Anda di halaman 1dari 5

Sekaten Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari.

Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (jw: ditabuh) secara bergantian menandai perayaan sekaten. Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (harfiah=telur merah) merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba; famili Magnoliaceae). Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.

Sekaten merupakan sebuah up

acara kerajaan yang

dilaksanakan selama tujuh hari. Konon upacara ini berasal dari kerajaan Demak. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri setelah Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Keruntuhan Majapahit diperingati dengan candrasengkala Sirna Hilang Kertaning Bumi. Berakhirnya Kerajaan Majapahit berarti berakhir pula Kerajaan Hindu di Jawa, di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya V. Raja Demak yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain atau dua kalimat syahadat yang menjadi strategi para wali dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa. Perayaan Sekaten 2011 telah digelar sejak Jumat, 7 Januari 2011 yang lalu dan akan berakhir

pada

16 Februari 2011 yang dipusatkan di Alun-Alun Utara Yogyakarta. Tahun

ini upacara Sekaten mengusung tema besar yaitu Harmoni budaya, ekonomi dan religi, yang bisa menjadi

budi_becks@yahoo.co.id

pengingat jati diri bangsa untuk membangun Indonesia lebih baik. Ketiga aspek tersebut, juga menjadi faktor saling melengkapi dalam perayaan sekaten dari tahun ke tahun. Bersamaan dengan perayaan Sekaten biasanya juga diselenggarakan suatu Pasar malam sebulan sebelum perayaan Sekaten yang sesungguhnya. Pasar malam ini menyuguhkan berbagai macam atraksi dan permainan baik untuk anak-anak hingga orang dewasa. Ada berbagai macam penjual dari kebutuhan sandang baik dalam keadaan masih baru maupun bekas namun masih berkualitas(pakaian sisa impor) dan perlengkapan kebutuhan rumah tanggapun bisa dijumpai disini. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga yang jatuh pada malam kelima bulan maulud atau tanggal 9 Februari 2011, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (jw: ditabuh) secara bergantian untuk menandai perayaan sekaten. Gamelan tersebut akan diarak dari Bangsal Pancaniti ke Masjid Gedhe untuk kemudian ditabuh selama tujuh hari dan disiarkan hingga sepanjang Malioboro sehingga akan semakin menambah nuansa budaya pada atmosfir Kota Yogyakarta. Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara Udhik-Udhik, tradi

si menyebar uang logam (koin) dan beras yang sudah diberkahi. Masyarakat percaya jika mendapatkan uang logam tersebut merupakan suatu berkah, jadi mereka saling berebutan untuk mendapatkan uang logam tersebut. Setelah itu Sultan atau wakil beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (harfiah=telur merah) merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba; famili Magnoliaceae) yang dipercaya masyarakat sekitar untuk menjadi media mengalap berkah (mencari berkah). Puncak acara Sekaten pada tanggal 16 Februari 2011 ditandai dengan keluarnya sejumlah gunungan yang disebut sebagai Gerebeg Maulud, dimana pada dasarnya menggambarkan sedekah raja kepada rakyatnya dan menyimbolkan kesejahteraan. Perayaan Sekaten kali ini cukup berbeda dari tahun- tahun sebelumnya, untuk tahun ini jumlah gunungan yang dikeluarkan oleh Keraton hanya berjumlah 5 gunungan. Hal ini dikarenakan peringatan grebeg sekaten tahun ini jatuh pada tahun BE 1944. Hal ini berbeda dengan perayaan grebeg sekaten biasanya yang mengeluarkan hingga 7 gunungan. Tahun BE sendiri merupakan awal tahun dari satu putaran delapan tahun. Ini berarti kembali ke awal tahun pertama lagi.

budi_becks@yahoo.co.id

Barisan lima gunungan itu terdiri dari dua gunungan lanang, wadhon, gepak

dan

dharat. Satu gunungan lanang dibawa ke Masjid Gedhe untuk didoakan,

dan satu lagi dibawa ke Pura Pakualaman. Sementara lainnya dibawa ke Kepatihan yang diterima Sekda. Gunungan juga diminta untuk dibagikan pada para punggawa di Kepatihan beserta para kawulo yang datang. Hal tersebut sebagai bentuk pembagian sedekan raja kepada rakyatnya secara merata. Perayaan sekaten akan diakhiri dengan acara Bedhol Songsong atau pentas wayang kulit semalam suntuk di Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pemaknaan peristiwa budaya dalam Sekaten juga coba ditampilkan melalui pendirian panggung kesenian yang menggelar beragam festival seni tradisi dan religi. Pengertian Sekaten Sekaten adalah istilah budaya jawa yang berasal dari bahasa Arab, yaitu, Syahadatain yang artinya dua kalimah syahadat. Adanya pelafalan syahdatain menjadi sekaten ini karena adanya kesulitan bagi lisan orang jawa untuk mengucapkan kalima berbahasa Arab. Selain itu, karena memang bahasa masyarakat adalah bahasa Jawa maka diucapkanlah kata syahdatain itu dengan sekaten. Istilah sekaten ini muncul pertama kali pada masa Raden Fatah menjadi Adipati Kabupaten Bintoro, Demak. Pada masa itu beliau di dukung oleh para wali melakukan syiar dakwah. Kebanyakan masyarakat saat itu memluk agama Hindu dan Budha. Selain itu masyarakat juga senang berkesenian terutama seni gamelan. Untuk itulah para wali berinisiatif untuk menarik perhatian masyarakat mengikuti majlis dakwah dengan gamelan. Masyarakat yang tertarik dengan bunyi gamelan berbondong-bondong datang. Maka dengan kecerdikannya para wali mensyaratkan bagi masyarakat yang ingin menyaksikan gamelan untuk mengucapkan dua kalimah syahadat yang menjadi tanda kalau mereka telah masuk Islam. Dua kalimah syahadat inilah yang dalam agama Islam biasa disebut dengan syahadatain (Jawa: Sekaten). 2. Pengaruh Agama Terhadap Istilah Sekaten

Dari pengertian dan sekelumit tentang penyebutan nama sekaten di atas terlihat bahwa unsur agama mempengaruhi pembentukan istilah sekaten ini. Istilah sekaten dipengaruhi oleh agama Islam yang nota bene datang dari negeri Arab. Namun, karena bahasa Arab bukanlah bahasa ibu orang jawa maka pelafalan syahadatain dalam bahasa Arab (Islam) menjadi sekaten dalam bahasa Jawa. 3. Pengaruh Sosial dan Politik Terhadap Istilah Sekaten

Selain dipengaruhi oleh unsur agama, sekaten juga dipengaruhi oleh unsur sosial dan politik. Istilah sekaten timbul dimana ada unsur politik dari Raden Fatah dan para wali untuk bisa meng-islamkan masyarakat jawa yang kebanyakan beragama Hindu Budha. Disamping itu, struktur sosial masyarakat jawa dan kebiasaan masyarakat jawa (yang gandrung akan seni) serta penggunaan bahasa dalam berinteraksi juga mempengaruhi terbentuknya istilah sekaten ini. 4. Istilah-istilah Lain yang Berhubungan dengan Sekaten

Jika kita membahas sekaten maka lekat kaitannya dengan istilah grebeg dan gunungan. Grebeg adalah upacara keagamaan di keraton yang diadakan tiga kali dalam setahun bertepatan dengan hari lahirnya Nabi Muhamad Saw. (Grebeg Maulud), Hari Raya Iedul Fitri (Grebeg Syawal), dan Hari Raya iedul Adha (Grebeg Besar). Sekaten biasanya diakhiri dengan grebeg maulud karena waktu perayaan sekaten biasanya dilakukan bertepatan dengan bulan Robiul Awwal (maulud) dan puncaknya pada 12 Robiul Awwal (maulid Nabi Saw.). Pada acara ini biasanya Sri Sultan berkenan memberikan sedekah dalam bentuk gunungan-gunungan berisikan makanan, hasil panen masyarakat dan sebagainya. Upacara ini biasanya juga dilengkapi dengan upacara penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa oleh Sri Sultan sendiri di Sitihinggil utara dan diiringi dengan pembacaan doa oleh Kyai Penghulu untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, keagungan agama dan kebahagiaan serta keselamatan keraton, nusa dan bangsa pada umumnya.

Sekaten secara lughawi (etimologi atau tata bahasa Arab) berasal dari kata Syahadatain; yang berarti Dua Kalimat Syahadat. Sekaten yang saat ini sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah

budi_becks@yahoo.co.id

Kota Yogyakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten. Namun ada dimensi kesejarahan yang sering dilupakan oleh masyarakat, bahwa Sekaten secara historis telah dikenal sejak zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, makna dan perayaan Sekaten mengacu pada kata sekati; berasal dari kata suka-ati (satuan berat 680 kilogram), kemudian mengalami transformasi bentuk menjadi Sekaten yang merujuk pada kata dalam bahasa Arab Islam Syahadatain yang mulai dilestarikan pada zaman Kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Perubahan makna dalam transformasi konotatifnya bila ditilik dan ditelusuri semenjak zaman Majapahit hingga Demak berkutat pada pemaknaan dan asal kata Sekaten hal ini mengakibatkan perubahan bentuk substansial pun juga menghasilkan perubahan signifikan seiring proses konversi (pemelukan) agama Islam dari yang sebelumnya beragama (pemaknaan) Hindu menjadi beragama (pemaknaan) Islam. Memandang Sekaten, oleh karena itu, jangan hanya dalam bingkai perspektif agama an sich atau dalam kacamata budaya lokal budaya Jawa belaka. Cara pandang yang demikian akan mengakibatkan distorsi yang cenderung memunculkan perdebatan yang kunjung berhenti. Perdebatan tersebut akan bermuara pada masalah tafsir terhadap agama dimensi normatif dan historis serta Islam sebagai das sein dan das sollen serta berujung pada perpecahan dan perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut tidak dibingkai dalam upaya untuk memperoleh dan memperkuat jalinan ukhuwah Islamiyah, Wathoniyah, dan Basyariah. Perayaan Sekaten dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya yang telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan grass root (akar rumput) tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari sinergisasi dan akulturasi (perpaduan) kebudayaan, antara Islam (sebagai agama sekaligus budaya) dengan budaya lokal setempat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perselisihan dan wacana yang sifatnya distortif dalam memandang perayaan Sekaten. Hubungan dan kolaborasi antara, Islam sebagai teks besar atau grand narrative dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan an sich Islam menundukan (atau) ditundukkan oleh budaya lokal tetapi harus dipandang bahwa proses akulturasi tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal. Islam tidak melulu dipandang dalam dimensi keuniversalitasannya walaupun pada titik ini orang yang beragama Islam harus tetap berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paripurna dan universal tetapi juga bahasa dan sikap akomodatif Islam dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal. Di sisi lain, budaya lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah kepada Islam, namun ia budaya lokal pasti mempunyai kacamata sendiri dalam membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang seperti ini akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat signifikan dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang massif dan mengakar di masyarakat tanpa menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu. Perspektif lain yang ingin dihadirkan melalui perayaan Sekaten adalah Islam telah mengalami pembacaan ulang dalam hal ini bukan bersifat merubah nilai atau ajaran substansial Islam melalui kacamata pribumi atau lokalitas yang sudah pasti berbeda dengan Islam di tempat asalnya, Jazirah arab atau Timur Tengah. Dalam hal ini telah terjadi proses Pribumisasi Islam meminjam terminologi Gus Dur atau telah terjadi upaya membumikan Islam menurut Syafii Maarif terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam. Sebuah proses bargaining budaya telah terjadi yang mengikutsertakan dua unsur budaya yang bertemu. Proses tawar-menawar ini melibatkan perilaku adaptasi dan akomodasi dengan semangat menciptakan tatanan budaya baru yang dapat diterima bersama. Ada hikmah yang dapat kita tarik dari perayaan Sekaten yang telah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama tersebut, yakni adanya proses dialektika yang panjang dalam upaya mewujudkan Pribumisasi Islam atau upaya membumikan Islam. Proses Pribumisasi Islam di tanah air, biasanya, seringkali atau malah harus melibatkan budaya dan tradisi lokal yang ada, tentunya dengan pembacaan yang kritis dan pemaknaan yang lebih terbuka. Bila hal ini dijadikan pelajaran dalam melihat dua corak keislaman di Indonesia, Islam modernis dan Islam Tradisionalis, ini bukan bermaksud menyederhanakan, maka bukan penentuan benar atau salah yang digunakan dalam memahami dua corak tersebut, melainkan lebih pada nilai perjuangan yang tetap menjunjung budaya lokal dan tradisinya. Sikap kritis dan kearifan yang diliputi semangat keterbukaan untuk menerima perbedaan dan mengutamakan dialog dalam menyikapi perbedaan yang ada harus selalu menjadi prioritas pertama dan utama yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Melalui pembacaan atau sikap keberagaman seperti ini diharapkan bahwa hadirnya Islam dalam suatu masyarakat tidak serta merta menghilangkan tradisi dan budaya lokal yang ada. Kedatangan Islam di tengah-tengah tradisi dan budaya lokal, sebaliknya, malah harus dijadikan media bagi sebuah

budi_becks@yahoo.co.id

proses dialog antar budaya (cultural dialogue) untuk menemukan kebersamaan dalam menghadirkan masyarakat yang lebih inklusif-pluralis terhadap perbedaan yang ada. Hal ini terbukti lewat perayaan Sekaten yang paling tidak telah mencerminkan proses di atas. Prinsip lain yang tidak boleh dilupakan dalam kehidupan keberagamaan adalah prinsip humanisme dalam konteks ini harus menyentuh prinsip humanitarianisme yang memandang manusia dan sejarah kemanusiaannya sebagai satu rangkaian proses menjadi (becoming to) yang memanusiakan manusia dan menjadikan agama (Islam dan juga agama-agama lainnya) mampu untuk menjawab segala problematika kehidupan manusia. Apalagi di tengah kondisi bangsa yang saat ini mulai terlena oleh buaian kehidupan konsumeristikkonsumtif dan hedonistik yang telah meninggalkan aspek-aspek lokalitas atau local genius sebagai identitas kultural dan penanda paling signifikan bagi kita bila tetap ingin dianggap sebagai bangsa yang bermartabat. Ini menjadi tantangan kita bersama bukan. Mampukah kita menghadapinya? Fastabiqul Khairaat...

budi_becks@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai