DISUSUN OLEH :
PEMATANGSIANTAR
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG..............................................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH.........................................................................................................................1
1.3 TUJUAN PENULISAN...........................................................................................................................1
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................2
2.1 PENGERTIAN KEDWIBAHASAAN DAN DIAGLOSIA..............................................................................2
2.2 FAKTOR-FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KEDWIBAHASAAN........................................................4
2.3 ANALISIS KEDWIBAHASAAN MASYARAKAT.......................................................................................5
PENUTUP...................................................................................................................................................12
3.1 KESIMPULAN....................................................................................................................................12
3.2 SARAN..............................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................13
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberkati sehingga kelompok
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “” tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan dari makalah adalah untuk memenuhi tugas. pada mata kuliah Sosiolinguistik . Selain
itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga penulis.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang diperoleh dari buku panduan serta
informasi dari media masa yang berhubungan dengan judul makalah.
Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Junifer Siregar, S.Pd, M.Pd. selaku
dosen pembimbing mata kuliah Sosiolinguistik yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah wawasan sesuai dengan mata kuliah yang kami ikuti.
Kami menyadari, hasil makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangan serta kelemahannya baik dalam isi maupun sistematikanya. Oleh karena itu,kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 5
ii
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang arbiter yang dipergunakan oleh masyarakat
untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.(Kridalaksana di dalam Aslinda, 2010: 1)
Oleh karena itu, bila berbicara tentang kelompok masyarakat atau kelas social yang terdapat
didalamnya, tentunya tidak terlepas dari peran kedwibahasaan yang mampu menyesuaikan kapan dan
dimana seseorang akan berbicara layaknya sebagai masyarakat yang terdidik atau kaum intelek, dan
kapan masyarakat atau individu akan bertindak atau berbicara layaknya masyarakat tutur pada umumnya.
Masyarakat yang tutur bahasa yang tertutup atau sengaja tidak ingin berhubungan dengan
masyarakat lain dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat yang tutur
katanya terbuka yang mempunyai hubungan dengan masyarakat lain yang mungkin terjadi sebagai akibat
adanya kontak bahasa itu adalah apa yang ada di dalam sosiolinguistik disebut Kedwibahasaan, diglosia,
alih kode, campur kode. Dalam hal ini kami hanya membahas Kedwibahasaan dan Diglosia serta
fenomena dalam masyarakat tutur.
1
PEMBAHASAN
Pengertian kedwibahasawan selalu berkembang mulai dari pengertian yang ketat sampai kepada
pengertian yang longgar. Blommfield dalam bukunya Languange (1933) memberikan batasan
kedwibahasawan sebagai gejala penguasaan bahasa seperti penutur jati (native speaker). Batasan ini
mengiplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua bahasaa
dengan sama baiknya. Mackey (dalam Fishman ed 1968: 555) berpendapat bahwa kedwibahasawan
bukanlah gejala penuturan, bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan; bukan bersifat social
melainkan individual; dan juga merupakan kararteristik pemakaian bahasa. Kedwibahasawan dirumuskan
sebagai praktik pemakaian dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Kondisi dan situasi yang
dihadapi dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai. Pandangan Mackey
didukung oleh Weinreich (1970) yang mengatakan bahwa kedwibahasaan adalah the practice of
alternately using two languages (kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian).
Permasalahan kebahasan yang dapat muncul berkaitan dengan bantasan tersebut adalah
bagaimana kalau kemampuan seseorang dalam B2 sebatas mengerti dan hanya dapat memahami B (2)
tetapi tidak dapat bertutur sehingga sehingga dalam praktik pemakaian bahasa yang melibatkan dirinya, ia
tidak dapat memakainya secara berganti-ganti. Situasi yang demikian tentu diluar batasan
kedwibahasawan yang ketat sebagaimana yang diungkapkan oleh Bloomfield, Mackey, dan Weinreich.
Padahal social linguistik berkepentingan dalam hal tersebut. Macnamara (1967) mengemukakan rumusan
yang lebih longgar. Menurutnya kedwibahasawan itu mengacu pada pemilikan sekurang-kurangnya B1
dan B2, meskipun kemampuan B2 hanya sampai batas minimal. Rumusan ini diikuti oleh Huagen (1972)
mengenai dua bahasa. Ini berarti seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai B2 secara aktif produktif
sebagaimana dituntut oleh Bloomfield, melainkan cukup apabila ia memiliki kemampuan reseptif B2.
Huagen (1972) merumuskan kedwibahasawan dengan lebih longgar, yaitu sebagai tahu dua bahasa.
Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, penguasaan B2 secara pasif pun
dipandang cukup menjadikan seorang disebut dwibahasawan. Mengerti dua bahasa dirumuskan sebagai
menguasai dua sistem kode yang berbeda dari bahasa yang berbeda atau bahasa yang sama
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Dalam pandangan Ferguson menggunakan
istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa
yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranana tertentu. Jadi menurut Ferguson
diglosia ialah suatu situasi kebahasaan relatif stabil, di mana selain terdapat jumlah dialek-dialek utama
dari suatu bahasa terdapat juga ragam bahasa yang lain. Ada Sembilan topik yang dibicarakan Ferguson
dalam diglosia yaitu:
2
1. Fungsi
2. Prestise
3. Warisan sastra
4. Pemerolehan
5. Standarisasi
6. Stabilitas
7. Gramatika
8. Leksikologi
9. Fonologi
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana
terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan
tertentu. Definisi diglosia menurut Ferguson adalah:
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-
dialek utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
• Sudah terkodifikasi
3
2.2 FAKTOR-FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KEDWIBAHASAAN
4
2.3 ANALISIS KEDWIBAHASAAN MASYARAKAT
Dari hasil wawancara diatas dapat kami simpulkan bahwa latar belakang
terjadinya bilingualisme pada narasumber ini diperoleh dari faktor pendidikan.
Karena,bahasa kedua yang diperolehnya didapatnya dari Universitas HKBP Nommensen
Pematangsiantar.
5
2. Pada gambar diatas merupakan
bukti hasil wawancara kami
terhadap narasumber yang
bernama Marsel Lumbantoruan
dari Prodi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar, berikut hasil
wawancara kami :
Siska : Maaf Bang, Jadi Adong Do Sukkun Sukkun Hu Tu Abang.Marga Aha Do
Abang?
Marsel : Au Marga Lumban Toruan.
Siska : Lumbantoruan Sian Dia Bang?
Marsel : Sian Siborong-Borong.
Siska : Ooo.. Jadi I Dia Jabu Ni Abang?
Marsel : Au Tinggal Sonari Markos I Jalan Kertas. Ale Molo Huta Ku Sian
Parsoburan.
Siska : I Dia Do Parsoburan Bang?
Marsel : Sebelum Balige I. Adong Simpang Masuk Tu Kanan.
Siska : Jadi Halak Abang Ijabu Marbahasa Aha Do?
Marsel : Molo Hami Ijabu Marbahasa Batak Do
Siska : Jadi Molo Marbahasa Indonesia Sian Dia Do Iboto Abang?
Marsel : Molo Marbahasa Indonesia Marsiajar Isikkola
Siska : Jadi Stambuk Sadia Do Abang?
Marsel : Au Stambuk 2018.
Siska : Oh Oke Bang. Mauliate Atas Waktu Na.
Dari hasil wawancara diatas dapat kami simpulkan bahwa latar belakang
terjadinya bilingualisme pada narasumber ini diperoleh dari faktor pendidikan. Karena,
narasumber memperoleh bahasa keduanya dari sekolah.
6
3. Pada gambar diatas merupakan
bukti hasil wawancara kami
terhadap narasumber yang bernama
Lestari Girsang dari Prodi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar,
berikut hasil wawancara kami :
Wina : Selamat Sore Kak. Disini Kami Berbicara Dengan Siapa?
Lestari : Perkenalkan Nama Saya Lestari Girsang.
Wina : Oh, Kalau Boleh Tahu Kak Lestari Stambuk Berapa?
Lestari : Stambuk 2018.
Wina : Terima Kasih Kak. Selanjutnya Akan Ditanya Oleh Teman Saya.
Olvi : Hallo Kak. Ise Goran Ni Ham?
Lestari : Au Margoran Lestari Girsang.
Olvi : Prodi Aha Do Nasiam?
Lestari : Au Prodi PGSD.
Olvi : I Ja Rumah Ni Ham?
Lestari : Molo Rumah I Tigaras.
Olvi : Molo I Rumah Manggunahon Bahasa Aha Do Na Siam Tu Orangtua?
Lestari : Molo I Jabu, Hami Manggunahon Bahasa Campur. Kadang Bahasa
Batak Toba, Bahasa Batak Simalungun Pakon Bahasa Indonesia.
Siska : Jadi I Boto Kaka Do Marbahasa Batak Toba?
Lestari : Boi.
Siska : Mayoritas I Tigaras Marbahasa Aha Do Kak?
Lestari : Marbahasa Batak Toba.
Siska : Jadi Omak Boru Aha Do Kak?
Lestari : Molo Omak Boru Siringo-Ringo Aima Batak Toba
Olvi : Tapi Kaka Lestari Lebih Sering Menggunakan Bahasa Simalungun Kan
Dirumah?
Lestari : Iya Kak.
Olvi : Baiklah Kak. Terima Kasih Atas Waktunya.
7
Dari hasil wawancara diatas dapat kami simpulkan bahwa latar belakang
terjadinya bilingualisme pada narasumber ini diperoleh dari faktor perkawinan. Karena,
Ayah dari narasumber menikah dengan Ibunya yang bersuku Batak Toba, sehingga ia
memperoleh 2 bahasa daerah yg berbeda dirumahnya. Faktor lainnya adalah faktor
budaya karena narasumber bersuku Batak Simalungun.
4. Pada gambar
diatas merupakan
bukti hasil
wawancara kami
terhadap narasumber
yang bernama
Kurnia Panjaitan
dari Prodi
Pendidikan Bahasa Inggris, berikut hasil wawancara kami :
Siska : Hi, Good Afternoon!
Kurnia : Good Afternoon!
Siska : Can I Take Your Time For Awhile
Kurnia : Of Course
Siska : What Is Your Name?
Kurnia : My Name Is Kurnia Panjaitan.
Siska : What Is Your Major?
Kurnia : I Am study English
Siska : Where Do You Live?
Kurnia : I Live in Sidamanik
Siska : What Languange That You Use In Your House?
Kurnia : I Speak Bahasa In My House
Siska : Where Did You Study English?
Kurnia : I Study At University Of HKBP Nommensen Pematangsiantar
Siska : Ok, Thank You For Your Time.
8
Dari hasil wawancara diatas dapat kami simpulkan bahwa latar belakang
terjadinya bilingualisme pada narasumber ini diperoleh dari faktor pendidikan.
Karena,bahasa kedua yang diperolehnya didapatnya dari Universitas HKBP Nommensen
Pematangsiantar.
5. Pada gambar diatas merupakan bukti hasil wawancara kami terhadap narasumber
yang bernama Talenta Nababan dari Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, berikut
hasil wawancara kami :
Wina : Selain bahasa Indonesia bahasa apa lagi yang kakak ketahui?
9
Talenta : Bahasa Batak Toba.
Siska : Mon maap Jo kak, menggangu waktunya. Adong pertanyaan Nami untuk
memenuhi tugas mata kuliah sosiolinguistik.
10
Talenta: oh, ipe boi do
Talenta : IPA
Dari hasil wawancara diatas dapat kami simpulkan bahwa latar belakang
terjadinya bilingualisme pada narasumber ini diperoleh dari faktor budaya. Karena, dia
bersuku Batak Toba
11
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat kami disimpulkan beberapa poin, yaitu :
1.Dwibahasa atau bilingual memiliki arti mampu atau biasa memakai dua bahasa.Kedwibahasaan
adalah akibat dari penggunaan lebih dari satu kode oleh seseorang individu atau masyarakat.
2.Diglosia adalah merupakan akibat dari valuasi perbedaan fungsional.Diglosia digunakan untuk
menyatakan suatu masyarakat yang di sana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup
berdampingan dan masing-masing mempunyai peranaan tertentu.
3.2 SARAN
Dengan membaca makalah ini penulis berharap agar para pembaca dapat mengambil hikmah
sehingga bisa bermanfaat. Dan tentunya, penulis sadari bahwa dalam makalah ini terdapat
banyak kelemahan. Dengan demikian, suatu kegembiraan kiranya jika terdapat banyak kritik
dan saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk perjalanan ke depan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Grosjean, Francois. 2001. The Bilinguals Language Models. Dalam Janet L. Nicol
(Ed). One Mind, Two Languages (hlm 1-13). Massachusetts: Blackwell
Publishers.
Halim, M, Z, A., Yusoff, M, F, Md. (2016). Diglosia dalam Salina: Satu Kajian Sosiolinguistik.
Proceeding of ICECRS, 1, 571-578 https://doi.org/10.21070/picecrs.v1i1.527
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 2011. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa.
Bandung: Penerbit Angkasa.