Sekaten adalah tradisi Unik Jawa Tengah. Sering digelar di Yogyakarta. Sekaten
juga dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten. Biasanya, sebelum
upacara Sekaten dimulai, diadakan juga kegiatan pasar malam terlebih dulu.
Pasar malam bahkan diadakan hingga satu bulan lamanya. Tradisi ini dipercaya
sudah ada sejak kerajaan Demak pada abad ke-16. Acara ini hanya diadakan setahun
sekali. Biasanya pada bulan Maulud. Lokasi diselenggarakannya acara ini yaitu di
Alun-alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pencucian pusaka ini bertujuan untuk membersihkan debu yang menempel. Tradisi
ini pun dikenal juga dengan sebutan Jamasan Meriam Pusaka Kyai Setomi oleh
penduduk sekitar. Air bekas mencuci pusaka ini biasanya diperebutkan oleh
pengunjung yang datang. Beberapa pengunjung bahkan tidak ragu menggunakannya
untuk cuci muka.
Setelah pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW selesai, Sri Sultan dan pengiring
kembali ke keraton. Hal tersebut menandakan bahwa Sekaten telah selesai dilakukan.
Meski demikian, pasar malamnya akan terus hadir hingga seminggu lebih. Dengan
demikian masyarakat masih bisa menikmati pasar malam tersebut.
Grebeg Gunungan
Tradisi grebeg gunungan akan digelar bersamaan dengan hari lahirnya Nabi
Muhammad SAW. Tepatnya pada tanggal 12 Maulud atau setelah pembacaan
riwayat Nabi Muhammad.
Pada sesi ini, akan diadakan pemberian sedekah berupa hasil bumi dan makanan
tradisional. Sedekah akan disusun dalam bentuk estri dan gunungan. Nantinya,
gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung.
Acara gunungan ini merupakan wujud rasa syukur Keraton Yogyakarta dan
simbol kemaslahatan. Itulah proses tradisi unik Jawa Tengah Sekaten yang
memiliki cukup banyak prosesi.
Pada saat merayakan dan menikmati Sekaten, alangkah baiknya sambil menelaah.
Karena perayaan ini memiliki nilai budaya, sejarah dan religi pada setiap ritualnya.
Nilai religi dapat kita lihat pada sesi pembacaan risalah Nabi Muhammad SAW.
MENGENAL UPACARA YADNYA KASADA ATAU KASODO DARI SUKU
TENGGER, BROMO JAWA TIMUR
Upacara Yadnya Kasada merupakan upacara sesembahan atau sesajen untuk Sang
Hyang Widi dan para leluhur yang digelar setiap bulan Kasada yaitu hari ke 14
dalam penanggalan kalende tradisional Hindu Tengger. Upacara Yadnya Kasada ini
dilakukan di wisata Gunung Bromo dan sering disebut sebagai upacara Kasodo.
Upacara Yadnya Kasada di gelar di Pura Luhur Poten yang berada tepat di kaki
Gunung Bromo. Upacara ini dilaksanakan tengah malam hingga dini hari. Kemudian
tujuan utama diadakannya upacara ini yaitu untuk mengangkat dukun atau tabib yang
ada pada setiap desa sekitar Gunung Bromo.
Hal-hal yang dilakukan dalam upacara ini yaitu orang-orang akan melempar sesajen
berupa ayam, sayuran dan bahkan uang ke kawah gunung yang bertujuan untuk
memberi sesajen para leluhur gunung Bromo. Gunung Bromo merupakan bagian dari
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang merupakan salah satu destinasi wisata
yang sangat diminati bagi para wisatawan domestik ataupun mancanegara.
Gunung Bromo memiliki panorama yang unik, indah dan mistis. Dalam hal ini,
Gunung Bromo menyodorkan suasana yang berbeda dari gunung-gunung lainnya.
Suku Tengger yang ada di Bromo sangat dikenal sebagai suku yang sangat
memegang teguh adat dan istiadat. Adat tersebut salah satunya adalah upacara
Yadnya Kasada. Upacara ini dijadikan pedoman hidup bagi mereka dan keberadaan
suku Tengger tersebut juga sangat dihormati oleh penduduk sekitar.
Dalam ajaran suku ini, sifat jujur dan tidak iri hati sangat mereka terapkan dalam
kehidupan mereka. Suku Tengger ini berasal dari nama dua orang yang membangun
pemukiman dan pemerintahan di kawasan Tengger yaitu Rara Anteng dan Joko
Seger. Kedua orang ini membangun pemukiman di kawasan Tengger yang kemudian
menamakannya sebagai Purbowasesa Mngkurat Ing Tengger yang artinya adalah
penguasa tengger yang budiman.
Tahap pertama dalam upacara Yadnya Kasada yaitu calon dukun dan tabib
menyiapkan beberapa sesaji yang nantinya akan di lempar ke kawah Gunung Bromo
sebagai bentuk sesaji. Persembahan sesajen ini dilakukan sebelum upacara Yadnya
Kasada dilaksanakan, yaitu beberapa hari sebelumnya.
Para calon dukun dan tabib juga harus lolos dalam tes pembacaan mantra saat
upacara Yanya Kasada berlangsung di Gunung Bromo, baru setelah itu mereka
dinyatakan lolos dan diangkat oleh tetua adat menjadi tabib dan dukun. Alasan utama
upacara pengangkatan calon dukun dan tabib menjadi dukun dan tabib sesungguhnya
yaitu karena peran dukun dan tabib bagi suku Tengger sangat kuat yaitu dipercaya
mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan masalah yang dialami masyarakatnya.
Tahap terakhir dalam upacara Yadnya Kasada adalah tepat pada malam ke 14 bulan
Kasada, tepat pada bulan purnama, suku tengger datang beramai-ramai ke Pura
Luhur Poten Bromo dengan membawa sesajen yang berupa hasil ternak dan hasil
pertanian mereka. Mereka menunggu tengah malam sampai dukun dan tabib
ditasbihkan oleh tetua adat. Dan kemudian setelah itu, mereka melemparkan sesajen
ke kawah Gunung Bromo sebagai symbol pengorbanan yang dilakukan nenek
moyang.
Sesajen yang dilempar ke kawah Gunung Bromo tersebut juga merupakan bentuk
rasa syukur atas hasil ternak juga pertanian yang melimpah yang mereka dapatkan
dari Sang Hyang Widi. Proses pelemparan sesajen ini dapat anda lihat sejak tengah
malam sampai siang hari saat hari menjelang upacara Yadnya Kasada.
Demikian uraian mengenai upacara Yadnya Kasada, sebuah upacara suku Tenger
untuk mengangkat dukun dan tabib dalam masyarakat Tengger di Gunung Bromo.
Selain keindahan alam, Gunung Bromo juga menyuguhkan kesan mistis yang
tentunya membuat pesona gunung ini menjadi berbeda dari gunung-gunung lainnya.
Indonesia memang kaya akan pesona dan keindahan Gunung Bromo adalah salah
satu wujudnya.
UPACARA ADAT DI SULAWESI SELATAN
l.Rambu Solo
Rambu solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang
bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang
yangmeninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian
bersama para leluhur mereka disebuah tempat peristirahatan, disebut
dengan Puya,yang terletak di bagian selatan tempat tinggalmanusia.
Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian.
Dikatakan demikian,karena orang yang meninggal baru dianggap benar-
benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara inidigenapi. Jika belum,
maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagaiorang “sakit”
atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup,yaitu
dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman,
bahkanselalu diajak berbicara.Oleh karena itu, masyarakat setempat
menganggap upacara ini sangat penting,karena kesempurnaan upacara ini
akan menentukan posisi arwah orang yang meninggaltersebut, apakah
sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkatdewa
(to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks
ini,upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara
apapunmasyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk
pengabdian kepadaorang tua mereka yang meninggal dunia. Kemeriahan
upacara Rambu Solo ditentukanoleh status sosial keluarga yang meninggal,
diukur dari jumlah hewan yangdikorbankan. Semakin banyak kerbau
disembelih, semakin tinggi status sosialnya.Biasanya, untuk keluarga
bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara24-100 ekor,
sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah
50ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga
bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial
tidak lagi berdasarkan padaketurunan atau kedudukan, melainkan
berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampananekonomi. Saat ini, sudah
banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasamenjadi hartawan,
sehingga mampu menggelar upacara ini.
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang
dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini
terdapat beberaparangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para
pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan, mebalun),
pembubuhan ornamen dari benang emasdan perak pada peti jenazah
(ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan
(ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat
peristirahatan terakhir (ma‘palao).Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi
budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adukerbau (mappasilaga tedong),
kerbau-kerbau yangakan dikorbankan diadu terlebih dahulu
sebelumdisembelih; dan adu kaki (sisemba). Dalamupacara tersebut juga
dipentaskan beberapa musik,seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan
unnosong;serta beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing,
pa‘katia, pa‘papanggan, passailo dan pa‘pasilaga tedong. Menariknya lagi,
kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik dan merupakan ciri khas
mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas leher kerbau hanyadengan sekali
tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa,
tetapikerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta
perekor.
Upacara Nyagahatan (Upacara Musim
Tanam & Panen Suku Dayak)
KALIMANTAN BARAT
via picmix.it
Upacara Nyagahatan yang berasal dari provinsi Kalimantan Barat ini biasanya
dipimpin oleh petugas adat yang menangani padi yang disebut Tuha Tahut. Tradisi
dilakukan disebuah ditempat di dekat sawah (Panyugu). Sebelum upacara adat suku
Dayak melakukan tahap menanam padi yaitu: “ngerinteh jalai (merintis jalan),
nebaeh (menebas), nebang (menebang), nunu umai (membakar lahan), menugal
benih dan menanam bibit, mantun padi atau menyiang, ngetau atau panen padi, dan
pengemasan padi. Pada saat ritual ini, bertujuan untuk menghindari gangguan saat
proses menanam padi, supaya padi tumbuh subur.”
Upacara Adat Daerah Sulawesi Barat Lengkap
Penjelasannya
Upacara adat atau upacara tradisional adalah Upacara yang diselenggarakan menurut
adat istiadat yang berlaku di daerah setempat. Upacara tradisional Provinsi Sulawesi
Barat tidak dapat dipisahkan dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat Sulawesi Barat. Upacara adat ini dibedakan menjadi dua, yaitu upacara
adat yang berhubungan dengan daur hidup (misalnya perkawinan, kematian, dsb.)
serta upacara adat yang berhubungan dengan aktivitas hidup masyarakat dan
lingkungan.
Sesajen tersebut berupa telur, satu ekor ayam goreng, empat jenis pisang, serta nasi
ketan empat warna. Kemudian, sesajen sebagai simbol ini dilepas oleh tetua adat atau
dukun kampung di tengah laut hingga hilang terbawa ombak. Oleh karena sesajen
tersebut dipersembahan kepada dewa, maka tidak boleh dimakan oleh siapa pun.
Masyarakat Pantai Tonyamang percaya ritual Mattammu Bara bisa meredam
kemarahan dewa laut dan angin yang kerap minta korban jiwa. Pada umumnya
masyarakat yang percaya pada tradisi ini tidak berani melaut sebelum ritual
Mattammu Bara dilaksanakan. Ritual tolak bala ini digelar secara turun-temurun oleh
masyarakat nelayan.
Setiap anak mengendarai kuda yang sudah dihias. Kuda-kuda itu juga sudah dilatih
untuk mengikuti irama pesta. Kuda-kuda itu pun mampu berjalan sambil menari
mengikuti iringan musik dan untaian pantun khas Mandar. Ketika duduk di atas
kuda, para peserta akan mengikuti tata atur baku yang berlaku secara turun-temurun.
Para peserta duduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang. Lutut menghadap ke
depan. Satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan ke atas dan telapak
kaki berpijak pada punggung kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta perlu
didampingi agar keseimbangannya terjaga saat kuda yang ditunggangi menari.
Peserta upacara Sayyang Pattudu akan mengikuti irama liukan kuda yang menari.
Para peserta mengangkat setengah badannya ke atas sambil menggoyang-goyangkan
kaki dan menggeleng-gelengkan kepala agar tercipta gerakan yang harmonis dan
menawan. Pada saat acara berlangsung, tuan rumah dan kaum perempuan sibuk
menyiapkan berbagai hidangan untuk tamu.