Anda di halaman 1dari 8

KIAI SADRACH

Dirangkum oleh: Sri Setyawati


Masa kekuasaan kongsi dagang Belanda (VOC -- Vereenigde Oost-Indische
Compagnie, Kongsi Dagang Hindia-Timur) sampai pemerintahan kolonial Belanda,
merupakan masa sejarah awal penginjilan di Indonesia.

Pada masa itu, pekabaran Injil memiliki hambatan yang cukup besar. Banyak orang
Jawa yang masih memandang pekabar Injil Belanda sebagai bagian dari rezim
kolonial, akibatnya timbul pandangan negatif terhadap para pekabar Injil dan
kekristenan. Bahkan, orang Kristen Jawa disebut sebagai "landa wurung, Jawa
tanggung", artinya mereka bukan orang Belanda maupun orang Jawa. Masyarakat
masih menganggap bahwa menjadi Kristen berarti meninggalkan cara hidup
"kejawen" (menjunjung budaya Jawa), sehingga Kristen lebih dipandang sebagai
anti kebudayaan.

Dalam perkembangannya, justru para pekabar Injil awamlah (Indo Eropa/Belanda


nongereja) yang berhasil melahirkan jemaat Kristen di Jawa. Mereka mengadakan
pembinaan kelompok kecil Kristen Jawa di rumah para kiai Kristen. "Gereja Rumah"
inilah yang akhirnya menjadi tempat belajar para penginjil besar pribumi di Jawa
pada abad XIX. Orang-orang yang belajar itu di antaranya Paulus Tosari, Kiai
Tunggul Wulung, dan Kiai Sadrach.

Pada masa hidupnya, Sadrach pernah menjadi seorang pemimpin Jawa yang
terhormat dari gereja terbesar di Jawa. Sadrach merupakan contoh kepemimpinan
Kristen mandiri dengan mengembangkan jemaat pribumi yang sangat erat kaitannya
dengan kebudayaan Jawa. Kiai Sadrach berasal dari Purworejo. Nama mudanya
adalah Radin. Terlahir sekitar tahun 1835, dari keluarga Islam Jawa di Kawedanan
Jepara. Setelah Radin menyelesaikan pendidikan di sekolah umum (sekolah
Alquran) dan belajar di berbagai pesantren di Jawa Timur, ia tinggal di dalam
kauman (tempat tinggal muslim yang eksklusif) di Semarang. Di sana, dia
menambahkan nama Arab pada namanya menjadi Radin Abas. Beberapa waktu
kemudian terjadi sesuatu pada dirinya. Ketertarikan kepada Kristen mulai muncul
dalam hatinya, setelah mengetahui bahwa bekas guru ngelmunya (guru yang
kepadanya seseorang bisa belajar "ilmu"), Kurmen, telah menjadi Kristen oleh
penginjil Tunggul Wulung. Radin sangat serius dan terkesan dengan pengajaran
Tunggul Wulung, untuk itu ia bersedia pergi bersama Kurmen ke Batavia pada tahun
1866 untuk menemui Anthing. Ia mengambil keputusan untuk dibaptis pada tanggal
14 April 1867 di Indische Kerk, Buitenkerk, dengan mengambil nama baptis Kristen
yaitu Sadrach (dalam Alkitab tokoh Sadrach disebutkan dalam Kitab Daniel 3).

Pada tahun 1868, setelah kembali dari Batavia, Sadrach mulai membantu
penginjilan yang dilakukan oleh Tunggul Wulung di Semarang. Setahun kemudian,
ia membantu Steven-Philips di Tuksanga, Purwareja. Ternyata Sadrach memiliki
bakat yang besar dalam penginjilan. Dalam melakukan penginjilan, dia
menggunakan metode debat umum yang dipakai guru-guru Jawa, yaitu dengan
menantang guru lain untuk berdebat. Guru yang dikalahkan beserta murid-muridnya
harus menjadi murid guru yang menang.

Setelah kira-kira setahun tinggal bersama Steven-Philips, Sadrach pindah ke


Karangjasa, sebuah desa di selatan Purworejo. Karangjasa adalah desa pertama
tempat Sadrach mendirikan sebuah jemaat Kristen Jawa setempat. Karangjasa
menjadi pusat jemaatnya yang mandiri namun Sadrach tetap menganggap Steven-
Philips sebagai "pelindung formalnya", "figur yang menjembatani" dengan para
penguasa Belanda, termasuk Indishe Kerk dan pekabar Injil Belanda. Semua murid
Sadrach dibaptis oleh pendeta dari Indische Kerk di Purwareja berkat perantaraan
Steven-Philips. Pada tahun 1871, gedung gereja pertama berdiri di Karangjasa.
Dengan demikian, jemaat tidak perlu lagi mengadakan perjalanan ke Purwareja
setiap minggu untuk melakukan kebaktian.

Pada akhir tahun 1873, keanggotaan jemaatnya sudah mencapai hampir 2500.
Suatu hasil yang fantastik dalam sejarah pekabaran Injil Jawa. Jumlah besar ini
dicapai hanya dalam waktu 3 tahun (1870-1873). Selama masa itu, lima gedung
gereja berhasil didirikan. Setelah meninggalnya Steven-Philips pada tahun 1876,
pusat kekristenan Jawa berpindah dan berkembang dari Tuksanga, Purwareja ke
Karangjasa, ini membuktikan bahwa Sadrach merupakan seorang Kiai Kristen Jawa
yang berpengaruh. Hal ini ditandai pula dengan penambahan nama "baru" untuknya,
menjadi Radin Abas Sadrach Surapranata.

Pesatnya ekspansi jemaat Sadrach membuat pemerintah setempat (Residen


Bagelen, W Ligvoet), Indische Kerk (pendeta Heyting) maupun NGZV (Bieger), ingin
mengatur dan mengawasi jemaat tersebut dengan berbagai alasan baik politis
maupun alasan misi yang ingin mengumpulkan "petobat" dengan cepat dan mudah.
Selain itu, kerenggangan sentimen ras pun mulai timbul. Sadrach dituduh sebagai
sumber sinkretisme antara nilai Kristen dan kejawen (ritual tradisi Jawa). Bagi orang
Jawa, ia seperti guru, bahkan ada yang menganggapnya Ratu Adil di tanah Jawa.
Sedangkan bagi para misionaris, dia adalah kiai Jawa yang ambisius dan gila
hormat. Mereka mencari cara untuk melumpuhkan pelayanan Sadrach. Suatu saat,
Residen menahannya karena menolak vaksin bagi orang-orang yang kena cacar.
Namun, Gubernur Jenderal membebaskannya karena tidak cukup bukti. Wilhelm
yang dikenalnya ketika menjalani "tahanan rumah" di rumah Bieger, merupakan
satu-satunya pekabar Injil yang menaruh perhatian pada nasib malang yang
menimpa Sadrach.

Pada tanggal 17 April 1883, ketika para sesepuh berkumpul di Karangjasa, Wilhelm
juga hadir. Pada pertemuan tersebut jemaat secara resmi memberi nama
persekutuan mereka sebagai Golongane Wong Kristen Kang Mardiko (Kelompok
orang Kristen yang merdeka) dan mengakui Wilhelm sebagai satu-satunya pendeta
mereka. Pada saat itu, hasil penginjilan Sadrach sangat mengagumkan. Pada masa
itu, tercapailah jumlah petobat tertinggi dalam sejarah pekabaran Injil di dunia
Muslim.
Akhirnya berbagai polemik mengenai Sadrach sampai kepada pimpinan NGZV di
Belanda. Oleh karena itu, mereka mengadakan penyelidikan mengenai jemaat-
jemaat di Jawa Tengah dengan mengirimkan Lion Cachet, pendeta sebuah jemaat
di Rotterdam, ke Jawa Tengah selama kurang lebih setahun (1891-1892). Hasil
penyelidikan Cachet telah mengakibatkan putusnya hubungan Sadrach dengan
NGZV, ajaran Sadrach dinilai salah, bahkan merupakan kebohongan jika diukur
dengan sabda Tuhan. Wilhelm yang sangat tertekan akibat tuduhan ini, jatuh sakit
dan meninggal pada tanggal 3 Maret 1892.

Namun peristiwa tragis tersebut malah membuat posisi Sadrach semakin kokoh. Di
sisi lain, Sadrach juga membina hubungan dengan Apostolische Kerk (yang
dianggap suatu sekte). Pada tahun 1899, Sadrach ditahbiskan menjadi Rasul Jawa
di Batavia. Kedudukan rasul ini diakui internasional oleh karena itu sekarang ia
memiliki hak untuk memberikan sakramen, hak yang sangat didambakannya
bertahun-tahun. Sejak saat itu kedudukan Sadrach sebagai pemimpin Gereja adalah
sejajar dengan pemimpin Gereja yang lain demikian juga jemaatnya sejajar dengan
kelompok jemaat yang lain.

Pada tanggal 14 November 1924 dalam usia 90 tahun, tokoh besar dalam
pekabaran Injil di Karangjasa, Radin Abas Sadrach Surapranata, meninggal dengan
tenang di rumahnya. Yotham Martareja, anak angkat Sadrach menggantikan
ayahnya selama 8 tahun (1925-1933). Perubahan ini selanjutnya juga memengaruhi
perkembangan jemaat Kristen saat itu.

Dalam ketiadaan pemimpin berkepribadian kuat serta adanya kebijakan pekabaran


Injil yang baru oleh ZGKN yang dikelola secara profesional, telah dibangun sekolah-
sekolah dan rumah sakit misi yang menawarkan kualitas hidup lebih baik. Jemaat
Sadrach semakin tertinggal jauh dan pada akhirnya jemaat Sadrach, "Gereja"
terbesar di Jawa Tengah pada masa hidup Sadrach, berakhir dengan perpecahan
yang tak terelakkan 10 tahun setelah kematian pendirinya.

Bagaikan Rasul Paulus yang bertobat dan mempersembahkan segenap


kemampuannya, Sadrach pun menggunakan kemampuan dan pengalamannya
untuk mewartakan kerajaan-Nya. Pengetahuan Sadrach jauh melebihi orang-orang
Jawa pada masa itu. Ia menguasai tiga bahasa, yaitu Jawa, Melayu, dan Arab. Ia
juga dapat menulis dalam empat aksara, yakni Jawa, Arab, pegon, dan Latin. Selain
mempelajari dua agama, Islam dan Kristen, Sadrach juga menguasai "ilmu" Jawa.
Pengalamannya pun cukup luas. Ia telah mengelilingi Pulau Jawa untuk melihat
berbagai desa Kristen dan menjalin hubungan dekat dengan orang-orang besar
Eropa seperti Anthing, wakil Mahkamah Agung. Akhirnya Sadrach
mempersembahkan segala kemampuannya bagi Tuhan untuk mewartakan Injil,
"Ilmu yang Tertinggi".

Akan tetapi, di sisi lain, Sadrach terasing dan diabaikan dari komunitas gereja
Belanda. Sadrach juga semakin disudutkan dengan berbagai tema dogmatis. Ia
dianggap melakukan sinkretisme antara Kristen dan kejawen serta tidak mengerti
hakikat ortodoksi kekristenan. Tuduhan yang paling parah lagi adalah Sadrach
menganggap dirinya sebagai Ratu Adil. Ia dianggap sebagai Kristus atau konsep
Ratu Adil yang akan datang. Gencarnya berbagai isu miring tentang Sadrach
membuat NGZV melakukan penyelidikan (tanpa wawancara langsung kepada
Sadrach). Pada tahun 1891 dikeluarkan pernyataan bersama para misionaris untuk
memisahkan diri dari jemaat Sadrach. Sejak saat itu, purna sudah hubungan orang-
orang Kristen Eropa dengan orang Kristen Jawa. kiai Sandrach dianggap
menentang Belanda dan sempat dipenjara tetapi kemudian dibebaskan kembali.
Awalnya hal ini karena dia menentang kebijakan pemerintah Belanda dalam
vaksinasi cacar. Dia menganjurkan para pengikutnya untuk tidak mengikuti program
itu.

Gereja Sadrach pada akhirnya berjalan sendiri. Selama 30 tahun (1894-1924),


Sadrach telah berperan menjadi pendeta dan mulai memimpin sakramen perjamuan
kudus. Seiring perubahan strategi misi, yaitu dari perkebunan di pedesaan bergeser
ke arah pendidikan (sekolah) dan kesehatan (rumah sakit) di perkotaan, jemaat
Sadrach pun mulai surut. Sadrach semakin terasing dan secara praktis kembali
kepada tradisi kiai, yaitu menjadi guru spiritual, dihormati dan ditakuti namun hidup
dengan pengikutnya dalam jagad kecil yang tertutup.

Pada malam 14 November 1924, Sadrach menghembuskan napas terakhirnya


dalam usia 89 tahun. Putra angkatnya, Yotham diangkat sebagai pengganti, namun
jemaat semakin melemah sedangkan Yotham tidak memiliki kharisma Sadrach.
Jemaat mulai tercerai berai. Ada yang bergabung dengan misi (zending), ada yang
tetap mempertahankan semangat mandiri kerasulan. Ada pula yang melebur dengan
gereja Katolik. Betapa pun banyak tuduhan buruk tentang Sadrach, Wilhelm telah
meninggalkan catatan tertulis tentang pengakuan Sadrach, "Aku adalah abdi Tuhan
Yesus Kristus. Beliau adalah Perantara dan Guruku".

Selain karena memiliki keterampilan "ilmu presentasi dan komunikasi massa",


penetrasi Kiai Sadrach pun cukup sukses. Dia menggabungkan ajaran ajaran
Kristen dengan budaya Jawa seperti Yesus Kristus yang diasosiasikan dengan Ratu
adil, dan mempertahankan tradisi kejawen dalam masyarakat dengan memasukkan
doa-doa Kristen.

Gambaran Komunitas Sadrach


Ciri khas dan karakter unik dari jemaat Sadrach meliputi tiga bidang yaitu:
1. organisasi, kepemimpinan dan keanggotaan;
2. kebaktian, khotbah dan upacara keagamaan;
3. kehidupan rohani dan jiwa yang mandiri dan merdeka.

Sadrach adalah guru "ngelmu" dan kiai yang sengaja tidak menaruh perhatian besar
pada aspek kelembagaan jemaat. Jemaat lebih bersifat mistis, lebih menekankan
spiritualitas ketimbang kelembagaan gereja. Meskipun sarana transportasi dan
komunikasi minim, dan jemaat tersebar di desa yang berjauhan, kesatuan antar
jemaat tetap dapat dipertahankan. Hal ini dapat terjadi karena hubungan guru-murid
yang kental, wewenang Sadrach untuk mengangkat imam-imam setempat, rapat
rutin para sesepuh yang diadakan di Karangjasa serta kerja sama para pembantu
utama Sadrach. Wilhelm juga berperan membentuk jemaat menjadi "Gereja yang
benar", seperti dilihat dari perumusan pengakuan iman yang unik, pembentukan
majelis sinode, jabatan sesepuh (penatua), dan diaken.

Saat itu Sadrach menduduki tempat teratas di antara guru-guru Jawa yang lain
dengan sebutan khusus Kiai. Jemaat Sadrach pernah mencapai angka 7000 pada
tahun 1890 dan mencapai 20.000 pada saat Sadrach meninggal. Jemaat tersebar di
seluruh keresidenan Jawa Tengah termasuk pada dua kerajaan saat itu yaitu
kesultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Pemberitaan Yesus Kristus
sebagai Ratu Adil Penyelamat, tampaknya menjadi unsur penarik dalam ngelmu
Sadrach.

Jemaat Sadrach memunyai format kebaktian dan sistem ritual sendiri yang terikat
erat dengan tradisi Jawa yang ada, ini terlihat dari bentuk gereja yang mirip langgar
atau mesjid serta pemakaian busana Jawa pada kebaktian. Ada tembang dan
dzikiran yang berisi Sepuluh Hukum Allah, Pengakuan Iman Rasuli, dan Doa Bapa
Kami. Sadrach menyusun buku pegangan sebagai panduan praktis bagi para
pengikutnya berisi Doa Bapa Kami dan Sepuluh Perintah Allah bersama ringkasan
hukum yang terdapat dalam Matius 22:37-40. Ketika berdebat dalam mengabarkan
Injil, Sadrach menyatakan bahwa Yesus adalah Nabi yang luar biasa karena
kebangkitan-Nya dan menjadi Juru Selamat yang dapat menyelamatkan semua
orang berdosa. Yesus melebihi Nabi lainnya dan kita harus taat kepada Nabi yang
paling berkuasa dan mengikuti teladan-Nya. Usaha para anggota jemaat Sadrach
untuk mengkristenkan adat dan tata cara muslim Jawa mengesankan, mereka tetap
mempertahankan warisan leluhur tanpa mengingkari iman baru mereka dengan
mengutamakan kebaktian dan doa ucapan syukur dan dilanjutkan dengan adat
kebiasaan Jawa. Sadrach menolak tata cara adat "slametan" untuk menghormati roh
yang sudah meninggal, "suran" pada bulan Sura dan "muludan" pada bulan Mulud
(penanggalan Islam Jawa).

Kehidupan spiritual baru jemaat Sadrach terlihat dari cara kehidupan ngelmu
(berorientasi kepada diri sendiri) berangsur-angsur diubah menjadi kehidupan dalam
Kristus (penyangkalan diri). Perilaku jujur Sadrach memengaruhi kehidupan jemaat
sehingga menjadi saksi pemasyuran Injil yang efektif di tengah-tengah masyarakat
Jawa yang bukan Kristen. Sadrach menentang keras poligami, pelacuran, dan
melarang pesta tradisional tayuban. Mereka tetap menjaga hubungan baik dengan
tetangga muslim. Jemaat benar-benar menyadari bahwa sebagai pengikut Ratu Adil
Yesus Kristus, mereka harus menaati perintah-Nya. Guru Injil dan para imam Jawa
menganggap Sepuluh Perintah Allah sebagai ngelmu dari Ratu Adil yang harus
ditaati. Mereka menganggap ngelmu yang diajarkan Ratu Adil Yesus, lebih unggul
dibanding segala ngelmu yang lain. Sebagai jemaat yang bebas dan mandiri
(mardiko) maka masalah kemiskinan diatasi melalui semangat gotong-royong
menyewa tanah untuk dibagikan kepada kaum miskin.

Isu-Isu yang Diangkat Melawan Sadrach dan Komunitasnya


Tuduhan yang paling menonjol pada saat itu terhadap Sadrach dan jemaatnya pada
saat itu adalah berkaitan dengan penyimpangan konfesional. Seperti diketahui
bahwa para pakar Gereformeerd sangat menentukan arah teologi pekabaran Injil
yang khas dari NGZV. Pada saat itu tujuan pekabaran Injil berkembang untuk
memenangkan jiwa-jiwa bagi kemulian Tuhan. Gereja adalah pemilik misi
sedangkan organisasi misi seperti NGZV adalah pengganti sementara Gereja dalam
menjalankan misi. Kemurnian pemberitaan firman dan mempertahankan iman yang
ortodoks adalah ciri pekabaran Injil Gereformeerd yang eksklusif pada saat itu,
tujuan utama pekabaran Injil adalah mendirikan Gereja sebagai institusi. Pada abad
XIX, kriteria dari Gereja Gereformeerd menjadi tolok ukur satu-satunya bagi para
pekabar Injil untuk menentukan ajaran benar dan ajaran sesat. Lion Cachet
menggunakan standar ini untuk mengukur kehidupan jemaat Kristen di Jawa
Tengah.

Tuduhan yang paling keras terhadap Sadrach baik sebelum maupun sesudah
peristiwa vaksinasi adalah bahwa dia menyatakan dirinya sebagai Kristus atau ratu
adil dan Sadrach dianggap telah melakukan penipuan terhadap umatnya dengan
memutarbalikkan ajaran demi kemulian dan status sosialnya. Isu ini tentu saja
dilontarkan oleh para pekabar Injil yang selama ini tidak senang dengan cara
penginjilan Sadrach yang menolak untuk bekerja sama dengan mereka. Para
pekabar Injil menganggap bahwa Sadrach perlu dibina dan tidak boleh menempati
kedudukan sebagai pemimpin jemaat. Oleh karena itu pertentangan Sadrach
dengan para pekabar Injil sebenarnya bukan karena masalah doktrin, melainkan
masalah kekuasaan atau kalau boleh disebut sebagai suatu keinginan untuk
melakukan penjajahan rohani.

Persoalan lain yang mendasar menyangkut ajaran Sadrach adalah tuduhan


sinkretisme, ia dituduh telah mencampuradukkan Jawa-isme dengan Injil. Ajaran
ngelmu, ratu adil, adat Jawa dari sudut pandang Gereformeerd pada saat itu
dianggap memutarbalikkan ajaran Kerajaan Allah. Namun Sadrach bersikeras
bahwa petobat Jawa tetap merupakan orang Jawa, ia membela dan mendukung
pelestarian adat yang berfungsi memperkaya kehidupan spiritual jemaat.

Secara garis besar tuduhan yang diangkat untuk melawan Sadrach, oleh penulis
buku dibagi menjadi dua jenis yaitu, tuduhan yang tidak mendasar dan tuduhan yang
mendasar. Semua tuduhan yang mendasar berpangkal tolak dari perbedaan
pendapat mengenai sifat utama dan penerapan kontekstualisasi dalam praktik
pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa. Menurut penulis para penginjil Barat
memandang kontekstualisasi dari sudut pandang yang berbeda sebab pedoman
teologis mereka belum cukup komprehensif sehingga mereka lebih mengandalkan
semangat, inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan tugas di lapangan.

Makna Sumbangan Komunitas Sadrach bagi Upaya Kontekstualisasi Gereja


Sadrach telah mengembangkan suatu jemaat Kristen pribumi yang direfleksikan
kepada organisasi, kepemimpinan, pengajaran dan tradisi. Namun dia membentuk
jemaat bukan hanya berdasar nilai-nilai tradisional dan adat istiadat Jawa, melainkan
juga melakukan koreksi kritis terhadap pembangunan jemaat dan adat istiadat itu
sendiri. Sadrach telah memelopori suatu ekspresi kepercayaan Kristen yang
mengakar dalam hati, pikiran, perasaan, pengalaman, kebutuhan, keinginan dan
harapan serta aspirasi jemaat setempat.
Jemaat Sadrach yang berbasis pedesaan dan berlatar belakang Islam abangan
tetap menjaga hubungan dengan masyarakat Islam pada umumnya. Ia sangat
cerdas memilih adat atau tradisi Jawa yang dapat "dikristenkan" dan tidak terikat
dengan tradisi Islam serta memilih simbol-simbol Jawa yang ada pada Kristus. Oleh
karena itu dia berhasil meletakkan dasar transformasi budaya dengan membentuk
budaya baru yaitu budaya Kristen yang berwatak pribumi.

Pemahaman Sadrach tentang partisipasi masyarakat pribumi merupakan suatu


prestasi tersendiri dalam masyarakat Jawa pada abad XIX. Ia melakukan
perjuangan kebebasan sosial-politik dengan prinsip kasih tanpa kekerasan, hal ini
berbeda dengan kebiasaan saat itu. Sehingga Sadrach menjadi sosok pembawa
berita pembebasan bagi "wong cilik" yang dimarginalkan. Namun demikian Sadrach
harus dilihat sebagai pemimpin religius daripada pemimpin politik karena ia mampu
mengatasi penilaian negatif atas teologinya karena telah menghadirkan kekristenan
dalam terang baru dan lebih bersifat Jawa.

Harus diakui bahwa Sadrach mampu membangun suatu teologi yang membuat iman
Kristen mudah dikomunikasikan kepada para pendengarnya, merefleksikan makna
kehidupan dalam hubungannya dengan nilai-nilai, sumber-sumber dan tujuan akhir
kehidupan. Kristologi Sadrach adalah memberitakan bahwa jejak Sang Guru Yesus
sebagai guru dan panutan yang sempurna, penuh kuasa dan berwibawa.

Mengenai misi dan budaya maka Sadrach menggunakan metode yang berproses
secara alami dengan pola interaksi melalui proses inkulturasi sehingga merangsang
proses transformasi budaya. Hasilnya adalah jemaat Kristen pribumi asli menurut
pola budaya setempat, sehingga budaya Jawa akan ditransformasikan dalam Kristus
dan karya Kristus yang membebaskan itu diwujudnyatakan dalam segala aspek
kehidupan. Hal ini mengingatkan kita kepada teolog dari Asia, Choan Seng Song
yang menjelaskan bahwa teologi kontekstual harus mampu menjawab pertanyaan
dari interaksi antara penafsiran ulang iman Kristen dengan suatu konteks budaya
dan sejarah

Anda mungkin juga menyukai