Anda di halaman 1dari 13

MASYARAKAT ANEKABAHASA

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Harsia, S.Pd., M.Hum

Disusun Oleh :
IKSAH ANGGRAENI (2101403016)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO
PALOPO
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT. Yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Masyarakat Aneka Bahasa”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk sara serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberi manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Palopo, November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….iii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Pengertian Masyarakat Aneka Bahasa...........................................................3
2.2 Nasionalitas dan Nasion.................................................................................3
2.3 Peranan Bahasa dalam Nasionalisme dan Nasionanisme...............................3
2.4 Keanekabahasaan sebagai Masalah................................................................4
2.5 Efek Keanekabahsaan Kemasyarakat.............................................................4
2.6 Cara Bangsa Anekabahasa Berkembang........................................................5
2.7 Diglosia dalam Masyarakat Anekabahasa......................................................6
BAB III PENUTUP................................................................................................9
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................9
3.2 Saran...............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa tidak akan lepas hubungannya dari masyarakat. Melalui bahasa
sebuah masyarakat dapat menunjukkan identitasnya, diantara masyarakat yang
lain. Masyarakat Indonesia tentunya adalah masyarakat yang berbeda dengan
kelompok sosial atau masyarakat lainnya hal ini dapat terlihat dari bahasa yang
dimilikinya. Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai-bagai pulau dan
daerah. Sehingga masyarakat Indonesia memiliki bahasa daerah yang beraneka
ragam. Untuk mempersatukan keanekaragaman bahasa daerah yang begitu kaya di
Indonesia, Indonesia juga memiliki bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.
Selain itu agar Indonesia tetap maju dalam informasi dan teknologi, maka Bahasa
Inggris dan juga bahasa asing yang lain diajarkan di sekolah dan dipergunakan
oleh masyarakat Indonesia sebagai bahasa asing. Maka dapat dijelaskan bahwa
setiap bahasa yang dipergunakan di Indonesia yaitu bahasa daerah, bahasa
Indonesia dan bahasa asing memiliki kedudukan yang berbedabeda yang tentunya
saling mendukung satu dengan lainnya. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia
ketiga bahasa tersebut dipakai dalam masyarakatnya
Pilihan bahasa adalah bagian dari ilmu sosiolinguistik Fasold menyatakan
dalam bukunya bahwa sosiolinguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya
pilihan pemakaian bahasa (Fasold, 1996:180). Fasold memberikan ilustrasi
dengan istilah societal multilingualism (multilingualisme masyarakat) yang
mengacu kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat (Fasold 1984:180).
Tidaklah akan ada bab diglosia, apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah.
Dengan kata lain tidak akan ada kajian sosiolinguistik tanpa adanya topik
pemilihan bahasa. Dijelaskan bahwa fenomena pemakaian bahasa atau pemilihan
bahasa dalam sebuah masyarakat tutur dikontrol oleh faktorfaktor sosial, budaya
dan situasional.
Berdasarkan uraian tersebut, maka akan dibahas mengenai kajian
pemilihan bahasa, para sosiolinguis berusaha memberikan penjelasan hubungan
gejala pemilihan bahasa dengan faktor-faktor sosial, budaya dan situasional dalam

1
masyarakat dwibahasa atau multibahasa, baik secara korelasional maupun
impilikasional.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Apa pengertian masyarakat anekabahasa?
2. Apa definisi nasionalitas dan nasion?
3. Bagaimana peranan bahasa dalam nasionalisme dan nasionanisme?
4. Bagaimana keanekabahasaan sebagai masalah?
5. Bagaimana efek keanekabahasaan dalam masyarakat?
6. Bagaimana msyarakat anekabahasa berkembang?
7. Bagaimana diaglosia dalam masyarakat anekabahasa?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui pengertian masyarakat anekabahasa.
2. Mengetahui definisi nasionalitas dan nasion.
3. Mengetahui peranan bahasa dalam nasionalisme dan nasionanisme.
4. Mengetahui keanekabahasaan sebagai masalah.
5. Mengetahui efek keanekabahasaan dalam masyarakat.
6. Mengetahui masyarakat anekabahasa berkembang.
7. Mengetahui diaglosia dalam masyarakat anekabahasa.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Masyarakat Aneka Bahasa


Masyarakat aneka bahasa adalah masyarakat yang menghuni suatu
wilayah dengan beragam bahasa. Negara Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki masyarakat anekabahasa. Perkembangan masyarakat anekabahasa
dipengaruhi oleh empat hal. Empat hal tersebut yaitu: imigrasi, penjajahan,
federasi, dan wilayah tapal batas. Dengan adanya empat hal tersebut menjadikan
masyarakat yang terdapat dalam suatu wilayah itu menjadi beraneka ragam bahasa
dan budayanya.

2.2 Nasionalitas dan Nasion


Dalam hubungan dengan batas-batas yang tidak begitu jelas antara bangsa
dan bahasa dalam masyarakat majemuk (plural) society semacam itu , munculah
konsepsi Fishman (1968 a: 1972) tentang nasionalitas (nationality) dan (nation).
Menurut Fishman, nasionalitas adalah sekelompok orang yang merasa sebagai
suatu satuan sosial (social unit) yang berbeda dari kelompok yang lain, tetapi
tidak didasarkan atas ukuran local (wilayah). Nasionalitas harus dibedakan dari
istilah kelompok etnis (ethnic group) yang sudah kita kenal kelompok etnik itu
merupakan oraganisasi sosiokultural “sederhana, lebih kecil, lebih khas, lebih
lokalistik”. Dalam sosiolinguistik, nasionalitas dan etnik itu dianggap sebagai dua
hal atau dua kubu yang sangat berbeda dan terpisah, melainkan merupakan dua
titik ujung (ekstrem) dari sebuah rentangan garis nasional. Nasionalitas
Kelompok etnis Menurut Fishman, nasion adalah “suatu satuan politik territorial
yang sebagian besar menjadi atau makin menjadi dibawah kontrol (kendali)
nasionalitas tertentu.

2.3 Peranan Bahasa dalam Nasionalisme dan Nasionanisme

3
Nasionalisme adalah perasaan yang berkembang dari dan mendukung
nasionalitas. Nasionismelebih mengacu kepada masalah-masalah kekuasaan yang
pragmatik. Menurut Fishman, peranan bahasa dalam nasionalisme itu sangat
gambling. Bahasa akan menjadi masalah bagi nasionisme dalam dua bidang, yaitu
bidang administrasi pemerintah dan pendidikan. Yang pertama, proses
memerintah itu memerlukan komunikasi, baik komunikasi antarlembaga maupun
komunikasi antara pemerintah dengan rakyat. Kedua, pendidikan memerlukan
bahasa pengantar yang mampu mengalihkan pengetahuan secara efisien kepada
anak.
Peranan bahasa dalam nasionalisme di lain pihak, lebih tidak kentara.
Bahasa, bersama dengan kebudayaan, agama dan sejarah, merupakan komponen
nasionalisme. peranan lain yang bisa dimainkan oleh bahasa dalam nasionalisme
adalah apa yang disebutkan Fishman “contrastive self-identifiction” (identifikasi -
diri yang konstratif) atau oleh Garvin dan Mathiot (1956) disebut “ unifying and
separating function ” (fungsi menyatukan dan sekaligus memisahkan).
Nasionalisme secara sadar berusaha membangun bahasa yang semula
merupakan ragam regional atau ragam ragam social yang dipakai tanpa kesadaran
dan tidak secara emosional mengikat para penuturnya, menjadi bahasa yang lebih
baku dan modern, yang otentik, dan menyatukan, yang harus dipergunakan secara
sadar pula dan ini diperjuangkan secara sungguh-sungguh.

2.4 Keanekabahasaan sebagai Masalah


Negara anekabahasa dapat mendekati masalah ini dengan dua cara yaitu
mereka dapat berusaha mengembangkan bahasa nasional dan mereka dapat
mencoba mengembangkan nasionalisme tidak berdasarkan bahasa. Masalah
bahasa bagi nasionalisme lebih bersifat pragmatik daripada simbolik, maka
pemecahan masalah yang bersifat nasionis sering menimbulkan masalah yang
bersifat nasionalis. Misalnya, secara pragmatik, negara bekas jajahan
menggunakan bahasa penjajah sebagai bahasa resmi mereka.
Masalah konflik antara nasionalisme dengan nasionisme, dalam dunia
pendidikan agak berbeda. Dalam beberapa hal, strategi terbaik bagi bahasa dalam
pendidikan ialah memakai berbagai bahasa etnik. Bagaimanapun, inilah bahasa-

4
bahasa yang telah dikuasi anak-anak, sehingga pelajaran bisa dimulai tanpa
menunggu sampai anak-anak belajar bahasa nasional.

2.5 Efek Keanekabahsaan Kemasyarakat


Kalau benar bangsa yang anekabahasa itu mempunyai masalah-masalah
yang tidak ada dalam bahasa ekabahasa tentu ada kemungkinan untuk
menunjukkan bahwa Negara-negara anekabahasa itu tidak beruntung, dan efek
semacam itu harus dapat diukur dengan cara tertentu. Misalnya harus dapat
ditunjukkan, negara anekabahasa itu dari sudut ekonomi lebih baik daripada
negara anekabahasa.
Pool (1972) mencoba meneliti masalah ini dengan 133 negara atas dasar
jumlah bahasa dan Pendapatan Domistik bruto (GDP). Ia menemukan hal-hal
berikut.
1. Suatu Negara dapat saja mempunyai derajat keseragaman bahasa, tetapi
tetap menjadi Negara tidak berkembang (miskin);
2. Suatu negara yang seluruh penduduknya sedikit-banyak berbicara bahasa
yang sama bias saja sangat kaya atau sangat miskin;
3. Suatu Negara yang secara linguistic sangat heterogen (beranekaragam)
selalu tidak berkembang (miskin) atau setengah berkembang (setengah
miskin);
4. Suatu Negara yang sangat maju (berkembang) selalu mempunyai
keseragaman yang baik.
Fishman (1968b), mempunyai kesan “Negara yang secara linguistic
homogeny biasanya secara ekonomi berkembang (maju)”. Tetapi, sesuai dengan
pembicaraan kita terdahulu, sebaliknya kita tidak segera berkesimpulan derajat
keanekabahasaan yang tinggi itu menghalangi kemajuan ekonomi. Juga tidak
benar dikatakan, kemajuan ekonomi akan mengurangi keragaman bahasa. Dapat
dikatakan, keseragaman bahasa dan keadaan ekonomi dapat saling mendorong.

2.6 Cara Bangsa Anekabahasa Berkembang

5
Perkembangan masyarakat anekabahasa dipengaruhi oleh empat hal.
Empat hal tersebut yaitu: migrasi, penjajahan, federasi, dan keanekabahasaan di
wilayah perbatasan.
1. Migrasi
Migrasi atau perpindahan penduduk yang meninmbulkan masalah
kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama
adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah
lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Kelompok migrasi
ini biasanya bisa menghapuskan bahasa dan budaya penduduk setempat
karena jumlah mereka lebih dominan dari penduduk setempat. Jenis
migrasi yang kedua ialah perpindahan sekelompok kecil anggota entik
memasuki wilayah yang sudah dibawah kontrol nasionalitas orang lain.
Merek tidak merubah atau menghapus bahasa produk setempat tetapi
mereka menambah jumlah keanekabahasaan dari nasion yang di datangi.
2. Penjajahan
Ragam-ragam penjajahan itu mempunyai pengaruh dalam pengenalan
bahasa penjajah ke masyarakat lain. Kadang-kadang orang-orang penjajah
itu pada akhirnya mungkin hanya sedikit seakali yang tinggal, tetapi
bahasanya itulah yang justru memegang peran penting. Dalam hal
penjajahan politik atau aneksasi, bahasa penjajah dipakai di bidang
pemerintahan dan pendidikan. Dalam penjajahan ekonomi bahasa penjajah
menjadi sangat diperlukan di bidang perdagangan internasional dan
diplomasi. Aneksasi dan khususnya penjajahan mempunyai pengaruh
lanjut pada keanekabahasaan berikutnya, yaitu federasi.
3. Federasi
Federasi ialah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas di bawah kontrol
politik satu negara baik secara sukarela atau paksaan.
4. Wilayah Tapal Batas
Asal mula keanekabahasaan bisa terjadi di wilayah perbatasan. Setiap
negara harus memiliki tapal batas yang jelas. Tetapi, kelompok-kelompok
sosiokultural kadang-kadang tidak mau meributkan batas politik itu.

6
Akibatnya di perbatasan bisa jadi ada penduduk yang menjadi warga
negara A tetapi secara sosiokultural menjadi warga negara B.

2.7 Diglosia dalam Masyarakat Anekabahasa


Konsep diglosia sudah kita kenal di depan. Dalam konsep Ferguson kita
mengenal dalam satu bahasa. Ferguson melihat para penutur sesuatu bahasa
kadang-kadang memakai ragam bahasa tertentu untuk situasi tertentu dan
memakai ragam lain untuk situasi lain. Kemudian ada suatu situasi yang di
dalamnya ada dua ragam dari satu bahasa hidup berdampingan dengan peran
masing-masing dalam masyarakat. Inilah yang oleh Ferguson disebut diglosia.
Ferguson menjelaskan diglosia itu dari sembilan segi yaitu, sebagai berikut.
Fungsi adalah kriteria yang paling penting bagi diglosia. Menurut
Ferguson, dalam suatu bahasa ada dua ragam yang berbeda. Yang satu disebut
dialek atas (=A) atau High Dialect (=H) dan dialeck bawah (=B) atau Low
Dialect (=L). Dalam bahasa Arab, H itu mengacu kepada bahasa Arab yang
dipakai dalam Quran (kitab suci) sedangkan L mengacu kepada berbagai bahasa
Arab yang dipakai oleh berbagai masyarakat Arab di berbagai Negara.
Ukuran ke-2 prestise. Sikap penutur dalam guyup diglosia ialah bahwa H
itu superior (unggul), lebih gagah, dan lebih nalar (logis). Ragam L dianggap
lebih rendah (inferior), bahkan keberadaannya cenderung dihindari.
Ciri ke-3 yaitu warisan tradisi tulis-menulis, mengacu kepada masyarakat
banyaknya kepustakaan yang ditulis dalam H dan dikagumi warga guyup.
Kebiasaan tulis-menulis maka kini dianggap merupakan kelanjutan dari tradisi
besar masa lampau.
Aspek diglosia ke-4 ialah pemerolehan bahasa H dan L.Ragam L akan
dipakai untuk berbicara dengan anak-anak dan dipakai di antara anak-anak itu,
sehingga L itu dipelajari secara normal dan tanpa kesadaran. Ragam H itu selalu
menjadi bahasa “tambahan”, ragam yang dipelajari setelah L dikuasai, biasanya
melalui pengajaran formal di sekolah.
Aspek diglosia ke-5 ialah pembakuan bahasa. Ragam H lebih diutamakan
dalam pembakuan bahasa. Kamus, tatabahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku

7
mengenai pemakaian bahasa yang benar ditulis dalam ragam H . Ragam L tidak
masuk ke dalam pembakuan bahasa.
Ciri ke-6 ialah stabilitas. Diaglosia itu biasanya merupakan gejala yang
stabil. Alasannya adalah, diaglosia itu memang dikehendaki agar selalu ada dua
ragam bahasa dipertahankan dalam satu guyup. Ketegangan antara H dan L itu
sedikit banyak dikurangi oleh munculnya bentuk-bentuk campuran yang
mengandung unsur-unsur H dan L. Peminjaman kata-kata ragam H ke L biasa;
pemakai kosakata L oleh H jarang tetapi bisa terjadi.
Ciri ke-7 ialah tatabahasa, dapat dikatakan ada banyak perbedaan kaidah
tatabahasa antara H dan L, meskipun keduanya merupkan bahasa yang sama.
Misalnya, ragam Jerman baku mngenal 4 kasus nomina dan 2 kala sederhana;
sedangkan dialek Jerman Swiss hanya mempunyai 3 kasus nomina dan satu kala
sederhana. Kalimat-kalimat kompleks yang berisi banyak anak kalimat lebih
banyak dalam ragam H, yang kalau dialihkan ke dalam L menjadi kaku dan terasa
“dibuat-buat”. singkatnya tatabahasa L terasa lebih sederhana daripada ragam H.
Dalam hal kosakata, sebagian besar kosakata H dan L memang sama.
Tetapi dalam situasi “berpasanag”. Ada pula kadang-kadang kata yang ada dalam
H tetapi tidak ada dalam L; begitu sebaliknya. Contoh dalam ragam H orang
memakaiasma (Tuhan) dalam L dipakai nama (manusia, hewan, tumbuhan).
Terakhir adalah ciri fonologi. Menurut Ferguson, “system bunyi H dan L
itu membentuk suatu struktur fonologi tunggal, fonologi L merupakan system
dasar dan unsur-unsur sebaran fonologi H merupakan subsistem (sistem bawahan)
atau parasistem.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masyarakat aneka bahasa adalah masyarakat yang menghuni suatu
wilayah dengan beragam bahasa. Negara Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki masyarakat anekabahasa. Perkembangan masyarakat anekabahasa
dipengaruhi oleh empat hal. Empat hal tersebut yaitu: imigrasi, penjajahan,
federasi, dan wilayah tapal batas. Dengan adanya empat hal tersebut menjadikan
masyarakat yang terdapat dalam suatu wilayah itu menjadi beraneka ragam bahasa
dan budayanya.

3.2 Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, diharapkan
kedepannya dapat dibahas lebih terperinci dan detail mengenai masyarakat
anekabahasan agar makalah ini mampu digunakan dalam dunia pendidikan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Fasold, 1984, Ralph The Sociolinguistics of Society. USA: Basil Blackwell.


Laiya, R.E.,2015, Pilihan Bahasa Pada Masyarakat Multibahasa Di Desa
Botohilisorake, Nias Selatan (Penelitian Etnografi Pada Masyarakat
Multibahasawan Nias, Indonesia Dan Inggris), 156-167.

Suma arsono, 2012, Sosiolinguistik, Yogyakarta: Pustaka pelajar.

10

Anda mungkin juga menyukai