Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Na, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
terhadap pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
Hlm
KATA PENGANTAR............................................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................1
BAB IV..................................................................................................................20
PENUTUP.............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa hubungan berbahasa, berfikir dan juga berbudaya ?
2. Bagaimana pendapat para ahli tentang berbahasa, berfikir, dan juga
berbudaya ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui memahami bagaimana berbahasa, berfikir, dan
berbudaya.
2. Untuk mengetahui pendapat para ahli tentang berbahasa, berfikir, dan
berbudaya.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
Pendahuluan Bahasa adalah sistem simbol manusia yang paling lengkap sehingga
bahasa bisa dijadikan simbol dari sebuah kebudayaan suatu suku bangsa
(etnokultur) berdasarkan adanya dialek atau logat bahasa yang beraneka ragam
variasinya. Setiap dialek dalam suatu masyarakat merupakan ciri khas yang
membedakan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Perbedaan dialek
tersebut disebabkan adanya perbedaan daerah geografis dan pelapisan lingkungan
sosial antar masyarakat.
Hampir seluruh bagian dalam kehidupan manusia dilingkupi oleh bahasa sehingga
bahasa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan budaya manusia.
Segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya tidak terlepas
dari unsur bahasa di dalamnya. Seorang peneliti yang akan memahami
kebudayaan suatu masyarakat terlebih dahulu harus menguasai perkembangan
4
bahasa suatu masyarakat karena melalui bahasa seseorang bisa berpartisipasi dan
memahami sebuah bahasa.
1. Wujud gagasan
2. Wujud perilaku atau perbuatan
3. Fisik atau benda.
Sedangkan isi kebudayaan itu terdiri dari tujuh unsur yang bersifat universal,
artinya ketujuh unsur itu terdapat dalam setiap masyarakat manusia yang ada
dalam manusia yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur itu adalah sebagai berikut:
1. Bahasa
2. Sistem teknologi
3. Sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi
4. Organisasi sosial
5. Sistem pengetahuan
6. Sistem religi
7. Kesenian
Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan atau
dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkungan kebudayaan. Menurutnya pula,
pada zaman purba ketika manusia hanya terdiri dari kelompok-kelompok kecil
yang tersebar di beberapa tempat saja di muka bumi ini, bahasa merupakan unsur
utama yang mengandung semua unsur kebudayaan manusia yang lainnya.
Sekarang setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan itu telah berkembang bahasa
5
hanya merupakan salah satu unsur saja namun fungsinya sangat penting bagi
kehidupan manusia (http://2010/03/definisi-wujud-dan-unsurkebudayaan).
Menurut pendapat lain, bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk
budaya, bahkan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan.
Sebagai produk sosial dan budaya tentunya bahasa merupakan wadah untuk
aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah pengungkapan budaya,
termasuk teknologi yang diciptakan masyarakat pemakai bahasa itu sebagai cipta
dan karyanya. Bahasa dalam masa tertentu berperan sebagai wadah apa yang
terjadi dalam masyarakat (Sumarsono, 2007: 20).
6
BAB III
PEMBAHASAN
B. Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir (1984-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang
hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia
hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi
alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir, telah
menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di
atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua
7
buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu
masyarakat yang sama.
Setiap bahasa dari masyarakat telah “mendirikan” satu dunia tersendiri
untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia di
dunia ini adalah sam banyaknya dengan jumlah bahasa yang ada di dunia
ini. Dengan tegas Sapir juga mengatakan apa yang kita lihat kita dengar,
kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-
tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahulu.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan
bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa
membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, Whorf yang bekas
anggota pemadam kebakaran menyatakan “kaleng kosong” bekas minyak
bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak
di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup efek-lepas (after effect) pada
kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isis kaleng dibuang, maka
kaleng itu akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar.
Kaleng minyak yang sudah ksosong masih bisa meledak kalau terkena
panas. Di sinilah, menurut Whorf, tampak jalan pikiran seseorang telah
ditentukan oleh bahasanya.
Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya
merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide itu, merupakan program
kegiatan mental seseorang, penentu struktur mental seseorang. Dengan
kata lain, tata bahasa lah yang menentuka jalan pikiran seseorang
(Simanjutak, 1987).
8
“membedah” alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah
suatu relativitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa
yang beragam itu. Tata bahasa suatu bahasa bukan merupakan alat untuk
mengeluarkan ide-ide itu, tetapi merupakan pembentuk ide-ide itu. Tata
bahasalah yang menentukan jalan pikiran, bukan kata-kata.
9
Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi ( Piaget, 1962)
menyatakan jika seorang kanak-kanak dapat menggolong-golongkan
sekumpulan benda-benda dengan cara-cara yang berlainan sebelum kanak-
kanak itu dapat menggolong-golongkan benda-benda tersebut dengan
menggunakan kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka
perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat
berbahasa.
10
D. Teori L.S Vygotski
Vigotsky berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum
adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum
adanya bahasa. Kemudian kedua garis perkembangan ini saling bertemu,
maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir.
Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang
secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikiran
berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa
pikiran. Lalu, pada tahap berikutnya keduanya bertemu dan bekerja sama,
serta saling mempengaruhi. Begitulah kanak-kanak berpikir dengan
menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
Menurut Vygotsky, dalam mengkaji gerak pikiran ini kita harus mengkaji
dua bagian ucapan, yaitu ucapan dalam yang mempunyai arti yang
merupakan aspek semantik ucapan, dan ucapan luar yang merupakan
aspek fonetik atau aspek bunyi-ucapan. Penyatuan dua bagian atau aspek
ini sangat rumit dan kompleks. Dalam perkembangan bahasa, kedua
bagian ini masing-masing bergerak bebas. Oleh karena itu, kita harus
membedakan antara aspek fonetik dan aspek semantik. Keduanya bergerak
dalam arah yang bertentangan dan perkembangan keduanya sudah terjadi
pada waktu dan dengan cara yang sama. Namun, bukan berarti keduanya
tidak saling bergantung. Satu pikiran kanak-kanak pada mulanya
merupakan satu keseluruhan yang tidak samar dan harus mencari
ekspresinya dalam bentuk satu kata. Setelah pikiran kanak-kanak itu mulai
terarah dan meningkat, maka dia mulai kurang cenderung untuk
11
menyampaikan pikirannya itu dalam bentuk satu kata, melainkan mulai
membentuk satu kalimat lengkap. Sebaliknya, ucapan bergerak dari satu
keseluruhan kalimat lengkap, dan hal ini menolong pemikiran kanak-
kanak untuk bergerak dari satu keseluruhan ke bagian-bagian yang
bermakna.
Pikiran dan kata, menurut Vygotsky (1962 : 116) tidak dipotong dari satu
pola. Struktur ucapan tidak hanya mencerminkan, tetapi juga
mengubahnya setelah pikiran berubah menjadi ucapan. Karena itulah kata-
kata tidak dapat dipakai oleh pikiran seperti memakai baju yang sudah
siap. Pikiran tidak hanya mencari ekspresinya dalam ucapan, tetapi juga
mendapatkan realitas dan bentuknya dalam ucapan itu. Pada tahap lebih
jauh, yakni dalam perkembangan pikiran dan ucapan itu, tata bahasa selalu
mendahului logika (pemikiran).
Sebelum ini ada pandangan dari Von Humboldt yangn tampak tidak
konsisten. Pada satu pihak Von Humboldt menyatakan keragaman bahasa-
bahasa di dunia ini mencerminkan adanya keragaman pandangan hidup
(weltanschauung) teatapi di pihak lain beliau berpendapat bahwa yang
mendasari tiap-tiap bahasa manusia adalah datu sistem-universal yng
12
menggambarkan keunikan intelek manusia. Karena itu, Von Humboldt
juga sependapat dengan pandangan rasionalis yang mengatakan bahwa
bahasa tidaklah dipelajari oleh kanak-kanak dan tidak pula diajarkan oleh
ibu-ibu, melainkan tumbuh sendiri dari dalam diri kanak-kanak itu dengan
cara yang telah ditentukan lebih dahulu (oleh alam) apabila keadaan-
keadaan lingkungan yang sesuai terdapat.
Padangan Von Humboldt yang tidak konsisten itu dapat diperjelas oleh
teori Chomsky yang sejalan dengan pandangan rasionalis, bahasa-bahasa
yang ada di dunia adalah sama (karena didasari oleh satu sistem yang
universal) hanyalah pada tingkat dalamnya saja yag disebut strukur-dalam
(deep structure). Pada tingkat luar atau struktur-luar (surface structure)
bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Pada tingkat dalam bahasa itulah terdapat
rumus-rumus tata bahasa yang mengatur proses-proses untuk
memungkinkan aspek-aspek kreatif bahasa bekerja. Apa yang oleh
Chomsky disebut inti proses generatif bahasa (aspek kreatif) terletak pada
tingkat dalam ini. Inti proses generatif inilah yang merupaka alat semantik
untuk menciptakan kalimat-kalimat baru yang tidak terbatas jumlahnya,
dan dinamai “tata bahasa generatif”.
13
kemampuan bercaap dan memahami kalimat mempunyai korelasi yang
rendah dengan IQ manusia. Penelitian yang dilakukan Lenneberg telah
menunjukkan bahwa bahasa-bahasa berkembang dengan cara yang sama
pada kanak-kanak yang cacat mental dan kanak-kanak yang normal.
Umpamanya, anak-anak yang mempunyai IQ hanya 50 ketika berumur 12
tahun dan lebih kurang 30 ketika berumur 20 tahun, juga mampu
menguasai bahasa dengan cukup baik, kecuali dnegan sesekali terjadi
kesalahan ucapan dan kesalahan tata bahasa. Oleh karena itu, menurut
Lenneberg adanya cacat kecerdasan yang parah tidak berarti akan pula
terjadi kerusakan bahasa. Sebaliknya, adanya kerusakan bahasa tidak
berarti akan menimbulkan kemampuan kognitif yang rendah.
14
secara ontogenesis tidak ada hubungannya dengan kognisi sedangkan
secara filogenetis kelahiran bahasa suatu masyarakat sebagiannya
ditentukan oleh kemmapuan bahasa nurani, dan sebagian lagi oleh
kemampuan kognitif nurani, bukan bahasa yang lebih luas.
G. Teori Brunner
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Brunner
memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut
teori Brunner bahasa adalah alat paa manusia untuk mengembangkan dan
menyempurnakan pemikiran itu. Dengan kata lain, bahasa dapat
membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis.
Brunner berpendapat bahwa bahasa dan pemikiran berkembang dari
sumber yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang
sangat serupa. Lalu karena sumber yang sama dan bentuk yang sangat
serupa, maka keduanya dapat saling membantu. Selanjutnya, bahasa dan
pemikiran adalah alat untuk berlakunya aksi.
Dalam bidang penididikan, implikasi dari teori ini sangat besar. Menurut
teori ini bahasa sebagai alat pemikiran harus berhubungan langsung
dengan perilaku atau aksi, an dengan struktur perilaku ini pada peringkat
permulaan. Lalu, pada peringkat selanjutnya bahasa ini berkembang ke
arah suatu bentuk yang melibatkan keeksplisitan yang besar an
ketiaktergantungan pada konteks, sehingga pikiran-pikiran atau kalimat-
kalimat dapat ditafsirkan atau dipahami tanpa pengetahuan situasi sewaktu
kalimat itu diucapkan, atau tanpa mengetahui situasi yang mendasari
maksud atau tujuan penutur. Dengan bahasa sebagai alat kita dapat
merencanakan sesuatu aksi jauh sebelum aksi itu terjadi. Dengan cara yang
sama pikiran juga berfungsi sebagai alat untuk membantu terjadinya suatu
aksi karena pikiran dapat membantu peta-peta kognitif mengarah pada
sesuatu yang akan ditempuh untuk mencari tujuan.
15
tercapainya peringkat abstrak yang berbeda-beda. Misalnya, yang
memungkinkan seorang anak beranjak lebih jauh dari apa yang segera
terjadi di hadapannya. Kecakapan analisis ini jugalah yang memungkinkan
seseorang untuk mengalihkan perjatian dari satu kepada yang lain atau dan
suatu keseluruhan pada bagian-bagiannya.
Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi lebih baik dengan
pendidikan melalui bahasa yang formal karena kemampuan anlisis ini
hanya mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai kecakapan
yang baik.
16
Di antara teori dan hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf lah
yang paling kontroversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan
pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi
oleh struktur bahasanya, banyak menimbulkan kritik dan reaksi hebat dari
para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi,
antropologi dan lain-lain. Carrol (1963: 11,19) misalnya, menyatakan
bahwa perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa tidaklah
mengakibatkan perbedaan dalam Weltanschaung (pandangan hidup,
pikiran logika), juga tidaklah benar ada satu pandangan hidup yang tiak
terpisahkan dari satu bahasa tertentu. Kalaupun ada, itu adalah karena
faktor sosial dan sejarah yang tidak ada sangkut pautnya dengan bahasa.
17
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan, dalam teori-teori di atas
kiranya memang tampak kurang dibicarakan. Hal ini karena adanya
pendapat umum diantara banyak sarjana bahwa bahasa merupakan bagian
dari kebudayaan (Kuntjaraningrat, 1974, Masinambouw, 1985). Para ahli
antropologi misalnya berpendapat bahwa kebudayaan suatu bangsa
tidaklah dapat dikaji tanpa mengkaji bahasa bangsa itu karena bahasa
bangsa itu (penduduk asli) adalah bagian dari kebudayaan bangsa itu.
Demikian juga para ahli linguistik banyak yang berpendapat bahwa
pengkajian bahasa suatu penduduk asli tidak mungkin dipisahkan dari
kebudayaan penuduk itu, karena semantik ( yang merupakan salah satu
dimensi dalam kajian linguistik) suatu bahasa juga mencakup kebudayaan
dari penutur bahasa itu. Jadi kalau antropologi menganggap bahasa
sebagai bagian dari kebudayaan, maka linguistik menganggap kebudayaan
sebagai salah satu dimensi dari bahasa.
18
BAB IV
PENUTUP
Bahasa adalah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan budaya
dan berfikir manusia. Segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia didalam
kehidupannya, memuat unsur bahasa di dalamnya. Ada beberapa teori yang
membahas tentang hubungan bahasa dan pikiran, di antaranya:
2) Teori Sapir-Whorf
7) Teori Brunner
19
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul.2015. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta. PT Rineka Cipta.
20
21