Brayat Solo berada di Halaman Masjid Agung Surakarta menyaksikan prosesi turunnya gamelan sekaten
dengan maksud agar semua yang masih setia dan menjadi teman fb.Brayat Solo ,mempunyai kerinduan
dan kecintaan budaya yaitu berupa Karya luhur budaya bangsa Indonesia yang patut kita lestarikan
,untuk turut memberikan apresiasi yang terpadu dengan nilai - nilai Islam.Yang sudah menjadi ikon
budaya bersamaan dengan Hari Kelahiran Nabi Besar Muhammad Saw yang disebut Hari Maulud Nabi .
SEKATEN
Sekaten adalah festival rakyat tahunan yang diadakan pada tiap tanggal lima pada bulan Jawa Mulud
yakni bulan yang ketiga, sesuai dengan sistem kalender Jawa. Festival Sekaten Solo didedikasikan untuk
merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Festival ini dimulai ketika dua gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari mulai dikumandangkan
untuk gending ( komposisi musik Jawa) Rambu dan Rangkur. Berdasarkan sejarah, gending ini diciptakan
oleh Wali Sanga di abad ke-15 untuk menarik orang-orang dalam penyebaran Islam. Untuk menarik
perhatian orang, gamelan yang dibuat ulang dengan ukuran lebih besara agar suara berkumandang lebih
keras agar menjangkau orang-orang lebih jauh.
Sekaten berasal dari kata syahadatain atau syahadat. Syahadatain adalah dua kalimat yang diucapkan
seseorang ketika akan memeluk agama Islam. Kalimat pertama adalah pengakuan kepada Allah yang
dilambangkan dengan Gamelan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua adalah pengakuan bahwa
Muhammad SAW sebagai utusan Allah dilambangkan dengan Gamelan Kyai Guntur Sari. Pada masanya,
Wali Sanga mendakwahkan Islam selama tujuh hari berturut-turut (Malam Sekaten) dengan latar gending
gamelan.
Sekarang ini, selain untuk mempertahankan budaya Jawa, Sekaten juga bertujuan untuk memenuhi
sektor ekonomi dan pariwisata di area Solo. Beberapa ritual atau yang biasa dikenal sebagai Grebeg
Mauludan masih dilestarikan sebagai tradisi dan daya tarik untuk menarik perhatian para wisatawan.
Awal Mula Gamelan Sekaten
Gamelan Sakati atau Sakaten adalah gamelan ritual yang tak sembarangan ditabuh. Gamelan ini hanya
digunakan pada acara-acara tertentu. Munculnya gamelan ini berhubungan erat dengan awal penyebaran
agama Islam oleh para Wali di tanah Jawa pada zaman kerajaan Demak Bintara dan Cirebon abad ke-15.
Gamelan ini ditabuh secara keras di halaman Masjid Agung Kerajaan dengan tujuan untuk menarik
perhatian penduduk agar memeluk agama Islam sebagai agama baru yang dianggap lebih baik.
Asal mula gamelan Sakati mungkin lebih tua dari pada zaman Demak, yaitu masa kerajaan Hindu
Majapahit atau sebelumnya. Ada beberapa pendapat mengenai asal mula kata Sakati atau Sakaten
. Ada yang menduga asal kata Sakati atau Sakaten berasal dari kata Shadatan , karena pada waktu
itu, untuk dapat menyaksikan gamelan di halaman Masjid orang-orang terlebih dahulu harus
mengucapkan dua kalimah Shadat sebagai tanda masuk Islam. Ada pula yang menduga bahwa kata
Sakati berasal dari kata Suka Ati , karena mereka (penduduk) memeluk agama islam secara suka rela.
Selain itu ada yang menduga bahwa kata Sakati berasal dari Satu kati yaitu ukuran berat setiap
Wilahan dan Penclon gamelan . Satu kati kira-kira beratnya 617,5 gram.
Sekarang ini, gamelan Sakati terdapat di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman di Cirebon, Keraton
Pakubuwana Surakarta, dan Hamengku Buwana Yogyakarta. Semua mengaku bahwa gamelan Sekati
miliknya berasal dari Keraton Demak. Setelah Kerajaan Demak runtuh, sekitar 1549 1568, gamelan
Sakati dibawa ke Kerajaan yang meneruskannya yaitu Pajang dan Mataram.
Ketika Kerajaan Mataram kemudian pecah menjadi Kasunanan, Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta
pada 1755, tanah, benda pusaka, termasuk gamelan dibagi dua. Gamelan Sekaten Kiai Nagajenggot
(Guntursari) menjadi bagian Surakarta sedangkan Kiai Nagawilaga menjadi bagian Yogyakarta. Dalam
pemerintahan Raja-raja selanjutnya gamelan-gamelan ini dibuatkan pasangannya sehingga masingmasing kerajaan mempunyai dua perangkat.
Gamelan Sekati di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman Cirebon secara tradisi dipercaya berasal
dari Demak Bintara pada tahun 1495 sebagai hadiah perkawinan Ratu Mas Nyawa (Putri Raden Patah,
raja demak) dengan pangeranBratakelana (Putra Sunan Gunungjati dari istrinya Syarifah Bagdad). Di
Keraton Kasepuhan gamelan Sakati ditabuh antara lain pada Hari Raya Iedul Adha bulan Haji (Zulhijah)
di bangunan Sri Manganti, saat Sultan bersama kerabatnya menuju Mesjid Agung Sang Ciptarasa untuk
melaksanakan sembahyang Ied. Sedangkan di Keraton Kanoman gamelan Sakati ditabuh pada bulan
Mulud (Rabiul Awal) dalam upacara ritual Muludan (Panjang Jimat).
Waditra yang terdapat dalam gamelan Sakati Cirebon adalah Bonang, saron, Bedug, Cekebres, Goong,
Kemanak dan Kebluk. Penclong Bonang diletakan memanjang atau menyambung di antara keduanya,
tetapi kadang-kadang diletakan berdampingan sehingga Nayaga (Penabuh) duduk berhadapan. Lagu
gamelan sakati Cirebon di antaranya adalah lagu Rambon, Sekaten dan Bango Butak. Menurut tradisi,
lagu-lagu gamelan Sakati diciptakan oleh Sunan Kalijaga.
Makna Sekaten
Sekaten sebagai sebuah tradisi mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi sosial, dimensi religius dan
dimensi budaya. Dimensi sosial, karena sekaten sebagai suatu sarana bagi warga Yogyakarta untuk
saling berinteraksi. Ini diwujudkan dengan adanya pasar malam sebelum sampai selesainya waktu tradisi
sekaten. Dimensi religius karena tradisi sekaten merupakan sebuah tradisi untuk memperingati maulud
Nabi Muhammad saw dan juga dilakukan pembacaan riwayat Nabi Muhammad saw. Dimensi religius juga
terlihat dari gending-gending khusus yang dibunyikan dalam tradisi Sekaten yang merupakan gending
pujian kehadlirat Allah SWT dan Shalawat Nabi, serta ajakan untuk menjalankan Syariat Islam secara
khusuk.
Dimensi budaya karena tradisi sekaten sarat dengan makna filosofis nilai-nilai kehidupan yang disiratkan
melalui simbol-simbol budaya dalam tradisi sekaten, diantaranya :
1. Kinang
Merupakan daun sirih yang dilengkapi dengan injet atau kapur masak dan gambir. Banyak dimakan ketika
gamelan sekaten pertama kali dibunyikan. Gambir dan tembakau rasanya pahit, sedangkan injet hambar
tetapi menimbulkan rasa dingin. Daun sirih merupakan bagian dari sad rasa (enam rasa) yaitu manis,
asin, asam, pedas, pahit, dan sepet atau asam. Ini bisa diibaratkan orang hidup, bahwa kehidupan ini
beraneka rasa yang menjadi penyeimbang satu dengan yang lainnya. Seperti halnya sesuatu yang pahit
meski tidak enak tetapi Belem tentu merugikan karena bisa dijadikan obat.
2. Bunga kanthil
Bunga kanthil disematkan di telinga Sultan pada saat mendengarkan gamelan sekaten dibunyikan
pertama kali. Bunga kanthil yang harum ini mencerminkan ajining diri atau jati diri seseorang.
3. Sega gurih dan Endhog abang
Sega gurih dan endhog abang banyak dijual pedagang dan dimakan masyarakat pada saat miyos gangsa
atau dikeluarkannya gamelan sekaten ke Bangsal Ponconiti. Sego gurih (nasi uduk) merupakan lambang
dari keberkatan dan kemakmuran. Tuhan telah menyediakan sumber daya alam yang melimpah dan
tinggal bagaimana manusia mengelola dan memanfaatkannya untuk kemakmuran umat, bukan malah
sebaliknya menghancurkannya. Nasi uduk ini dimasak dengan berbagai macam bumbu sehingga rasanya
enak meskipun tanpa lauk pauk. Hal ini dimaksudkan bahwa agar masyarakat dapat menikmati
kehidupan yang lebih baik, lebih enak, tentram, tenang, damai, dan tidak kurang suatu apapun.
Endhog abang (telur merah) diibaratkan bibit dari semua makhluk hidup, dan warna merah dipilih karena
selain melambangkan keberanian atau optimisme hidup. Ini merupakan simbol bahwa masyarakat bisa
lebih optimis dalam menghadapi hidup ini yang terkadang penuh dengan ketidakpastian. Telur ini
biasanya ditusuk dengan bambu dan di atasnya diberi hiasan. Tusuk bambu itu diibaratkan dengan
keberadaan Tuhan, semua makhluk adalah ciptaan Tuhan maka bibit yang telah diciptakan itu setelah
menjadi bayi lalu berkembang agar selalu menghormat dan menyembah Tuhan
4. Gunungan
Gunungan itu merupakan sedekah raja kepada rakyatnya.
5. Grebeg
Grebeg merupakan puncak perayaan sekaten ini merupakan ungkapan syukur Ngarsa Dalem untuk
rakyatnya. Grebek yang terdiri dari beberapa gunungan berisi makanan dan sayuran diberikan dengan
rayahan atau berebut. Hal ini melambangkan bahwa setiap rakyat yang ingin mendapat hajat Dalem
berebut karena di dalam hidup ini untuk mendapatkan sesuatu harus dengan usaha.
Begitu dalam makna yang terkandung dalam tradisi Sekaten yang dapat diterapkan manusia dalam
kehidupan, sehingga diharapkan tradisi ini dapat dilestarikan sebagai salah satu budaya bangsa.
Slendang Sutra
Ki Narto Sabdo
Smug
Mas yaga mangga rebabipun dipun engek-engek rumiyen kagem mendet swanten...waduh dalange
ndolongop angop..
Kawispita.....kawispita.....
Kawengkon ing liring toya..
Aja wasking sumarak ing hwang suksma
Asung jarwa gonesssss
pangondanging kadang wreda ..
Amrih suka yomass yo mass...
Sagung kang samya miyarsa...
Wareh mili juluke nata pandawa...
Gonesss yomass angengeti......
Dadi kusumaning bangsa...gonesss
Angengeti dadi kusumaning bangsa
Saji siswaa Yomass
Arane basa nawala ,
nadyan nyalemung
Nyelamung tanpa ukara