Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SEJARAH

KERAJAAN CIREBON

Disusun Oleh

Uci Sanusi

Nia Aulina

Ludiya Anggraeni

Kelas : X IPS I
SMA NEGERI 1 CIGUGUR
2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah sejarah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Kuningan, Februari 2017

Penyusun

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................
.....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................
....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 2
A. Sejarah ...................................................................................................... 2

B. Perkembangan awal .................................................................................... 2


C. Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)....................................................... 3
D. Terpecahnya Kesultanan Cirebon.................................................................. 5
E. Runtunya kerajaan Cirebon........................................................................... 7
F. Hasil Kebudayaan ............................................................................................ 8
BAB III PENUTUP................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 15

4
5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal AlangAlang
yang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden
Walangsungsang1 diubah namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri
terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni oleh beragam masyarakat dan sebutan
lain Cirebon adalah Caruban Larang. Pada perkembangannya Caruban berubah
menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai nelayan yang
membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan
udang/cai-rebon Tahun 1389 M, Cirebon disebut Caruban Larang, terdiri atas
Caruban pantai/ pesisir dan Caruban Girang. Letak Cirebon yang berada dipesisir
Pantai Utara Jawa yang merupakan jalur strategis perdagangan lokal maupun
internasional membuat Cirebon cepat berkembang menjadi tempat persinggahan
para pedagang dari luar negeri. Para pedagang yang singgah di pelabuhan
Cirebon umunya adalah pedagang Islam yang berasal dari China, Arab, dan
Gujarat yang kemudian banyak diantara mereka yang menetap di Cirebon. Sejak
abad ke 15 M Cirebon sudah banyak didatangi pedagang Islam yang kemudian
menetap. Oleh karena itu menurut Tome Pires, seorang pedagang Portugis yang
pernah mengadakan pelayaran disepanjang pantai Utara Jawa pada tahun 1531,
kerajaanPajajaran melarang orang-orang muslim terlalu banyak masuk ke
dalam. Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang
menguasai wilayah Sunda termasuk hingga kewilayah Cirebon. Kerajaan Sunda
Pajajaran sendiri pada saat itu di pimpin oleh raja yang bergelar Sri Paduka
(Baduga) Maharajaatau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah
Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada
awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi
nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para
pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan
mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat
adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan
rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam.
Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah
berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian
menjadi Cirebon.[1]
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari
pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu
pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan
perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya.
Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di
Jawa Barat.

B. Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati)
adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai
membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug
(Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun
1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan
membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang

2
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh
masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau
wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan
Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki
Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga
bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua,
dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

C. Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)


Pangeran Cakrabuana (. 1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri
Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama
SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden
Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia
mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim
dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai
putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk
agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad
16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur
orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu
Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring
Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa
meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan
lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon.
Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon
adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana,
yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil
sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan
aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

3
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai
Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni
Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan
sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin
Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah
Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon
dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati
kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon
dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat
seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[2]
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan
pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah,
pemerintahan dijabat olehFatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik
takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568.
Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun
karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung
Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di
Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi
raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas
putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran
Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama
kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649,
pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama
Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu
Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih
dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum

4
yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan
Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua
kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten
merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat
I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga
bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan
Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan
Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di
Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di
Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari
Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan
makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa
sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah
sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

D. Terpecahnya Kesultanan Cirebon


Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa.
Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon
selama ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya.
Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa
(anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage), beliau
mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki
hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo
yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil
diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan
lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua
Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai
Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan
Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya
diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon
tidak beraliansi lagi dengan Mataram.

5
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi
pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh,
Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak
baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-
masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para
penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan
Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar
Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-
1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua
Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya
dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka
mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing.
Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya
Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan
tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual
keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun
1677 berlangsung sesuai dengan tradisikeraton, di mana seorang sultan akan
menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak
ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat
memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada
masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan
karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin
memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan
Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah
Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat
keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja

6
Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan
bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan
gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi,
yaitu KesultananKacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara
tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama
Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

E. Runtunya kerajaan cirebon


a. Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan
dipegang oleh Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom,
Keraton Karicebonan dipegang oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya
mengurusi kerajaan masing-masing. Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-
lahan mulai hancur.
b. Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan
kekuasaan diantara kedua putranya, yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan
Pangeran Wangsakerta. Di samping itu adanya campur tangan VOC yang
mengadu domba mereka membuat persaudaraan mereka menjadi permusuhan.
Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan
agama Islam dengan berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan
Gunung Jati, mempunyai daerah penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan
Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon dan dibantu oleh kedelapan para
wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan beliau dimakamkan di
pertamanan Gunung Jati.
Cirebon menjadi pusat perdagangan karena letaknya di daerah pesisir utara
pulau Jawa. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut.
Pedagang dari luar negara yang mendukung perekonomian di Cirebon adalah
Cina dengan barang dagangannya yaitu sutra dan keramik. Masyarakat Cirebon
dibedakan berdasarkan status sosialnya yang dibedakan menjadi 4 golongan,
yaitu golongan Raja, golongan Elite, golongan Nonelite, dan golongan Budak.
Mereka mempunyai kedudukan didalam lingkungan kerajaan.
Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3
Kesultanan, Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato
Kacirebonan. Sehingga kerajaan Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu

7
adanya perebutan kekuasaan sepeninggal Panembahan Gerilya pada tahun
1702. Adanya campur tangan VOC dalam kerajaan yang mengadu domba
mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.

F. Hasil Kebudayaan

1) Seni Bangun dan Ragam Hias

Berdasarkan tinjauan teori proses akulturasi, yang terjadi di Cirebon sejak


berkembangnya kesultanan, jelas tidak dapat dipisahkan dari adanya unsur-unsur
budaya sebelumnya, yaitu Hindu-Budha yang tumbuh dan berkembang dengan
unsur-unsur budaya refleksi dari keagamaan Islam. Contohnya adalah pada
pembentukan kota dari segi morfologis, bangunan keraton, bangunan masjid, seni
ukir atau hiasan, naskah-naskah kuno (manuskrip), dan lainnya.

Cirebon tumbuh dan berkembang hingga menjadi kota, terutama sejak


pemerintahan Cirebon dipimpin Syarif Hidayatullah tahun 1479. Karena itu, tidak
mengherankan apabila musafir Portugis, Tome Pires, ketika singgah di tempat ini,
mengatakan bahwa Coroboum (Cirebon) merupakan kota yang sudah
berpenduduk 1000 orang dengan bandar yang ramai dan sudah melakukan
ekspor dan impor barang-barang yang diperlukan. Jika diperhatikan dari segi
morfologi, kota Cirebon, baik Kesultanan Kasepuhan maupun Kanoman,
mempunyai tatanan letak sebagai berikut: Keraton Pakungwati yang kini tinggal
reruntuhannya terletak di bagian selatan, menghadap ke utara dengan tiga
pelataran sampai ke alun-alun di sebelah utaranya. Di sebelah barat alun-alun
terletak Mesjid Agung, dan di sebelah timur laut terletak pasar. Demikian juga
Keraton Kanoman meskipun letak pasarnya di sebelah utara alun-alun. Dari segi
morfologi, kota Cirebon tidak berbeda dengan kota-kota pusat kesultanan di
pesisir utara Jawa seperti Demak, Banten, dan daerah lain (Uka Tjandrasasmita,
2000: 56-60).

Di Keraton Kesultanan Kasepuhan, yakni di tempat Sultan Sepuh, masih terdapat


pelataran: pelataran pertama, kedua, dan yang paling belakang, pelataran ketiga,
dengan bangunan keraton. Tiga pembagian pelataran mengingatkan kepada letak
kompleks percandian di Jawa Timur masa Kerajaan Majapahit, seperti candi

8
Panataran di daerah Blitar. Nama-nama bangunan, baik yang dimiliki Keraton
Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon maupun keraton-keraton di Yogyakarta dan
di Surakarta (Solo), juga menggunakan istilah lokal Jawa. Keraton Kasepuhan itu
sendiri dibagi atas tiga bagian, yakni Pancaniti, Prabayaksa-Paseban sampai
dalem, ruangan khusus Sultan. Sitinggil di pelataran depan sebelah kanan
mempunyai bentuk-bentuk bangunan dengan gerbang berupa bentuk Candi
Bentar. Bangunan-bangunan yang berada di Sitinggil itu ada yang dinamakan
dengan Islam, seperti di bagian terdepan yang bertiang 20 dan menjadi tempat
sultan dengan para pembesarnya duduk melihat upacara-upacara yang
diselenggarakan di alun-alun yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya
masyarakat umum. Bangunan bertiang 20 itu dihubungkan dengan sifat dua
puluh. Di atas Sitinggil bagian kanan belakang terdapat bangunan kecil bertiang
dua yang disebut Semar Tinandu dan diberi sebutan Islam dengan ucapan
Kalimat Syahadat; di bagian kiri belakang bangunan yang bertiang dua puluh ada
bangunan bertiang lima Pancapandawa yang dihubungkan dengan Rukun Islam.

Bangunan Masjid Agung di Kasepuhan yang dinamakan Sang Cipta Rasa oleh
para Walisanga, juga mempunyai gaya arsitektur khas Indonesia kuno yang
mengingatkan pada bentuk meru seperti pada relief-relief beberapa candi di Jawa
Timur dan bangunan pura di Bali. Masjid Agung Cirebon yang sekarang atapnya
hanya dua, sebenarnya merupakan suatu arsitektur untuk susunan atap tiga.
Bagian dalam masjid dibuat dari tembok batu-bata dengan pintu masuk yang
besar di tengah; sedangkan di tembok sampingnya dibuat pintu-pintu masuk yang
rendah. Mihrab masjid dihiasi unsur-unsur hiasan pola teratai. Jadi, dalam
arsitektur masjid dan juga ragam hiasannya lebih cenderung kepada gaya
arsitektur pra-Islam.

Ragam hiasan yang terdapat di keraton mempunyai kekhasan bentuk wadasan.


Menarik bahwa pada tiang-tiangnya terdapat hiasan pattra dan lainnya. Tetapi
dinding tembok Keraton Kasepuhan sekarang banyak dihiasi oleh tegel-tegel delf
dan juga piring-piring porselen China. Bagian-bagian tembok bata dan ukiran-
ukiran pada tiang-tiang Sitinggil dan Keraton, menunjukan gaya campuran, antara
lain geometrik yang memberikan gambar akulade dan jalinan tambang yang
agaknya menunjukkan pengaruh ragam hiasan Islam.

9
Pengaruh kesenian hiasan China terlihat sangat jelas pada hiasan dinding tembok
dan gerbang keraton yang menggunakan piring-piring China. Adanya unsur-unsur
bangunan bata dan juga hiasan wadas seperti sisia awan, kemudian hiasan
teratai dalam bentuk hati, dimungkinkan karena, menurut cerita dalam babad-
babad lokal, pernah terjadi bahwa kepala tukang dari Majapahit bernama Raden
Sepet, setelah mengerjakan bangunan-bangunan di Demak, juga diminta
mengerjakan bangunan Cirebon (Uka Tjandrasasmita, 1975: 93-98; Uka
Tjandrasasmita, 1976).

Bangunan lainnya, Guha Sunia Ragi yang dibuat tahun 1703 sebagai tempat
peristirahatan Sultan, juga menunjukkan arsitektur gaya China dibuat dari batu
karang dan batu yang ditambah dengan pot-pot bunga dan bale kambang dan
lorong-lorong yang mengingatkan kita kepada bangunan yang berada di
Forbidden City di Beijing, yang saya lihat pada waktu menghadiri seminar
Internasional Arkeologi tahun 1983.

Yang menarik adalah bangunan dan tata letak kompleks Makam Sunan Gunung
Jati yang serupa dengan sebuah bukit yang dibuat 9 tingkatan. Tingkatan paling
atas adalah jinem, yakni bangunan untuk makam Sunan Gunung Jati beserta
keluarganya. Menarik perhatian karena, setelah terjadi perpecahan politik, di
mana terjadi pembagian Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman, kemudian
Kesultanan Cirebon dan Panembahan-Keprabonan, maka tata letak kuburan para
Sultan Kasepuhan berada di sebelah kanan yang dipisah oleh jalan bertingkat-
tingkat. Sedang di sebelah kirinya untuk kuburan para Sultan Kanoman. Di
bawahnya terdapat deretan kuburan Sultan Kacirebonan dan Panembahan
Keprabon sampai tingkat tiga. Perpecahan politik ketika di dunia, dibawa setelah
di kubur dengan ditempatkan secara terpisah. Ketika belum ada perpecahan
politik, sangat jelas masa Sunan Gunung Jati dan beberapa sultan lainnya
ditempatkan dalam jinem atau cungkup teratas, seperti halnya di kompleks
makam Imogiri yang terpisah, di mana tempat kuburan para Sultan Yogyakarta
berada di sebelah kanan, sedangkan kuburan Susuhunan Solo berada di sebelah
kiri terpisah oleh sebuah jalan bersama; tempat kubur Sultan Agung
Hanykrokusumo berada paling atas (Uka Tjandrasasmita, 1999: 285-300).

10
Kompleks makam yang dibuat sembilan tingkat itu mungkin pula memberikan
simbol sanga, Walisanga; nilai sembilan juga untuk masa sebelum Islam
Nawsanga. Sedangkan bukit juga dapat dipandang sebagai meru yang mungkin
sekali mempunyai kaitan dengan pikiran bahwa gunung merupakan tempat tinggi
ruh-ruh nenek moyang. Seperti halnya sebutan Imogiri untuk Himagiri. Jadi,
membuat kompleks makam orang-orang yang dianggap suci di atas bukit-bukit
seperti halnya kompleks makam Sunan Giri di Gresik Jawa Timur, kompleks
makam Sunan Muria di Solo, atau kompleks makam Sunan Bayat di Tembayat,
Klaten, merupakan hal biasa dan mentradisi.

Terakhir adalah kereta-kereta kuno. Di Keraton Kasepuhan terdapat Kereta Singa


Barong atau Singa Naga Liman yang menurut Candrasangkala Iku Pandito Buto
Rupanane, berarti nilainya 1751 dibaca 1571 Saka, sama dengan 1649 M. Kereta
ini, dari segi rodanya, bukan untuk ditarik kuda tetapi oleh sapi. Bentuk itulah yang
menyerupai burung, naga, dan gajah dengan penuh ukiran pada sayapnya. Di
Keraton Kanoman juga terdapat kereta Paksi Naga Liman yang memuat angka
tahun Jawa pada medallion ban lehernya tahun 1350 yang berarti sama dengan
1428 M (Drs. H.B Vos, 1986: 39-42).

2) Wayang dan Topeng

Di Cirebon terdapat wayang kulit dan wayang cepak (papak, menak). Wayang
kulit menyajikan cerita-cerita yang diambil dari episode (kisah) Mahabrata dan
Ramayana. Wayang cepak menyajikan cerita Panji dan Menak yang mengambil
kisah-kisah kepahlawanan Amir Hamzah yang berkaitan erat dengan penyebaran
Islam. Wayang cirebon masih kuat dengan ritus-ritus bagi komunitas dan dalang-
dalangnya. Faktor yang menunjang ketahanan motivasi ritusnya ialah bahwa
komunitas Cirebon ada di antara dua budaya besar, yakni Jawa Tengah (Solo,
Yogyakarta) dan Jawa Barat. Demikian pula dari segi bahasa yang khas sebagai
Jawa-Cirebon, bertahan untuk jati dirinya.

Ungkapan dalam kesenian, selain pertunjukan wayang, juga dalam topeng


Cirebon yang sampai kini pembuatan topengnya masih hidup di Gresik. Selain itu,

11
kekhasan seni yang disebut tarling (permainan gitar dan suling), gamelan
Cirebon, kuda lumping, sintren, lais, barongan (bengberokan), lukisan kaca, dan
angklung bungko yang kesemuanya sampai kini masih cukup terpelihara
keberadaannya (Saini K.M., 1997: 163-167).

Wayang Cirebon termasuk seni yang sangat penting sebagai pengungkap jati diri
kecirebonannya. Faktor lain yang mendukung adalah keberadaan keraton-keraton
(Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan). Ketiga keraton ini, selain menjadi buhul tali
pengikat yang menghubungkan masyarakat budaya Cirebon, yang terpenting
adalah upacara Panjang Jimat dalam Maulud Nabi Muhammad SAW.

Topeng bukan hanya terdapat di Cirebon, tetapi di mana-mana. Namun demikian,


topeng Cirebon mempunyai kekhasannya sendiri. Pertunjukan topeng biasanya
dilakukan di siang hari dan dilakukan di desa sampai kota. Dalang topeng, seperti
juga dalang wayang, biasanya berasal dari keturunan dan ternyata juga kadang-
kadang punya pertalian keluarga. Pertunjukan topeng secara tradisional
diselenggarakan untuk merayakan upacara semalaman, khitanan, perkawinan,
dan juga pada upacara penting yang kini sudah menipis tetapi masih ada, adalah
sedekah bumi, kaulan, dan upacara-upacara keagamaan. Pertunjukan topeng
seperti tari Panji, tari Pamindo, tari Patih, tari Tumenggung dan Jingganamon, dan
tari Klana, semua itu memerlukan keterampilan tarian masing-masing (Endo
Suanda, 1997: 169, 192).

3) Seni Sastra

Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam, dikenal pula dalam bidang seni sastra
yang pada umumnya bersifat keagamaan Islam, terutama sejak adanya
perkembangan Kesultanan Cirebon. Naskah-naskah kuno (manuskrip) yang
berasal dari daerah Cirebon yang dapat dicatat oleh hasil penelitian Pudjiastuti,
terdapat lebih kurang 200 naskah. Naskah-naskah dari Cirebon itu sudah
dibicarakan pula oleh Agus Arismunandar dan Pudjiastuti sendiri (Agus
Arismunandar dan Pudjiastti, 1997: 193-202). Naskah-naskah tersebut ditulis

12
dalam berbagai bentuk penyajian, yakni prosa dan pupuh (macapat, tembang,
skema dan gambar-gambar).

Tulisan yang dipergunakan juga bermacam-macam: tulisan Arab bahasa Jawa


atau Pegon dan Jawi (tulisan Arab bahasa Melayu). Berdasarkan isinya, naskah-
naskah Cirebon dapat ditafsirkan ke dalam 13 kategori jenis sastra. Ketiga belas
kategori itu adalah sejarah, silsilah yang umumnya ditulis dalam bentuk skema
(wayang sastra, ajaran agama, doa-doa, cerita Islam, primbon, obat-obatan,
mantra, hukum, dongeng, legenda, dan lain-lain. Termasuk dalam kategori lain-
lain, adalah naskah-naskah yang isinya mengenai jimat (biasanya dalam bentuk
gambar), adat istiadat, dan pelajaran asmara.

Dari sejumlah 200 naskah yang telah berhasil di data, naskah yang berisi sejarah
cukup banyak, yakni sekitar 31 naskah. Naskah sejarah ini tampil dengan judul
yang bermacam-macam. Di antaranya yang berbahasa Cirebon adalah Babad
Cirebon, Carub Kanda, Catur Kanda, Carang Satus dan Carang Sewu. Naskah-
naskah yang berisi tentang sejarah Cirebon, antara lain adalah Babad Cirebon,
Carita Purwaka Caruban Nagari, dan naskah Wangsakerta. Belum lama ini
ditemukan sebuah naskah dari Metasinga oleh Amman N. Wahyu dan sudah
dialihaksarakan dengan judul Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan
Gunung Jati.

Di Cirebon juga terdapat sejumlah naskah-naskah kuno yang berisi tentang suluk
atau tasawuf yang ditulis oleh kalangan ulama dari keraton seperti Pangeran
Wangsakerta dan Pangeran Arya Cirebon. Karena itu, keraton-keraton di Cirebon
dapat disebut sebagai pusat kebudayaan. Naskah-naskah kuno, baik Mushaf Al-
Quran maupun kitab-kitab fikih, juga sering ditemukan dari pesantren-pesantren
antara lain, Pesantren Buntet.

13
BAB III
PENUTUP

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan: pertama, pertumbuhan


Cirebon sampai menjadi kesultanan, baik dari segi politik maupun perdagangan,
sudah dimulai sejak Cirebon di bawah pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran.
Kedua, pada masa sebelum menjadi kesultanan di bawah pimpinan Syarif
Hidayatullah, agama Islam sudah datang dan mulai menyebar melalui pesantren,
bukan hanya oleh ulama dan para syekh, tetapi juga oleh penguasa desa (Kuwu)
Cirebon, yaitu Syekh Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuwana(Cakrabumi).

Ketiga, agama Islam makin luas disebarkan ke daerah-daerah Talaga, Kuingan,


Galuh, dan terutama ke Banten, oleh Syarif Hidayatullah dan disusul kemudian
oleh Fadhillah Khan, atas perintah Sultan Demak, Pangeran Trenggono, dan

14
dorongan Syarif Hidayatullah untuk menyerang Kalapa yang berhasil tahun 1527
hingga Kalapa diganti menjadi Jayakarta. Keempat, dari segi politik, agama, dan
ekonomi-perdagangan, sejak Syarif Hidayatullah, Cirebon menjadi pusat
kesultanan yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sampai
pemerintahan Panembahan Ratu dan Girilaya.

Kelima, setelah kesultanan dipecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman,
dan karena timbul perpecahan yang dipicu oleh perjanjian dengan VOC Belanda,
Kesultanan Cirebon mulai mengalami keruntuhan. Bahkan pada awal abad ke-18,
kesultanan praktis tak berdaya, baik di bidang politik maupun di bidang
perdagangan, karena sudah jatuh ke tangan VOC dan seterusnya Hindia-
Belanda.

Keenam, meski demikian, masih dapat dicatat bahwa Kesultanan Cirebon masih
mempunyai peran dalam menghasilkan seni bangunan, seni ukir, dan seni hias,
bahkan menonjol pula dalam seni sastra dengan banyaknya naskah-naskah kuno
yang dapat ditemukan. Ketujuh, hasil-hasil seni bangunan, seni ukir, seni
pertunjukan, serta seni hias Kesultanan Cirebon, memberikan bukti hasil proses
akulturasi yang tetap memiliki jati dirinya yang Islami.

DAFTAR PUSTAKA

https://miftah19.wordpress.com/2011/02/18/kesultanan-cirebon-tinjauan-historis-
dan-kultural/
http://www.artikelsiana.com/2014/11/sejarah-kerajaan-islam-kerajaan-cirebon.html
http://www.materisma.com/2014/05/sejarah-kerajaan-banten-dan-cirebon.html

15
16

Anda mungkin juga menyukai