitatif
Secara teoritis format penelitian kualitatif berbeda dengan format penelitian
kuantitatif. Perbedaan tersebut terletak pada kesulitan dalam membuat desain penelitian
kualitatif, karena pada umumnya penelitian kualitatif yang tidak berpola. Format desain
penelitian kualitatif terdiri dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikasi, dan
format grounded research. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain
deskriptif, yaitu penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau
kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi (Koentjaraningrat, 1993:89).
Selanjutnya penelitian kualitatif menurut Moleong (2007:6) adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) yang dikutip oleh Moleong (2007:4)
mengemukakan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.
Selanjutnya dijelaskan oleh David Williams (1995) seperti yang dikutip Moleong
(2007:5) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu
latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti
yang tertarik secara alamiah.
Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut
pandangan manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi,
pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur dengan
angka.
3.3 Informan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, hal yang menjadi bahan pertimbangan utama dalam
pengumpulan data adalah pemilihan informan. Dalam penelitian kualitatif tidak digunakan
istilah populasi. Teknik sampling yang digunakan oleh peneliti adalah purposive sample.
Purposive sample adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,
2009:85). Selanjutnya menurut Arikunto (2010:183) pemilihan sampel secara purposive pada
penelitian ini akan berpedoman pada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut :
a. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu,
yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.
b. Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang paling banyak
mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi (key subjectis).
c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad, Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Raja grafindo Persada, 2002. (Di unduh pada sabtu 16 mei 2015)
Bushar, Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2000. (di unduh
pada sabtu 16 mei 2015)
Soerojo, Wignjodipoero, Pengantar dan Asa-asa Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, 1995.
(diunduh pada sabtu 16 mei 2015)