Anda di halaman 1dari 7

BUDAYA PERKOSAAN

Indonesia pernah geger oleh kasus percabulan. Sitok


Srengenge pelakunya, duga berita yang berseliweran
secara masif kala itu. Tapi dia dibela jagad sastra
Salihara. Orang-orang di sana, yang kita harap tekun
menjaga budaya, ternyata tidak berbudaya.
Orang Katolik pernah merunduk malu oleh kasus
percabulan di Boston. Para pastor adalah pelakunya.
Itu terbukti di pengadilan. Kekuasaan, bahkan yang
rohani sekali pun (iki opo tha, “kekuasaan rohani?”
jijik’i), ternyata sanggup mengendalikan penis atau
vagina Anda.
Sekarang Indonesia dan Inggris meledak oleh kasus
percabulan yang dilakukan Reynhard Sinaga.
Perkembangan kali ini tidak melibatkan institusi
kekuasaan.
Gak ada kelompok TIM, misalnya, yang bersuara bagi
Reynhard. Tapi perkosaan sejatinya adalah tentang
relasi kuasa. Apakah kemudian itu menjadi budaya,
seperti yang ditemukan pada hirarki kepastoran di
Boston dan sekelompok manusia klangenan di
Salihara, itu cerita lain.
Di sekitar kita bernafas dengan leluasa budaya
perkosaan. Sebagian dari kita tak membauinya.
Padahak tak cuma dalam format udara yang tak
terindrakan, budaya perkosaan terlihat dengan mata
telanjang. Kita bilang itu agama, tak boleh
disalahkan. Tak boleh dinodai, bahkan.
Puteri sulung saya sangat peka akan hal satu itu. Di
rumah kami dia dengan tegas menghardik siapa pun
lelaki bertelanjang dada. Saya pernah dia semprot.
Kalau kamu berkenan bertelanjang dada maka saya
dan dua adik perempuan saya juga akan bertelanjang
dada. Saya tunduk.
Perkosaan bermula dari ketimpangan kuasa. Sejak
masih berupa bara, itu harus dipadamkan. Pandangan
absolut bahwa lelaki adalah Imam dalam keluarga
harus diberantas. Dari sana lelaki merasa punya kuasa
atas perempuan karena kelelakiannya. Itu kemudian
terpupuk, menjadi kcenderungan bawah-sadar,
berpola melahirkan penjajahan.
Lelaki kemudian beristri empat. Itu benar, kata
sebagian orang. Itu tuntunan suci dari Tuhan yang
hanya bersuara di Timur-Tengah. Tuhan tidak pernah
bersabda di belahan bumi lain. Tuhan juga memberi
kuasa kepada lelaki untuk menikah dengan gadis di
bawah umur.
Percik-percik pikiran semacam itu pada saatnya
membentuk paradigma. Lelaki tak berkuasa
mengendalikan tangan mereka. Dengan seenaknya,
tanpa butuh tanggapan berupa penerimaan,
tangannya menclok di bahu perempuan.
Perempuan lalu takut berdua di satu kamar dengan
lelaki bukan pacarnya. Padahal tak ada tempat lebih
suci daripada yang lain. Kalau berdua di restoran
dianggap aman dan pantas, berdua dalam kamar
harusnya juga demikian.
Tapi, pengalaman menunjukkan bahwa lelaki pasti
berlaku 'yang aneh-aneh' hingga kemudian
persetubuhan diduga kuat kelak terjadi. Bumi ini
sudah sesak. Kalau berdua dengan lelaki harus di
tempat terang dan menabukan tempat gelap, berapa
banyak ruang tambahan musti disediakan bagi
keamanan perempuan karena budaya kuasa di pikiran
lelaki?
Saya menangis pada tanggal 2 sampai 3 Januari
kemarin. Sepuluh episodes “The Morning Show” di
Apple TV saya habiskan. Sesudah itu saya tak bisa
nonton film lain selama tiga hari. Mereka semua
tawar, tak mampu melenyapkan residu The Morning
Show di benak.
Dibintangi Jennifer Aniston dan Reese Whiterspoon,
The Morning Show memampangkan ketimpangan
dalam relasi lelaki-perempuan. Itu terjadi di stasiun
berita terbesar di Planet Bumi. Dugaan saya film ini
terinspirasi kasus percabulan di Fox News, yang
melibatkan petingginya.
The Morning Show tidak sekadar menyorot seorang
pelaku perkosaan, tidak secara khusus
membentangkan satu kasus, tapi membedah titik
penting dalam peradaban manusia: budaya
perkosaan.
“Saya tidak melakukan perkosaan,” tolak Mitch
Kessler, si pelaku, diperankan Steve Carrel. “Kami
melakukannya suka sama suka. It’s a consensual sex,”
katanya lagi.
Benar. Tidak ada perdayaan fisikal. Tidak ada
ancaman kuasa. Tidak ada obat perangsang, yang
dimasukkan ke dalam minuman untuk menjajah tubuh
perempuan. Tidak, semua itu tak ada.
Tapi Mitch leluasa menggerayangi tubuh korban
karena budaya kekuasaan sudah merasuk kepala
seluruh awak berita. Mitch adalah bintang, adalah
asset stasiun. Dia harus dijaga secermat mungkin agar
rating tidak turun.
Dan ketika salah seorang korban mengadu ke Maha
Tinggi, sang korban langsung ditawari promosi, naik
ke jabatan lebih tinggi. Dia mempersetankan semua
termasuk hati nurani. Hidup adalah tentang
pencapaian ambisi, katanya kepada diri sendiri.
Sampai kemudian korban lain bicara kepada pers.
Kasus terkuak. Mitch dipecat. Hidup boleh terus
berlangsung.
Mitch mengamuk. Dengan tipu-daya berupa
permainan kata dan pembanguan konstruksi logika
maha sesat, dia minta kesempatan untuk
diwawancarai secara langsung di program berita.
Oleh sebagian awak permintaan tersebut disetujui.
Mitch akan diselusupkan di program berita The
Morning Show, diwawancarai Bradley Jackson (Reese
Witherspoon) yang sedang naik daun sebagai
pengganti Mitch.
Mitch memasang jerat. Dia mendekati Hannah
Shoenfield (Gugu Mbatha Raw), salah seorang
korbannya, untuk tampil di acara tersebut. Hannah
adalah korban yang mengadu ke petinggi stasiun
setelah sadar bahwa dia diperdaya Mitch. Petinggi
tersebut menawarinya kenaikan jabatan.
Pada malam sebelum aksi dijalankan, Hannah nggak
kuat. Dia bunuh diri. Beritanya tersebar ke seluruh
awak berita di subuh paling gelap. Alex Levy (Jennifer
Aniston) lalu sadar: selama ini dia cuma melayani diri
sendiri. Petanda bahwa Mitch adalah seorang
predator bertebaran setiap hari, mudah dibaui, dan
karena itu harusnya sedini mungkin dicegah.
Dia mengaku bahwa semua dia biarkan agar reputasi
program—dia menjadi bintang bersama Mitch—
dipertahankan abadi. Petanda-petanda dia abaikan.
Ini Amerika, katanya, orang bebas berkelakuan
seenaknya.
Maka neraka berlangsung di pagi itu. Semua orang-
mabuk mendadak waras bahwa relasi kuasa yang
timpang telah membunuh semuanya, termasuk rumah
tangga Alex Levi. Jennifer Aniston mengeluarkan
akting terbaik yang belum pernah dia tunjukkan di
tigapuluhan tahun karirnya.
The Morning Show mengajar kita bahwa perkosaan
bukan sekadar letupan sesaat. Perkosaan sebetulnya
adalah ledakan dari budaya yang kita mekarkan
sehari-hari.
Kita semua bertanggungjawab. Kita semua yang
membibiti dan menebar pupuk serta menyiraminya
dari waktu ke waktu. Kita adalah penonton sekaligus
pom-pom girls perkosaan. Kita semangati para
pelakunya dengan pembiaran-pembiaran kecil.
Karena itu, kalau Anda masih tidak percaya bahwa
Agama dan Kepercayaan yang melahirkan budaya
perkosaan, Anda sedang menyirami dan menyegarkan
tumbuhnya penjajahan atas tubuh perempuan.
Reynhard, Sitok, para Pastor, adalah orang-orang
yang dilahirkan oleh peradaban, oleh kita, bukan oleh
iblis. Jangan arahkan telunjuk ke marga Sinaga, ke
orangtua Reynhard, kalian sedang memupuk budaya
perkosaan.
Kenapa?
Sebab, itu kalian lakukan tanpa menunjuk diri sendiri.
Kalian yang membuat Reynhard memerkosa seratusan
lelaki. Kalian yang mendorongnya ke sana.
Saya juga. Ada dosa besar saya lakukan terhadap
seorang perempuan. Dia bercerita kepada saya
tentang kemalangannya di sekian puluh tahun lalu.
Saya menyuruhnya bersabar sebab toh tak ada
perkosaan, cuma petanda ke arah sana yang
kemudian tak terlaksana.
Saya membiarkannya menanggung luka sekian lama,
tak mengadili lelaki itu.
Lelaki itu adalah salah satu orang kecintaan saya.
Taik anjing kepada Sahat Siagian.

Anda mungkin juga menyukai