Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik dengan dosen pengampu Bapak
Muhammad Firman Al-Fahad, M.Pd,
Disusun Oleh :
Kelompok 6
UNIVERSITAS PAKUAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah............................................................................................................4
A. Rumusan Masalah........................................................................................................................4
B. Tujuan Penulisan...........................................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................5
A. Sekilas Mengenai Sosiolinguistik..................................................................................................5
B. Penerapan Sosiolinguistik Dalam Pengajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia..............................8
BAB III..................................................................................................................................................14
PENUTUP.............................................................................................................................................14
B. Simpulan....................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................15
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
A. Rumusan Masalah
B. Tujuan Penulisan
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
(Kartomiharjo, 1988: 4). Variasi dalam masing-masing kelompok ini dikenal dengan
istilah ragam bahasa atau variasi bahasa. Selain itu Chaer dan Agustina (2010:70-72)
membagi variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya yang terdiri atas ragam
beku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai dan ragam akrab.
Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang terjadi
di dalam tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari pengenalan lebih
dari satu bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi meliputi interferensi
fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis.
Contoh interferensi fonologi pada kata Bantul èmBantul. Interferensi
morfologi pada kata terpukulèkepukul. Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh
bahasa Jawa. Interferensi sintaksis pada kalimat di sini toko laris yang mahal
sendiriètoko laris adalah toko yang paling mahal di sini. Interferensi leksikon pada
kata kamanahèkemana (bahasa Indonesia terinterferensi bahasa Sunda).
Etnografi komunikasi pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes (Murrel,
2003: 3) bahwa studi bahasa harus memperhatikan aturan sosial, budaya, norma dan
nilai-nilai yang mengatur perilaku dan interpretasi proses ujaran dan sarana
komunikasi lainnya dalam teorinya selama ini ini ahli bahasa bahasa hanya mengkaji
struktur saja sedangkan antropolgi hanya melihat bahasa untuk melihat aspek budaya
lainnya. Hymes mengemukkan komponen yang menjembatani keduanya melalui
teorinya yang dikenal dengan SPEAKING.
1. S: (situation), terdiri atas setting dan scene. setting menunjuk pada waktu, tempat dan
keadaan fisik tuturan secara keseluruan, Scene mengacu pada keadaan psikologis
pembicaraan. Misalnya dari situasi formal berubah menjadi informal.
2. P: (partisipants), mencakup penutur, petutur, pengirim dan penerima.
3. E: (ends), meliputi maksud atau tujuan dan hasil.
4. A: (act sequence), terdiri atas bentuk pesan dan isi pesan
5. K: (key), mengacu pada nada, cara, atau semangat penyampaian pesan
6. I: (instrumentalities), menunjuk pada jalur bahasa yang digunakan dalam pembicaraan
seperti lisan, tulisan, melalui telegraf atau telepon dan bentuk tuturan seperti bahasa dan
dialek, kode, fragam atau register seperti di Amerika dengan menggunakan dialek bahasa
Inggris untuk mengarah pada situasi atau fungsi tertentu (seperti bahasa standar vs
vernakular).
7. N: (norms), mengacu pada aturan-aturan atau norma interaksi dan interpretasi. Norma
interaksi merupakan norma yang terjadi dalam cara menyampaikan pertanyaan, interupsi,
6
pernyatan, perintah dalam percakapan. Norma interpretasi, yakni penafsiran norma oleh
partisipan dalam tuturan.
8. G: (genres), mencakup jenis bentuk penyampaian, seperti syair, sajak, mite, hikayat, doa,
bahasa perkuliahan, perdagangan, ceramah, surat edaran, tajuk rencana.
a. Pengajaran Bahasa
Pengajaran merupakan interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung
sebagai suatu proses saling mempengaruhi antara pengajar dan siswa. Diantara
keduanya terdapat hubungan atau komunikasi interaksi. Pengajaran merupakan suatu
pola yang di dalamnya tersusun suatu prosedur yang direncanakan (Ampera, 2010:6).
Brown (2007:8-9) menyatakan bahwa pengajaran adalah memandu dan
memfasilitasi pembelajaran, memungkinkan pembelajar untuk belajar, menetapkan
kondisi-kondisi pembelajaran yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip, pemilihan
metode dan teknik yang sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.
1. Pengajaran bahasa
Pengajaran bahasa pada suatu negara atau suatu daerah merupakan suatu
keputusan politik, ekonomi dan sosial yang disebut kebijakan pengajaran bahasa.
Apabila secara politis telah ditentukan, bahasa apa yang harus diajarkan, dan kepada
siapa bahasa itu harus diajarkan, maka langkah selanjutnya adalah bahan apa yang
harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya.
2. Pengajaran sastra
Pengajaran sastra pada dasarnya memiliki peranan dalam peningkatan
pemahaman siswa. Apabila karya-karya sastra tidak memiliki manfaat, dalam
menafsirkan masalah-masalah dalam dunia nyata, maka karya sastra tidak akan
bernilai bagi pembacanya.
Pada dasarnya pengajaran sastra mempunyai relevansi dengan masalah-
masalah dunia nyata, maka dapat dipandang pengajaran sastra menduduki tempat
yang yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat maka pengajaran
sastra dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-
masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat (Rahmanto,
1996:15).
Melalui hal tersebut, sastra memberikan pengaruh terhadap pembacanya.
Sastra membentuk pola pikiran dan respon pembaca terhadap apa yang dibacanya
dengaan aktivitas kesehariaanya yang saling berkaitan. Pengajaran bahasa dan sastra
7
pada umumnya mengalami kendala dan hambatan. Khususnya pada pengajaran sastra
yang terkadang dianggap kurang bermanfaat.
Sikap yang kurang apresiatif muncul dari siswa dan guru, sehingga pengajaran
sastra terabaikan. Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra
hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan cenderung
kurang mendapat tempat dihati siswa.
Pengajaran sastra diberbagai jenjang pendidikan selama ini dianggap kurang
penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi para guru yang pengetahuan dan
apresiasi (dan budayanya) rendah.
Hakikat dari tujuan pengajaran sastra yaitu untuk menumbuhkan keterampilan,
rasa cinta dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai
budaya warisan leluhur. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang
mempengaruhi minat dan keinginan siswa untuk mengikuti pengajaran dengan baik.
8
Tahap aplikasi pertama adalah tahap deskripsi linguistik. Tahapan ini memberi
jawaban atas pertanyaan general tentang hakekat bahasa yang diajarkan. Secara tidak
langsung bagan-bagan yang dijelaskan memberikan isyarat bahwa teori
struktural dan sosiolinguisrik merupakan bagian dari lingusitik yang
menyumbangakan teorinya dalam penyusunan bahan pengajaran bahasa.
Tahap aplikasi kedua berhubungan dengan isi silabus. Kita tidak akan
mengajarkan keseluruhan bahasa dalam pembelajaran, namun mengajarkan bahasa
yang dibutuhkan oleh peserta didik kita. Dalam tahapan ini kita akan melakukan
desain hasil untuk itu akan dilakukan pemilihan bahan. Pemilihan bahan sangat erat
sekali dengan aplikasi sosiolinguistik terutama jika bahan pembelajaran ingin
menyiapkan bagi pembelajar bahasa Indonesia untuk pengguna bahasa asing, seluk-
beluk variasi dialek, perbandingan interlingual dan perbandingan antara dua bahasa.
Tahap aplikasi ketiga merupakan tahap kegiatan pembelajaran bahasa karena
pada tahap kedua belum bisa membuat silabus yang lengkap dan utuh tentang bahasa,
maka kaidah-kaidah penyusunan silabus ini harus memperhatikan faktor linguistik,
psikolinguistik maupun sosiolinguistik sebagai bahan pengajaran (materi yang
dimasukkan silabus) yang nanti juga menentukan alat, bahan dan sumber
pembelajaran dan pendekatan proses (teknik presentasi) seperti pendekatan
kontekstual, metode jigsaw, role playing, komunikatif, koordinatif dan lain
sebagainya dalam belajar mengajar.
Dalam pengajaran bahasa tentu harus mampu mengaplikasikan bahasa sebagai
sarana penyampaian konten, melakukan proses sosial dan berinteraksi dalam
pembelajaran. Maka rumusan Fishman tersebut dirasa penting sebagai pedoman
dalam berinteraksi, yakni mengetahui siapa yang sedang berbicara, siswa, atau sesama
guru atau kepala sekolah, bahasa apa yang harus digunakan, untuk siapa bahasa
tersebut digunakan karena bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan siswa
tentu akan berbeda ketika berkomunikasi dengan kepala sekolah atau sesama guru.
Ada pula pertimbangan lalu kapankah komunikasi berlangsung dalam situasi
formal atau nonformal, sepeti ketika guru melaksanakan diskusi di dalam kelas, tentu
akan berbeda ketika sedangan bercengkrama di ruang guru yang dilakukannya oleh
sesama guru, dan tujuan dari interaksi yang dilakukan tersebut apa? misalnya tujuan
untk memotivasi siswa tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika
menegur siswa yang melakukan kesalahan, maka disitulah aplikasi sosiolinguistik
dalam interaksi pengajaran bahasa sangat penting untuk diterapkan.
9
Aplikasi berikutnya penggunaan pronomina persona kaitannya dengan variasi
bahasa yang digunakan dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003: 249)
yang menjelaskan pronomina persona sebagai berikut.
Persona Makna
Tunggal Jamak
Netral Eksklusif Inklusif
Pertama Saya, aku, Kami Kita
aku, ku-,-ku
Kedua Engkau, Kalian,
kamu, anda, kamu,
dikau, kau, - sekalian,
mu anda,
sekalian
Ketiga Ia, dia, Mereka
beliau, -nya
Dalam proses belajar-mengajar bahasa, akan kita dapati berturut-turut variabel yang
meliputi (1) murid, yaitu objek yang akan dikenai proses belajar-mengajar dan yang
diharapkan mempunyai sikap dan kemampuan yang lebih baik setelah proses itu selesai; (2)
guru, sebagai subjek yang bertugas melaksanakan proses belajar-mengajar itu, baik sebagai
fasilitator, informator, maupun pembimbing; (3) bahan pelajaran, yakni sesuatu yang harus
disampaikan oleh guru dan murid dalam proses belajar-mengajar itu; dan (4) tujuan
pengajaran, yakni sesuatu yang akan dicapai melalui proses belajar-mengajar itu. Keempat
variabel ini mempunyai hubungan fungsional dalam proses belajar-mengajar dan turut
menentukan keberhasilan belajar itu.
Di samping yang sudah disebutkan di atas, masih ada variabel lain seperti faktor
kebahasaan, kebudayaan, sosial, dan etnis yang merupakan variabel-variabel yang
bersinggungang langsung dengan ilmu sosiolinguistik. Umpamanya, murid yang sehari-hari
10
di rumah dan di lingkungan masyarakatnya menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan
mempunyai kemungkinan untuk lebih berhasil dalam pelajaran bahasa Indonesia daripada
murid yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan masyarakat yang tidak menggunakan
bahasa Indonesia.
Demikian juga murid akan berhasil dalam belajar bahasa Indonesia apabila orang-
orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah dalam percakapan sehari-hari menggunakan
bahasa Indonesia daripada tidak berbahasa Indonesia. B. Pengajaran Bahasa Kedua Dalam
masyarakat multilingual, tentu akan ada pengajaran bahasa kedua, mungkin juga bahasa
ketiga.
Pengajaran bahasa kedua tentu akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik.
Masalah ini mungkin tidak terlalu berat bila bahasa kedua yang dipelajari adalah bahasa yang
serumpun dengan bahasa pertama. Menurut anggapan umum, anak-anak lebih unggul dalam
pembelajaran bahasa asing dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak lebih cepat
“menangkap” dan memahami kata-kata asing daripada orang dewasa (Kridalaksana, 2009:
25).
Pengajaran bahasa kedua di Indonesia secara formal dimulai ketika anak memasuki
pendidikan dasar (kira-kira 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki
pendidikan menengah (kira-kira 13 tahun) untuk bahasa asing. Menurut Pei (dalam Chaer &
Agustina, 1995) anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya,
betapa pun pola bahasa itu sangat ruwet bagi orang asing.
Dengan demikian, ketika anak Indonesia—yang bahasa pertamanya adalah bahasa
daerah—mulai mempelajari bahasa Indonesia, mereka sudah terbiasa dengan pola-pola
bahasa pertamanya. Sebagai kesimpulan, dalam mempelajari bahasa kedua perlu diperhatikan
perbedaan-perbedaan pola yang terdapat antara bahasa pertama, yang telah dikuasai dengan
pola-pola bahasa yang dipelajari.
Begitu juga latar belakang budaya yang perlu dipertimbangkan. C. Bilingualitas dan
Bilingualisme Pada keadaan tertentu akan didapati orang-orang yang mampu berbicara lebih
dari satu bahasa. Masyarakat bahasa tertentu yang bertemu dan hidup dengan masyarakat
bahasa yang lain sangat mungkin saling menyesuaikan diri dengan bahasa tertentu.
Bilingualitas adalah keadaan psikologis seseorang yang mampu menggunakan dua bahasa
dalam komunikasi sosial.
Sedangkan bilingualisme adalah suatu konsep yang mencakup konsep bilingualitas
dan juga keadaan yang menggambarkan terjadinya kontak bahasa di antara sebuah
masyarakat bahasa tertentu dengan masyarakat bahasa lainnya (Hammers dan Blanc dalam
11
Kridalaksana, 2009). Bilingualitas seseorang dapat dilihat dari berbagai dimensi, sepeti
kemampuan berbicara di dalam kedua bahasa, organisasi kognitifnya, atau status kedua
bahasa baginya.
Seseorang yang belajar bahasa pertama dan kedua dalam waktu yang hampir sama
dan dalam konteks yang sama biasanya mempunyai representasi kognitif yang sama untuk
kata tertentu dalam bahasa yang berbeda.
Konsep-konsep mengenai bilingualitas di atas sangat berguna untuk memahami
seseorang yang menguasai atau mengenal lebih dari dua bahasa. Indonesia adalah salah satu
lahan subur untuk penelitian yang demikian karena di negeri ini, setidaknya, hampir semua
orang mengenal bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Sudah tentu, kebanyakan orang Indonesia adalah dwibahasawan. D. Pendekatan
Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa Sosiolinguistik memandang bahwa penggunaan
bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor struktural, tetapi juga oleh faktor-faktor
sosial, faktor-faktor situasional, dan faktor-faktor kultural. Sebagai guru bahasa, mengajarkan
ragam bahasa baku kepada murid-murid adalah suatu keharusan.
Sosiolinguistik pun tidak membantah hal tersebut. Sebab, secara sosial, sekolah
merupakan tempat dan situasi yang harus memfungsikan ragam baku. Namun, pengajaran
bahasa yang hanya berorientasi pada aspek-aspek linguistik dan mengabaikan aspek-aspek
nonlinguistik tidak saja menyimpang dari tujuan kurikuler, tetapi sebenarnya juga memberi
beban yang hampir tidak mungkin dilaksanakan oleh guru.
Dari sudut pandang sosiolinguistik, orientasi di atas tidak dapat dibenarkan, sebab,
pembinaan dan pengembangan bahasa baku tidak dimaksudkan untuk tujuan demikian.
Pembinaan pengembangan bahasa baku harus disertai dengan penjelasan tentang fungsi
ragam itu dalam konteks sosialnya.
Berdasarkan uraian tersebut, perlu diringkaskan beberapa prinsip pendekatan
sosiolinguistik dalam hubungannya dengan pengajaran bahasa, di antaranya :
1. Sesuai dengan tugas sekolah, maka pembinaan bahasa baku merupakan tugas
utama sekolah,
2. Murid-murid perlu diperkenalkan ragam-ragam lain di luar ragam baku untuk
memperluas cakrawala,
3. Ragam-ragam nonbaku ini tidak perlu diajarkan sebab mereka telah “belajar”
dari lingkungan masyarakatnya,
12
4. Memberikan penjelasan dan pengertian tentang kapan, di mana, dan dalam situasi
yang bagaimana masing-masing ragam itu harus digunakan,
5. Pembinaan ragam baku harus dilakukan lewat dua jalur secara serentak yaitu
pembinaan aspek struktur gramatikal dan fungsionalnya
6. Pelatihan “membiasakan” merupakan kunci keberhasilan belajar bahasa, dan
7. Dalam menangani proses belajar-mengajar bahasa guru perlu memanfaatkan
pendekatan sosiolinguistik (Suwito dalam Muhammad Saleh dan Mahmudah,
2006).
13
BAB III
PENUTUP
B. Simpulan
Pengajaran merupakan interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran
berlangsung sebagai suatu proses saling mempengaruhi antara pengajar dan
siswa. Diantara keduanya terdapat hubungan atau komunikasi interaksi. Pada
dasarnya pengajaran sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah
dunia nyata, maka dapat dipandang pengajaran sastra menduduki tempat yang
yang selayaknya.
Penerapan sosiolinguistik yang tak boleh diabaikan adalah aplikasinya
dalam pendidikan. Bagaimana interaksi kebahasaan dalam proses belajar
mengajar sangat penting diketahui. Persoalannya ialah apakah pengajaran
bahsa dapat menyebabkan anak didik menggunakan suatu bahasa menurut
kaidah-kaidah dan tidak mempersoalkan bagaimana penerapan kaidah dalam
penggunaan bahasa sehari-hari.
14
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Brown. Douglas. 2007: Prinsip Pembelajaran Dan Pengajaran Bahasa Edisi Kelima. Jakarta.
Alwi, Hasan. Dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga .Jakarta: Balai
Pustaka.
https://nisakhoirotun95.blogspot.com/2015/06/penerapan-sosiolinguistik-dalam.html
https://erigusnedi.blogspot.com/2016/01/makalah-sosiolinguistik-dan.html
15