Anda di halaman 1dari 31

MINI RISET

PROSES PENYESUAIAN PERBEDAAN BUDAYA DAN BAHASA DALAM


KOMUNIKASI SOSIAL BUDAYA ANTAR MAHASISWA

Diajukan Untuk Memenuhi UAS


Mata Kuliah Psikologi Lintas Budaya dan Agama

Disusun oleh:
Salsabila Mutiara Dewi (18107010116)
Akbar Mohammad Zakkiy (19107010113)
Alifia Rizha Utami   (19107010134)
Jeni Septia Nungki (19107010142)
Fadlur Rahman ( 19107010143)

Dosen Pengampu:
Syaiful Fakhri, S.Psi, M,Psi.

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2022
DAFTAR ISI
Halaman judul............................................................................................................i
Daftar isi.....................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan....................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................3
C. Tujuan Penelitian..............................................................................................3
D. Manfaat Penelitian............................................................................................3

BAB II Tinjauan Pustaka...........................................................................................4


A. Keaslian Penelitian............................................................................................4
Tabel Keaslian Penelitian..................................................................................4
B. Landasan Teori.................................................................................................7
Proses Adaptasi Speech Code...........................................................................11
C. Kerangka Berpikir dan Hipotesis......................................................................13

BAB III Metode Penelitian........................................................................................14


A. Pendekatan Penelitian.......................................................................................14
B. Tipe dan Dasar Penelitian ................................................................................14
C. Alat Pengumpulan Data....................................................................................15

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan................................................................16


A. Hasil Penelitian.................................................................................................16
Tabel Nama Informan.......................................................................................17
B. Pembahasan......................................................................................................19

BAB V Penutup..........................................................................................................27
A. Kesimpulan....................................................................................................... 28
B. Saran................................................................................................................. 28

Daftar Pustaka............................................................................................................ 29
Lampiran…………………………………………………………………………… .30
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia selalu melakukan interaksi karena pada dasarnya manusia merupakan


makhluk sosial, di mana dalam interaksi sosial terjalin hubungan timbal-balik antara
dua orang atau lebih dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan
perannya secara aktif. Salah satu syarat terjadinya interaksi adalah melalui
komunikasi, yang merupakan hal penting dalam kehidupan karena menunjang
interaksi sosial. Komunikasi merupakan rangkaian proses pertukaran informasi dari
komunikator kepada komunikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam
proses komunikasi tersebut bertujuan untuk mencapai saling pengertian antara kedua
pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Namun manusia dalam melakukan
interaksi melalui komunikasi kadang kala merasakan komunikasi itu tidak berjalan
efektif di karenakan kesalahan dalam penafsiran
Komunikasi adalah suatu hal yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia.
Manusia tentunya berinteraksi dengan manusia lain setiap hari untuk mencapai suatu
tujuan tertentu baik yang dilakukan secara verbal maupun nonverbal. Proses
komunikasi memiliki banyak sekali unsur unsur kompleks agar apa yang disampaikan
oleh komunikator tersampaikan dengan jelas kepada komunikan. Komunikasi antar
budaya adalah komunikasi yang di lakukan oleh orang orang yang saling memiliki
latar belakang budaya berbeda yang dianut sejak zaman dahulu hingga turun temurun.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan namun sering kali komunikasi
yang dilakukan masyarakat yang masih kental akan kebudayaan menggunakan bahasa
daerah masing-masing ketika berbicara. Perbedaan sering kali jadi pemicu utama
hambatan komunikasi yang terjadi, baik perbedaan suku, etnis, bahasa maupun kode
bahasa (Speech Code). Sebagai makhluk sosial manusia biasanya melakukan adaptasi
agar dapat menyampaikan pesan secara efektif untuk tercapainya suatu tujuan yang
diinginkan. Ketika berinteraksi manusia tentunya pasti menyesuaikan bahasa yang
digunakan, penyesuaian kode bahasa (Speech Code) tersebut bisa saja berbentuk
verbal seperti dialek dan non verbal seperti mimik, intonasi, tempo, nada bahasa serta
logat yang didengar sehingga menjadi
Pesan oleh komunikan (penerima pesan) di sebabkan oleh setiap persepsi
individu yang berbeda. Hal ini dapat dipengaruhi oleh adanya keberanekaragaman
manusia yang masingmasing masih memegang erat budayanya. Budaya merupakan
segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi (pikiran) manusia, Setiap manusia hidup
dalam suatu lingkungan sosial budaya tertentu dan budaya itu senantiasa
memberlakukan adanya nilai-nilai sosial budaya yang dianut oleh warga masyarakat.
Kekuatan nilai-nilai maupun segala sumberdaya sosial budaya membentuk dan
mempengaruhi tingkah laku individu dalam melakukan interaksi.

Sebagai makhluk sosial yang hidup berkelompok dan berkomunikasi dengan


sesamanya, manusia/masyarakat itu juga terdiri dari latar belakang budaya yang
berbeda. Mereka saling berinteraksi baik secara langsung mupun melalui media massa
karena dewasa ini perkembangan dunia saat ini menuju ke arah “desa dunia “(global
village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari
perkembangan teknologi modern, khususnya teknologi komunikasi. Bersamaan
dengan pertukaran informasi tersebut terjadi pula proses pertukaran nilai-nilai sosial
budaya sehingga hal ini menimbulkan anggapan bahwa komunikasi antarbudaya saat
ini sangat penting di bandingkan masa-masa sebelumnya.

Komunikasi antarbudaya yaitu proses komunikasi yang melibatkan orang-


orang yang berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda. Dalam keadaan ini
komunikator dan komunikan sering dihadapkan pada kesalahan penafsiran pesan,
karena masing-masing individu memiliki budaya berbeda, karenanya ikut menentukan
tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat
dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya.
Dalam komunikasi antarbudaya menggunakan komunikasi verbal (bahasa) yaitu
lambang terpenting yang dapat disampaikan secara langsung dengan berbicara
ataupun tertulis, bahasa merupakan sarana dalam melakukan interaksi untuk
mengkomunikasikan pikiran dan perasaan kita. Perbedaan persepsi tentang suatu hal
dapat disepakati bersama dengan menggunakan sarana bahasa dan bahasa hanya dapat
digunakan bila ada kesepakatan di antara pengguna bahasa.

Menurut lull dalam (Sihabudin 2013:79) hubungan bahasa/budaya tidak


trbatas pada kosakata, tata bahasa, dan ucapan. Realitas berlangsung dalam bahasa,
tak ada realitas di luar bahasa. Tak ada cara lain untuk berpikir, baik tengtang dunia
maupun tujuan-tujuan kita selain mengenai bahasa. Dalam Samovar (2010:279-283)
ruang lingkup bahasa dalam komunikasi antarbudaya salah satunya adalah Interaksi
interpersonal yaitu ketika individu dari budaya yang berbeda terlibat dalam
komunikasi, jelaslah bahwa tidak akan menggunakan bahasa asli mereka. Kecuali
mereka yang berbicara dalam bahasa kedua fasih atau fasih, potensi untuk salah
komunikasi itu tinggi. Jadi, jika anda menggunakan bahasa anda sendiri dalam suatu
interaksi dalam suatu interaksi dengan dengan penuturasing, ada beberapa
pertimbangan yang harus anda miliki untuk mengurangi potensi salah komunikasi.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat


dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana proses penyesuaian Bahasa dalam
komunikasi pada sosial budaya antar mahasiswa dalam upaya adaptasi antar
budaya?”
C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan Proses penyesuain Bahasa


dalam komunikasi pada sosial budaya antar mahasiswa dalam upaya adaptasi budaya.

D. MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, dapat diungkapkan bahwa penelitian


ini memiliki kegunaan:
1. Manfaat Akademis
Memberikan konstribusi positif serta dapat menambah wawasan pengetahuan dalam
mengembangkan penelitian Ilmu Komunikasi, khususnya dalam perilaku komunikasi
dalam upaya adaptasi budaya
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang bermakna dalam bentuk refrensi
tentang perilaku komunikasi dalam adaptasi budaya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keaslian Penelitian

Tabel Keaslian Penelitian

Nama (Tahun) Judul Metode Subjek Hasil


Eko Saputra Komunikasi Penelitiam imi Informan Para mahasiswa luar
(2019) Antarbudaya Etnis menggunakan dalam Jawa mengaku tidak
Lokal Dengan metode penelitian ini dapat memahami
Etnis Pendatang: penelitian adalah percakapan teman
Studi Pada kualitatif mahasiswa mereka yang etnis
Mahasiswa/i dengan fakultas adab Jawa. Sehingga
Fakultas Adab dan pendekatan dan ilmu komunikasi tidak
Ilmu Budaya UIN lapangan (file budaya UIN berjalan dengan
Sunan Kalijaga research). Sunan efektif. Kemudian
Yogyakarta Untuk Kalijaga. teman dari etnis Jawa
mengetahui berjumlah tiga mencoba
komunikasi belas orang menambahkan gerak-
antarbudaya dengan tujuh gerik tubuh, simbol
maka laki-laki dan dan penjelasan agar
digunakan enam dapat membantu
pendekatan perempuan. memahami
interaksionisme komunikasi yang
simbolik dilakukan oleh
mereka. Teman dari
jawa menggunakan
bahasa jawa agar
teman yang dari luar
Jawa lambat laun
dapat berbahasa jawa.
Sehingga komunikasi
antar budaya dapat
berjalan dengan baik,
saling menghargai dan
mempelajari. Hal ini
dapat mempererat
hubungan antarbudaya
non etnis lokal dapat
membaur dan
menyesuaikan diri,
dan etnis lokal dapat
membuka diri.
Kezia Sekeon Komunikasi Antar Metode Mahasiswa Hasil dari penelitian
(2013) Budaya Pada penelitian ini pendatang ini mahasiswa
Mahasiswa FISIP menggunakan FISIP pendatang angkatan
UNSRAT (Studi kualitatif UNSRAT 2011 di FISIP
pada Mahasiswa diskriptif angkatan 2011 UNSRAT mengalami
Angkatan 2011) dalam culture shock.
memaparkan Mahasiswa pendatang
suatu peristiwa mempunyai cara
atau situasi dalam penyesuaian
bahasa, melakukan
pendekatan-
pendekatan sosial,
serta mempelajari
budaya, kebiasaan dan
percakapan mereka.
Namun, mahasiswa
pendatang seringkali
mendapat hambatan
seperti belum
menguasai
sepenuhnya logat
manado, serta sikap
dari beberapa
mahasiswa lokal yang
buruk seperti
meremehkan,
sombong, memilah
teman, dan melakukan
kriminal.
Titi Nur Adaptasi Budaya Metode dalam Informan Hasil dari penelitian
Vidyarini Oleh Mahasiswa penelitian ini dalam ini ketiga informan
(2017) International: menggunakan penelitian ini dari luar negeri
Perspektif kualitatif berjumlah tiga memiliki pengalam
Komunikasi Lintas deskriptif yang berasal interaksi yang
Budaya dengan dari luar negeri berbeda. L bersikap
pendekatan yakni L kritis dan blak-blakan
fenomenologi (perempuan, terhadap aturan dan
22 tahun, kebiasaan yang
Korea Selatan) berlaku, serta cepat
S (laki-laki, 24 menyesuaikan diri
tahun, Korea dalam berkomunikasi.
Selatan), B S dapat menyesuaikan
(laki-laki, 24 diri dengan kebiasaan
tahun, dan komunikasi
Thailand). namun lebih kalem. B
merasa bahwa
kebiasaan dan
komunikasi tidak jauh
berbeda dari asalnya.
Deskripsi struktural
dari fenomena para
informan terdapat
pengaruh keluarga
dalam pola berpikir
dan pola komunikasi
mereka, aanya
motivasi baik internal
dari diri sendiri
ataupun eksternal dari
potensi masa depan
studi serta memilih
strategi komunikasi
yang tepat dalam
berinteraksi.
Sri Utami Proses Penyesuaian Penelitiaan ini Informan Hasil dari penelitian
(2021) Kode Bahasa menggunakan dalam ini adalah kode bahasa
Dalam Komunikasi kualitatif penelitian ini merupakan unsur
Antar Budaya dengan berjumlah budaya yang
pendekatan enam orang diadaptasi oleh suku
fenomenologi yakni S (laki- Jawa dan Melayu.
laki, 32 tahun, Penyesuaian kode
jawa, nelayan), bahasa dapat berhasil
EL diadaptasi
(perempuan, menggunakan proses
27 tahun, jawa, Asimilasi dan
pedagang), Integrasi. Mereka
MR (laki-laki, saling mempelajari
47 tahun, jawa, dan menghargai
wiraswasta), E ketika saling
(perempuan, berinteraksi
41 tahun,
melayu, ibu
rumah tangga),
FD
(perempuan,
47 tahun,
melayu,
pedagang), BT
(laki-lai, 23
tahun, melayu,
conten
creator)
Maudi Akomodasi Metode dalam Informan Hasil dari penelitian
Mardiyati Komunikasi Antar penelitian ini dalam ini informan
Budaya Pada menggunakan penelitian ini cenderung memilih
Penyesuaian Diri pendekatan ialah konvergensi sebagai
Mahasiswa kualitatif jenis mahasiswa tindakan yang
Perantauan Asal analisis rantau UIN dilakukan. mereka
Sumatra di UIN deskriptif Syarif mengalami beberapa
Syarif Hidayatullah Hidayatullah fase seperti
Jakarta Jakarta asal honeymoon,
Sumatra yang frustation,
aktif dalam readjustment,
organisasi resolution. Mereka
berusaha
menyesuaikan diri
meskipun awalnya
merasa tidak nyaman,
mereka juga berusaha
memahami dan
mempelajari
perbedaan-perbedaan
antarbudaya seperti
bahasa dalam
berkomunikasi

B. Landasan Teori

Awal mula kata komunikasi ialah berasal dari kata Latin yaitu communis yang artinya
adalah “sama”, sedangkan communico, communication atau communicare berarti
“membuat sama” (to make common). Kata communis sering digunakan sebagai awalan
kata ‘komunikasi’ dimana sumber dari kata Latin lain yang serupa, sebuah gagasan,
sebuah makna, atau sebuah pesan yang dipahami secara sama melalui komunikasi
(Mulyana, 2016). Umumnya, budaya memiliki nilai yang muncul melalui proses
berinteraksi antarindividu. Nilai-nilai tersebut dinyatakan secara langsung maupun tidak
langsung di dalam proses interaksi tersebut. Hal ini kadang-kadang terjadi di bawah alam
sadar individu kemudian diwariskan kepada generasi yang berikutnya (Nasrullah, 2012).

Munculnya interaksi antarmanusia pada suatu wilayah maupun negara terjadi karena
adanya budaya. Salah satu acuan dasar untuk manusia adalah budaya, dimana untuk
melakukan proses interaksi komunikasi dengan manusia lainnya. Tentu budaya
mempunyai perbedaan dan keunikan serta keragaman yang dapat menjadi pembeda antara
satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan yang muncul memiliki sisi perbedaan yang
saling bertabrakan. Sisi positif dari perbedaan budaya dapat memberi ciri khusus dari
wilayah tersebut yang mana bisa menjadi pembeda dengan kelompok lain. Selain itu,
budaya juga akan menumbuhkan ikatan kuat di dalam anggota kelompok masyrakat. Sisi
negatif perbedaan budaya yaitu akan menyebabkan perbedaan persepsi yang berpotensi
menyebabkan konflik antarindividu atau kelompok dalam kegiatan berkomunikasi. Maka
dari itu, pemahaman dimana komunikasi dapat memberikan pengaruh besar terhadap
budaya, juga interaksi sangat penting untuk individu maupun dalam sebuah Kelompok.
Budaya dan komunikasi menjadi dua konsep yang tak dapat dipisahkan. Interaksi
antarpribadi dan komunikasi antarpribadi sebagai proses komunikasi antarbudaya
dilakukan oleh orang-orang dengan latar belakang budaya berbeda (Muchtar, Koswara, &
Setiaman, 2016). Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua budaya yang berbeda saling
bertemu dan kedua budaya itu melakukan proses interaksi dan berkomunikasi. Interaksi
antarindividu bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang budaya
berbeda memerlukan tingkat sopan santun dan keamanan tertentu, juga peramalan tentang
hal-hal tertentu dengan lawan bicaranya. Semakin besar kadar perbedaan latar belakang
antarbudayanya, maka semakin besar juga seseorang akan kehilangan waktu untuk
mengetahui beberapa tingkat kepastian. Hal tersebut terjadi karena setiap kali melakukan
proses komunikasi dengan seseorang yang memiliki perbedaan budaya, maka akan ada
perbedaan pula dalam derajat pengetahuan, derajat kesulitan, ambiguitas, kebingungan,
dan suasana yang sukar untuk diuraikan bahkan tidak familiar bagi seseorang.

Karakteristik aktivitas berkomunikasi yang efektif yaitu jika ditemukan kesamaan


maksud di dalam pesan antara komunikator bersama komunikan, begitupun komunikasi
antarbudaya. Namun, hal tersebut akan lebih sulit karena ada unsur perbedaan-perbedaan
budaya pada pelaku komunikasi. Maka, Lewis dan Slade (Ridwan, 2016) menjabarkan 3
(tiga) hal yang sangat problematik dalam hal pertukaran antarbudaya, yaitu:
1. Kendala bahasa, yaitu hal yang nampak, namun kesulitan itu lebih mudah teratasi
dikarenakan bahasa bisa dipelajari.
2. Perbedaan nilai menjadi kendala yang penting terhadap terjadinya kesalahpahaman
budaya, karena saat perorangan berasal dari budaya yang berbeda lalu berinteraksi,
perbedaan tersebut dapat menghalangi penerimaan kesepakatan yang rasional terkait
isu-isu penting.
3. Kesalahpahaman antarbudaya terjadi karenakan berbedanya perilaku kultural yang
lebih disebabkan oleh kurang mampunya pada tiap kelompok budaya dalam memberi
apresiasi terhadap kebiasaan yang biasa dilakukan di setiap kelompok budaya
tersebut.

Melalui anggapan dasar tersebut, dapat dijelaskan bahwa komunikasi antarbudaya


adalah sebuah proses interaksi antarindividu yang dilaksanakan oleh orang-orang dengan
latar belakang budaya yang berbeda. Dengan komunikasi ini boleh jadi terjalin dengan
baik apabila seseorang mampu beradaptasi di lingkungan barunya. Proses adaptasi
antarbudaya menjadi suatu proses interaktif dimana proses ini akan berkembang dengan
kegiatan-kegiatan interaksi antara seorang pendatang baru dengan lingkup kebuadayaan
baru. Dalam hal ini, mau tidak mau mahasiswa pendatang asal Makassar dituntut untuk
bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan kebudayaan baru yang berlaku di Malang.
Tentu saja, saat seseorang berkomunikasi dengan pihak lain yang memiliki perbedaan
budaya, maka adaptasi yang dijalani akan menemukan problema dan perlu untuk
dipecahkan.
Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka kita perlu mengenali
asumsi-asumsi tersebut. Terdapat enam asumsi yang telah dirangkum oleh (Liliweri
2003), yaitu:
1. Komunikasi antar budaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa terdapat perbedaan
persepsi antara komunikator dengan komunikan. Perbedaan iklim antara komunikator
dan komunikan merupakan prinsip utama dalam komunikasi antar budaya. Karena
ada perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada umumnya perhatian teoritis atau
praktis dari komunikasi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang menghubungkan
individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda (Liliweri 2003)
2. Dalam komunikasi antarbudaya, terkandung isi dan relasi antara pribadi. Komunikasi
antarbudaya berasal dari relasi sosial budaya. Watzlawick, beavin and Jackson
menekankan bahwa isi (content of communication) komunikasi tidak berada dalam
ruangan yang terisolasi. Isi (content) dan makna (meaning) adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan, dua hal yang esensial dalam membentuk relasi (relation) (Liliweri
2003) .
3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antar pribadi. Setiap individu memili gaya
tersendiri dalam berkomunikasi. Ketika mereka sedang senang pasti akan berbeda
komunikasinya dengan Ketika sedang bersedih, marah ataupun bosan. Menurut
Suaranto dalam ringkasan mengatakan bahwa pengertian gaya komunikasi adalah
seperangkat perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau
tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya
komunikasi yang digunakan bergantung pada maksud dari sender dan harapan dari
receiver. Pengalaman yang didapatkan tiap individu dalam berkomunikasi dengan
lawan komunikan yang berbeda budaya dapat menambah pengalaman dalam
berkomunikasi dengan individu yang berbeda budaya, serta dapat menjadikan
evaluasi dalam gaya berkomunikasi.
4. Komunikasi antarbudaya bertujuan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian. Pada
saat kedua individu baru saling berkomunikasi, pasti muncul dalam benaknya relasi
seperti, apakah dia senang berkomunikasi dengan saya? Bagaimana pikirannya
terhadap saya? Apakah dia memahami maksud dan tujuan saya? Kebingungan yang
dirasakan oleh individu baru tersebut memaksa untuk berkomunikasi, sehingga
individu tersebut merasa dirinya berada dalam suasana relasi yang lebih pasti. Tingkat
ketidakpastian yang dirasakan akan berkurang jika individu baru tersebut dapat
berkomunikasi secara tepat. Usaha dalam mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat
dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yaitu:
a) Pra-Kontak atau tahapan pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun
nonverbal (apakah suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi) .
b) Initial Contact and Impression, yaitu tanggpatan lanjutan atas kesan yang muncul
dari kontak awal.
c) Closure, mulai membuka diri yang semula tertutup melalui antribusi dan
pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus
lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas sesuatu
perilaku atau tindakan dia.
5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan. dalam bukunya (Liliweri 2003) terdapat
jawaban yang sangat netral yang disampaikan oleh smith bahwa: “komunikasi dan
kebudayaan tidak dapat dipisahkan.” Dan Edward T.Hall mengatakan: “komunikasi
adalah 13 kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi.” Dalam tema tentang
kebudayaan dan komunikasi, sekurang-kurangnya ada dua jawaban yang lebih rinci:
pertama, dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara
pengaturan simbol-simbol komunikasi. Kedua, hanya dengan komunikasi maka
pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan dan kebudayaan hanya akan eksis jika
adanya komunikasi.
6. Efektifitas antar budaya merupakan tujuan komunikasi. Dalam bersosialisasi tanpa
adanya komunikasi, sosialisasi yang dilakukan tidak akan efektif. Demikian juga
dalam interaksi antar budaya, tidak akan efektif penyebarannya sebuah budaya jika
tidak adanya komunikasi didalamnya. Hal ini dapat menerangkan bahwa tujuan dari
komunikasi antar budaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk
hubungan antar budaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi
dalam memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan
serta memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, seperti mengurangi
potensi konflik, lahirnya persahabatan dan semangat kesetiakawanan. Jadi cara setiap
individu dalam berkomunikasi sebagaian besar dipengaruhi oleh individu lainnya
yang berasal dari culture yang berbeda serta berkomunikasi secara berbeda. oleh
karenanya setiap inidividu harus menaruh perhatian khusus dan menjaga agar
perbedaan culture bukan 14 menjadi masalah dalam berkomunikasi dengan individu
yang lain. Justru perbedaan kultur dari tiap individu diharapkan dapat menjadi nilai
tambah tiap individu dalam memperkaya pengalaman komunikasi. Dalam komunikasi
antar budaya memiliki fungsi-fungsi pribadi yang dimana dapat digunakan di
kehidupan tiap individu pendatang dalam mempelajari komunikasi tentang budaya.
fungsi pribadi tersebut meliputi:

a. Menyatakan identitas sosial Perilaku ini digunakan untuk menyatakan identitas


diri maupun identitas sosial. Dimana prilaku ini dilakukan atau dinyatakan dengan
tindakan bahasa baik secara verbal maupun nonverbal. Sebab dari perilaku
berbahasa dari tiap individunya lawan bicara atau komunikan akan tahu identitas
diri atau sosial orang tersebut.
b. Menyatakan integrasi sosial Inti dari fungsi ini ialah dapat menerima persatuan
dan kesatuan antar pribadi, antar kelompok, namun tetao mengakui
perbedaanperbedaan yang dimiliki setiap unsur.
c. Menambah pengetahuan Dengan perbedaan budaya yang dimiliki oleh setiap
individu dalam berkomunikasi, dapat menjadi pembelajaran bagi individu satu dan
lainnya. Dengan komunikasi yang dijalin dapat menambah pengetahuan bersama
dan juga dapat mempelajari kebudayaan individu lainnya.

Proses Adaptasi Speech Code


Menurut Kim proses adaptasi komunikasi antar budaya ialah proses interaktif yang
tumbuh lewat aktivitas komunikasi seorang pendatang dengan area sosial budaya nya
yang baru. Menyesuaikan diri antar budaya tercermin pada terdapatnya kesesuaian antara
pola komunikasi pendatang dengan pola komunikasi yang diharapkan ataupun disepakati
oleh warga serta budaya lokal/ setempat. Begitupun sebaliknya, kesesuaian pola
komunikasi ini pun mendukung terbentuknya penyesuaian diri antar budaya (Utami,
Jurnal komunikasi, 7(2), 2015:182). Proses adaptasi berkaitan dengan perubahan identitas
budaya yang menyangkut komunikasi dalam segi dialek, logat nada, kode bahasa (Speech
Code). Identitas budaya dari sekelompok orang dapat dikenali dari bahasa dan
komunikasi verbal dan non verbal.
Kode Bahasa (Speech Code) dalam komunikasi antarbudaya menampilkan
perbandingan yang bertabiat unik serta khas. Perihal tersebut didorong dari latar belakang
budaya yang berbeda. Suku Jawa sebagai perantau atau imigran juga dapat beradaptasi
speech code dengan budaya baru yang ia tempati dengan beberapa cara yaitu (Martin &
Nakayama, 2010: 324-329):
a. Asimilasi
Proses asimilasi dapat menyelamatkan imigran atau perantau untuk menjaga relasi
dengan kultur baru. Sehingga perantau dapat diterima oleh penduduk lokal agar dapat
berbaur secara sosial dan kulturnya (Martin & Nakayama, 2010: 324).
b. Separasi
Separasi ialah di mana seorang senantiasa bertahan pada budayanya sendiri serta
meminimalisir interaksi dengan kelompok lain serta budaya yang berbeda. Seorang
cenderung mengelompok serta bertahan pada fase yang aman dan nyaman.
c. Integrasi
Integrasi ialah perantau yang mempunyai ketertarikan untuk mempertahankan
budayanya sendiri tetapi tetap berinteraksi dengan kelompok lain. Pendatang memilih
untuk tetap berada pada speech code mereka sendiri tetapi tetap bisa berinteraksi
dengan budaya baru yang mereka tinggali.
d. Hibriditas budaya
Hibriditas budaya merupakan percampuran dari beberapa unsur kebudayaan baru
ataupun istilah lain dari akulturasi, serta asimilasi budaya. Tiap- tiap kelompok dalam
kebudayaan yang berbeda mempertahankan rasa yang khas dalam menyatukan
budaya yang berbeda untuk membentuk sesuatu masyarakat yang besar, masyarakat
yang berbeda dengan mengambil pendekatan yang berbeda.
C. Kerangka Berpikir & Hipotesis
1. Kerangka Berpikir

Mahasiswa Lokal Komunikasi Sosial Budaya Mahasiswa Non Lokal

Culture Shock

Faktor Pendukung Proses Penyesuaian Hambatan


Fase-Fase Adaptasi

2. Hipotesis

a. Hipotesis Mayor
Ada proses penyesuaian dalam komunikasi sosial budaya antar mahasiswa yang
berbeda budaya dan bahasa.
b. Hipotesis Minor
1. Terdapat fase adaptasi pada proses penyesuaian dalam komunikasi sosial
budaya antar mahasiswa yang berbeda budaya dan bahasa.
2. Terdapat faktor pendukung pada proses penyesuaian dalam komunikasi sosial
budaya antar mahasiswa yang berbeda budaya dan bahasa.
3. Terdapat hambatan pada proses penyesuaian dalam komunikasi sosial budaya
antar mahasiswa yang berbeda budaya dan bahasa.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yakni


adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi
yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Penelitian Kualitatif
merupakan penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa di alami
subjek penelitian misalnya perilaku,persepsi,motivasi,tindakan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan Bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong,2006:6).
Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9, dalam Moleong
2002:3) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manusia dalam kawasannya sendiri berhubungan dengan orang – orang tersebut
dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.

B. Tipe dan Dasar Penelitian


Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang
menggunakan laporan yang berisi kutipan data untuk memberi gambaran penyajian
laporan.
Data yang dikumpulkan adalah berupa kata – kata, gambaran. Hal ini
disebabkan dengan adanya penerapan metode kualitatif (Moleong,1989:11) Menurut
bogdan dan Biklen (Emzir, 2010:31), dengan data yang mencakup transkrip
wawancara, catatan lapangan, fotografi, , dokumen, , dan rekaman suara .
Dalam pencarian mereka untuk pemahaman, peneliti kualitatif tidak
mereduksi halaman demi halaman dari narasi dan data lain. Mencoba menganalisis
data dan sedekat mungkin dengan bentuk rekaman dan transkrip. Dasar penelitian
yang digunakan adalah dasar naturalistik, dimana penelitian kualitatif memiliki latar
aktual sebagai sumber langsung dan data peneliti merupakan instrumen kunci. Selain
naturalistik, juga menggunakan pendekatan yang hanya lebih berurusan dengan
proses. Jadi peneliti lebih berkonsentrasi pada proses daripada hasil dikarenakan
peranan proses yang sangat besar dalam penelitian ini, membuat beberapa bagian
yang diteliti menjadi jelas

C. Alat Pengumpulan Data

Untuk menghimpun data dalam penelitian ini akan penulis laksanakan di


lapangan dalam memperoleh data yang diinginkan, maka penulis menggunakan
metode yaitu: Metode wawancara yang dimaksud dengan interview atau wawancara
adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab, sambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara dengan
narasumber atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview
guide (panduan wawancara). Dan menggunakan wawancara tidak terstruktur adalah,
wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara
yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data.
Pengumpulan data : pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan
data-data yang telah diperoleh dari hasil wawancara dan observasi bahkan catatan
lapangan yang telah didapatkan saat melakukan penelitian. Reduksi data : kondensasi
data diperoleh dari data yang sudah terkumpul dilapangan. Didalam kondensasi data
terjadi proses seleksi, menyederhanakan, mengabstraksi dan mentransformasikan data
tertulis atau yang telah didapatkan di lapangan. Penyajian data : tahap penyajian data
dilakukan dengan menyusun informasi secara sistematis sehingga ringkasan data yang
telah diperoleh selanjutnya dibuat dalam suatu bentuk transkrip, gambar, skema dan
lain sebagainya untuk mempermudah peneliti dalam menggambarkan atau mengamati
fenomena yang terjadi di lapangan. Kesimpulan : Merupakan akhir dari kegiatan
analisis data kualitatif, yakni dengan penarikan kesimpulan dari topik pembahasan
yang dibuat. Jika data yang terkumpul sudah cukup memadai dan belum didukung
dengan bukti yang kuat makan dapat ditarik kesimpulan sementara, dan jika data
dirasa sudah lengkap dan jelas maka peneliti dapat mengambil kesimpulan akhir.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

Hasil Penelitian ini menggunakan teknik deskriptif kualitatif karena tidak


hanya menggunakan penelitian pengambilan keputusan tetapi juga wawancara dan
dokumen dilapangan. Saat melakukan penelitian, peneliti mewawancarai narasumber
untuk memahami “bagaimana proses penyesuaian bahasa dalam komunikasi antar
budaya pada mahasiswa” yang saling berinteraksi dengan mahasiswa asli Jogja. Data
yang dikumpulkan oleh peneliti diperoleh dari melakukan wawancara melalui proses
tanya jawab langsung, atau untuk melakukan pertemuan tatap muka dengan
narasumber. Selama wawancara, peneliti menanyakan beberrapa pertanyaan untuk 5
orang mahasiswa jogja diantaranya ada 4 orang mahasiswa luar daerah jogja. Dan
satu diantaranya mahasiswi asli jogja . Selain wawancara, peneliti juga menggunakan
metode observasi dan metode pencatatan dokumenter untuk melakukan penelitian
guna membantu peneliti memperoleh data penelitian yang efektif.
Untuk mengetahui cara mahasiswa pendatang saat menyesuaikan diri pada
lingkungan baru. Disini cara mahasiswa pendatang dalam menyesuaikan diri, ialah
hampir seluruh informan menjawab mempelajari menguasai bahasa, karena dalam
percakapan sehari-hari di universitas di Yogyakarta masih menggunakan bahasa/logat
daerah setempat, sehingga membuat mahasiswa pendatang belajar dan menggunakan
bahasa daerah yang ada di Yogyakarta yang sebagian besar menggunakan Bahasa
jawa.. Dan kemudian cara penyesuain diri yang terutama yang dilakukan oleh semua
informan yaitu lebih mengenal dan mempelajari lagi budaya, adat kebia saan yang ada
di Yogyakarta.
Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami mahasiswa pendatang
saat menyesuaikan diri. Yang menjadi hambatan dari para mahasiswa pendatang ialah
sifat meremehkan yang dilakukan mahasiswa asli kepada mahasiswa pendatang pada
awalnya mereka sudah berusaha untuk melakukan pendekatan dan berusaha untuk
bergaul tapi selalu di anggap remeh, karena mahasiswa lainnya berpikir mahasiswa
pendatang. Kendala lainnya, masih ada juga mahasiswa pendatang yang belum
menguasai sepenuhnya logat yang mengatakan komunikasi dia dengan mahasiswa
lainnya belum mengetahui jelas arti-arti dari ucapan dari mahasiswa-mahasiswa
lainnya.

Tabel 4.1 Nama informan

No Nama dan Status Umur Universitas


1. Annur (Jakarta) 25 UAD (TEKNIK
INFORMATIKA)
2. Alvian ( NTB ) 24 UAD (TEKNIK
INFORMATIKA)
3. Bayu (Palembang) 25 UAD ( PKN )
4. Gita Pertiwi ( Jogja ) 26 UGM ( SASTRA JEPANG)
5. Ludovic ( Sulawesi) 23 UPN (TEKNIK GEOLOGI

Informan I Berdasar kan data yang didapat dan pengamatan yang diamati peneliti

Informan I adalah mahasiswa yang berasal dari Jakarta dan pindah di Jogja selama
Kuliah. Informan Annur berumur 25 tahun sebagai mahasiswa. Menurut peneliti ,Informan
bernama Annur mampu memberikan data dan informasi yang dibutuhkan dalam menyelesai
kan penelitian ini. Tinggal dan Lahir Di Jakarta penduduk mayoritas masyarakat Jakarta dan
menggunakan bahasa Loe dan Gue berbeda dengan adat jogja yang tradisi Aku kamu
membuat ia sedikit bingung berbicara dengan mahasiswa asli jogja karena itu ia selalu
berusaha menggunakan Bahasa jawa meskipun ia sekarang tinggal di jogja namun ia lahir di
Jakarta membuat adat tradisi berbeda semenjak ia pindah kuliah di Univ Jogja.

Informan 2 Berdasar kan data yang didapat dan pengamatan yang diamati peneliti
Informan 2 adalah mahasiswa yang berasal dari NTB dan Kost di Jogja selama
Kuliah. Informan Alvian berumur 24 tahun sebagai mahsiswa. Menurut peneliti ,Informan
bernama Alvian mampu memberikan data dan informasi yang dibutuhkan dalam menyelesai
kan penelitian ini. Tinggal dan Lahir Di NTB J penduduk mayoritas masyarakat NTB dan
menggunakan bahasa Daerah NTB berbeda dengan adat jogja yang tradisi membuat ia
bingung dalam ngobrol dengan teman-teman yang berbeda Bahasa dengan dia terutama
Bahasa jawa karena itu ia selalu berusaha mempelajari Bahasa jawa meskipun ia kadang
kurang paham dengan Bahasa jawa namun ia belajar mengenai intonasi jawa sedikit demi
sedikit agar makin akrab dengan mahasiswa lain yang asli jogja.
Informan 3 Berdasar kan data yang didapat dan pengamatan yang diamati peneliti
Informan 3 adalah mahasiswa yang berasal dari Palembang dan Kost di Jogja
selama Kuliah. Informan Bayu berumur 25 tahun sebagai mahasiswa. Menurut peneliti
,Informan bernama Bayu mampu memberikan data dan informasi yang dibutuhkan dalam
menyelesai kan penelitian ini. Tinggal dan Lahir Di Palembang atau Wong Kito Galo
penduduk mayoritas masyarakat Palembang dan menggunakan bahasa Daerah Palembang
berbeda dengan adat jogja yang tradisi membuat ia sangat bingung dalam memahami
kosakata jawa yang sangat berbeda dengan Bahasa sehari-hari dia Bahasa Palembang atau
saat berbicara dengan teman-teman asli jogja yang selalu bercanda dengan Bahasa jawa
membuat ia sering tidak tertawa karena tidak paham arti bercandaan teman-temannya dalam
atau bercandaan membuat ia kesulitan bergaul dengan lingkungan baru yang berbeda adat
dan bahasa .

Informan 4 Berdasar kan data yang didapat dan pengamatan yang diamati peneliti

Informan 4 adalah mahasiswi yang berasal dari Jogja dan kuliah di Jogja .
Informan Gita berumur 26 tahun sebagai mahasiswi. Menurut peneliti ,Informan bernama
Gita mampu memberikan data dan informasi yang dibutuhkan dalam menyelesai kan
penelitian ini. Tinggal dan Lahir Di Jogja dan Ia membuat ia berteman dengan mahasiswa
berbeda daerah adat dan Bahasa namun ia bisa menyesuaikan Bahasa mereka yaitu Indonesia
agar mereka yang berasal dari luar jogja dan jawa tidak kesulitan memahami Bahasa atau
maksud yang ingin ia sampaikan.

Informan 5 Berdasar kan Data yang didapat dan pengamatan yang diamtai peneliti

Informan 5 adalah mahasiswa yang berasal dari Sulawesi dan kuliah di Jogja .
Informan ludovic berumur 23tahun sebagai mahasiswa. Menurut peneliti ,Informan bernama
ludovic mampu memberikan data dan informasi yang dibutuhkan dalam menyelesai kan
penelitian ini. Tinggal dan Lahir Di Sulawesi yang Bahasa dan adatnya berbeda dengan
Bahasa dan adat orang jogja sehingga ia menyesuaikan Bahasa temen-temen nya di jogja
dan membuat ia berteman dengan mahasiswa asli jogja maupun mahasiswa yang berbeda
Bahasa dengan Bahasa dia .Sehingga ia harus belajar sedikit bahasa jawa guna
menyesuakaikan bahasa teman-temannya di jogja.
B. PEMBAHASAN

Ada tujuan fungsional ketika mereka beradaptasi antar budaya. Sesuai dengan proposisi-
proposisi teori adaptasi antar budaya, maka komunikasi yang beradaptasi secara fungsional
dan setara dalam adaptasi dapat memberi fasilitas pada penyelesaian tugas. Sementara,
komunikasi yang tidak adaptif fungsional membawa pada invokasi perbedaan kultural dan
memperlambat penyelesaian tugas. Ketika para komunikator harus bekerjasama, ada
kesetaraan dalam mengadaptasi komunikasi. Penggunaan strategi persuasif dapat membawa
pada adaptasi komunikasi. Ketika situasi mendukung salah satu komunikator atau satu
komunikator lebih berkuasa, maka komunikator lainnya akan memiliki beban untuk
beradaptasi. Sementara itu, ketika lebih banyak perilaku adaptif para komunikator, maka
lebih banyak keyakinan kultural (Gudykunst, 2002). Tujuan beradaptasi tentunya adalah
untuk bisa menyesuaikan diri yang mana akhirnya dapat memperoleh kenyamanan berada
dalam suatu lingkungan yang baru. Kelima teori yang telah dijelaskan di atas merupakan teori
yang dapat membantu terjadinya proses adaptasi antar budaya di mana mengharapkan
tercapainya keefektifan komunikasi pada akhirnya antara individu yang berbeda budaya.
Meskipun kelima teori tersebut dapat digunakan dalam menjelaskan proses adaptasi antar
budaya, namun dalam prosesnya, masing-masing teori memiliki perbedaan satu sama lain.

Dari penelitiannya tersebut kemudian Kim mengidentifikasi lima hal yang menjadi faktor
dalam adaptasi yaitu personal communication, host social communication, ethnic social
communication, environment, dan predisposition. Faktor-faktor ini mempunyai dampak pada
apa yang disebut dengan transformasi antar budaya (intercultural transformation), yang
merupakan proses untuk mencapai functional fitness, psychological health, dan intercultural
identity. Secara jelas, kelima faktor penting dalam proses adaptasi tersebut digambarkan
dalam model berikut : Personal Communication, atau komunikasi personal terjadi apabila
seseorang merasakan adanya hal-hal yang terdapat dalam lingkungannya, kemudian memberi
makna serta mengadakan reaksi terhadap obyek maupun orang lain yang terdapat dalam
lingkungannya tersebut. Dalam tahap ini terjadi proses penyesuaian dengan menggunakan
kompetensi komunikasi pribadi yang diturunkan menjadi tiga bagian yaitu kognitif, afektif,
dan operasional. Hal ini terjadi di dalam diri pribadi individu. Aspek kognitif dari kompetensi
komunikasi dipisahkan ke dalam pengetahuan individu tentang sistem komunikasi,
pemahaman kultural, dan kompleksitas kognitif. Aspek afektif dalam kompetensi komunikasi
disini merupakan komposisi dari motivasi adaptasi individu, fleksibilitas identitas, dan
estetika orientasi bersama. Selanjutnya, aspek operasional atau kemampuan untuk
mengekspresikan kognitif dan pengalaman afektif individu secara terlihat melalui aspek
perilakunya atau secara spesifik menunjukkan kompetensi komunikasinya itu. Pencapaian
kompetensi komunikasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan umum manusia, yaitu
mengatasi lingkungannya terutama jika itu adalah lingkungan baru. Kompetensi komunikasi
adalah kemampuan untuk secara efektif berhubungan dengan orang-orang lain. Selanjutnya,
ada host social communication dan ethnic social communication.
Keduanya sama-sama terdiri dari dua macam komunikasi yaitu komunikasi interpersonal
dan komunikasi massa. Komunikasi interpersonal mengacu pada interaksi antara individu
yang satu dengan yang lain pada level interpersonal, bedanya jika host social communication
terjadi antara individu pendatang dengan individu dari budaya setempat sehingga ada
perbedaan budaya antara keduanya, sedangkan ethnic social communication terjadi antara
individu-individu dengan latar belakang budaya yang sama, misalnya individu pendatang
berinteraksi dengan individu yang mempunyai asal dan budaya yang sama dengannya.
Adapun komunikasi massa disini sehubungan dengan sarana-sarana yang digunakan dalam
mendistribusikan dan mengabadikan budaya. Hal tersebut meliputi baik media seperti radio,
televisi, surat kabar, dan internet; dan juga non media yang berbasis institusi seperti sekolah,
agama, kantor, bioskop ataupun tempat umum apapun dimana komunikasi terjadi dalam
bentuk ritual budaya. Komunikasi massa ini berfungsi sebagai tenaga dalam proses adaptasi
dengan melakukan transmisi topik peristiwa-peristiwa, nilai-nilai sosial, norma perilaku,
perspektif interpretasi lingkungan tradisional. Komunikasi massa ini berarti adanya interaksi
antara individu dengan massa baik melalui media maupun non media, bedanya jika host
social communication interaksi terjadi antara individu pendatang dengan budaya setempat
yang baru baginya, sedangkan ethnic social communication interaksi terjadi antara individu
pendatang dengan budaya asalnya atau yang sudah dikenalnya
Selanjutnya tekanan akan adanya kesesuaian dari tuan rumah, dan kekuatan kelompok
etnis. Penerimaan tuan rumah mengacu pada kemauan dari budaya setempat untuk menerima
dan mengakomodasi pendatang melalui kesempatan ikut berperan serta dalam komunikasi
sosial. Dari perspektif pendatang, hal ini dapat dianggap akses untuk masuk, atau kesempatan
untuk mendapatkan kontak. Tekanan akan adanya kesesuaian dari tuan rumah merupakan
kombinasi dari tekanan yang sadar maupun tidak sadar terhadap pendatang untuk
mengadopsi praktek-praktek budaya setempat, dan toleransi tuan rumah dalam menghormati
praktek-praktek budaya yang berbeda dari budaya mereka. Salah satu faktor yang penting
disini adalah adanya perbedaan antara ideologi asimilatif atau pluralis. Ideologi asimilatif
mendorong adanya kesesuaian, sedangkan ideologi pluralis mendorong adanya kekhasan
etnis. Hal tersebut membawa kepada kekuatan kelompok etnis yang merujuk pada kekuatan
kelompok dari budaya atau etnis yang sama dengan asal individu pendatang. Terakhir,
predisposition mengacu pada keadaan pribadi pendatang ketika mereka tiba dalam kelompok
budaya setempat, jenis latar belakang yang mereka miliki, dan apa jenis pengalaman yang
mereka punya sebelum bergabung dengan budaya setempat. Gabungan dari faktor-faktor
tersebut memberi keseluruhan potensi adaptasi individu pendatang.
Telah dikatakan pula sebelumnya bahwa faktor-faktor di atas membawa dampak pada
proses transformasi antar budaya (intercultural transformation) yang meliputi tiga aspek yaitu
(1) Increased Functional Fitness, dalam aspek ini dijelaskan bahwa melalui aktivitas yang
berulang-ulang dan pembelajaran terhadap budaya baru, pendatang akhirnya mencapai
sinkronisasi antara respon internal dalam dirinya dengan permintaan eksternal yang ada di
lingkungan barunya atau dapat juga disebut mencapai perceptual mutuality.
(2) Psychological Health, aspek ini berfokus pada keadaan emosional individu pendatang.
Sangatlah jelas bahwa kebahagiaan psikologis pendatang akan bergantung juga pada anggota
masyarakat di lingkungan barunya. Maksudnya adalah, jika pendatang merasa diterima oleh
masyarakat setempat, secara lebih cepat mereka akan merasa lebih nyaman. Namun, jika
masyarakat tuan rumah mengesankan seakan-akan si pendatang kurang bisa diterima,
penyesuaian diri secara psikologis menjadi jauh lebih sulit.
(3) Intercultural Identity, dalam aspek ini identitas budaya asli mulai kehilangan kekhasan dan
kekakuannya, sementara itu definisi identitas yang lebih luas dan lebih fleksibel dari diri
pendatang juga mulai muncul. Jika ketiga aspek tersebut tercapai maka muncullah hasil dari
adaptasi antar budaya yang telah dibicarakan sebelumnya.

Teori Akulturasi dan Culture Shock Teori Akulturasi dikemukakan oleh Berry (1987)
dan Teori Culture Shock dikemukakan oleh Oberg (1960). Akulturasi adalah suatu proses
dimana kita mengadopsi budaya baru dengan mengadopsi nilai-nilainya, sikap, dan
kebiasaannya. Akulturasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa
yang terjadi disaat orang yang berasal dari suatu budaya masuk ke dalam budaya yang
berbeda. Akulturasi selalu ditandai dengan perubahan secara fisik dan psikologi yang terjadi
sebagai hasil dari adaptasi yang dipersyaratkan untuk memfungsikan dalam konteks budaya
yang baru atau budaya yang berbeda. Dalam akulturasi terdapat teori Stres Akulturatif.
Stres Akulturatif adalah tingkat stres yang dihubungkan dengan perubahan, yang
ditandai dengan penurunan dalam kesehatan fisik dan mental. Miranda dan Matheny
menggariskan bahwa stres akulturatif berhubungan dengan penurunan harapan kemujaraban
diri, mengurangi cita-cita dalam berkarir, depresi, dan ideasi dengan bunuh diri (terutama
pada Hispanic diusia remaja). Hovey menemukan bahwa disfungsi keluarga, terpisah dari
keluarga, harapan-harapan negatif untuk masa depan, dan tingkat pendapatan yang rendah
secara signifikan berhubungan pada level akulturatif stres yang lebih tinggi. Nwadiora dan
McAdoo melaporkan bahwa gender dan ras tidak mempunyai dampak yang signifikan pada
stres akulturatif. Berry berpendapat bahwa tingkat pengalaman stres akulturatif oleh orang
yang beradaptasi dengan variasi budaya baru berdasarkan pada persamaan dan ketidaksamaan
diantara “host cultura” dan imigran native cultural.
Berry menunjukkan level akulturasi setiap individu tergantung pada dua proses
independen. Yang pertama adalah derajat di mana individu berinteraksi dengan budaya tuan
rumah, mendekati atau menghindar (out group contact and relation). Dan yang kedua adalah
derajat di mana individu mempertahankan atau melepaskan atribut budaya pribuminya
(ingroup identity and maintenance). Berdasarkan kedua faktor tersebut, Berry
mengidentifikasikan model akulturasi sebagai berikut: asimilasi, integrasi, separasi, dan
marginalisasi. Yang dimaksudkan dengan Asimilasi adalah ketika individu kehilangan
identitas budaya aslinya disaat dia mendapat identitas baru di budaya tuan rumahnya.
Sedangkan Integrasi yaitu ketika individu mempertahankan identitas budaya aslinya saat
berinteraksi dengan budaya tuan rumahnya. Pada mode ini, individu membangun sejenis
oritasi bicultural yang sukses bercampur dan menyatukan dimensi budaya dari kedua
kelompok untuk saling berinteraksi tanpa halangan sosial hirarki. Model lain menyebutnya
dengan pluralism atau multikulturalisme. Berikutnya, Separasi yaitu di mana individu lebih
memilih level interaksi dengan budaya tuan rumah pada level yang rendah, menghendaki
hubungan yang tertutup dan kecenderungan untuk menegarkan kembali budaya
kepribumiannya. Disini individu menolak akulturasi dengan budaya dominan dan memilih
untuk tidak mengidentifikasi dengan kelompok budaya tuan rumah. Pada saat yang
bersamaan orang lain menguasai identitas budaya pribuminya. Orang memilih
separation/pemisahan karena permusuhan terhadap budaya tuan rumah sebagai hasil dari
faktor sosial atau sejarah. Separation juga disebut dengan model segragation. Terakhir adalah
Marginalisasi.
Marginalisasi ini terjadi di saat individu memilih untuk tidak mengidentifikasi dengan
budaya pribumi atau dengan budaya tuan rumah. Pada banyak kasus, orang-orang
marginalisasi meninggalkan budaya pribumi mereka hanya untuk menemukan bahwa mereka
tidak diterima oleh budaya tuan rumah, dan akan berakulturasi jika diberikan kesempatan.
Dari pengalaman orang yang mengalami keterasingan dari kedua budaya tersebut, mereka
sering merasa tertinggal (contoh, pemabuk, pengguna narkotika, pengidap HIV Aids). Hasil
dari berbagai macam pengalaman dan berbagai hal yang berhubungan dengan stres saat
memasuki budaya baru disebut dengan kondisi Culture Shock. Hal ini akan menghasilkan
disorientasi, kesalahpahaman, konflik, stres dan kecemasan. Kalervo Oberg mengaplikasikan
culture shock untuk efek yang dihubungkan dengan tekanan dan kecemasan saat memasuki
budaya baru yang dikombinasikan dengan sensasi kerugian, kebingungan, dan
ketidakberdayaan sebagai hasil dari kehilangan norma budaya dan ritual sosial. Model culture
shock digambarkan dengan curve, atau Lysgaard menyebutnya “U-Curve Hypothesis”.
Kurva ini diawali dengan perasaan optimis dan bahkan kegembiraan yang akhirnya
memberi jalan kepada frustrasi, ketegangan, dan kecemasan sebagai individu tidak dapat
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan baru mereka. Secara spesifik Kurva U ini
melewati empat tingkatan, yaitu: (1) Fase optimistik, fase pertama yang digambarkan berada
pada bagian kiri atas dari kurva U. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan
euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. (2) Masalah kultural,
fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena
kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru, dan sebagainya. Fase ini biasanya
Lusia Savitri Setyo Utami: Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya 192 ditandai dengan rasa
kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi
bingung dan tercengang dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustrasi dan mudah
tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak
kompeten. (3) Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya
barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam
caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru
mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. (4) Fase penyesuaian, fase terakhir, pada
puncak kanan U, orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adaptasi
khusus, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua
budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati.

Co-cultural Theory Co-cultural Theory (teori ko-kultural) dikemukakan oleh Mark


Orbe. Cocultural merupakan pemikiran teoritik yang menjelaskan tentang perlunya
kesetaraan budaya. Mark Orbe dan kawan-kawan memilih kata co-cultural daripada
terminologi subcultural, subordinate, dan minority, karena istilah co-cultural ingin
menunjukkan bahwa tidak ada satu pun budaya dalam masyarakat yang lebih unggul terhadap
budaya yang lain. Teori Co-cultural dilandasi oleh pemikiran teoritik Muted Group (Cheris
Kramarae) dan Standpoint. Teori Muted Group (Miller, West & Turner, 2007) menjelaskan
bahwa bahasa memberikan kepada para penciptanya (dan orang yang mempunyai kelompok
yang sama seperti penciptanya) kondisi yang lebih baik

Teori ini dikembangkan dari perspektif fenomenologi serta didasarkan pada muted
group theory dan standpoint theory. Dua teori ini mengasumsikan adanya kelompok
underrepresented. Dalam muted group theory, kelompok ini merupakan muted group,
sementara dalam standpoint theory, kelompok underrepresented adalah kelompok yang
termarjinalkan. Sebagai teori yang berdasar pada muted group theory dan standpoint theory,
teori co-cultural mengacu pada komunikasi dan interaksi di antara kelompok
underrepresented dan kelompok dominan. Fokus dari teori Cocultural adalah memberikan
sebuah kerangka dimana para anggota co-cultural menegosiasikan usaha-usaha untuk
menyampaikan suara diam mereka dalam struktur masyarakat dominan. Ada dua premis
teori, yaitu pertama, para anggota kelompok co-cultural termarjinalkan di dalam struktur
masyarakat dominan. Kedua, para anggota kelompok ko-kultural memakai gaya komunikasi
tertentu untuk mencapai keberhasilan ketika dihadapkan pada struktur masyarakat dominan
yang opresif. Pada umumnya para anggota co-cultural memiliki satu dari tiga tujuan ketika
berinteraksi dengan para anggota kelompok dominan, yaitu assimilation (menjadi bagian dari
kultur dominan), accommodation (berusaha agar para anggota kelompok dominan dapat
menerima para anggota co-cultural), dan separation (menolak kemungkinan ikatan bersama
dengan para anggota kelompok dominan). Ada tujuan fungsional ketika mereka beradaptasi
antar budaya. Sesuai dengan proposisi-proposisi teori adaptasi antar budaya, maka
komunikasi yang beradaptasi secara fungsional dan setara dalam adaptasi dapat memberi
fasilitas pada penyelesaian tugas. Sementara, komunikasi yang tidak adaptif fungsional
membawa pada invokasi perbedaan kultural dan memperlambat penyelesaian tugas.
Ketika para komunikator harus bekerjasama, ada kesetaraan dalam mengadaptasi
komunikasi. Penggunaan strategi persuasif dapat membawa pada adaptasi komunikasi.
Ketika situasi mendukung salah satu komunikator atau satu komunikator lebih berkuasa,
maka komunikator lainnya akan memiliki beban untuk beradaptasi. Sementara itu, ketika
lebih banyak perilaku adaptif para komunikator, maka lebih banyak keyakinan kultural
(Gudykunst, 2002). Tujuan beradaptasi tentunya adalah untuk bisa menyesuaikan diri yang
mana akhirnya dapat memperoleh kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru.
Kelima teori yang telah dijelaskan di atas merupakan teori yang dapat membantu terjadinya
proses adaptasi antar budaya di mana mengharapkan tercapainya keefektifan komunikasi
pada akhirnya antara individu yang berbeda budaya.
Meskipun kelima teori tersebut dapat digunakan dalam menjelaskan proses adaptasi
antar budaya, namun dalam prosesnya, masing-masing teori memiliki perbedaan satu sama
lain. Jika kesemua faktor dalam teori-teori adaptasi tersebut telah berjalan dengan baik maka
tujuan dalam proses adaptasi antar budaya dapat tercapai. Jadi, sesungguhnya kelima teori
tersebut saling melengkapi satu sama lainnya dalam melakukan proses adaptasi. Untuk
mengambil contoh dari implementasi adaptasi antar budaya, penulis mengangkat contoh
kasus dalam program Summer School di Inha University, Korea Selatan. Program tersebut
diikuti oleh mahasiswa dari berbagai Negara termasuk Indonesia. Mahasiswa Indonesia
sendiri juga terdiri dari berbagai universitas yang Lusia Savitri Setyo Utami: Teori-Teori
Adaptasi Antar Budaya 194 ada di Indonesia seperti Universtas Indonesia, Universitas Gajah
Mada, Universitas Sebelas Maret, Universitas Bina Nusantara, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, dan sebagainya. Tentunya, mahasiswa Indonesia selain bertemu dengan teman
baru sesama dari Indonesia dengan latar belakang budaya yang berbeda
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tujuan fungsional ketika mereka beradaptasi antar budaya. Sesuai dengan proposisi-
proposisi teori adaptasi antar budaya, maka komunikasi yang beradaptasi secara
fungsional dan setara dalam adaptasi dapat memberi fasilitas pada penyelesaian tugas.
Sementara, komunikasi yang tidak adaptif fungsional membawa pada invokasi perbedaan
kultural dan memperlambat penyelesaian tugas.
Ada lima hal yang menjadi faktor dalam adaptasi yaitu personal communication, host
social communication, ethnic social communication, environment, dan predisposition.
Faktor-faktor ini mempunyai dampak pada apa yang disebut dengan transformasi antar
budaya (intercultural transformation), yang merupakan proses untuk mencapai functional
fitness, psychological health, dan intercultural identity. Secara jelas, kelima faktor penting
dalam proses adaptasi tersebut digambarkan dalam model berikut : Personal
Communication, atau komunikasi personal terjadi apabila seseorang merasakan adanya
hal-hal yang terdapat dalam lingkungannya, kemudian memberi makna serta mengadakan
reaksi terhadap obyek maupun orang lain yang terdapat dalam lingkungannya tersebut.
Dalam tahap ini terjadi proses penyesuaian dengan menggunakan kompetensi komunikasi
pribadi yang diturunkan menjadi tiga bagian yaitu kognitif, afektif, dan operasional. Hal
ini terjadi di dalam diri pribadi individu. Aspek kognitif dari kompetensi komunikasi
dipisahkan ke dalam pengetahuan individu tentang sistem komunikasi, pemahaman
kultural, dan kompleksitas kognitif. Aspek afektif dalam kompetensi komunikasi disini
merupakan komposisi dari motivasi adaptasi individu, fleksibilitas identitas, dan estetika
orientasi bersama. Selanjutnya, aspek operasional atau kemampuan untuk
mengekspresikan kognitif dan pengalaman afektif individu secara terlihat melalui aspek
perilakunya atau secara spesifik menunjukkan kompetensi komunikasinya itu. Pencapaian
kompetensi komunikasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan umum manusia, yaitu
mengatasi lingkungannya terutama jika itu adalah lingkungan baru. Kompetensi
komunikasi adalah kemampuan untuk secara efektif berhubungan dengan orang-orang
lain. Selanjutnya, ada host social communication dan ethnic social communication.

B. SARAN

Mini riset yang kami buat ini banyak sekali kekurangan dalam segi teknis
maupun prosedural, sehingga diharapkan peneliti yang akan meneruskan
meningkatkan lagi kemampuan dalam pembuatan laporan mini riset yang kami buat
sehingga menjadi mini riset yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sihabudin, 2011, Komunikasi Antar Budaya, Bumi Aksara, Jakarta.

Amin, M. Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gana Media.

Bungaran Antonius Simanjuntak. 2010. Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Bungin, M. Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media.

Griffin, Em, 2006. A First Look at Communication Theory Sixtth Edition. New York:
McGraw. Hill.

Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rakhmat. 1998. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Sihabudin Ahmad. 2013. Komunikasi Antarbudaya : Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta:


PT Bumi Aksara .

Muhammad, arni. 2009. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Ting-Toomey, Stella. (1999). Communicating Across Cultures. New York, London: The
Guilford Press.
LAMPIRAN
GUIDE WAWANCARA
Bagaimana Cara kamu dalam mengatasi perbedaan Bahasa dalam lingkungan pertemanan di
1.
jogja ?
2.Bagaimana Cara dalam meningkatkan solidaritas dalam perbedaan Bahasa serta budaya
dalam kalangan mahasiswa menurut kamu ?
3.Apakah kamu pernah kesulitan Komunikasi dalam hal memahami perbedaan Bahasa di
kalangan mahasiswa?
4.Apakah kamu pernah tersudutkan dengan perbedaan Bahasa serta budaya dalam
lingkungan mahasiswa ?

Anda mungkin juga menyukai