Anda di halaman 1dari 22

KONSEP ILMU DALAM ISLAM

Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu

Oleh:

Sadan

NPM : 223101013264

PROGRAM STUDI DOKTOR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS IBN KHALDUN
BOGOR
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan nikmatnya. Dan shalawat serta salam yang selalu tercurah kepada

junjungan kita nabi Muhammad SAW, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini

dalam rangka melaksanakan tugas mata Filsafat Ilmu. Makalah ini dibuat dengan menyajikan

materi tentang Konsep Ilmu dalam Islam.

Penyusun menyampaikan rasa terimakasih kepada dosen pembimbing pembelajaran

Filsafat Ilmu yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan sehingga tugas ini dapat

selesai.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan. Karena evaluasi, pendapat serta kritik dan saran akan penyusun terima guna

lebih baik dimasa akan datang. Penyusun berharap semoga penyusunan makalah ini dapat

bermanfaat.

Bogor, Desember 2022

Sadan

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................................i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ii

A. Pendahuluan ..............................................................................................................1

B. Islam dan Konsep Ilmu .............................................................................................1

C. Klasifikasi Ilmu .........................................................................................................9

D. Objek Ilmu ................................................................................................................13

E. Sumber Ilmu dan Cara Memperolehnya....................................................................14

F. Hubungan Saint, Filsafat dan Agama .......................................................................16

G. Dewesternisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer.......................................................17

H. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer ..............................................................18

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................20

ii
A. Pendahuluan

Ilmu pengetahuan merupakan kebutuhan dalam mencapai kebahagiaan hidup

manusia, baik di dunia dan di akhirat. Allah telah mengajarkan kepada adam dan

semua keturunannya. Dengan ilmu pengetahuan itu, manusia dapat melaksanakan

tugasnya dalam kehidupan ini, baik tugas sebagai khalifah maupun tugas ubudiah.

Islam mewajibkan pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan,

mengetahui segala kemashlahatan dan jalan kemanfaatan, menyelami hakikat alam,

dapat meninjau dan menganalisa segala pengalaman yang didapati oleh umat yang

lalu, baik yang berhubungan dengan ‘aqidah dan ibadah, baik yang berhubungan

dengan soal-soal keduniaan dan segala kebutuhan hidup. Dalam hadits dijelaskan

bahwa menuntut ilmu dengan niatnya untuk mencari ridha Allah Swt.1

Dalam Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sangat penting dalam

kehidupan manusia, terutama orang yang beriman. Tanpa ilmu pengetahuan, seorang

mukmin tidak dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik menurut ukuran ajaran

Islam. Apabila ada orang yang mengaku beriman tetapi tidak mau mencari ilmu, maka

ia dipandang telah melakukan suatu pelanggaran, yaitu tidak mengindahkan perintah

Allah dan Rasul-Nya. Akibatnya, tentu mendapatkan kemurkaan-Nya dan akhirnya

akan masuk ke dalam neraka. Karena pentingnya ilmu pengetahuan itu, Rasulullah

mewajibkan umatnya belajar.2

B. Islam dan Konsep Ilmu

Islam adalah agama yang integral, komprehensip dan mengatur semua aspek

kehidupan. Maka dari itu, Islam adalah the way of life. Islam memandang ilmu

sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan agama. Begitu juga, bahwa ilmu

1
Bukhari Umar, Pendidikan dalam Perspekitf Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 5.
2
Ibid, h. 11.

1
dalam Islam adalah bagian yang integral atau inheren dengan ibadah. Karena ibadah

tanpa ilmu tidak akan diterima, sedangkan ilmu tanpa ibadah adalah ibarat pohon

yang tidak berbuah. Untuk itu, al-Qur’an dengan sangat gamblang menjelaskan hal

tersebut sebagaimana firman Allah SWT.

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan

segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang

berserah diri.” (QS. Al-Nahl/16: 89).

Ibnu Mas’ud berkata dalam menafsirkan ayat ini, bahwa Allah SWT. telah

menerangkan kepada kita bahwa dalam al-Qur’an diterangkan semua ilmu dan segala

sesuatu. Sedangkan Mujahid menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, bahwa maksud

ayat ini adalah semua yang halal dan haram. Kemudian Ibnu Katsir berkata, bahwa

perkataan Ibnu Mas’ud lebih umum dan lengkap, karena sesungguhnya al-Qur’an

mencakup segala ilmu nafi’ baik dari berita-berita yang telah lalu, dan ilmu-ilmu yang

akan datang, dan hukum setiap yang halal dan haram, dimana manusia

membutuhkannya dalam urusan dunia, agama dan kehidupan mereka.3

Perkataan Ibnu Mas’ud diatas, bahwa Allah SWT. telah menerangkan kepada

kita dalam al-Qur’an semua ilmu dan segala sesuatu, menunjukkan bahwa Islam

mengatur segala aspek kehidupan, baik dunia maupun akherat secara seimbang dan

integral. Islam mengatur semua aspek kehidupan yang berkenaan dengan pendidikan,

politik, ekonomi dan lain sebagainya. Itulah Syumûlatul Islâm yang integral dan non

dikhotomik. Fakta-fakta di atas sesuai dengan apa yang diproklamirkan Islam pertama

kali dalam sejarah kemanusian bahwa ilmu pengetahuan menyangkut semua aspek.

3
Abu al-Fidâ’ Isma’îl Ibnu ‘Umar Ibnu Katsîr al-Qurasyî al-Basharî, Tafsîr al-Qur’ân al- ‘Adhîm, al- Juz al-
Râbi’, (Ttt: Dâru Thayyibah, 1999), h. 594

2
Dan maksud ilmu di sini bukan hanya ilmu-ilmu keislaman saja, sebagaimana sabda

Rasulullah Saw,

ِ ِّ‫ُاطْلُبُوْ ا ال ِع ْل َم وَ لَوْ بالص‬


‫ين‬
“Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina.” 4

Dan tidaklah ke negeri Cina untuk menuntut ilmu-ilmu keislaman, akan tetapi

maksud hadits di atas adalah meskipun jarak tempuk yang jauh dari rumah, dan jenis

ilmu apapun selama bermanfaat bagi umat manusia.5

Begitu juga, Islam sangat menghargai ilmu dan meletakkannya pada posisi

yang sangat istimewa. Untuk itu, dalam banyak ayat Allah SWT. berfirman agar

kaum muslimin memiliki ilmu. Keistimewaan tersebut tampak sekali dari banyaknya

ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang memerintahkan supaya mendalami ilmu. 6 Seperti

firman Allah SWT. sebagaimana berikut:

ِ ‫هَلْ يَ ْست َِوى الَّ ِذ ْينَ يَ ْعلَ ُموْ نَ َوالَّ ِذ ْينَ اَل يَ ْعلَ ُموْ نَ ۗ اِنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر اُولُوا ااْل َ ْلبَا‬
‫ب‬

“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orangorang

yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima

pelajaran.” (QS. Al-Zumar/39 : 9).

Al-Mahallî dan al-Suyûthî mengatakan dalam menafsirkan ayat ini, bahwa

antara orang-orang yang berilmu dan tidak berilmu tidak akan pernah sama seperti

tidak samanya antara orang berilmu dan orang bodoh.7 Allah SWT. juga berfirman:

4
Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, jilid I, (Beirût: Dâru al-Khoir, 1993), h. 16
5
Ahmad Syalabî, Mausû’ah al-Hadhârah al-Islâmîyah,: Al-Manâhij al-Islâmîyah, al-Fikru alIslâmîyah, al-
Siyâsah fî al-Fikri al-Islâmîyah, Juz 1-3, (Al-Qôhiroh: Maktabah al-Nahdhah alMisyrîyah), h. 57-58. Lebih
lanjut beliau mengatakan bahwa Islam menaruh konsen yang sangat besar terhadap pendidikan. Konsep
pendidikan bagi umat Islam mencakup filsafat pendidikan sebagaimana juga mencakup sistem dan metode
pengajaran, peradaban Islam dan kekayaan besar di bidang pendidikan, Pendidikan Islam memperhatikan dalam
lingkup ini dari sejak buaian sampai ke liang lahat (kubur), di sana juga ada etika dan ilmu pengetahuan untuk
setiap generasi ke generasi. Lihat dalam Ahmad Syalabî, Muwassa’ah al-Hdhârah al-Islâmîyah,: Al-Manâhij
alIslâmîyah, al-Fikru al-Islâmîyah, al-Siyâsah fî al-Fikri al-Islâmîyah, h. 57-58.
6
Adnin Armas, Konsep Ilmu dalam Islam, dalam Islamic Worldview, h. 204
7
Jalâluddin Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad al-Mahallî dan Jalâluddin ‘Abdur Rahman Ibnu Abî
Bakar al-Suyuthî, Tafsîru al-Jalâlain, al-Juz al-Awwal, (Al-Qâhirah: Dâru alHadîts, tt), h. 60

3
‫ت َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ خَ بِيْر‬
ٍ ۗ ‫يَرْ فَ ِع هّٰللا ُ الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ِم ْن ُك ۙ ْم َوالَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِع ْل َم َد َر ٰج‬

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan

orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha

mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujâdalah/58 : 11).

Begitu juga dalam ayat lain Allah SWT. berfirman: Al-Sa’dî mengatakan

dalam menafsirkan ayat ini, bahwa Allah SWT. mengangkat ahli ilmu dan orang-

orang yang beriman beberapa derajat sesuai dengan yang dikhususkan Allah SWT.

tentang hal tersebut, yaitu tentang ilmu dan iman.8

"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (orang yang sempurna ilmu

dan takwanya kepada Allah SWT.) karena kamu selalu mengajarkan al kitab dan

disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Âli-Imrân/03 : 79).

Al-Baidhâwî mengatakan dalam menafsirkan ayat ini, bahwa hendaklah kalian

menjadi orang-orang rabbânî, sedangkan istilah rabbânî dinisbatkan kepada Rabb

Allah SWT. Dialah Tuhan Yang Maha sempurna dalam ilmu dan amal. Hal itu

disebabkan karena kalian mengajarkan al-kitab (al-Qur’an) dan disebabkan kalian

mempelajarinya, karena faedah mengajar dan belajar (al-Qur’an) akan menyebabkan

kalian mengetahui kebenaran dan kebaikan untuk keimanan dan amal.9

Untuk itu dapat dikatakan, bahwa konsep ilmu dalam Islam landasannya

adalah iman yang kokoh, dan dari keimanan tersebut akan melahirkan amal yang

didasarkan kepada ilmu dan iman. Dalam Islam tidak dikenal ilmu untuk ilmu, tetapi

ilmu yang dibingkai hanya dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT. Secara singkat

8
Abdu al-Rahmân bin Nâshir bin Abdullah al-Sa'dî, Taisîru al-Karîmu al-Rahman fîe Tafsîri Kalâmi al-
Mannan, (T.tt: Muassasatu al-Risâlah, 2000), h. 846
9
Nâshir al-Dîn Abû Sa’îd Abdullah ibn Umar ibn Muhammad al-Syairâzî al-Baidhâwî, Anwâr al-Tanzîl wa
Asrâru al-Ta’wîl, al-Juz al-Tsânî (Beirût: Dâru Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, 1418), h. 25

4
dapat dikatakan, bahwa dalam Islam iman, ilmu dan amal tidak dapat diceraikan dan

dipisahkan.

Selain dalam al-Qur’an sebagaimana dijelaskan di atas, perintah menuntut

ilmu juga terdapat dalam banyak Hadits. Bahkan Rasulullah Saw. mengatakan, bahwa

orang yang mempelajari ilmu, maka kedudukannya seperti seorang yang sedang

berjihad di medan perjuangan.10 Sebagaimana sabdanya:

‫من جاء مسجدى هذا لم ياته إال لخير يتعلّمه أو يعلّمه فهو بمنزلة المجاهد في سبيل هللا و من جاء لغير ذالك فهو بمنزلة‬
‫ال ّرجل ينظر إلى متاع غيره‬

“Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, yang dia tidak mendatanginya

kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannyua, maka

kedudukannya sama dengan mujahid di jalamn Allah SWT. Dan siapa yang datang

untuk maksud selain itu, maka kedudukannya sama dengan seseorang yang melihat

barang perhiasaan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Rasulullah Saw.

juga bersabda:

‫من خرج فى طلب العل م فهو فى سبيل هللا ح ّتى يرجع‬

“Barangsiapa yang pergi menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah

sampai dia kembali.” (HR. Tirmidzi).11

Rasulullah Saw. juga bersabda:

“Barangsiapa melalui jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan

memudahkan baginya jalan ke surga.”12

Ketiga hadits di atas memberikan keterangan kepada kita, bahwa orang yang

mempelajari ilmu dalam Islam amat sangat mulia, Allah SWT. menyamakan

10
Adnin Armas, Konsep Ilmu dalam Islam, dalam Islamic Worldview, h. 205
11
Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, al-Juz al-Khômis, (Mesir, Syirkatu Maktabatu waMathba’atu Mushthafâ al-
Bâbî al-Halabî, 1975), h. 29.
12
Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, al-Juz al-Khômis, h. 28

5
kedudukan mereka dengan seorang mujahid di medan perang, perjalanannya Allah

yang jamin, dan bahkan kalau seorang penuntut ilmu gugur atau meninggal, maka

jaminannya adalah surga.

Dari beberapa pandangan para sahabat, tabi’ dan tabiin tentang ilmu

sebagaimana dijelaskan di atas tampak, bahwa mereka benar-benar mengaplikasikan

apa-apa yang telah digariskan oleh al-Qur’an dan al-Hadits tentang konsep ilmu

dalam kenyataan dan tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam

konteks sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial yang merupakan bagian dari

masyarakat. Baik dalam hubungannya dengan Allah SWT. secara vertikal maupun

dalam hubungannya dengan manusia secara horizontal.

C. Klasifikasi Ilmu

Materi ilmu dalam al-Qur’an dalam tradisi intelektual Islam klasik abad pertengahan, dapat

dibagi sebagaimana klasifikasi para ulama terdahulu sebagai berikut:

1. Al-Farabi

Al-Farabi13 mengklasifiksikan ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an

meliputi antara lain sebagai berikut :14 a. Ilmu bahasa. b. Logika. c. Sain persiapan;
13
Nama lengkapnya adalah Abu Nasr al-Farabi. Ia lahir pada tahun 258 H/870 M dan meninggal pada tahun 339
H/950 M. Beliau adalah pembangun agung sistem filsafat, ia telah membuktikan diri untuk berfikir dan
merenung, menjauh dari kegiatan politik, gangguan dan kekisruhan masyarakat. Ia telah meninggalkan sejumlah
risalah penting. Karya-karya beliau dapat dibagi menjadi dua, satu di antaranya logika dan lainnya mengenai
bidang lain. Karya-karya tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari Organon-nya Aristoteles, baik
yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagian
besar dari naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedangkan karyakarya kelompok kedua menyangkut berbagai
cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, metafisika, etika, dan politik. Sebagian di antaranya telah
ditemukan, dan hal ini memperjelas berbagai aspek pemikiran filosofis al-farabi. Tetapi sebagian lainnya
meragukan dan kepenulisan tentangnya merupakan masalah kontroversial, seperti dalam Fulus al-Hikam
(Permata Kebijaksanaan) atau al-Mufarriqât (Keterpisahan). Di dalam kelompok ini, studi ilmiah yang
sebenarnya tidak dilakukan; al-Farabi malah tidak menyinggung masalah kedokteran, dan pembahasannya
tentang kimia cendrung sekedar mempertahankan pendapat daripada bentuk dan analisis. Lihat dalam M.M.
Syarif (editor), Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), h. 55- 58.
14
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 135

6
terdiri dari ilmu berhitung, geometri, optika, sain tentang benda-benda samawi seperti

astronomi; ilmu pengukuran (timbangan), ilmu tentang pembuatan instrument-

instrumen, dan lain sebagainya. d. Fisika (ilmu alam) dan metafisika (ilmu tentang

alam di balik alam nyata). Ilmu fisika terdiri dari berbagai jenis ilmu, seperti ilmu-

ilmu yang berkaitan dengan benda alam, dan elemen-elemennya, ciri-ciri dan hukum-

hukumnya, serta faktor-faktor yang merusaknya, tentang reaksi unsur-unsur dalam

benda atau sifat-sifatnya yang membentuk benda itu, ilmu-ilmu mineral, tumbuh-

tumbuhan, dan hewan. e. Sedangkan yang merupakan ilmu metafisika meliputi ilmu

tentang hakikat benda, ilmu tentang sains khusus dan sains pengamatan, ilmu tentang

benda yang tidak berjasad. Ilmu kemasyarakatan terdiri dari jurisprudensi (hukum

atau syariah) dan ilmu retorika (ilmu berpidato).

2. Ibnu Sina.

Ibnu Sina15 membagi atau mengklasifikasikan macam ilmu menjadi dua

macam, yaitu ilmu sementara dan ilmu abadi (hikmah). Ilmu hikmah terdiri dari ilmu

sebagai tujuan dan ilmu sebagai alat atau logika. Ilmu hikmah sebagai tujuan dibagi

dua, yaitu teoritis yang meliputi ilmu tabi’i, matematika, metafisika, dan ilmu

universal. Sedangkan ilmu praktis meliputi ilmu akhlak, kerumahtanggaan, politik,

dan syari’ah.16

3. Imam al-Ghazali.

15
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husayn ibn Abdillah ibn Sina. Ia lahir di Afshanah Buhara tahun 370/980
dan meninggal tahun 429/1073 di Hamadan Persia (Iran). Ia adalah seorang ahli filsafat dan kedokteran (tabib)
dari Persia. Dialah filosof dan dokter di dunia Islam yang paling terkenal. Ibn Sina meninggalkan kurang lebih
267 buku. Tiga di antaranya adalah buku ensiklopedi yang abadi: dua dalam bidang filsafat, yaitu al-Isyârât wa
al-Tanbîhât dan alSyifâ’; satu buku dalam bidang kedokteran, yaitu al-Qonûn fî al-Thibb. Dalam bidang filsafat,
Ibn Sina termasuk segelintir pemikir Muslim yang berupaya mewujudkan salah satu kewajiban yang ditetapkan
oleh Tuhan bahwa akal manusia mesti dipakai untuk memikirkan hal-hal yang ada di alam semesta ini. Dalam
hal metafisika, dia banyak memakai kaidah Aristoteles dan Plato–yang dijelaskan kembali oleh para filosof
Yunani–untuk diterapkan terhadap akidah Islam. Lihat dalam Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam
Sejarah Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h.157
16
Lihat dalam Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 35-36

7
Al-Ghazali17 membagi ilmu ke dalam tiga pendekatan: a. Ilmu dilihat dari segi

sumbernya. Dilihat dari segi sumbernya, ada ilmu yang bersumber dari syariat (Al-

Qur’an dan al-Hadits), dan ilmu yang sumbernya bukan dari syariat.

Ilmu yang bersumber dari syariat terdiri dari ilmu ushûl (ilmu pokok), yaitu

ilmu al-Qur’an, Sunnah Nabi, pendapat sahabat dan ijma, ilmu furu’ (cabang), yaitu

fikih, ilmu bahasa, dan gramatika, serta ilmu pelengkap (mutammiman), yaitu ilmu

qirâat, Makhârij al-Hurûf wa al-Alfâdz, ilmu tafsir, Nasikh dan Mansukh, lafadz

umum dan khusus, lafaz nash dan dzahir, serta biografi dan sejarah perjuangan

sahabat.

Adapun ilmu yang bukan berasal dari syariat, terdiri atas: (1) ilmu terpuji,

yaitu imu kedokteran, ilmu berhitung, dan ilmu perusahaan. Ilmu perusahaan

diperinci menjadi: (a) pokok dan utama, yaitu pertanian, pertenunan, pembangunan,

dan tata pemerintahan; (b) penunjang, yang terdiri dari pertukangan besi dan industry

sandang; (c) pelengkap, yang terdiri dari pengolahan pangan, pertenunan; (2) ilmu

yang diperbolehkan (tidak merugikan), antara lain kebudayaan, sastra, sejarah dan

puisi; dan (3) ilmu yang tercela, yaitu ilmu tenun, sihir, dan bagian tertentu dari

filsafat. b. Dari segi objeknya: (1) ada ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak,

baik sedikit apalagi banyak, seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan

nasib. (2) ilmu pengetahuan yang terpuji baik sedikit apalagi banyak, seperti ilmu

17
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Dia dilahirkan di
desa Ghuzala daerah Thus. Salah satu kota di Khurasan, Persia pada tahun 450 H/1085 M. Sejak kecil hingga
dewasa orang tuanya memberi nama padanya Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Kemudian
setelah menikah dan dikaruniai seorang anak lakilaki yang diberi nama Hamid, maka beliau dipanggil dengan
panggilan akrab Abu Hamid (Bapak si Hamid). Karena kedudukannya yang tinggi dalam Islam, maka dia
digelari dengan ”Hujjatul Islam”. Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam yang sangat produktif, umurnya
yang tidak begitu lama, yakni sekitar 55 tahun dia gunakan untuk berjuang di tengah-tengah masyarakat dan
mengarang berbagai karya ilmiah yang sangat terkenal di seluruh penjuru dunia (Barat dan Timur), sampai-
sampai para orientalis Barat pun juga mengadopsi pemikiran-pemikirannya. Puluhan karya ilmiah yang
ditulisnya meliputi berbagai disiplin keilmuan, mulai filsafat, politik, kalam, fiqih, ushul fiqih, tafsir, tasawuf,
pendidikan dan lain sebagainya. Lihat dalam Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Studi
Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Semarang: Lemkoto, 2002), h. 126. Lihat Juga dalam Abu Muhammad
Iqbal, Konsep Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Madiun: Jaya Star Nine, 2013), h. 1 & 10

8
agama dan ilmu tentang beribadat. (3) ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu

terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti filsafat naturalisme. Karena ilmu-

ilmu tersebut jika diperdalam akan menimbulkan kekacauan pikiran dan keraguan,

yang akhirnya cendrung mendorong manusia kepada kufur dan ingkar. c. Dilihat dari

segi hukum mempelajarinya dalam kaitannya dengan nilai gunanya, dapat

digolongkan kepada: (1) ilmu fardu’ain yang wajib dipelajari oleh setiap individu,

seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya; (2) ilmu fardlu kifayah. Contohnya adalah

ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian, pertenunan, politik, pengobatan tradisional,

dan jahit menjahit.18

4. Ibnu Khaldun.

Ibnu khaldun19 membagi materi ilmu dan tepatnya kurikulum yang perlu

diajarkan kepada siswa atau peserta didik ke dalam tiga kategori sebagaimana berikut:

a. Kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup ilmu

bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah, dan syair. b. Kurikulum sekunder, yaitu mata

kuliah atau mata pelajaran yang menjadi pendukung untuk memahami Islam.

Kurikulum ini meliputi ilmu-ilmu hikmah falsafi, seperti loqika, fisika, metafisika,

dan matematika, yang tergolong dalam al-‘ulûm al- ‘aqlîyah. c. Kurikulum primer,

yaitu mata kuliah atau mata pelajaran yang menjadi inti ajaran Islam. Kurikulum ini

18
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 162-177. Lihat
juga dalam Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Islam
dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 85-93.
19
Ibnu Khaldun dilahirkan pada tanggal 7 Mei 1332 di Tunisia. Oleh ayahnya ia diberi nama Abdur Rahman
Abu Zayd ibn Muhammad Ibn Kahldun. Ia berasal dari kelurga politisi, intelektual, dan aristokrat. Keluarganya
sebelum menyeberang ke Afrika, adalah pemimpin politik di Moorish, Spanyol selama beberapa abad. Latar
belakang keluarga dan situasi saat dilahirkan tampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam
perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya, sedangkan
masa ketika ia hidup yang ditandai oleh jatuh bangunnya dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan
dinasti Abbasiyah memberikan kerangka berfikir dan teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya. Pendidikan
masa kecilnya berlangsung secara tradisoanal. Artinya, ia harus belajar membaca alQur’an. Hadits, Fiqih,
Sastra, dan Nahwu Sharraf dengan sarjana-sarjana terkenal pada waktu itu. Dan karyanya yang monumental,
yaitu Muqaddimah dan kitab Sejarah Alam Semesta. Lihat dalam Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, h.
221- 228

9
meliputi semua bidang al-‘ulûm alnaqlîyah, seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu

qiro’at, ilmu ushul fiqih dan fiqih, ilmu kalam. Tasawwuf, dan lain sebagainya.20

Dari penjelasan di atas tentang klasifikasi ilmu dalam Islam yang telah dilakukan oleh

ulama abab klasik, tepatnya para ulama abad pertengahan tampak, bahwa mereka

benar-benar memadukan antara iman, ilmu dan amal dalam bentuk sangat terintegrasi

antara ketiganya dalam tingkah laku nyata sehari-hari dan sangat jauh dari praktek

dikhotomi, apalagi menceraikan ilmu dengan agama.

D. Objek Ilmu

Dalam Islam terdapat dua alam yang disebutkan dalam al- Qur’an, yaitu alam

non-fisik (‘alam al-ghayb) dan alam fisik atau yang tampak (‘alam al-syaha>dah).

Dalam menjelaskan objek ilmu pengetahuan, para filsuf Muslim memberikan

penjelasan mengenai objek-objek ilmu pengetahuan sesuai dengan status

ontologisnya. Selama ini para filsuf Barat hanya mengakui keberadaan objek yang

memiliki status ontologis yang jelas dan materil, yakni objek-objek fisik. Berbeda

dengan para filsuf Muslim yang mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak

hanya terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga pada entitas non-fisik, seperti konsep-

konsep mental dan metafisika. Meskipun al-Qur’an menyebutkan perbedaaan antara

alam fisik dan metafisik, namun keduanya tidak dapat dipisahkan yang satu dengan

lainnya. Karena tujuan mempelajari alam fisik adalah menunjukkan ilmu tentang alam

metafisik.21

Manusia diberkahi qalb atau hati yang dapat menerima pengalaman tentang alam

metafisik. Mengetahui alam metafisik ini tidak dapat dilakukan secara langsung namun

20
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam : Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2014), h. 212-213.
21
Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), 88-89.

10
harus melalui perantara wahyu. Ilmu tanpa bimbingan wahyu hanya akan menyebabkan

kerusakan. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak bisa terlepas dari wahyu

sebagaimana dinyatakan dalam Surah al- ‘Alaq [96]: 5 bahwa “Dia (Allah SWT)

mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa objek ilmu dalam Islam tidak

semata berkaitan dengan objek fisik atau yang tampak pada indra dan akal manusia.

Namun ia mencakup objek fisik dan metafisik. Oleh karena itu, kebenaran ilmu

kebenaran ilmu atau hal-hal yang mengandung nilai ilmiah dalam Islam, tidak hanya

yang bisa diverifikasi atau difalsifikasi oleh fakta empiris dan dirasionalkan melalui

eksperimen atau logika semata.

Islam menegaskan bahwa semua ilmu datang dari Allah SWT. Klasifikasi ilmu

pengetahuan yang telah diberikan oleh para ahli filsafat, pakar, dan orang bijaksana,

khususnya para ahli sufi dapat diterima seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Hazm,

Imam al-Ghazali, dan al-Suyuti. Al-Attas juga mengakui kebenaran klasifikasi ilmu

yang mereka berikan.22 Pada hakikatnya terdapat kesatuan di balik hierarki semua

ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan pendidikan seorang Muslim. Ilmu dapat

dikategorikan berdasarkan keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang ditempuh

mereka untuk memperolehnya dan pengategorian tertentu itu melambangkan usaha

manusia untuk melakukan keadilan terhadap setiap bidang ilmu pengetahuan.23

E. Sumber Ilmu dan Cara Memperolehnya

Sudah disinggung di awal, bahwa objek ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada

kajian fisik empiris saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan epistemologi Barat Modern.

Hal ini berimplikasi pada sumber atau saluran dari ilmu dalam Islam yang mempunyai

22
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Petaling Jaya: ABIM, 1980), 44.
23
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 140-141.

11
perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat. Jikalau Barat hanya mengakui indra dan

rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya, maka dalam pandangan filsuf Muslim, ilmu

yang datang dari Tuhan dapat diperoleh melalui 3 cara: indra yang sehat, laporan yang

benar, dan intelek.

Pertama, indra yang sehat (h}awa>s sali>mah) terdiri dari dua bagian,

yaitu panca indra eksternal dan internal. Panca indra eksternal terdiri dari peraba

(touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing), dan penglihatan

(sight). Sedangkan panca indra internal adalah akal sehat (common sense/ al-h}iss al-

musytarak), indra representatif (al-khayal> iyyah), indra estimatif (al-wahmiyyah),

indra retentif rekolektif (al-h}a>fiz}ah al-s}a>diq), dan indra imajinatif (al-

mutakhayyilah). 24

Kedua, laporan yang benar (al-khabar al-s}a>diq) berdasarkan otoritas

yang terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu yang dibawa oleh Nabi SAW

berdasarkan wahyu dari al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.25 Contoh dari

otoritas mutlak adalah seperti otoritas ketuhanan, al-Qur’an, otoritas kenabian, serta

otoritas nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang-orang yang

terpercaya secara umum.26 Ketiga, intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu

akal sehat (sound reason/ ratio), dan ilham (intuition).27Sebagai penjelasan bahwa

Islam tidak pernah mengecilkan peranan indra, yang dasarnya merupakan saluran

yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas

empiris. Dalam hal ini metode yang bersangkutan dengan indra disebut dengan

tajribi (eksperimen atau observasi) bagi objek- objek fisik (mah}su>sa>t). 28


Metode

24
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena…, h. 151-154.
25
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and The Philosophy..., h. 12-13.
26
Adi Setia, “Epistemologi Islam menurut al-Attas, Satu Uraian Ringkas”, dalam Islamia, Tahun 1 No. 6,
September 2005, h. 54.
27
Ibid. h. 54.
28
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu..., h. 132.

12
observasi ini biasanya mengguna- kan sumber pengetahuan panca indra. Namun,

terkadang indra tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan. Demikian pula

pikiran, sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan saluran penting yang

dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jelas, yaitu perkara-

perkara yang bisa dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa

dicerap dengan indra. Akal bukan hanya rasio, ia adalah mental logika.29

Sedangkan metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut dengan ‘irfan>

i atau dzauqi. Metode ini adalah langsung dari Tuhan tidak melalui perantara,

sehingga disebut dengan muka>s yafah langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia

tentang rahasia-rahasia dari realitas yang ada. Dalam hal ini, para filsuf dan sufi

menyebut metode ini dengan ‘ilm hu} du>r}.i. Di sini objek yang diteliti dikatakan hadir

dalam diri atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara subjek dan

objek.30 Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap

bahwa intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan

pikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi.

Menurut al-Attas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak bisa dikomunikasikan,

tetapi pemahaman mengenai kandungan- nya atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya

bisa ditrans- formasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah adalah

yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan

yang tertinggi dialami oleh para nabi. Menurut Iqbal, dari intuisi mengenai sesuatu yang

ada di luar dirinya, akhirnya bisa mengalami intuisi mengenai Allah. Sebuah

pandangan yang disepakati oleh al-Attas karena kesesuaiannya dengan hadis Nabi

SAW, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya”.31

29
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik..., h. 159.

30
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu..., h. 54.
31
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik..., h. 160

13
F. Hubungan Sains, Filsafat, dan Agama

Banyak sumber yang bisa dibaca untuk menelusuri hubung- an antara sains,

filsafat, dan agama. Bahkan, saat ini sedang marak diperbincangkan masalah

keterkaitan dan hubungan antara ketiga hal di atas, baik itu oleh ilmuwan Islam,

maupun Barat. Hal ini dikarenakan adanya berbagai krisis multi dimensional yang

diakibat- kan hegemoni sains modern Barat yang menjadikan sains hanya meliputi

dunia fisik dan alam raya ini. Dengan keangkuhannya, sains modern telah

memperlakukan alam dengan semena-mena, dan agama telah ditiadakan.32 Maka ada

kecenderungan masa kini untuk menemukan solusi bagi krisis tersebut dengan

kembali mem- pertanyakan hubungan antara sains, filsafat, dan agama.

Jika ditelusuri, pada awalnya antara ketiga hal di atas bersatu dalam satu

kesatuan, yaitu ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengemukakan

bahwa ilmu yang terdiri dari dua bagian, yaitu ‘aqliyyah dan naqliyyah,

merupakan kesatuan yang bersumber pada yang satu. Keduanya menyingkap

berbagai ayat atau tanda keberadaan-Nya. Para ilmuwan Muslim terdahulu, seperti

Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Nashiruddin al-Thusi, dan

lainnya juga tidak pernah memper- masalahkan ketiganya pada level pertentangan.

Bahkan tidak jarang ketika hal tersebut bersatu pada satu sosok ilmuwan Muslim.

G. Dewesternisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Salah satu tantangan pemikiran Islam kontemporer yang dihadapi kaum

Muslimin saat ini adalah problem ilmu. Sebabnya, peradaban Barat yang

mendominasi peradaban dunia saat ini telah menjadikan ilmu sebagai problematis.

32
Seperti yang dijelaskan oleh para filsuf postivisme bahwa agama adalah tidak ada artinya dan tidak
berguna. Lihat Mahmud Utsman, al-Fikr al-Ma>di> al-H{adi>ts wa Mawqif al-Isla>m Minhu, (Kairo: Da>r al-
Isla>miyyah, Cet. 2, 1984), h. 79-110.

14
Selain telah salahmemahami makna ilmu, peradaban tersebut telah

menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun peradaban Barat modern telah

menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun, tidak dapat dinafikan bahwa peradaban

tersebut juga telah menghasilkan ilmu yang telah merusak khususnya kehidupan

spiritual manusia. Epistemologi Barat bersumber kepada akal dan pancaindera.

Konsekwensinya, berbagai aliran pemikiran sekular seperti rasionalisme,

empirisme, skeptisisme, relatifisme, ateisme, agnotisme, humanisme, sekularisme,

eksistensialisme, materialisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme mewarnai

peradaban Barat modern dan kontemporer. Westernisasi ilmu telah menceraikan

hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan, sekaligus telah melenyapkan Wahyu

sebagai sumber ilmu. Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas,

Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu

telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah,’ menjadikan

keraguan sebagai alat epistemology yang sah dalam keilmuan, menolak Wahyu dan

kepercayaan agama dalam ruang lingkup keilmuan dan menjadikan spekulasi filosofis

yang terkait dengan kehidupan yang secular.33

H. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Ilmu pengetahuan modern yang saat ini dihasilkan oleh peradaban Barat

tidak sertamerta harus diterapkan di dunia Muslim. Sebabnya, ilmu bukan bebasnilai

(valuefree), tetapi sarat nilai (value laden).34 Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat

halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu

kebudayaan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari terdapatnya persamaan

antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu,

kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme

33
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 134.
34
ibid. h. 134.

15
dan pragmatism sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains.

Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam

pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam

Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir

berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.35

Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat

sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat

pandang rasionalisme dan empirisesme. Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap

satusatunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge).

Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya,

kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan

zaman. Tanpa Wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini

yang dianggap satusatunya realitas.

Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah agama yang

mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah

mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga

sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa.

Jadi, Islam memiliki pandanganhidup mutlaknya sendiri, merangkum persoalan

ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran

ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide

dekonsekrasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak.

35
ibid. h. 135.

16
Daftar Pustaka

Abdu al-Rahmân bin Nâshir bin Abdullah al-Sa'dî. 2000. Taisîru al-Karîmu al-Rahman fîe
Tafsîri Kalâmi al-Mannan. T.tt: Muassasatu al-Risâlah.

Abu al-Fidâ’ Isma’îl Ibnu ‘Umar Ibnu Katsîr al-Qurasyî al-Basharî, 1999. Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Adhîm, al- Juz al-Râbi’. Ttt: Dâru Thayyibah.

Ahmad Amin, Husayn. 2001. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Ahmad Syalabî, Muwassa’ah al-Hdhârah al-Islâmîyah,: Al-Manâhij alIslâmîyah, al-Fikru al-


Islâmîyah, al-Siyâsah fî al-Fikri al-Islâmîyah.

17
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur:
ISTAC. Edisi kedua.

_____. 1989. Islam and the Philosophy of Science. Kuala Lumpur: ISTAC.

. 2001. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the


Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

. 1980. The Concept of Education in Islam. Petaling Jaya: ABIM. Al-Faruqi,


Ismail
Raji. 1995. Islamisasi Pengetahuan. Terj. Anas Mahyudin. Bandung:
Penerbit
Pustaka.

Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, jilid I. Beirût: Dâru al-Khoir, 1993.

Armas, Adnin. Konsep Ilmu dalam Islam, dalam Islamic Worldview.

Arifin, M. 2011. Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan
Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.

Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî. 1975. al-Juz al-Khômis. Mesir, Syirkatu Maktabatu


waMathba’atu Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî.

Husaini, Adian. 2013. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani
Press.

Jalâluddin Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad al-Mahallî dan Jalâluddin ‘Abdur
Rahman Ibnu Abî Bakar al-Suyuthî. Tafsîru al-Jalâlain, al-Juz al-Awwal, Al-
Qâhirah:
Dâru al-Hadîts.

Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistik.


Bandung:
Mizan.

Muhammad Iqbal, Abu. 2013. Konsep Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan. Madiun:
Jaya Star Nine.

Nâshir al-Dîn Abû Sa’îd Abdullah ibn Umar ibn Muhammad al-Syairâzî al-Baidhâwî. 1418.
Anwâr al-Tanzîl wa Asrâru al-Ta’wîl, al-Juz al-Tsânî. Beirût: Dâru Ihyâ al-
Turâts al-
‘Arabî.

Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam, 2011. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nurhayati, Anin . 2010. Kurikulum Inovasi. Yogyakarta: Teras.

18
Setia, Adi. Tahun 1 No. 6, September 2005.. “Epistemologi Islam menurut al-Attas, Satu
Uraian
Ringkas”, dalam Islamia.

Suharto, Toto.2014. Filsafat Pendidikan Islam : Menguatkan Epistemologi Islam dalam


Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Shihab, M. Quraish. 2003. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas


Berbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan. Cet. XIII.

Syarif, M.M. (editor), 1996. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.

Umar, Bukhari. 2014. Pendidikan dalam Perspekitf Hadis. Jakarta: Amzah.

Wan Daud, Wan Mohd. Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
Mohd.
Naquib al-Attas, Terj. Hamid Fahmy, dkk. Bandung: Mizan.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2004. “Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Postmodern”,

19

Anda mungkin juga menyukai