Abdul Malik bin Marwan, bernama lengkap Abdul Malik bin Marwan bin Hakam bin Abul
Aas bin Umayya bun Abd Shams bi Abdi Manaf bin Qussai bin Kilab, adalah seorang
khalifah pertama yang mencentak uang dinar dalam Islam. Dia lahir pada bulan Ramadhan
tahun 23 H dan meninggal tahun 86 H atau 685-705 Masehi. Abdul Malik diangkat sebagai
khalifah oleh kaum muslim setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubair. Sebelum menjabat
sebagai khalifah, dia adalah seorang yang ahli ibadah dan zuhud. Muawiyah pernah
menugaskannya untuk mengurus Madinah pada waktu Abdul Malik bin Marwan masih
berusia 16 tahun. Pada masa pemerintahannya, gerakan penerjemahan buku-buku berbahasa
Persia dan Romawi ke bahasa Arab mengalami perkembangan yang pesat. Selain itu, pada
masa kepemimpinannya pula, bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa resmi negara.
Kemudian, Yerusalem pada masanya dijadikan sebagai tempat yang suci bagi orang-orang
Islam.
Meskipun selama menjadi khalifah, Abdul Malik bin Marwan banyak mengalami kemajuan,
namun di sisi yang lain juga banyak mengalami perlawanan dari para musuhnya dan setelah
meninggal, kekhalifahannya diganti oleh anaknya yang bernama Al-Walid.
Pada waktu itu ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu telah dibaiat sebagai khalifah di
negeri Hijaz dan kekuasaannya semakin besar. Mu’awiyah bin Yazid tidak berkeinginan
jatuh dalam pertentangan dengan Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. Oleh karena itu, beliau
mengumumkan pengunduran diri dari kursi kekhalifahan tidak berapa lama setelah
pengangkatannya. Kemudian beliau mengasingkan diri dari manusia sampai meninggalnya
yang tidak lama berselang setelah. pengunduran diri. Dan beliau tidak menentukan siapapun
sebagai pengganti.
Dengan demikian khilafah yang syar’i dipegang oleh Amirul Mukminin Abdullah bin Az-
Zubair radhiyallahu ‘anhu . Penduduk Iraq, Mesir, Afrika, Khurasan, dan mayoritas
penduduk Syam membaiatnya. Lebih tepat dikatakan seluruh wilayah Islam kecuali sebagian
kecil dari wilayah Syam bagian selatan yang mereka terbagi menjadi dua kelompok. Satu
kelompok mendukung Bani Umayyah yang dipimpin oleh Hasan bin Malik, kelompok lain
mendukung Ibnu Az-Zubair yang dipimpin oleh Adh Dhahhak bin Qais.
Antara kedua kelompok ini terjadi pertempuran Marjuraahith. Pertempuran ini terjadi pada
tahun 65 H. Pendukung Bani Umayyah mendapatkan kemenangan sehingga Marwan bin Al-
Hakam rahimahullah berhasil menguasai Syam sedangkan Ibnu Az-Zubair tetap menjadi
khalifah yang menguasai seluruh wilayah Islam. Marwan hanya memegang tampuk
kekuasaan pada masa yang relatif singkat yaitu satu tahun kemudian dia meninggal pada
tahun 65 H. Setelah dia meninggal, kekuasaan digantikan oleh anaknya yang bernama ‘Abdul
Malik.
Abdul Malik bin Marwan menjabat khalifah kelima Dinasti Umayyah pada usia 39 tahun. Ia
menjadi khalifah atas wasiat ayahnya, Marwan bin Hakam. Selama 21 tahun memerintah ia
dianggap khalifah perkasa, negarawan berwibawa yang mampu memulihkan kesatuan kaum
Muslimin.
Setelah selesai pengangkatan baiat di Masjid Damaskus pada 65 Hijriyah, Khalifah Abdul
Malik bin Marwan naik mimbar dan menyampaikan pidato singkat namun tegas yang dicatat
sejraah. Di antara isi pidato itu adalah, “Aku bukan khalifah yang suka menyerah dan lemah,
bukan juga seorang khalifah yang suka berunding, bukan juga seorang khalifah yang
berakhlak rendah. Siapa yang nanti berkata begini dengan kepalanya, akan kujawab begini
dengan pedangku.”
Setelah ia turun dari mimbar, sejak saat itu wibawanya dirasakan oleh segenap hadirin.
Mereka mendengarkan ucapannya dengan rasa hormat dan kepatuhan.
Apa yang diperbuat oleh ‘Abdul Malik ini memberatkan orang-orang Persia sampai-sampai
mereka memberikan kepada Shalih uang sejumlah 1000 dirham dengan syarat ia tidak
melanjutkan tugas itu. Tetapi dia tidak memperdulikannya. Sebagian pembesar Persia
mengatakan kepadanya: “Semoga Allah memutuskan keturunanmu di dunia sebagaimana
engkau memutuskan Persia.”
`Abdul Malik adalah seorang yang dikenal dengan kokoh pendirian dan kemauannya. Dia
seorang yang pemberani, tidak mudah gamang dalam menghadapi banyak peristiwa
walaupun besar. Kejadian yang ada pada masanya sangat keras dan mencekam. Perpecahan
dan perselisihan senantiasa mengancam kerajaan dengan ancaman yang sangat berbahaya.
Akan tetapi dia selalu menangani urusannya dengan penuh hikmah dan akal yang cemerlang
sehingga keadaan menjadi tenang dan langit menjadi cerah. Kerajaan pun menjadi satu dan
persatuan terwujud. Seluruh pelosok negeri Islam di bawah satu bendera dan satu penguasa.
Keadaan ini menyerupai keadaan yang terjadi pada tahun persatuan (masa pemerintahan
Mu’awiyah bin Abu Sufyan). Jadilah ‘Abdul Malik rahimahullah pendiri kedua Daulah
Umawiyyah.
Setelah bangsa Persia, Syiria dan Mesir bergabung dalam kekuasaan pemerintahan Islam,
Khalifah Umar bin Al-Khatab mempertahankan dokumen yang berkaitan dengan negeri
tersebut tetap dicatat dalam bahasa mereka masing-masing. Akibatnya, departemen keaungan
negeri-negeri tersebut dikuasai oleh pribumi non muslim yang memahami bahasa mereka.
Ketika Abdul Malik bin Marwan berkuasa, ia menghapuskan bahasa mereka dan menetapkan
bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan, kebijakan ini pertama kali diterapkan
bahasa resmi pemerintahan. Kebijakan ini pertama kali diterapkan di Syiria dan Irak,
kemudian Mesir dan Persia.
Hal sepadan juga menyebutkan bahwa, ketika bahasa Arab menjadi bahasa percakapan
orang-orang non-Arab, bahasa Arab mendapat masukan-masukan kata baru. Kata-kata baru
ini diambil dari kata-kata wilayah yang ditaklukkan. Sebagai contoh, kata “kubah” dan
“menara”. Kedua kata tersebut masuk kedalam kosakata bahasa Arab ketika orang-orang
Arab melihat bangunan-bangunan itu. Hal yang lebih menarik lagi bahasa Arab sendiri
ternyata memiliki kelenturan menerima kosakata kata baru. Dengan demikian bahasa Arab
menjadi sangat kaya dengan kosakata dan istilah.
8. Kerajinan
Kerajinan pada masa Abdul Malik mulai dirintis pembuatan tiraz atau semacam bordiran
yakni cap resmi yang di cetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan.
Pembebasan wilayah
Perluasan wilayah (ekspansi) politik Islam diluar semenanjung Arabia yang terhenti dimasa
khalifah Ali, kini diteruskan oleh dinasti bani umayyah, terutama dimasa khalifah Abdul
Malik bin Marwan dan al-Walid bin Abdul Malik. Ekspansi pada masa ini terbagi kepada dua
arah, ke barat yang meliputi wilayah Afrika Utara, Spanyol dan Perancis. Dan ke timur yang
meliputi wilayah Asia Tengah dan India.
Pembebasan wilayah barat telah dimulai sejak masa pemerintahan Muawiyah. Ia mengutus
Uqbah bin Nafi’ untuk menaklukkan daerah-daerah Afrika utara yang telah lama dikuasai
romawi. Ia berhasil mengusai tunisia, dan di tahun 670 M. Ia menjadikan kota Qairuwan
sebagai ibu kota dan pusat kebudayaan Islam.
Namun, wilayah itu kemudian kembali dikuasai bangsa barbar, baru pada masa Abdul Malik
bin Marwan berhasil dikuasai kembali berkat pasukan yang dipimpin Hasan bin Nu’man.
Setelah Hasan meninggal pada 708 M, jabatan gubernur digantikan oleh panglima Musa bin
Nusair. Ia meluaskan kekuasaannya dengan menaklukkan Aljazair, Maroko, sampai ke pantai
samudra Atlantik. Ekspedesinya juga berhasil merebut pulau Majorka, Minorka, dan Ivoka
Ekspansi ke timur yang telah dirintis oleh Muawiyah, lalu disempurnakan oleh khalifah
Abdul Malik bin Marwan. Dibawah komando Gubernur Irak Hajjaj ibn Yusuf, tentara kaum
muslimin menyeberangi sungai Ammu Darya dan menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Fergana dan Samarkand. Pasukan islam juga melalui Makran masuk ke
Balukhistan, Sind dan Punjab sampai ke Multan, pada waktu itu Islam menancapkan kakinya
untuk pertama kalinya di bumi India.
Wafat
Dalam sejarah, Abdul Malik dikenal dengan “Abdul Muluk” atau ayah para raja atau
khalifah. Dijuluki demikian karena keempat anaknya sempat menjadi khalifah Bani Umayyah
menggantikannya. Mereka itu adalah Walid, Sulaiman, Yazid, dan Hisyam. Abdul Malik bin
Marwan meninggal dunia pada pertengahan bulan Syawwal tahun 86 Hijriyah dalam usia 60
tahun. Ia meninggalkan karya besar bagi sejarah Islam. Masa pemerintahannya 21 tahun, dan
8 tahun dari masa tersebut menghadapi sengketa dengan Khalifah Abdullah ibn Zubair.