Anda di halaman 1dari 16

HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR DAN BERBUDAYA

Dosen Pengampu:
Dr. Muhammad Saleh, S.Pd., M. Pd.

OLEH KELOMPOK 3:

ANDIKA IDUL SYAM 220501502018


RISMA 220501502012
IRVAN ARDIANSYAH 2240301196
DANU SAPUTRA 220501502014
NUR AINUL QALBI 220501501026
ARSHYTA MAHARANI 220501501032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2024/2025
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya kehadirat Allah SWT hingga saat ini masih memberikan nafas
kehidupan dan anugerah akal, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan
judul “Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya” tepat pada waktunya. Terimakasih pula
kepada semua pihak yang telah ikut membantu hingga dapat disusunnya makalah ini.

Makalah sederhana ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikolingustik.
Akhirnya kami sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan kami berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan khususnya pembaca pada umumnya.

Akhirnya, tidak ada manusia yang luput dari kesalahan dan kekurangan. Dengan segala
kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan dari para
pembaca untuk peningkatan kualitas makalah ini dan makalah-makalah lainnya pada waktu
mendatang.

Takalar, 16 Februari 2024

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 2

A. Pengertian Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya ......................................................... 2


B. Bahasa Sebagai Unsur Kebudayaan............................................................................ 2
C. Teori Hubungan Berbahasa dan Berpikir .................................................................... 3
D. Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya .......................................................... 9

BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 12

A. Kesimpulan ................................................................................................................. 12
B. Saran ........................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa adalah sistem simbol yang sangat luas yang digunakan oleh manusia. Ini dapat
mencerminkan kebudayaan suatu kelompok etnis melalui beragam dialek atau logatnya. Setiap
dialek dalam komunitas memberikan identitas khas yang membedakan kebudayaan mereka
dari yang lain, dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis dan sosial. Untuk menyatukan
masyarakat yang beragam dalam bahasa dan dialek, penting untuk memiliki bahasa nasional
sebagai pengikat. Bahasa Indonesia, sebagai bagian dari kelompok bahasa Melayu, memiliki
peran penting dalam menyatukan identitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa memiliki
dampak yang signifikan dalam hampir semua aspek kehidupan dan budaya manusia. Dalam
bidang antropologi, bahasa dipelajari sebagai salah satu cabang dari ilmu antropologi fisik dan
terapan.
Hubungan antara bahasa dan pikiran merupakan topik yang menantang dalam bidang
psikologi. Sejarah kajian ini melibatkan kontribusi dari berbagai disiplin ilmu, termasuk
psikologi kognitif, filsafat, dan linguistik. Para peneliti menyajikan tantangan yang substansial
yang memerlukan analisis lebih lanjut. Beberapa aspek bahasa yang memengaruhi pikiran,
seperti penalaran tentang ruang (spatial reasoning) dan penalaran tentang pikiran orang lain
(reasoning about other minds), perlu diidentifikasi lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Pengertian Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya?
2. Jelaskan Bagaiman Bahasa Sebagai Unsur Kebudayaan?
3. Jelaskan Teori Hubungan Berbahasa dan Berpikir?
4. Jelaskan Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya.
2. Untuk Mengetahui Bagaiman Bahasa Sebagai Unsur Kebudayaan.
3. Untuk Mengetahui Teori Hubungan Berbahasa dan Berpikir.
4. Untuk Mengetahui Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya
Menurut Abdul Chaer (2009:51) Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaaan
dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi,
kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang
saling berkaitan berkaitan dalam kehidupan kehidupan manusia. manusia. Berbahasa, dalam
arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantik dan enkode gramatikal didalam
otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat enkode fonologi. Kemudian di lanjutkan dengan
penyusunan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik pada pihak pendengar
yang terjadi di dalam otaknya.
B. Bahasa Sebagai Unsur Kebudayaan
Sebagian besar aspek kehidupan manusia tercakup dalam penggunaan bahasa,
menjadikannya bagian integral dari evolusi budaya manusia. Semua tindakan manusia dalam
kehidupan sehari-hari terhubung erat dengan elemen bahasa. Sehingga, bagi seorang peneliti
yang ingin memahami kebudayaan suatu masyarakat, penguasaan terhadap perkembangan
bahasa masyarakat tersebut menjadi hal yang penting, karena melalui bahasa, seseorang dapat
berpartisipasi dan memahami suatu budaya.
Nababan mengelompokkan definisi kebudayaan itu atas empat golongan, yaitu:
1. Definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat.
2. Definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar
atau pendidikan.
3. Definisi yang melihat kebudayaan sebagai unsur kebiasaan dan perilaku manusia.
4. Definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat
untuk memperoleh kerjasama, kesatuan dan kelangsungan hidup manusia (Abdul Chaer
dan Leoni Agustina, 2000: 163).

Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan bagian integral dari kebudayaan, atau


dengan kata lain, bahasa berada di bawah pengaruh lingkungan kebudayaan. Menurut
pandangan beliau, pada masa prasejarah ketika manusia terdiri dari kelompok-kelompok kecil
yang tersebar di beberapa lokasi di muka bumi, bahasa menjadi unsur utama yang mencakup
semua elemen kebudayaan manusia. Saat ini, meskipun unsur-unsur lain dari kebudayaan telah
2
berkembang, bahasa tetap menjadi salah satu unsur krusial dengan peran yang sangat penting
dalam kehidupan manusia.

Menurut sudut pandang lain, bahasa sering dianggap sebagai hasil dari interaksi sosial atau
sebagai hasil dari budaya, bahkan dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan.
Sebagai produk sosial dan budaya, bahasa menjadi sarana untuk mengekspresikan aspirasi
sosial, aktivitas, dan perilaku masyarakat, serta sebagai media menyampaikan aspek budaya,
termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut
sebagai karya cipta. Dalam suatu periode waktu, bahasa berperan sebagai medium yang
mencerminkan dinamika dalam masyarakat (Sumarsono, 2007: 20).

C. Teori Hubungan Berbahasa dan Berpikir


1. Teori Wilhelm on Humboldt
Wilhelm van Humboldt, seorang sarjana Jerman dari abad ke-15, menekankan
pentingnya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Baginya, pandangan hidup
dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh masyarakat
tersebut. Anggota-anggota masyarakat tidak dapat lepas dari pola yang telah ditetapkan
oleh bahasa mereka. Jika seseorang dalam masyarakat ingin mengubah pandangan
hidupnya, maka dia harus terlebih dahulu mempelajari bahasa yang berbeda. Dengan
demikian, dia akan mengadopsi cara berpikir dan budaya dari masyarakat yang berbeda
tersebut.
Menurut Wilhelm van Humboldt, bahasa terdiri dari dua komponen. Komponen
pertama adalah bunyi-bunyi yang terdengar, sedangkan komponen kedua adalah pikiran-
pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh "lautform" dan pikiran-pikiran
dibentuk oleh "ideenform" atau "innereform". Jadi, menurut Humboldt, bahasa merupakan
hasil sintesis antara bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform).
Dapat disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan manifestasi eksternal,
sementara pikiran adalah representasi internal. Manifestasi eksternal bahasa adalah apa
yang kita dengar, sementara representasi internal bahasa berada dalam pikiran. Kedua
aspek ini membatasi manusia dan memengaruhi cara berpikirnya. Dengan kata lain,
Wilhelm van Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa mencerminkan
kehidupan mental dan pemikiran dari penutur bahasa tersebut.

3
2. Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir (1884-1939), seorang ahli bahasa Amerika, memiliki pandangan
yang sebagian besar sejalan dengan Wilhelm van Humboldt. Sapir menyatakan bahwa
manusia menjalani kehidupannya di bawah pengaruh kuat dari bahasa mereka, yang
menjadi alat penting dalam interaksi sosial. Baginya, telah menjadi suatu kenyataan bahwa
kehidupan suatu masyarakat dibangun di atas dasar fitur-fitur dan karakteristik dari bahasa
yang digunakan. Oleh karena itu, tidak ada dua bahasa yang sama sehingga dapat
sepenuhnya mewakili satu masyarakat yang sama. Setiap bahasa menciptakan realitas
uniknya sendiri bagi penuturnya. Dengan demikian, jumlah manusia yang hidup di dunia
setara dengan jumlah bahasa yang ada di dunia. Sapir menegaskan bahwa apa yang kita
lihat, dengar, alami, dan lakukan saat ini dipengaruhi oleh karakteristik intrinsik dari
bahasa yang telah ada sebelumnya.
Menurut Benjamin Lee Whorf (1897-1941), seorang murid dari Sapir, tata bahasa
tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan ide-ide, tetapi juga sebagai
pembentuk ide-ide tersebut, program kegiatan mental, dan penentu struktur mental
seseorang. Dengan kata lain, bahasa memiliki peran dalam membentuk pola pikir
seseorang. Setelah mendalami bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California,
Amerika Serikat, Whorf mengemukakan Hipotesis Whorf (atau Hipotesis Sapir-Whorf)
mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis ini, berbagai bahasa mengungkapkan alam
semesta dengan cara yang berbeda, sehingga tercipta konsep relativitas dalam sistem-
sistem konsep yang tergantung pada variasi bahasa tersebut. Tata bahasa bukan hanya alat
untuk mengungkapkan ide-ide, tetapi juga membentuk ide-ide tersebut. Berdasarkan
hipotesis Sapir-Whorf ini, dapat disimpulkan bahwa pandangan hidup bangsa-bangsa di
Asia seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand dianggap sama karena bahasa-
bahasa mereka memiliki struktur yang serupa. Sebaliknya, pandangan hidup bangsa-
bangsa lain seperti China, Jepang, Amerika, Eropa, Afrika, Perancis, dan Brasil dianggap
berbeda karena struktur bahasa mereka beragam. Whorf mengilustrasikan perbedaan ini
dengan membandingkan kebudayaan Hopi dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi
diorganisir berdasarkan peristiwa, sementara kebudayaan Eropa diorganisir berdasarkan
ruang dan waktu.

4
3. Teori Jean Piaget
Dalam mempertimbangkan hubungan antara bahasa dan pikiran, Piaget
mengusulkan adanya dua mode pikiran, yaitu pikiran terarah (directed) atau intelegent
(intelligent) dan pikiran tak terarah atau autistik (autistic) (Soenjono Dardjowidjojo, 2003:
283). Piaget, yang mengembangkan teori perkembangan kognitif, menyatakan bahwa jika
seorang anak mampu mengelompokkan sekumpulan objek dengan cara yang berbeda
sebelum menggunakan kata-kata yang sama dengan objek tersebut, itu menunjukkan
bahwa perkembangan kognitif telah terjadi sebelum anak tersebut dapat menggunakan
bahasa. Teori ini menekankan bahwa pembelajaran tentang dunia terjadi melalui tindakan
dan perilaku, dan kemudian melalui bahasa. Perilaku anak adalah cara mereka berinteraksi
dengan dunia pada saat dan tempat tertentu, sedangkan bahasa menjadi alat yang
memungkinkan mereka untuk melampaui batasan waktu dan tempat tersebut.
Mengenai Hubungan Bahasa dengan kegiatan intelek (berpikir), Piaget
menemukan dua hal penting, yaitu:
a. Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa tetapi dalam periode
sensomotorik, yaitu satu sistem skema yang dikembangkan secara penuh dan membuat
lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur dan bentukbentuk dasar
penyimpanan dan oprasi pemakaian kembali.
b. Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan terbentuk terjadi bersamaan dengan
waktu pemerolehan bahasa. Keduanya milik proses yang lebih umum, yaitu konstitusi
fungsi lambang pada umumnya. Awal terjadinya fungsi lambang ini ditandai oleh
bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak perkembangannya.
Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (berpikir) sebenarnya adalah aksi
atau perilaku yang telah dinuranikan dalam kegiatan-kegiatan sensomotorik termasuk juga
perilaku bahasa.
4. Teori L.S Vygotsky
Vygotsky menyatakan bahwa ada satu tahap perkembangan bahasa sebelum
munculnya pikiran, dan ada satu tahap perkembangan pikiran sebelum munculnya bahasa.
Namun, pada titik tertentu, kedua jalur perkembangan ini saling berpotongan, sehingga
terjadi secara bersamaan perkembangan pikiran yang menggunakan bahasa dan bahasa
yang memengaruhi pikiran. Dengan kata lain, pada tahap awal, pikiran dan bahasa

5
berkembang secara terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Namun, pada tahap
selanjutnya, anak-anak mulai menggunakan bahasa untuk berpikir dan menggunakan
pikiran untuk berbahasa.
Vygotsky mengungkapkan bahwa perkembangan pikiran berbahasa melalui
beberapa tahap. Awalnya, anak harus mengucapkan kata-kata untuk memahaminya,
kemudian mereka berkembang menuju kemampuan memahami atau berpikir tanpa
mengucapkan kata-kata, dan akhirnya bisa membedakan antara kata-kata yang memiliki
makna dan yang tidak. Vygotsky juga menjelaskan bahwa hubungan antara pikiran dan
bahasa adalah proses yang berkelanjutan, di mana pikiran bergerak dari pikiran ke kata
(bahasa) dan dari kata ke pikiran. Dalam memahami gerak pikiran ini, penting untuk
memperhatikan dua aspek dari ucapan: aspek semantik (arti) dan aspek fonetik (suara).
Penggabungan kedua aspek ini merupakan proses yang kompleks. Dalam perkembangan
bahasa, kedua aspek ini berkembang secara independen, namun tetap saling bergantung.
Pikiran anak pada awalnya merupakan kesatuan yang belum terdefinisikan dengan jelas,
dan perlu menemukan ekspresinya dalam bentuk kata tunggal. Ketika pikiran anak menjadi
lebih terfokus dan terorganisir, mereka cenderung kurang mengungkapkan pikiran secara
penuh dalam satu kalimat lengkap. Sebaliknya, ucapan beralih dari kalimat lengkap menuju
bagian-bagian yang memiliki makna, yang membantu pikiran anak untuk bergerak dari
keseluruhan ke bagian-bagian yang bermakna.
Menurut Vygotsky, pikiran dan kata tidak terpisah dari satu pola. Struktur ucapan
tidak hanya mencerminkan pikiran, tetapi juga mempengaruhi perubahan pikiran ketika
menjadi ucapan. Oleh karena itu, kata-kata tidak dapat diserap oleh pikiran seperti
memakai pakaian yang sudah siap. Pikiran tidak hanya mencari cara untuk diekspresikan
dalam kata-kata, tetapi juga memperoleh realitas dan bentuknya melalui kata-kata itu.
5. Teori Noam Chomsky
Dalam konteks hubungan antara berbahasa dan berpikir, Noam Chomsky
memperkenalkan kembali teori klasik yang dikenal sebagai hipotesis nurani. Meskipun
teori ini tidak secara langsung membahas keterkaitan antara berbahasa dan berpikir, kita
dapat menyimpulkan hal tersebut, mengingat Chomsky sendiri menyatakan bahwa
penelitian bahasa memberikan wawasan yang penting dalam memahami proses mental
manusia. Hipotesis nurani menyatakan bahwa struktur bahasa bawaan dalam diri manusia.

6
Artinya, aturan-aturan ini ada sejak lahir. Ketika seorang anak mulai belajar bahasa ibunya,
dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu set konsep yang bersifat universal, yaitu
struktur bawaan dalam bahasa. Peralatan konseptual ini tidak bergantung pada
pembelajaran atau proses belajar.
Menurut Chomsky, semua bahasa di dunia ini memiliki sistem yang sama yang
mendasarinya, yang disebut sebagai struktur dalam (deep structure). Perbedaan terjadi pada
tingkat permukaan (surface structure) dari berbagai bahasa tersebut. Pada tingkat dalam,
terdapat aturan-aturan tata bahasa yang mengatur proses-proses yang memungkinkan
aspek kreatif bahasa beroperasi. Chomsky menggambarkan I nti proses generatif bahasa
(aspek kreatif) terletak pada tingkat dalam ini. Inti proses generatif ini adalah alat semantik
yang memungkinkan pembentukan kalimat-kalimat baru yang jumlahnya tak terbatas.
Hipotesis ini juga berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa adalah sama.
Struktur dalam setiap bahasa bersifat otonom dan karena itu tidak ada hubungannya dengan
sistem kognisi (pemikiran dan kecerdasan).
6. Teori Eric Lennebeng
Eric Lenneberg mengusulkan teori yang dikenal sebagai teori kemampuan bahasa
khusus dalam konteks hubungan antara berbahasa dan berpikir. Menurutnya, terdapat bukti
yang menunjukkan bahwa manusia secara alami memiliki warisan biologis untuk
berkomunikasi menggunakan bahasa, yang merupakan kemampuan khusus bagi manusia
dan tidak berkaitan dengan tingkat kecerdasan atau pemikiran. Lenneberg menyatakan
bahwa anak-anak memiliki kemampuan biologis untuk berbahasa bahkan ketika mereka
berada pada tingkat kemampuan berpikir yang rendah, kemampuan bicara, dan
pemahaman kalimat yang memiliki korelasi rendah dengan IQ manusia. Penelitian
Lenneberg menunjukkan bahwa perkembangan bahasa pada anak-anak dengan cacat
mental dan anak-anak normal berjalan dengan cara yang serupa. Misalnya, anak-anak
dengan IQ hanya 50 pada usia 12 tahun dan di bawah 30 pada usia 20 tahun dapat
menguasai bahasa dengan baik, meskipun terkadang terjadi kesalahan pengucapan dan tata
bahasa. Baginya, kecacatan kecerdasan yang parah tidak berdampak pada kemampuan
bahasa, dan sebaliknya, kerusakan bahasa tidak menyebabkan penurunan kemampuan
kognitif.

7
Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan


fonologi manusia, seperti bagian-bagian otak tertentu yang mendasari bahasa.
2. Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua kanakkanak normal.
Semua kanak-kanak bisa dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan bahasa
yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi.
3. Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun pad kanakkanak yang
mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli atau memiliki orang tua pekak sejak lahir.
Namun, bahasa kanak-kanak ini dapat berkembang dengan hanya sedikit
keterlambatan.
4. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain.
5. Setiap bahasa didasarkan pada prinsip semantik, sintaksis dan fonologi.
Jadi, dalam teori Lenneberg ini, terdapat pemisahan yang tampaknya dimaksudkan
untuk membedakan perkembangan bahasa secara ontogenetis (pemerolehan bahasa oleh
individu) dan secara filogenetis (kelahiran bahasa dalam suatu masyarakat). Dalam konteks
pemerolehan bahasa secara ontogenetis, tidak ada keterkaitan dengan proses kognitif,
sementara dalam konteks kelahiran bahasa dalam suatu masyarakat secara filogenetis,
sebagian ditentukan oleh kemampuan bahasa yang bersifat bawaan, dan sebagian lagi oleh
kemampuan kognitif yang bersifat bawaan, bukan oleh aspek bahasa yang lebih luas.
Lenneberg dalam Teori Kemampuan Bahasa Khusus telah menyimpulkan banyak
bukti yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang
khusus untuk manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam
bukunya yang ditulis kemudian (1967), beliau mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa
dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas, sehingga menyerupai
pandangan Piaget.
7. Teori Brunner
Brunner mengenalkan teori yang disebut teori instrumentalisme dalam kaitannya
dengan hubungan antara bahasa dan berpikir. Menurut teori ini, bahasa berfungsi sebagai
alat bagi manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran. Dengan kata
lain, bahasa dapat memfasilitasi pemikiran manusia agar menjadi lebih sistematis. Brunner

8
meyakini bahwa berbahasa dan berpikir berasal dari sumber yang sama. Oleh karena itu,
keduanya memiliki bentuk yang sangat mirip dan saling mendukung.
Implikasi teori Bruner dalam bidang pendidikan sangat signifikan. Menurut teori
ini, bahasa sebagai alat untuk berpikir harus terkait langsung dengan perilaku atau tindakan
serta dengan struktur pada tingkat awal. Kemudian, bahasa ini harus berkembang menuju
bentuk yang lebih eksplisit dan tidak tergantung pada konteks, sehingga pikiran atau
kalimat-kalimat dapat diinterpretasikan atau dipahami tanpa pengetahuan tentang situasi
saat kalimat itu diucapkan, atau tanpa memahami konteks yang mendasari maksud dan
tujuan pembicara. Dengan bahasa sebagai alat, kita dapat mengarahkan tindakan lebih jauh
sebelum tindakan itu dilakukan. Secara analog, pikiran juga membantu dalam
melaksanakan tindakan karena dapat membimbing peta kognitif menuju tujuan yang akan
dicapai. Dengan demikian, pada awalnya berbahasa dan berpikir muncul bersama-sama
untuk mengatur tindakan manusia, dan kemudian keduanya saling mendukung. Dalam
konteks ini, pikiran menggunakan elemen-elemen hubungan yang dapat digabungkan
untuk mengarahkan tindakan yang sebenarnya, sementara bahasa menyediakan
representasi untuk melaksanakan tindakan tersebut.
Selain dua kemampuan yang terlibat dalam bahasa, seperti kemampuan linguistik
dan kemampuan komunikasi, teori Bruner juga memperkenalkan konsep kecakapan
analisis yang dimiliki oleh setiap individu yang menggunakan bahasa. Kecakapan analisis
ini memungkinkan tercapainya berbagai tingkat abstraksi yang berbeda, yang mengizinkan
seorang anak untuk melampaui apa yang ada di hadapannya. Kemampuan analisis juga
memungkinkan seseorang untuk beralih perhatian dari satu hal ke hal lainnya.
D. Hubungan Berbahasa, Berpikiran dan Berbudaya
Pikiran, bahasa, dan budaya memiliki keterkaitan yang sangat erat, masing-masing
konstrak tersebut mencerminkan satu konstrak yang lain (Frawley dalam Forrester, 1996).
Keterkaitan antara bahasa dan budaya terletak pada asumsi bahwa setiap budaya telah memilih
jalannya sendiri-sendiri dalam menentukan apa yang harus dipisahkan dan apa harus
diperhatikan untuk memberi nama pada realitas (Goldschmidt, 1960). Di sisi yang lain,
keterkaitan antara bahasa dan pikiran terletak pada asumsi bahwa bahasa mempengaruhi cara
pandang manusia terhadap dunia, serta mempengaruhi pikiran individu pemakai bahasa
tersebut (Whorf dalam Rakhmat, 2000). Keterkaitan antara bahasa dan pikiran dimungkinkan

9
karena berpikir adalah upaya untuk mengasosiasikan kata atau konsep untuk mendapatkan satu
kesimpulan melalui media bahasa. Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan antara
bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya
terhadap realitas. Pikiran dapat manusia terkondisikan oleh kata yang manusia digunakan.
Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin Whorf dan gurunya, Edward
Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang
sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah
realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail
tentang realitas.
2. Pikiran mempengaruhi bahasa Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif
yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh
Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek
kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek
tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.
3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi Hubungan timbal balik antara kata-kata dan
pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia
yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan
pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas
banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.

Kata-kata merupakan cara kita memberi wujud pada realitas faktual yang terjadi, yang
dipengaruhi oleh subjektivitas budaya dan individu. Subjektivitas ini terlihat saat individu dari
latar belakang yang berbeda mempersepsi realitas sesuai dengan sudut pandangnya sendiri.
Manusia memilah-milah dunia nyata dan mengelompokkannya ke dalam kategori yang berbeda
berdasarkan prinsip yang berbeda pula dalam tiap budaya. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris,
kata "table" (meja), baik itu berbentuk bulat atau persegi, mengindikasikan bahwa kedua objek
tersebut dianggap sama esensinya karena memiliki fungsi yang sama. Namun, bagi orang yang
bukan berbahasa Indo-Eropa, pemilahan realitas lebih didasarkan pada bentuk fisiknya: apakah
bulat, persegi, padat, atau cair. Bagi mereka, kriteria tentang bentuk dan penampilan sangat penting
dalam menentukan apakah sebuah objek termasuk dalam suatu kategori atau tidak. Dalam

10
pandangan masyarakat ini, meja bulat dan meja persegi adalah dua objek yang berbeda sehingga
memerlukan penamaan yang berbeda pula.

Bahasa yang diekspresikan melalui kata-kata adalah cara manusia merepresentasikan


realitas. Untuk menggambarkannya dalam bentuk kata-kata, manusia membagi-bagi dunia nyata
dan mengelompokkannya ke dalam kategori yang berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya.
Cara yang digunakan oleh setiap budaya dalam membagi realitas bersifat subjektif, seperti
memotong sebuah kue, sehingga fenomena ini dikenal sebagai efek "cookie cutter" (Albrecht,
1986).

Sebagai contoh, seorang antropolog yang berusaha menghitung jumlah penduduk suatu
suku di pedalaman Afrika bertanya kepada seorang ibu, "Berapa anak laki-laki ibu memiliki?"
Sang ibu menjawab, "Dua." Antropolog tersebut terkejut ketika sebelumnya telah bertanya kepada
suaminya, yang menjawab bahwa mereka memiliki tiga anak. Peneliti menemukan bahwa dalam
budaya tersebut, anak dihitung hanya untuk keturunan dengan jenis kelamin yang sama dengan
orang tuanya. Ketika antropolog tersebut mengumpulkan keduanya dan bertanya berapa jumlah
anak laki-laki dan perempuan mereka, mereka menjawab sembilan. Antropolog tersebut kembali
terkejut saat mengetahui bahwa dalam suku tersebut, anak yang telah meninggal pun masih
dimasukkan dalam perhitungan. Anak yang telah meninggal harus tetap diperkenalkan kepada
orang yang menanyakan jumlah anak mereka (Albrecht, 1986). Kejadian ini menunjukkan bahwa
setiap budaya memiliki cara unik dalam mengkategorikan realitas.

Setiap budaya memiliki cara tersendiri dalam memilih satu wilayah tertentu dari
keseluruhan realitas untuk diwujudkan dalam sebuah kata-kata. Aktifitas ini kemudian paralel
dengan konsep kategorisasi yang dilibatkan dalam hipotesis linguistic determinism melalui apa
yang dinamakan dengan frame of reference. Frame of reference adalah sebuah sistem yang
membantu manusia mengklasifikasikan objek.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa dan pikiran
memiliki hubungan yang saling mempengaruhi (resiprokal). Domain-domain kognitif
mungkin menjadi pendahulu dalam perkembangan struktur bahasa pada awal tahap
perkembangan anak, meskipun proses produksi bahasa mungkin terlepas atau tidak tergantung
pada domain kognitif lainnya. Beberapa individu dengan gangguan bahasa dapat memiliki
performansi optimal dalam bagian otak yang mengatur bahasa. Teori-teori dan hipotesis yang
dibahas cenderung saling bertentangan, dengan Hipotesis Sapir-Whorf menjadi yang paling
kontroversial. Hipotesis ini menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat
dipengaruhi oleh struktur bahasanya, namun mendapat banyak kritik dari berbagai disiplin
ilmu. Untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf, Farb (1947) melakukan penelitian. Para ahli telah
menjelaskan keterkaitan antara bahasa dan pikiran dengan berbagai pendekatan seperti, bahasa
mempengaruhi pikiran, pikiran mempengaruhi bahasa, bahasa dan pikiran saling
mempengaruhi.
B. Saran
Dengan demikian, tulisan ini disusun dengan harapan bahwa pembaca dapat
memperoleh pemahaman yang mendalam tentang topik yang telah dibahas, berdasarkan
pengetahuan dasar yang kami sajikan. Penulis mengakui bahwa masih ada kekurangan dalam
makalah ini, oleh karena itu, kami mengundang kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca
untuk meningkatkan kualitas makalah di masa mendatang. Kami juga berharap bahwa tulisan
ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik (Kajian Teoritik). Jakarta: Renika Cipta.

Chaer,A. dan Agustina, L. 2000. Sosiolingustik, Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Hidayat, N. S. 2014. Hubungan Berbahasa, Berpikir, Dan Berbudaya. Sosial Budaya, 11(2), 190-
205.

Ilyasopul. 2014. Hubungan Berbahasa. Diakses 16 Februari 2024 dari


https://www.scribd.com/doc/212076742/HUBUNGAN-BERBAHASA

Widhiarso, W. 2005. Pengaruh Bahasa Terhadap Pikiran. Diakses 16 Februari 2024 dari
https://widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/hubungan_antara_bahasa_dan_pikiran.pdf

Sumarsono. 2007. Sosiolingustik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sabda.

13

Anda mungkin juga menyukai