Anda di halaman 1dari 15

Makalah Sosiolinguistik

KDWIBAHASAAN DAN DIAGLOSA

OLEH:

KELOMPOK 2

1. Fika Renanda Sitepu ( 2183111061 )


2. Sakila Lubis ( 2183111050 )
3. Rizky Wardhana ( 2182111022 )
4. Habibah ( 2183111060 )

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami sampaikan kepada Allah swt karena berkat rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami juga berterima kasih kepada Ibu dosen
pengampu yang memberi kontribusi besar kepada kami dalam memahami mata kuliah ini.

Makalah ini disusun dengan harapan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita
semua. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan pastinya
dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan.

Karena itu kami sangat menantikan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya
membangun guna menyempurnakan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan bagi kami khususnya. Atas perhatiannya kami mengucapkan
terimakasih.

Medan, Maret 2020

Kelompok 2

i
Daftar Isi

Kata Pengantar .................................................................................................................. i

Daftar Isi.............................................................................................................................. ii

Bab I Pendahuluan............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang.......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................... 2
Bab II Pembahasan ............................................................................................................ 3
A. Hakikat Kdwibahasaan............................................................................................. 3
B. Pembagiang Kdwibahasaan...................................................................................... 5
C. Hakikat Diaglosa ...................................................................................................... 7
D. Hubungan Kdwibahsaan dengan Diaglosa ............................................................... 8
Bab III Penutup................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 11
B. Saran.......................................................................................................................... 11
Daftar Pustaka..................................................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,
karena dengan berbahasa seseorang dapat menyampaikan maksud dan tujuan kepada
orang lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia
dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya.
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi
melalui bahasa memungkinkan seseorang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitarnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Trager (dikutip Sibarani, 1992:18)
menyatakan, “bahasa adalah sistem simbol-simbol bunyi ujaran yang digunakan anggota
masyarakat sebagai alat berinteraksi dengan keseluruhan pola budaya mereka”. Bahasa
sebagai sebuah gejala dan kekayaan sosial yang akan terus melaju sejalan dengan
perkembangan pemakaiannya. Chaer dan Agustina (2004:15) menyatakan bahwa bahasa
itu bersifat unik dan universal. Unik artinya memiliki ciri atau sifat khas yang tidak
dimiliki bahasa lain dan universal berarti memiliki ciri yang sama yang ada pada semua
bahasa.
Pengertian tentang kedwibahasaan atau bilingual sebagai salah satu dari masalah
kebahasaan terus mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh, titik pangkal
pengertian kedwibahasaan yang bersifat nisbi (relatif). Kenisbian demikian terjadi karena
batasan seseorang untuk bisa disebut sebagai dwibahasawan bersifat arbitrer, sehingga
pandangan tentang kedwibahasaan berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua
bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan
yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang
dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa
Indonesia disebut juga dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan).
Sehubungan dengan hal di atas, penulis akan membahas pengertian kedwibahasaan,
pembagian kedwibahasaan, konsep dan kategori pemilihan bahasa, faktor pemilihan
bahasa, pendekatan pemilihan bahasa dan cara mengukur kedwibahasaan.

1
2

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disampaikan, dapat memunculkan berbagai macam
pertanyaan yang menjadi permasalahan, seperti :
1. Apa yang dimaksud dengan Kdwibahsaan ?
2. Sebutkan dan jelaskan pembagian kdwibahsaan?
3. Apa yang dimaksud dengan diglosia?
4. Apa keterkaitan antara bilingualisme dan diglosia?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana hakikat kdwibahasaan


2. Untuk mengetahui pembagian kdwibahasaan
3. Untuk mengetahui bagaimana hakikat diglosia
4. Untuk mengetahui bagaimana hubungan bilingualism dan diglosia

2
BAB II

PEMABAHASAN

A. Hakikat Kedwibahasaan

Istilah kedwibahasaan menurut Chaer, (2004: 84) merupakan hal yang berkenaan dengan
pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari. Kedwibahasaan
timbul akibat adanya kontak bahasa, ini sesuai dengan pendapat Weinreich (dalam Suwito,
1983: 39) yang menyatakan bahwa kontak bahasa terjadi apabila dua bahasa atau lebih
dipakai secara bergantian, sehingga mengakibatkan terjadinya tranfer yaitu pemindahan atau
peminjaman unsur dari bahasa satu ke bahasa lain, sehingga dapat menimbulkan
kedwibahasaan. Kedwibahasaan berkaitan dengan kontak bahasa karena kedwibahasaan
merupakan pemakaian dua bahasa yang dilakukan oleh penutur secara bergantian dalam
melakukan kontak sosial.

Dalam hal kedwibahasaan, dwibahasawan tidak harus menguasai dua bahasa secara aktif,
tetapi dapat pula secara pasif. Penggunaan secara aktif dalam arti menggunakan dua bahasa
yang sama baiknya, sedangkan secara pasif apabila dia cukup mampu memahami apa yang
dituturkan atau ditulis dalam bahasa kedua.

Telah diketahui bahwa secara harfiah kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan


dua bahasa atau lebih secara bergantian. Berikut ini pendapat-pendapat tentang pengertian
kedwibahasaan oleh para pakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan
sebagai berikut (Chaer dan Agustina, 2004:165—168).

1. Robert Lado

Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau


hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa,
bagaimana tingkatnya oleh seseorang.

2. Francis William Mackey

Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan


kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the
alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini
dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur

3
gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan
berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

3. Hartman dan Stork

Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat
ujaran.

4. Leonard Bloomfield

Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama


baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama
baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa
dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.

5. Haugen

Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara umum maka pengertian
kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun
reseptif oleh seorang individu atau masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu
dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif
atau understanding without speaking.

6. Oksaar

Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus


diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat
dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Perancis sebagai
bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di Montreal Kanada,
bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya, sehingga warga
Montreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan murni.

7. Henry Guntur Tarigan

Pengertian kedwibahasaan bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, hitam atau putih,
tetapi bersifat “kira-kira” atau “kurang lebih”. Pengertian kedwibahasaan merentang dari
ujung yang paling sempurna atau ideal, turun secara berjenjang sampai ke ujung yang paling
rendah atau minimal. Pendek kata, pengertian kedwibahasaan berkembang dan berubah
mengikuti tuntutan situasi dan kondisi (Tarigan, 1990:7).

4
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan
berhubungan erat dengan pemakaian dua bahasa atau lebih oleh seorang dwibahasawan atau
masyarakat dwibahasawan secara bergantian. Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian
dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu
atau oleh masyarakat.

Perbedaan pengertian mengenai kedwibahasaan disebabkan oleh susahnya


menentukan batasan seseorang menjadi dwibahasawan. Dewasa ini kedwibahasaan
mencakup pengertian yang luas: dari penguasaan sepenuhnya atas dua bahasa, hingga
pengetahuan minimal akan bahasa kedua. Berapa jauh penguasaan seseorang atas bahasa
kedua bergantung pada sering tidaknya dia menggunakan bahasa kedua itu (Alwasilah,
1993:73).

B. Pembagian Kdwibahasaan

Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan,


yaitu :

1. Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa


lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan
pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai
oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.

2. Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik


oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan
B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.

3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1


sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang
dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu
bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.

5
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kdwibahasaan
diantaranya adalah:

1. Baeten Beardsmore (1985:22)

Menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism)


yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses
menguasai B2.

2. Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5)

Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat,
maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:

a. Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)


Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing
bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun
dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
b. Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang
berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
c. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama
tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang
dipakai oleh masyarakat itu.

3. Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)

Tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan


kedwibahasaan menjadi dua yaitu:

a. Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif


atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua
bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa
(menyimak, berbicara, membaca, dan menulis)
b. Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau
kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism)

6
C. Diglosia

Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh
Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi sosiolingustik
setelah digunakan oleh seorang swarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun
1958 dalam suatu symposium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang
diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian
Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang
berjudul “diglosia”.

Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat


di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetangahkan
sembilan topik:

1) Fungsi
Merupakan kriteria diglosia yang sangat pentin. Menurut ferguson dalam
masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut
dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah
(disingkat dialek R atau ragam R).
2) Prestise
Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menggunakan dialek T lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis.
Sedangkan dialek R dianggap inferior, malahan ada yang menolak keberadaannya.
3) Warisan Kesusastraan
Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat
kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa
tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T,
maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus
dalam ragam T. tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam
empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu tetap berakar, baik di Negara-
negara berbahasa arab, bahasa yunani, bahasa prancis, dan bahasa jerman.

7
4) Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal,
sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman
sepergaulan.
5) Standardi
Ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak
mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui
kodifikasi formal.
6) Stabilitas
Kesetabilan dalam masyarakat diglosia biasanya telah berlangsung lama,
dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam
masyarakat itu.
7) Gramatika
Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi
subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R diangap artificial.
8) Leksikon
Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada
kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya.
9) Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan structural antara ragam T dan ragam R.
Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.

Pakar sosiologi yang lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini
menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad
diglosia perbedaan itu tidak hanya antara du bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara
binern melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk
juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fingsi kebahasaan,
sehingga muncullah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut
double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.

D. Hubungan Bilingualisme Dan Diglosia

Hubungan antara bilingualisme dan diglosia. Diglosia diartikan sebagai adanya


perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa( terutama fungsi T dan R) dan bilingualisme adalah

8
keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman (1977)
menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak dalam bagan.

+ -
Diglosia

Bilingualisme

Diglosia dan Bilingualisme Bilingualisme tanpa


Diglosia
+

Diglosia tanpa Bilingualisme Tanpa diglosia

- Tanpa bilingualisme

1. Bilingualisme dan Diglosia

Masyarakat bilingual dan diglosis yaitu masyarakat yang menguasai dua bahasa atau
lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai
peranannya masing-masing. Contohnya masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara dan bahasa daerah sebagai bahasa intrakelompok. Seperti dalam data
di bawah ini.

1) Sabar, pertanyaan Panjenengan pasti terjawab semua!


Dalam kalimat tersebut penutur mengetahui ragam dan fungsinya dengan baik.
Kata panjenengan termasuk ragam bahasa Jawa T dan digunakan untuk menghormati
orang yang lebih tua maupun yang lebih tinggi kedudukannya.
Contoh lain misalnya, seorang artis yang sedang melakukan wawancara,
sering menggunakan bilingualisme dan juga diglosia. Faktor diglosia lebih pada hal
prestise.
2) Saya berencana akan go international tahun ini.
Go international menunjukkan prestise seorang artis yang menganggap bahwa
bahasa Inggris adalah bahasa T, dan bahasa Indonesia adalah bahasa R-nya. Selain
contoh di atas, orang Madura yang berkomunikasi dengan orang Jawa sering

9
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dengan menggunakan logat Madura.
Seperti pada data berikut.
3) Sampeyan mau beli sate berapa tusuk?
Kata sampeyan dalam bahasa Madura dan bahasa Jawa fungsinya sama, yaitu
untuk komunikasi dengan orang yang tidak dikenal, maupun orang yang lebih muda
tetapi tetap disegani. Hal ini sudah termasuk pada diglosia, dan untuk mendukung ke-
diglosia-nya ini, penutur mengucapkan tuturan tersebut dengan logat Madura.
Selanjutnya penutur menggunakan bahasa Indonesia yang menunjukkan ke-bilingual-
nya.
2. Bilingualisme tanpa Diglosia
Percampuran/ penggunaan dua bahasa tanpa ditambai diglosia. Bisa terjadi ketika
seseorang bercampur kode, bahasa Indonesia disisipi bahasa jawa.

Misalnya :

a) Kapan kamu bayar utang?


b) Bagaimana bisa kamu dapat duit?

3. Diglosia tanpa bilingualisme:


Tanpa penggunaan dua bahasa tapi menggunakan diglosia. Bahasa jawa disisipi
diglosa atau bahasa indonesia di sisipi diglosa.

Misalnya :

a) Wesgo ojo nanges. (bahasa jawa yang disisipi diglosa go,ciri khas kota pati)
b) Jangan begitu to. (bahasa Indonesia + diglosa to)

4. Tanpa bilingualisme tanpa diglosia


Menggunakan satu bahasa dan tanpa menggunakan diglosia. Hanya menggunakan
bahasa indonesia saja atau bahasa jawa saja.

Misalnya :

a) Joko sedang membaca novel di kamar.


b) Aku ora seneng maca novel.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa, B1 (bahasa daerah) dan B2


(bahasa nasional) atau B1 (bahasa nasional) dan B2 (bahasa asing) dalam berinteraksi dengan
orang lain. Kemampuan itu dimiliki baik secara aktif-produktif maupun secara reseptif apa
yang dituturkan orang lain. Pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan
terdiri dari kedwibahasaan majemuk, koordinatif/sejajar dan subordinatif/kompleks. Tidak
terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa seseorang. Hal ini
membuktikan bahwa karakteristik penutur dan lawan tutur merupakan faktor yang paling
menentukan dalam pemilihan bahasa dalam suatu masyarakat

Diglosia adalah fenomena penggunaan bahasa yang dipertimbangkan pada


fungsinya.Diglosia terjadi baik pada masyarakat monolingual maupun bilingual.Pada
masyarakat monolingual diglosia adalah penggunaan ragam bahasa sesuai dengan
pertimbangan fungsi setiap ragam.Sedangkan diglosia dalam masyarakat bilinguall adalah
penggunaan tidak hanya pada penggunaan ragam, tetapi juga penggunaan bahasa sesuai
dengan fungsinya.

Hubungan antara bilingualisme dan diglosia terletak pada titik temu dan titik
pisah.Hubungan titik temu berupa beradanya atau tidak beradanya bilingualism dan
diglosia.Sedangkan hubungan titik pisah berdasarkan beradanya salah satu fenomena atau
tidak adanya salah satu fenomena. Ada empat tipe hubungan bilingualisme dan diglosia yaitu
: (1) diglosia dan bilingualisme, (2) tipe bilingualisme tanpa diglosia, (3) tipe diglosia tanpa
bilingualisme , dan (4) tipe tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme.

B. Saran
Besar harapan kami pembaca dapat merasakan manfaat dari hasil kerja kami
dan kritik pembaca yang bersifat membangun dapat menjadi pelajaran berharga untuk
kami menjadi lebih baik lagi mambuat suatu makalah selanjutnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul, dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Kamaruddin.1989. Kedwibahasaan dan Pendidikan Bahasa. Jakarta: Depdikbud
Suwito. 1993. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Fakultas
Sastra Universitas Sebelas Maret.
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 2011. Pengajaran Analisis Kesalahan
Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.

12

Anda mungkin juga menyukai