Anda di halaman 1dari 14

LITERASI GENDER

Dosen Pengampu :
Dr. M. Joharis Lubis, M.Pd.

Disusun Oleh :

Nama : Thyra Natashya Aritonang

NIM : 2183111057

Kelas : Reguler C 2018

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha Esa,
yang berkuasa atas seluruh alam semesta, karena berkat rahmat, taufik serta
hidayah-Nya jugalah maka makalah “Literasi Gender” ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.

Saya selaku penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini


tidak terlepas dari kesalahan dan sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
sempurnanya makalah ini.

Saya berharap semoga Makalah ini dapat digunakan sebagaimana


mestinya dan bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan yang
maha Esa mencurahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.

Medan, 09 April 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................. 2

BAB I PEMBAHASAN
A. Literasi Gender dan Masalah Ketidaksetaraan Gender................... 3
B. Literasi Perempuan ......................................................................... 5

BAB III PENUTUP


A. Simpulan......................................................................................... 7
B. Saran ............................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Literasi berasal dari istilah latin 'literature' dan bahasa inggris 'letter'. Literasi merupakan
kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan
membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual
yang artinya "kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara
visual (adegan, video, gambar)."
Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan memiliki
kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa yaitu membaca
dan menulis. Jadi, makna dasar literasi sebagai kemampuan baca-tulis merupakan pintu
utama bagi pengembangan makna literasi secara lebih luas dan cara yang digunakan untuk
memperoleh literasi adalah melalui pendidikan.
Dalam bab ini, yang dibahas adalah tentang literasi gender dan hubungan antara literasi
dan perempuan. Selama ini banyak terdapat ketidakadilan gender baik terhadap kaum laki-
laki, terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan
struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Ketidakadilan gender yang terjadi seringkali menempatkan kaum perempuan sebagai korban
dan telah lama menjadi realita di dalam sistem dan struktur kehidupan masyarakat.Hal ini
seringkali disebabkan kurangnya pemahaman tentang gender.

Literasi perempuan berarti kemampuan seseorang untuk menyampaikan dan menerima


pesan (wacana) tentang perempuan tanpa diskriminasi sektarian-rasialistik. Peran perempuan
dalam literasi bukan hanya kaitannya dengan membaca dan menulis, tetapi juga dalam
dimensi yang lain. Perempuan mengajari anaknya memasak, membuat kue, mencuci piring,
pakaian, menjahit, dan sebagainya merupakan bagian daripada literasi. Perempuan
seyogyanya dapat menyebarkan nilai-nilai kehidupan melalui kegiatan literasi. Seorang
perempuan baik yang belum menikah atau yang telah menikah dapat melakukannya.
Pendekatan kepada anak sejak dini dan di masa remaja adalah perlakuan yang penting dan
dapat berpengaruh besar pada hidup anak di masa yang akan datang.

Sangat penting menciptakan dan membangun kesetaraan peran gender (laki laki dan
perempuan) sejak dini. Langkah kesadaran tersebut merupakan bagian penting dalam
pendidikan. Oleh karena itu seorang pendidik perlu memiliki wawasan yang luas tentang
1
keadilan gender agar tidak hanya terjadi transfer pendidikan secara kognitif tetapi
menanamkan nilai nilai kehidupan khususnya keadilan gender. Sensitif gender dapat
dipahami sebagai suatu sikap, baik itu dalam bentuk perkataan maupun perbuatan yang
mendukung kesetaraan gender, dan sangat menghindari diskriminasi atas jenis kelamin
tertentu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu literasi gender?
2. Bagaimana masalah ketidaksetaraan gender?
3. Apa hubungan antara literasi dan perempuan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang literasi gender.
2. Untuk mengetahui masalah ketidaksetaraan gender.
3. Untuk mengetahui hubungan antara literasi dan perempuan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Literasi Gender dan Masalah Ketidaksetaraan Gender


Pada umumnya, masyarakat memahami konsep gender sama dengan jenis kelamin (seks).
Kondisi tersebut memerlukan sebuah ketegasan pandangan, bahwa meskipun memiliki arti
kata yang sama, namun keduanya yakni sex dan gender memiliki pengertian yang berbeda.
Sex (jenis kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Adapun gender adalah suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural.
Dalam tatanan kehidupan masyarakat sosial, selama ini ditengarai terdapat ketidakadilan
gender baik terhadap kaum laki-laki, terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan
gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi
korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender yang terjadi seringkali menempatkan kaum
perempuan sebagai korban dan telah lama menjadi realita di dalam sistem dan struktur
kehidupan masyarakat. Hal ini seringkali disebabkan kurangnya pemahaman tentang gender.
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menyebarluaskan konsep gender, namun pihak
manapun pasti akan menjumpai hambatan jika tidak ada pemahaman dini terkait gender itu
sendiri.
Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan oleh
karena keduanya terdapat perbedaan secara biologis. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
cukup banyak peran gender yang sebenarnya memang berlandaskan dari perbedaan biologis.
Misalnya, mencuci, memasak, merawat anak yang cenderung diperankan oleh perempuan.
Hanya saja menjadi sebuah kekeliruan yang besar bila kita memandang peran tersebut tidak
dapat dipertukarkan dan menjadi faktor terjadinya kekerasan gender dalam ruang domestik.
Dalam sejarah kehidupan manusia, ketimpangan gender telah sering terjadi. Ketimpangan
tersebut seringkali terjadi baik dari aspek pemikiran dan pemahaman serta aspek sosial
keagamaan. Dalam artian lain, ketidakadilan gender cenderung terjadi hampir di segala lini.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender (gender inequalitas). Namun yang menjadi persoalan, ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan

3
terutama terhadap kaum perempuan. Kekerasan berbasis gender seringkali menempatkan
kaum perempuan sebagai korban atau sebagai kaum yang tersubordinasi.
Dalam rumusan lain, kekerasan dalam rumah tangga didefinisikan setiap perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang secara sendiri atau bersama-sama terhadap perempuan atau
terhadap pihak tersubordinasi lainnya dalam lingkup rumah tangga, yang mengakibatkan
kesengsaraan secara fisik, seksual, ekonomi, ancaman psikologis termasuk perampasan
kemerdekaan secara sewenangwenang. Kekerasan berbasis gender dalam bentuk kekerasan
dalam rumah tangga merupakan fenomena kebudayaan yang dikonstruk oleh banyak variabel
antara lain sistem sosial, budaya, hukum dan keyakinan-keyakinan agama. Semua variable
tersebut sangat berpengaruh dalam proses pembentukan keyakinan gender. Semua
ketidakadilan gender tersebut, pada dasarnya merupakan refleksi dari ketidakadilan yang
terstruktur yang dikonstruk oleh sistem sosial, budaya dan bahkan pula agama yang pada
gilirannya merupakan melanggar hak asasi manusia.
Proses terjadinya ketidaksetaraan gender karena perbedaan gender sesungguhnya tidak
bisa dilepaskan begitu saja dari perbedaan jenis kelamin (sex) atau biasa juga disebut
konstruksi tubuh. Anggapan bahwa misalnya perempuan itu lemah merupakan pandangan
yang berlandaskan penilaian dari konstruksi tubuh atau kesan yang ditampilkan berdasarkan
seksnya atau berdasarkan analogi tubuh.
Adanya pandangan dan anggapan yang melihat peran antara perempuan dan laki laki
cenderung patriakri, perempuan adalah makhluk yang lemah, telah menyebabkan masyarakat
melegitimilasi dan menerapkan pemikiran tersebut dalam kehidupan sehari-hari yang
akhirnya menimbulkan dampak yang tidak baik seperti meminggirkan hak hak perempuan,
pemberian citra negatif terhadap perempuan, pemberian beban yang berlebihan pada
perempuan rumah tangga, serta terjadinya KDRT.
Sangat penting menciptakan dan membangun kesetaraan peran gender (laki laki dan
perempuan) sejak dini. Langkah kesadaran tersebut merupakan bagian penting dalam
pendidikan. Oleh karena itu seorang pendidik perlu memiliki wawasan yang luas tentang
keadilan gender agar tidak hanya terjadi transfer pendidikan secara kognitif tetapi
menanamkan nilai nilai kehidupan khususnya keadilan gender.Sensitif gender dapat dipahami
sebagai suatu sikap, baik itu dalam bentuk perkataan maupun perbuatan yang mendukung
kesetaraan gender, dan sangat menghindari diskriminasi atas jenis kelamin tertentu.

4
B. Literasi dan Perempuan

Istilah literasi dalam tulisan ini bukan saja diidentikkan dengan kemampuan seseorang
untuk membaca dan menulis (Hornby, 1995), tetapi secara esensial dipahami sebagai
kemampuan seseorang untuk menyampaikan dan menerima pesan (Iriantara, 2009, h. 4).
Literasi perempuan berarti kemampuan seseorang untuk menyampaikan dan menerima pesan
(wacana) tentang perempuan tanpa diskriminasi sektarian-rasialistik.

Wacana perempuan bergerak melalui gerakan literasi mulai tampak belakangan ini.
Gerakan itu antara lain mengawal melek aksara dan gemar membaca. Meski, literasi secara
luas diartikan sebagai bentuk sikap seorang pribadi untuk dapat tangguh, kritis, menjaga jarak
dengan persoalan, serta mampu menghadapi berbagai tantangan yang menuntut harusnya
berdiri di kaki sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Penggerak Perempuan Literasi, Betta
Anugerah kepada Analisa, beberapa waktu lalu.

Menurutnya hal itu masuk dalam kerangka wacana besar, yakni bagaimana kondisi
objektif perempuan dan literasi saat ini? Menurutnya perempuan dalam hal ini menjadi
subjek, bukan objek. Artinya perempuan senantiasa melakukan usaha pencerdasan dan
pembentukan karakter anak bangsa melalui kegiatan berliterasi. “Literasi sangat dekat dengan
perempuan. Sejarah mencatat peran perempuan dalam keluarga. Salah satunya adalah
menularkan budaya literasi kepada anak sejak dini,” katanya.

Indonesia pernah mengalami perkembangan isu perempuan yang cukup progressif di awal
tahun 2000. Dalam konteks ekonomi, perempuan hanya dominan dalam
level daytodaylabor (tenaga kerja harian) dan bukan pada posisi top managerial(pengambil
keputusan). Dalam konteks pendidikan, kini telah semakin banyak perempuan yang sadar
pendidikan. Namun, tidak sedikit juga angka buta huruf. Terutama perempuan di wilayah
daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan) Indonesia.

“Buta huruf atau niraksara menghinggap pada sebagian besar perempuan usia lanjut
namun masih mampu berkarya-bekerja. Populasi perempuan yang mengenyam pendidikan
pun lebih banyak dari laki-laki. Namun, misalnya jumlah siswa perempuan di bangku sekolah
dasar hingga menengah atas itu tidak dapat menjamin bahwa keadilan gender telah berhasil,”
bebernya. Perempuan seyogyanya dapat menyebarkan nilai-nilai kehidupan melalui
kegiatan literasi. Dari wilayah terkecil yakni keluarga, dari dalam rumah. Seorang perempuan
baik yang belum menikah atau yang telah menikah dapat melakukannya. Pendekatan kepada
anak sejak dini dan di masa remaja adalah perlakuan yang penting dan dapat berpengaruh

5
besar pada hidup anak di masa yang akan datang. “Perempuan sebagai individu yang
dianggap paling dekat dengan anak dapat menularkan kebiasaan membaca, membeli buku,
dan memandu anak dalam memahami isi bacaan secara menyeluruh,” sahutnya.

Sebagai contoh, seorang ibu yang membacakan dongeng kepada anaknya. Sejatinya, dari
sanalah nilai-nilai baik dalam kehidupan dapat diperoleh sang anak dengan sekaligus. Anak
dapat berekreasi dengan imajinasinya, sembari menikmati kehangatan dari seorang ibu yang
sebenarnya sedang mengedukasi anak tersebut. Sejatinya pemerintah telah merespon baik
beberapa hal terhadap perempuan. Dimulai dari adanya kajian anggaran yang responsif
terhadap gender. Begitupun ditegaskannya, secara umum pemerintah belum memenuhi hak-
hak perempuan karena definisi hak perempuan masih melekat pada adanya budaya patriarki.
Wujudnya masih berupa status quo.

6
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dalam tatanan kehidupan masyarakat sosial, selama ini ditengarai terdapat ketidakadilan
gender baik terhadap kaum laki-laki, terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan
gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi
korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender yang terjadi seringkali menempatkan kaum
perempuan sebagai korban dan telah lama menjadi realita di dalam sistem dan struktur
kehidupan masyarakat. Hal ini seringkali disebabkan kurangnya pemahaman tentang gender.
Oleh karena itu, sangat penting menciptakan dan membangun kesetaraan peran gender (laki
laki dan perempuan) sejak dini.

Peran perempuan dalam literasi bukan hanya kaitannya dengan membaca dan menulis,
tetapi juga dalam dimensi yang lain. Perempuan mengajari anaknya memasak, membuat kue,
mencuci piring, pakaian, menjahit, dan sebagainya merupakan bagian daripada literasi.
Perempuan seyogyanya dapat menyebarkan nilai-nilai kehidupan melalui kegiatan literasi.

B. Saran
Diharapkan para peserta didik, mahasiswa, terutama kita sebagai calon tenaga pendidik
memiliki wawasan yang luas tentang keadilan gender agar tidak hanya terjadi transfer
pendidikan secara kognitif tetapi menanamkan nilai nilai kehidupan khususnya keadilan
gender.

7
DAFTAR PUSTAKA

Mansour, Fakih. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Haruna, Rahmawati. 2018. Literasi Gender di Kalangan Mahasiswa Jurusan Ilmu


Komunikasi: Jurnal Tabligh Volume 19 Nomor 1 (hlm. 96-105). Tersedia:
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/tabligh/article/viewFile/5940/5128, diakses
tanggal 08 April 2019.

Hilmi, Susimie. 2015. PERSPEKTIF GENDER DAN TRANSFORMASI BUDAYA


DALAM NOVEL INDONESIA BERWARNA LOKAL JAWA: Jurnal UPI. Volume 1
Nomor 1 (hlm. 44-55). Tersedia:
http://ejournal.upi.edu/index.php/RBSPs/article/viewFile/6349/pdf, diakses tanggal 08 April
2019.

Hanung. 2018. Kartini, Perempuan, dan Perjuangan Literasi yang Belum Usai. [online].
Tersedia: http://blog.mizanstore.com/kartini-perempuan-dan-perjuangan-literasi-yang-belum-
usai/. Diakses pada tanggal 08 April 2019.

Najih, Itsbatun. 2018. Perempuan dan Literasi Kemajuan Bangsa. [online]. Tersedia:
https://jalandamai.org/perempuan-dan-literasi-kemajuan-bangsa.html. Diakses pada tanggal
08 April 2019.

Apandi, Idris. 2017. Perempuan dan Literasi. [online]. Tersedia:


https://www.kompasiana.com/idrisapandi/589edaf6bd22bdf306dd6cb2/perempuan-dan-
literasi. Diakses pada tanggal 08 April 2019.

Ahmad, Saefudin. 2014. Literasi Perempuan. [online]. Tersedia:


https://teraskita.wordpress.com/2014/10/15/literasi-perempuan/. Diakses pada tanggal 08
April 2019.

Limtan, Anthony. 2017. Perempuan dan Literasi. [online]. Tersedia:


http://harian.analisadaily.com/mobile/wanita-dan-keluarga/news/perempuan-dan-
literasi/297923/2017/01/13. Diakses pada tanggal 08 April 2019.

Anda mungkin juga menyukai