Anda di halaman 1dari 5

BAHASA DAN KEBUDAYAAN

Bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa. Bahkan dengan


bahasa kita dapat mengetahui budaya orang lain. Lebih jauh lagi ada yang
mengatakan suatu bangsa tercermin dari budayanya. Cerminan bahasa dan
budaya tidak hanya dalam kosa kata kata, paragraf, wacana atau retorika.
Penggunaan bahasa adalah penguatan dari budaya itu sendiri. Budaya
bersifat dinamis, tidak menutup kemungkinan terhegemoni oleh budaya lain.
Artinya, budaya itu akan berkembang sejalan dengan perkembangan zaman.
Seperti dalam hipotesis Sapir-Whof adalah sebuah pernyataan dalam teori
linguistik relativitas yang menyatakan bahwa ada hubungan kuat antara bahasa
dan budaya dan pikiran seorang penutur. Berkaitan dengan hal tersebut para ahli
mengemukakan beberapa definisi bahasa sebagai berikut.
1) Mary Finocchiaro dalam Brown (1980:4) “Language is a system of arbitrary
vocal symbols which permit all people in a given culture or other people who
have learned the system of that culture to communicate or to interact”.
2) Mario Pei dalam Brown (1980:4) “Language is a system of communication by
sound, operating through the organs of speech and hearing, among members
of a given community, and using vocal symbols possesing arbitrary
conventional meaning”.
3) Webster’s New Collegiate Dictionary (1981:64) “Language is a systematic
means of communicating ideas or feelings by the use conventionalized signs,
sounds, gestures or marks having understood meaning”.
4) Jack Richards, John Platt, Heidi Weber (1985:153) “Language is the system of
human communication by means of a stuctured arrangement of sound (or
their written representation) to form larger units ”.
5) Harimurti Kridalaksana (2001:21) “Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang
arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”.
Banyak ilmuan berbicara dan mendifinisikan bahasa. “Orang-orang yunani,
yang pengaruhnya cukup besar sampai sekarang, menganggap bahasa itu sebagai
alat manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Pandangan muncul
dari linguistik struktural dengan tokoh Bloomfield bahwa bahasa adalah sistem
lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai
oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi”
(dalam Sumarsono, 2009:18).
Artinya, bahwa sebuah bahasa hadir karena ada kesepakatan penutur
masyarakat setempat. Bahasa memainkan peranan pentingnya dalam kehidupan

M. Firman Al-Fahad, M.Pd.


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP – Universitas Pakuan
kita. Bahasa memiliki pengaruruh-pengaruh yang luar biasa, dan termasuk dari apa
yang membedakan manusia dengan binatang.
Menurut Bloomfiel (1995), “bahasa merupakan sekumpulan ujaran yang
muncul dalam suatu masyarakat tutur (speech community). Ujaran inilah yang
harus dikaji untuk mengetahui bagian-bagiannya. Dengan demikian yang menjadi
objek kajian adalah bahasa-bahasa yang masih ada masyarakat pemakainya, dan
bukan bahasa yang mati”. “Ciri-ciri yang merupakan bahasa itu, antara lain:
adalah bahwa bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer,
produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi (Chaer dan Austin, 2004:11).
“Sedangkan menurut teori struktural, bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu
sistem tanda arbitrer yang konvensional. Berkaitan dengan cirri sistem, bahasa
bersifat sistematik dan sistemik” (Soeparno, 2002:1).
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan adalah hal yang menarik
untuk dibicarakan, sehingga membuat masyarakat luas dengan berbagai latar
belakang tertarik untuk membicarakannya. Ditinjau dari sudut kebudayaan,
bahasa merupakan wujud dari kebudayaan. Bahasa sebagai wadah dan
refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya dan dari bahasa kita dapat
mengetahui seberapa tinggi tingkat kebudayaan suatu bangsa.
Koentjoroningrat dalam Chaer (1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya
dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat manusia.
Kebudayaan merupakan hasil dari buah pikiran manusia. Menurut
Koentjaraningrat (dalam Digdoyo, 2015:51) bahwa kenudayaan berasal dari kata
Sansekerta; duddayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal
dan daya berarti kekuatan. Dengan demikian kebudayaan dapar diartikan hasil
kerja sama antara akal dengan kekuatan manusia. Sementara menurut Edwar
dalam Digdoyo, 2015:53) budaya adalah keaeluruhan kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, adat istiadat, serta kesanggupan dan
kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
“Kebudayaan merupakan segala sesuatu yang dipelajari dan dialami
bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat sehingga, suatu
kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi
suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Pengelompokkan definisi-definisi
kebudayaan yang dibuat menunjukkan bahwa kebudayaan itu melingkupi segala
aspek dan unsure kehidupan manusia. Nababan mengelompokkan definisi
kebudayaan atas empat golongan, yaitu (1) definisi yang melihat kebudayaan
sebagai penutur dan pengikat masyarakat; (2) definisi yang melihat kebudayaan
sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan (nurture);
(3) definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia; (4)
definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai
M. Firman Al-Fahad, M.Pd.
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP – Universitas Pakuan
masyarakat untuk memperoleh kerja sama, kesatuan, dan kelangsungan hidup
masyarakat manusia,” (Nababan dalam Chaer dan Austin, 2004: 163).
Lebih lanjut, Nababan juga menjelaskan, “definisi-definisi golongan (4) dari
pengelompokkan yang dibuat Nababan secara eksplisit menyatakan bahawa
semua sistem komunikasi yang digunakan manusia, tentunya juga bahasa adalah
termasuk dalam kebudayaan. Itulah sebabnya Nababan secara gamblang
menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan
interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan
dilestarikan. Sistem atau aturan-aturan komunikasi merupakan bagian dari
kebudayaan.; akan tetapi kebudayaan itu bukan hanya sistem kamunikasi saja,
melainkan menyangkut juga masalah-masalah lain. Jadi kebudayaan adalah semua
aturan-aturan, hasil, dan kebiasaan yang dibuat manusia atau hasil cipta manusia.“
(Nababan dalam Chaer dan Austin, 2004: 163).
Menurut Silzer (1990) Mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan
merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam atau
sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem
yang lain berupa sistem budaya maka apa yang tampak dalam budaya akan
tercermin dalam bahasa atau juga sebaliknya.
Selanjutnya hubungan tindak berbahasa dengan sikap mental para
penuturnya, menurut Koentjaraningrat (1990) mengungkapkan buruknya
kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia dan termasuk
kaum intelektualnya adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada
mental sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat antara lain suka meremehkan
mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi kedisiplinan, enggan
bertanggung jawab, dan suka latah atau ikut-ikutan. Inilah ah yang menyebabkan
bahasa yang digunakan kan menjadi asal saja tanpa mempedulikan bahasa yang
digunakan itu benar atau salah.
Kalau kita kembali pada persoalan semula: bagaimana hubungan bahasa
dengan kebudayaan, maka uraian di atas yang diberikan Koentjaraningrat (1990)
ternyata yang mempengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya budaya di sini
dalam arti luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur.
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan bersifat dinamis dan dan sifat
dinamis tersebut memiliki hubungan yang bersifat koordinatif atau subordinatif
serta tidak perlu dipersoalkan lagi, tetapi yang jelas keduanya mempunyai
hubungan yang erat yang saling mempengaruhi. Menurut Masinambouw (dalam
Chaer, 2014) mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana
berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, maka berarti di dalam
tindak pelaku berbahasa haruslah disertai dengan norma-norma yang berlaku aku

M. Firman Al-Fahad, M.Pd.


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP – Universitas Pakuan
di dalam budaya itu. Sistem tindak berbahasa menurut norma-norma budaya ini
disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.
Etika berbahasa ini berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-
norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. oleh
karena itu, etika berbahasa ini antara lain akan mengatur hal-hal berikut.
1) Apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada
seorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya
dalam masyarakat itu.
2) Ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi
sosiolinguistik dan budaya tertentu.
3) Kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan dan
menyela pembicaraan orang lain.
4) Kapan harus diam
5) Bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara itu.

Seseorang yang baru dapat disebut pandai berbahasa apabila menguasai


tata cara atau etika berbahasa. kajian mengenai etika berbahasa ini lazim disebut
etnografi berbahasa. dalam kajian antropologi istilah etnografi digunakan untuk
pemerian kebudayaan. dalam hal ini memang tidak bertentangan, sebab etika
berbahasa itu itu juga merupakan subsistem kebudayaan.
Selanjutnya berkaitan dengan bahasa dan kebudayaan yang ada pada
masyarakat komunikasi menjadi sangat penting dan erat hubungannya dengan
kebudayaan. Kebudayaan di Indonesia dan dunia pasti memiliki perbedaan satu
sama lain. Perbedaan inilah yang menjadikan komunikasi setiap budaya dan
masyarakat harus saling menghargai dan menghormati. Komunikasi dan etika
bertutur menyangkut dua hal penting yakni kinesik dan proximik. Kinesik adalah
antara lain gelap mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, gerakan
tangan bahu, kepala, dan sebagainya. Bagian-bagian dari Inilah yang yang dapat
menggambarkan posisi situasi dan dan pemikiran penutur dalam berkomunikasi.
Sebagai contoh di Amerika dalam interaksi perseorangan adalah hal yang
biasa bagi pendengar untuk memperhatikan mata dan mulut pembicara, dengan
memandang mata atau mulut pembicara maka pembicara akan merasa bahwa
pendengar memperhatikan ujarannya. Akan tetapi di Indonesia budaya
memandang mata ini tidak biasa, malah jika dilakukan lebih-lebih oleh pendengar
yang lebih mudah hal ini dianggap tidak sopan, tidak berbudaya. Gerakan kepala
juga mempunyai arti penting di dalam etika berbahasa. Bagi orang Yunani kuno
gerakan kepala ke bawah berarti “ya” dan gerakan kepala ke atas berarti “tidak”.
Ini berbeda dengan di Indonesia, gerakan ke bawah menyatakan “ya” dan untuk
menyatakan “tidak” adalah gerakan ke samping kiri dan kanan. Itulah contoh
sederhana gerak atau gestur pembicara atau penutur dan dan pendengar
mempunyai fungsi dalam berkomunikasi.
Selanjutnya yang dimaksud dengan proximik adalah jarak tubuh di dalam
berkomunikasi si atau bercakap-cakap. pembicaraan yang akrab dan tidak akrab
antara budaya yang satu dengan budaya yang lain biasanya berbeda. Sebagai
M. Firman Al-Fahad, M.Pd.
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP – Universitas Pakuan
contoh di Amerika Utara dalam pembicaraan antara dua orang yang belum saling
mengenal biasanya berdarak empat kaki. Bila yang seorang mendekat maka yang
lain akan mundur untuk menjaga jarak itu. Tetapi di Amerika Latin jarak itu
biasanya dua atau tiga kaki. Oleh karena itu, bila orang Amerika Latin berbicara
dengan orang Amerika Utara keduanya akan merasa canggung, jika si Amerika
Latin maju untuk mencapai jarak yang enak baginya, maka si Amerika Utara
akan mundur. Miller (dalam Chaer, 2014:174) menyebutkan untuk menjaga jarak
dalam berbicara dengan orang Amerika Latin, orang Amerika Utara membuat
halangan dengan meja atau bangku, tetapi kadang-kadang orang Amerika Latin
memanjatnya untuk mencapai jarak yang enak.
Secara terpisah, kinesik dan proximik ini merupakan alat komunikasi juga
yaitu alat komunikasi nonverbal, atau alat komunikasi nonlinguistik. Dalam
komunikasi langsung, biasanya kedua alat komunikasi ini digunakan untuk
mencapai kesempurnaan interaksi.

M. Firman Al-Fahad, M.Pd.


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP – Universitas Pakuan

Anda mungkin juga menyukai