Pada masa itu, pekabaran Injil memiliki hambatan yang cukup besar. Banyak orang
Jawa yang masih memandang pekabar Injil Belanda sebagai bagian dari rezim
kolonial, akibatnya timbul pandangan negatif terhadap para pekabar Injil dan
kekristenan. Bahkan, orang Kristen Jawa disebut sebagai "landa wurung, Jawa
tanggung", artinya mereka bukan orang Belanda maupun orang Jawa. Masyarakat
masih menganggap bahwa menjadi Kristen berarti meninggalkan cara hidup
"kejawen" (menjunjung budaya Jawa), sehingga Kristen lebih dipandang sebagai
anti kebudayaan.
Pada masa hidupnya, Sadrach pernah menjadi seorang pemimpin Jawa yang
terhormat dari gereja terbesar di Jawa. Sadrach merupakan contoh kepemimpinan
Kristen mandiri dengan mengembangkan jemaat pribumi yang sangat erat kaitannya
dengan kebudayaan Jawa. Kiai Sadrach berasal dari Purworejo. Nama mudanya
adalah Radin. Terlahir sekitar tahun 1835, dari keluarga Islam Jawa di Kawedanan
Jepara. Setelah Radin menyelesaikan pendidikan di sekolah umum (sekolah
Alquran) dan belajar di berbagai pesantren di Jawa Timur, ia tinggal di dalam
kauman (tempat tinggal muslim yang eksklusif) di Semarang. Di sana, dia
menambahkan nama Arab pada namanya menjadi Radin Abas. Beberapa waktu
kemudian terjadi sesuatu pada dirinya. Ketertarikan kepada Kristen mulai muncul
dalam hatinya, setelah mengetahui bahwa bekas guru ngelmunya (guru yang
kepadanya seseorang bisa belajar "ilmu"), Kurmen, telah menjadi Kristen oleh
penginjil Tunggul Wulung. Radin sangat serius dan terkesan dengan pengajaran
Tunggul Wulung, untuk itu ia bersedia pergi bersama Kurmen ke Batavia pada tahun
1866 untuk menemui Anthing. Ia mengambil keputusan untuk dibaptis pada tanggal
14 April 1867 di Indische Kerk, Buitenkerk, dengan mengambil nama baptis Kristen
yaitu Sadrach (dalam Alkitab tokoh Sadrach disebutkan dalam Kitab Daniel 3).
Pada tahun 1868, setelah kembali dari Batavia, Sadrach mulai membantu
penginjilan yang dilakukan oleh Tunggul Wulung di Semarang. Setahun kemudian,
ia membantu Steven-Philips di Tuksanga, Purwareja. Ternyata Sadrach memiliki
bakat yang besar dalam penginjilan. Dalam melakukan penginjilan, dia
menggunakan metode debat umum yang dipakai guru-guru Jawa, yaitu dengan
menantang guru lain untuk berdebat. Guru yang dikalahkan beserta murid-muridnya
harus menjadi murid guru yang menang.
Pada akhir tahun 1873, keanggotaan jemaatnya sudah mencapai hampir 2500.
Suatu hasil yang fantastik dalam sejarah pekabaran Injil Jawa. Jumlah besar ini
dicapai hanya dalam waktu 3 tahun (1870-1873). Selama masa itu, lima gedung
gereja berhasil didirikan. Setelah meninggalnya Steven-Philips pada tahun 1876,
pusat kekristenan Jawa berpindah dan berkembang dari Tuksanga, Purwareja ke
Karangjasa, ini membuktikan bahwa Sadrach merupakan seorang Kiai Kristen Jawa
yang berpengaruh. Hal ini ditandai pula dengan penambahan nama "baru" untuknya,
menjadi Radin Abas Sadrach Surapranata.
Pada tanggal 17 April 1883, ketika para sesepuh berkumpul di Karangjasa, Wilhelm
juga hadir. Pada pertemuan tersebut jemaat secara resmi memberi nama
persekutuan mereka sebagai Golongane Wong Kristen Kang Mardiko (Kelompok
orang Kristen yang merdeka) dan mengakui Wilhelm sebagai satu-satunya pendeta
mereka. Pada saat itu, hasil penginjilan Sadrach sangat mengagumkan. Pada masa
itu, tercapailah jumlah petobat tertinggi dalam sejarah pekabaran Injil di dunia
Muslim.
Akhirnya berbagai polemik mengenai Sadrach sampai kepada pimpinan NGZV di
Belanda. Oleh karena itu, mereka mengadakan penyelidikan mengenai jemaat-
jemaat di Jawa Tengah dengan mengirimkan Lion Cachet, pendeta sebuah jemaat
di Rotterdam, ke Jawa Tengah selama kurang lebih setahun (1891-1892). Hasil
penyelidikan Cachet telah mengakibatkan putusnya hubungan Sadrach dengan
NGZV, ajaran Sadrach dinilai salah, bahkan merupakan kebohongan jika diukur
dengan sabda Tuhan. Wilhelm yang sangat tertekan akibat tuduhan ini, jatuh sakit
dan meninggal pada tanggal 3 Maret 1892.
Namun peristiwa tragis tersebut malah membuat posisi Sadrach semakin kokoh. Di
sisi lain, Sadrach juga membina hubungan dengan Apostolische Kerk (yang
dianggap suatu sekte). Pada tahun 1899, Sadrach ditahbiskan menjadi Rasul Jawa
di Batavia. Kedudukan rasul ini diakui internasional oleh karena itu sekarang ia
memiliki hak untuk memberikan sakramen, hak yang sangat didambakannya
bertahun-tahun. Sejak saat itu kedudukan Sadrach sebagai pemimpin Gereja adalah
sejajar dengan pemimpin Gereja yang lain demikian juga jemaatnya sejajar dengan
kelompok jemaat yang lain.
Pada tanggal 14 November 1924 dalam usia 90 tahun, tokoh besar dalam
pekabaran Injil di Karangjasa, Radin Abas Sadrach Surapranata, meninggal dengan
tenang di rumahnya. Yotham Martareja, anak angkat Sadrach menggantikan
ayahnya selama 8 tahun (1925-1933). Perubahan ini selanjutnya juga memengaruhi
perkembangan jemaat Kristen saat itu.
Akan tetapi, di sisi lain, Sadrach terasing dan diabaikan dari komunitas gereja
Belanda. Sadrach juga semakin disudutkan dengan berbagai tema dogmatis. Ia
dianggap melakukan sinkretisme antara Kristen dan kejawen serta tidak mengerti
hakikat ortodoksi kekristenan. Tuduhan yang paling parah lagi adalah Sadrach
menganggap dirinya sebagai Ratu Adil. Ia dianggap sebagai Kristus atau konsep
Ratu Adil yang akan datang. Gencarnya berbagai isu miring tentang Sadrach
membuat NGZV melakukan penyelidikan (tanpa wawancara langsung kepada
Sadrach). Pada tahun 1891 dikeluarkan pernyataan bersama para misionaris untuk
memisahkan diri dari jemaat Sadrach. Sejak saat itu, purna sudah hubungan orang-
orang Kristen Eropa dengan orang Kristen Jawa. kiai Sandrach dianggap
menentang Belanda dan sempat dipenjara tetapi kemudian dibebaskan kembali.
Awalnya hal ini karena dia menentang kebijakan pemerintah Belanda dalam
vaksinasi cacar. Dia menganjurkan para pengikutnya untuk tidak mengikuti program
itu.
Sadrach adalah guru "ngelmu" dan kiai yang sengaja tidak menaruh perhatian besar
pada aspek kelembagaan jemaat. Jemaat lebih bersifat mistis, lebih menekankan
spiritualitas ketimbang kelembagaan gereja. Meskipun sarana transportasi dan
komunikasi minim, dan jemaat tersebar di desa yang berjauhan, kesatuan antar
jemaat tetap dapat dipertahankan. Hal ini dapat terjadi karena hubungan guru-murid
yang kental, wewenang Sadrach untuk mengangkat imam-imam setempat, rapat
rutin para sesepuh yang diadakan di Karangjasa serta kerja sama para pembantu
utama Sadrach. Wilhelm juga berperan membentuk jemaat menjadi "Gereja yang
benar", seperti dilihat dari perumusan pengakuan iman yang unik, pembentukan
majelis sinode, jabatan sesepuh (penatua), dan diaken.
Saat itu Sadrach menduduki tempat teratas di antara guru-guru Jawa yang lain
dengan sebutan khusus Kiai. Jemaat Sadrach pernah mencapai angka 7000 pada
tahun 1890 dan mencapai 20.000 pada saat Sadrach meninggal. Jemaat tersebar di
seluruh keresidenan Jawa Tengah termasuk pada dua kerajaan saat itu yaitu
kesultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Pemberitaan Yesus Kristus
sebagai Ratu Adil Penyelamat, tampaknya menjadi unsur penarik dalam ngelmu
Sadrach.
Jemaat Sadrach memunyai format kebaktian dan sistem ritual sendiri yang terikat
erat dengan tradisi Jawa yang ada, ini terlihat dari bentuk gereja yang mirip langgar
atau mesjid serta pemakaian busana Jawa pada kebaktian. Ada tembang dan
dzikiran yang berisi Sepuluh Hukum Allah, Pengakuan Iman Rasuli, dan Doa Bapa
Kami. Sadrach menyusun buku pegangan sebagai panduan praktis bagi para
pengikutnya berisi Doa Bapa Kami dan Sepuluh Perintah Allah bersama ringkasan
hukum yang terdapat dalam Matius 22:37-40. Ketika berdebat dalam mengabarkan
Injil, Sadrach menyatakan bahwa Yesus adalah Nabi yang luar biasa karena
kebangkitan-Nya dan menjadi Juru Selamat yang dapat menyelamatkan semua
orang berdosa. Yesus melebihi Nabi lainnya dan kita harus taat kepada Nabi yang
paling berkuasa dan mengikuti teladan-Nya. Usaha para anggota jemaat Sadrach
untuk mengkristenkan adat dan tata cara muslim Jawa mengesankan, mereka tetap
mempertahankan warisan leluhur tanpa mengingkari iman baru mereka dengan
mengutamakan kebaktian dan doa ucapan syukur dan dilanjutkan dengan adat
kebiasaan Jawa. Sadrach menolak tata cara adat "slametan" untuk menghormati roh
yang sudah meninggal, "suran" pada bulan Sura dan "muludan" pada bulan Mulud
(penanggalan Islam Jawa).
Kehidupan spiritual baru jemaat Sadrach terlihat dari cara kehidupan ngelmu
(berorientasi kepada diri sendiri) berangsur-angsur diubah menjadi kehidupan dalam
Kristus (penyangkalan diri). Perilaku jujur Sadrach memengaruhi kehidupan jemaat
sehingga menjadi saksi pemasyuran Injil yang efektif di tengah-tengah masyarakat
Jawa yang bukan Kristen. Sadrach menentang keras poligami, pelacuran, dan
melarang pesta tradisional tayuban. Mereka tetap menjaga hubungan baik dengan
tetangga muslim. Jemaat benar-benar menyadari bahwa sebagai pengikut Ratu Adil
Yesus Kristus, mereka harus menaati perintah-Nya. Guru Injil dan para imam Jawa
menganggap Sepuluh Perintah Allah sebagai ngelmu dari Ratu Adil yang harus
ditaati. Mereka menganggap ngelmu yang diajarkan Ratu Adil Yesus, lebih unggul
dibanding segala ngelmu yang lain. Sebagai jemaat yang bebas dan mandiri
(mardiko) maka masalah kemiskinan diatasi melalui semangat gotong-royong
menyewa tanah untuk dibagikan kepada kaum miskin.
Tuduhan yang paling keras terhadap Sadrach baik sebelum maupun sesudah
peristiwa vaksinasi adalah bahwa dia menyatakan dirinya sebagai Kristus atau ratu
adil dan Sadrach dianggap telah melakukan penipuan terhadap umatnya dengan
memutarbalikkan ajaran demi kemulian dan status sosialnya. Isu ini tentu saja
dilontarkan oleh para pekabar Injil yang selama ini tidak senang dengan cara
penginjilan Sadrach yang menolak untuk bekerja sama dengan mereka. Para
pekabar Injil menganggap bahwa Sadrach perlu dibina dan tidak boleh menempati
kedudukan sebagai pemimpin jemaat. Oleh karena itu pertentangan Sadrach
dengan para pekabar Injil sebenarnya bukan karena masalah doktrin, melainkan
masalah kekuasaan atau kalau boleh disebut sebagai suatu keinginan untuk
melakukan penjajahan rohani.
Secara garis besar tuduhan yang diangkat untuk melawan Sadrach, oleh penulis
buku dibagi menjadi dua jenis yaitu, tuduhan yang tidak mendasar dan tuduhan yang
mendasar. Semua tuduhan yang mendasar berpangkal tolak dari perbedaan
pendapat mengenai sifat utama dan penerapan kontekstualisasi dalam praktik
pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa. Menurut penulis para penginjil Barat
memandang kontekstualisasi dari sudut pandang yang berbeda sebab pedoman
teologis mereka belum cukup komprehensif sehingga mereka lebih mengandalkan
semangat, inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan tugas di lapangan.
Harus diakui bahwa Sadrach mampu membangun suatu teologi yang membuat iman
Kristen mudah dikomunikasikan kepada para pendengarnya, merefleksikan makna
kehidupan dalam hubungannya dengan nilai-nilai, sumber-sumber dan tujuan akhir
kehidupan. Kristologi Sadrach adalah memberitakan bahwa jejak Sang Guru Yesus
sebagai guru dan panutan yang sempurna, penuh kuasa dan berwibawa.
Mengenai misi dan budaya maka Sadrach menggunakan metode yang berproses
secara alami dengan pola interaksi melalui proses inkulturasi sehingga merangsang
proses transformasi budaya. Hasilnya adalah jemaat Kristen pribumi asli menurut
pola budaya setempat, sehingga budaya Jawa akan ditransformasikan dalam Kristus
dan karya Kristus yang membebaskan itu diwujudnyatakan dalam segala aspek
kehidupan. Hal ini mengingatkan kita kepada teolog dari Asia, Choan Seng Song
yang menjelaskan bahwa teologi kontekstual harus mampu menjawab pertanyaan
dari interaksi antara penafsiran ulang iman Kristen dengan suatu konteks budaya
dan sejarah