Anda di halaman 1dari 4

Sekaten dan Grebeg Maulud Surakarta

Maulid adalah kelahiran Nabi Muhammad SAW dalam ajaran Islam. Banyak tiap daerah
di Indonesia yang merayakan perayaan ini. Solo juga menggelar perayaan Maulid Nabi
dengan meriah dan khidmat. Ada dua acara penting dan besar, yaitu Sekaten dan Grebeg
Maulud. Dua acara besar yang mengundang banyak wisataan untuk melihatnya dari dekat.

Sekaten adalah upacara perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara ini
berlangsung selama 7 hari, yang di tahun ini jatuh pada tanggal 30 Januari-5 Februari 2012.
Sekaten merupakan tradisi peninggalan dari Kerajaan Demak. Konon, nama Sekaten berasal
dari bahasa Arab, yaitu syahadatain. Ternyata, upacara Sekaten sangat erat dengan sejarah
penyebaran agama Islam di Solo.

Selain itu, terdapat pasar malam dalam perayaan Sekaten. Pasar malam berlangsung
selama perayaan Sekaten, bahkan berminggu-minggu sebelumnya. Pasar malam tersebut
berada di alun-alun utara Solo. Di dalam pasar malam, ada banyak jenis permainan seperti,
komedi putar, odong-odong, dan masih banyak lagi. Serta banyak penjual makanan yang
menjajakan kuliner-kuliner khas Solo.

Puncak acara sekaten adalah saat Grebeg Maulud. Grebeg Maulud bertepatan pada
tanggal 5 Februari besok atau tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Islam. Dalam Grebeg
Maulud terdapat gunungan, yaitu acara puncak dari rangkaian upacara perayaan Maulid
Nabi. Gunungan berisi hasil-hasil bumi berupa kacang-kacangan, buah, berbagai macam
sayuran dan masih banyak lagi yang disusun melingkar. Hasil-hasil bumi di gununggan
adalah hasil-hasil bumi yang terbaik di Solo.

Upacara Tradisi Sekaten


G.P.H. Puger dalam bukunya Sekaten (2002: 1) , menjelaskan tentang asal mula dan maksud
perayaan yang diadakan tiap-tiap tahun baik di Surakarta maupun di Yogyakarta. Asal mula
Sekaten dimulai pada jaman Demak, jaman mulainya kerajaan Islam di tanah Jawa. Sekaten
diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa pada
waktu itu menyukai gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi
Muhammad SAW di Masjid Agung dipukul gamelan, sehingga orang berduyun-duyun datang
di halaman masjid untuk mendengarkan pidato-pidato tentang agama Islam.
Menurut Supanto (1982: 6), upacara tradisional sebagai pranata sosial penuh dengan simbol-
simbol yang berperanan sebagai alat komunikasi antar sesama warga masyarakat, dan juga
merupakan penghubung antar dunia nyata dengan dunia gaib. Bagi para warga yang ikut
berperan serta dalam penyelenggaraan upacara tradisional, unsur-unsur yang berasal dari
dunia gaib menjadi nampak nyata melalui pemahamannya terhadap simbol-simbol tersebut.
Upacara tradisional biasanya diadakan dalam waktu-waktu tertentu. Ini berarti
menyampaikan pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan itu harus diulang-ulang terus,
demi terjaminnya kepatuhan para warga masyarakat terhadap pranata-pranata sosial yang
berlaku.

Cerita Rakyat yang Melatarbelakangi Diadakannya Upacara Tradisi


Sekaten

Upacara Tradisi Sekaten merupakan salah satu tradisi yang hingga sekarang masih
dilestarikan dan dipertahankan oleh Keraton Kasunanan Surakarta yang terletak di Kelurahan
Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon. Upacara Tradisi ini adalah warisan nilai budaya yang
dilaksanakan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Pada mulanya upacara
tersebut diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di Tanah Hindu, berwujud selamatan atau
sesaji untuk arwah para leluhur.

Pada jaman pemerintahan Sang Prabu Brawijaya V, yang disebut jaman Majapahit terakhir,
upacara sesaji tahunan tersebut masih tetap dilaksanakan dengan keramaian yang agak besar.
Prabu Brawijaya memiliki satu perangkat gamelan yang sangat tersohor, dikenal dengan
nama Kanjeng Kyai Sekar Delima, yang tiap tahun dibunyikan orang untuk memeriahkan
keramaian itu. Oleh rakyat, gamelan tersebut dianggap sangat bertuah dan keramat.

Konon, putra Sang Prabu Brawijaya V yang bernama Raden Patah menjadi Adipati di Bintara
telah memeluk agama baru, yaitu Islam. Sang Prabu Brawijaya V mendengar berita bahwa
Raden Patah akan menyerbu Kerajaan Majapahit, bila Sang Prabu Brawijaya tidak bersedia
masuk agama Islam. Berita semacam itu diterima Prabu Brawijaya V dengan sangat sedih.
Untuk mengatasi kesedihan yang sangat mengganggu ketenteraman jiwa itu membuat Prabu
Brawijaya V bersemedi atau bertapa selama dua belas hari, memohon kepada para dewa agar
Raden Patah membatalkan niatnya untuk menyerbu Majapahit, dan memohon kerajaan dan
rakyatnya senantiasa dalam keadaan aman, tenteram, dan sejahtera.
Sementara itu para ahli gending di Kerajaan Majapahit lalu menciptakan lagu-lagu untuk
dialunkan melalui gamelan milik baginda, yang tujuannya untuk menghibur hati Sang Prabu
Brawijaya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Mendengar lantunan suara lagu-lagu
melalui gamelan pusaka kerajaan itu hati baginda bukannya menjadi terhibur melainkan
malah bertambah sedih. Karena lagu tersebut mengalunkan kesedihan yang menyayat.
Mendengar bunyi gending-gending baru itu baginda raja bahkan membayangkan nasib buruk
yang akan dialami Kerajaan Majapahit kelak. Para ahli gending yang mengetahui akibat yang
ditimbulkan oleh gending-gending baru itu bukannya membuat senang hati baginda,
melainkan bahkan membuat baginda makin sedih. Maka mereka menyuruh para niyaga
memukul gamelan itu keras-keras, dengan irama yang diperhitungkan dapat membangkitkan
gelora semangat baginda.

Demikianlah pemukulan gamelan tersebut kemudian menggunakan irama bertingkah.


Kadang-kadang keras gemuruh laksana gamelan lokananta dengan irama membangkitkan
jiwa bergejolak. Dan kadang-kadang lemah lembut mengalun dan menyayat hati. Gamelan
kerajaan Majapahit yang dinamakan Kanjeng Kyai Sekar Delima tersebut lalu dinamakan
Sekati, karena dapat menambah Sang Prabu Brawijaya seseg ati (sesak hati).

Dalam abad ke-14 agama Islam mulai berkembang di tanah Jawa. Dengan pemuka agama
yang dalam Agama Islam disebut wali. Para wali di Jawa ini terkenal ada sembilan orang,
karena itu disebut wali. Tiap-tiap tahun para wali itu mengadakan pertemuan di kota Demak.
Pertemuan tahunan tersebut diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal, tanggal 6 sampai
dengan tanggal 12, dan hari yang terakhir itu diselenggarakan keramaian besar untuk
merayakan hari lahir Nabi Muhammad SAW.

Demi keberhasilan penyebaran agama Islam di Jawa, maka atas saran Kanjeng Sunan
Kalijaga, para wali lalu mengatur penyelenggaraan peringatan Maulud Nabi Muhammad
SAW dengan cara yang disesuaikan dengan tradisi rakyat pada waktu itu. Oleh karena rakyat
menggemari kesenian Jawa dengan gamelannya, maka perayaan untuk memperingati hari
kelahiran Nabi selanjutnya tidak lagi menggunakan kesenian rebana melainkan dengan
kesenian gamelan. Untuk melaksanakan hal itu Sunan Kalijaga membuat seperangkat
gamelan yang dinamakan Kyai Sekati.

Karena orang Jawa suka gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu hari lahirnya Nabi
Muhammad SAW, sebaiknya dalam masjid juga diadakan gamelan, agar orang-orang tertarik.
Jika sudah berkumpul kemudian diberi pelajaran tentang agama Islam. Dan untuk keperluan
itu para wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai Sekati.
Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali yang lainnya dan Raden Patah, yaitu
pada hari lahir Nabi Muhamad yaitu pada 12 Mulud, dalam masjid dipukul gamelan. Tanggal
12 Mulud selain merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW juga merupakan hari
wafat beliau. Ternyata banyak orang yang berduyun-duyun datang ke masjid untuk
mendengarkan bunyi gamelan. Orang-orang tersebut datang ke masjid walaupun rumahnya
jauh, sehingga mereka bermalam di alun-alun atau sekitar masjid.

Pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut, selain rakyat, para bupati pesisir juga
datang ke kota kerajaan untuk memberi sembah pada raja. Mereka datang beberapa hari
sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah di alun-alun untuk bermalam.

Dr. C, Snouck hurgronje berpendapat bahwa sifat aneh pada tiap hukum adat atau hukum
kebiasaan indonesia, yang memberikan keterangan tentang sebagian besar dari sifat-sifatnya
yang baik ataupun buruk, terletak dalam corak sifatnya mudah berubah-ubah, lancarnya ia
dapat disesuaikan pada keadaan-keadaan masyarakat, jika terjadi perubahan-perubahan.
Sekaten dan Grebeg maulud surakarta telah mengalami fungsi dan tujuan. Pada mulanya
upacara tersebut diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di Tanah Hindu, berwujud
selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur. Ketika agama Islam berkembang di tanah
Jawa, penyelenggaraan upacara itu dirubah menjadi peringatan Maulud Nabi Muhammad
SAW dengan cara yang disesuaikan dengan tradisi rakyat pada waktu itu,

Van Dijk , R. 2006. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Mandar Maju. Bandung. Hal. 102

Anda mungkin juga menyukai