Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
Oleh:
Sadan
NPM : 223101013264
Segala puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan nikmatnya. Dan shalawat serta salam yang selalu tercurah kepada
junjungan kita nabi Muhammad SAW, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
dalam rangka melaksanakan tugas mata Filsafat Ilmu. Makalah ini dibuat dengan menyajikan
Filsafat Ilmu yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan sehingga tugas ini dapat
selesai.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Karena evaluasi, pendapat serta kritik dan saran akan penyusun terima guna
lebih baik dimasa akan datang. Penyusun berharap semoga penyusunan makalah ini dapat
bermanfaat.
Sadan
i
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan ..............................................................................................................1
ii
A. Pendahuluan
manusia, baik di dunia dan di akhirat. Allah telah mengajarkan kepada adam dan
tugasnya dalam kehidupan ini, baik tugas sebagai khalifah maupun tugas ubudiah.
dapat meninjau dan menganalisa segala pengalaman yang didapati oleh umat yang
lalu, baik yang berhubungan dengan ‘aqidah dan ibadah, baik yang berhubungan
dengan soal-soal keduniaan dan segala kebutuhan hidup. Dalam hadits dijelaskan
bahwa menuntut ilmu dengan niatnya untuk mencari ridha Allah Swt.1
Dalam Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sangat penting dalam
kehidupan manusia, terutama orang yang beriman. Tanpa ilmu pengetahuan, seorang
mukmin tidak dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik menurut ukuran ajaran
Islam. Apabila ada orang yang mengaku beriman tetapi tidak mau mencari ilmu, maka
akan masuk ke dalam neraka. Karena pentingnya ilmu pengetahuan itu, Rasulullah
Islam adalah agama yang integral, komprehensip dan mengatur semua aspek
kehidupan. Maka dari itu, Islam adalah the way of life. Islam memandang ilmu
sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan agama. Begitu juga, bahwa ilmu
1
Bukhari Umar, Pendidikan dalam Perspekitf Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 5.
2
Ibid, h. 11.
1
dalam Islam adalah bagian yang integral atau inheren dengan ibadah. Karena ibadah
tanpa ilmu tidak akan diterima, sedangkan ilmu tanpa ibadah adalah ibarat pohon
yang tidak berbuah. Untuk itu, al-Qur’an dengan sangat gamblang menjelaskan hal
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
Ibnu Mas’ud berkata dalam menafsirkan ayat ini, bahwa Allah SWT. telah
menerangkan kepada kita bahwa dalam al-Qur’an diterangkan semua ilmu dan segala
sesuatu. Sedangkan Mujahid menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, bahwa maksud
ayat ini adalah semua yang halal dan haram. Kemudian Ibnu Katsir berkata, bahwa
perkataan Ibnu Mas’ud lebih umum dan lengkap, karena sesungguhnya al-Qur’an
mencakup segala ilmu nafi’ baik dari berita-berita yang telah lalu, dan ilmu-ilmu yang
akan datang, dan hukum setiap yang halal dan haram, dimana manusia
Perkataan Ibnu Mas’ud diatas, bahwa Allah SWT. telah menerangkan kepada
kita dalam al-Qur’an semua ilmu dan segala sesuatu, menunjukkan bahwa Islam
mengatur segala aspek kehidupan, baik dunia maupun akherat secara seimbang dan
integral. Islam mengatur semua aspek kehidupan yang berkenaan dengan pendidikan,
politik, ekonomi dan lain sebagainya. Itulah Syumûlatul Islâm yang integral dan non
dikhotomik. Fakta-fakta di atas sesuai dengan apa yang diproklamirkan Islam pertama
kali dalam sejarah kemanusian bahwa ilmu pengetahuan menyangkut semua aspek.
3
Abu al-Fidâ’ Isma’îl Ibnu ‘Umar Ibnu Katsîr al-Qurasyî al-Basharî, Tafsîr al-Qur’ân al- ‘Adhîm, al- Juz al-
Râbi’, (Ttt: Dâru Thayyibah, 1999), h. 594
2
Dan maksud ilmu di sini bukan hanya ilmu-ilmu keislaman saja, sebagaimana sabda
Rasulullah Saw,
Dan tidaklah ke negeri Cina untuk menuntut ilmu-ilmu keislaman, akan tetapi
maksud hadits di atas adalah meskipun jarak tempuk yang jauh dari rumah, dan jenis
Begitu juga, Islam sangat menghargai ilmu dan meletakkannya pada posisi
yang sangat istimewa. Untuk itu, dalam banyak ayat Allah SWT. berfirman agar
kaum muslimin memiliki ilmu. Keistimewaan tersebut tampak sekali dari banyaknya
ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang memerintahkan supaya mendalami ilmu. 6 Seperti
ِ هَلْ يَ ْست َِوى الَّ ِذ ْينَ يَ ْعلَ ُموْ نَ َوالَّ ِذ ْينَ اَل يَ ْعلَ ُموْ نَ ۗ اِنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر اُولُوا ااْل َ ْلبَا
ب
yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
antara orang-orang yang berilmu dan tidak berilmu tidak akan pernah sama seperti
tidak samanya antara orang berilmu dan orang bodoh.7 Allah SWT. juga berfirman:
4
Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, jilid I, (Beirût: Dâru al-Khoir, 1993), h. 16
5
Ahmad Syalabî, Mausû’ah al-Hadhârah al-Islâmîyah,: Al-Manâhij al-Islâmîyah, al-Fikru alIslâmîyah, al-
Siyâsah fî al-Fikri al-Islâmîyah, Juz 1-3, (Al-Qôhiroh: Maktabah al-Nahdhah alMisyrîyah), h. 57-58. Lebih
lanjut beliau mengatakan bahwa Islam menaruh konsen yang sangat besar terhadap pendidikan. Konsep
pendidikan bagi umat Islam mencakup filsafat pendidikan sebagaimana juga mencakup sistem dan metode
pengajaran, peradaban Islam dan kekayaan besar di bidang pendidikan, Pendidikan Islam memperhatikan dalam
lingkup ini dari sejak buaian sampai ke liang lahat (kubur), di sana juga ada etika dan ilmu pengetahuan untuk
setiap generasi ke generasi. Lihat dalam Ahmad Syalabî, Muwassa’ah al-Hdhârah al-Islâmîyah,: Al-Manâhij
alIslâmîyah, al-Fikru al-Islâmîyah, al-Siyâsah fî al-Fikri al-Islâmîyah, h. 57-58.
6
Adnin Armas, Konsep Ilmu dalam Islam, dalam Islamic Worldview, h. 204
7
Jalâluddin Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad al-Mahallî dan Jalâluddin ‘Abdur Rahman Ibnu Abî
Bakar al-Suyuthî, Tafsîru al-Jalâlain, al-Juz al-Awwal, (Al-Qâhirah: Dâru alHadîts, tt), h. 60
3
ت َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ خَ بِيْر
ٍ ۗ يَرْ فَ ِع هّٰللا ُ الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ِم ْن ُك ۙ ْم َوالَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِع ْل َم َد َر ٰج
orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
Begitu juga dalam ayat lain Allah SWT. berfirman: Al-Sa’dî mengatakan
dalam menafsirkan ayat ini, bahwa Allah SWT. mengangkat ahli ilmu dan orang-
orang yang beriman beberapa derajat sesuai dengan yang dikhususkan Allah SWT.
dan takwanya kepada Allah SWT.) karena kamu selalu mengajarkan al kitab dan
Allah SWT. Dialah Tuhan Yang Maha sempurna dalam ilmu dan amal. Hal itu
Untuk itu dapat dikatakan, bahwa konsep ilmu dalam Islam landasannya
adalah iman yang kokoh, dan dari keimanan tersebut akan melahirkan amal yang
didasarkan kepada ilmu dan iman. Dalam Islam tidak dikenal ilmu untuk ilmu, tetapi
ilmu yang dibingkai hanya dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT. Secara singkat
8
Abdu al-Rahmân bin Nâshir bin Abdullah al-Sa'dî, Taisîru al-Karîmu al-Rahman fîe Tafsîri Kalâmi al-
Mannan, (T.tt: Muassasatu al-Risâlah, 2000), h. 846
9
Nâshir al-Dîn Abû Sa’îd Abdullah ibn Umar ibn Muhammad al-Syairâzî al-Baidhâwî, Anwâr al-Tanzîl wa
Asrâru al-Ta’wîl, al-Juz al-Tsânî (Beirût: Dâru Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, 1418), h. 25
4
dapat dikatakan, bahwa dalam Islam iman, ilmu dan amal tidak dapat diceraikan dan
dipisahkan.
ilmu juga terdapat dalam banyak Hadits. Bahkan Rasulullah Saw. mengatakan, bahwa
orang yang mempelajari ilmu, maka kedudukannya seperti seorang yang sedang
من جاء مسجدى هذا لم ياته إال لخير يتعلّمه أو يعلّمه فهو بمنزلة المجاهد في سبيل هللا و من جاء لغير ذالك فهو بمنزلة
ال ّرجل ينظر إلى متاع غيره
kedudukannya sama dengan mujahid di jalamn Allah SWT. Dan siapa yang datang
untuk maksud selain itu, maka kedudukannya sama dengan seseorang yang melihat
barang perhiasaan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Rasulullah Saw.
juga bersabda:
“Barangsiapa yang pergi menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah
Ketiga hadits di atas memberikan keterangan kepada kita, bahwa orang yang
mempelajari ilmu dalam Islam amat sangat mulia, Allah SWT. menyamakan
10
Adnin Armas, Konsep Ilmu dalam Islam, dalam Islamic Worldview, h. 205
11
Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, al-Juz al-Khômis, (Mesir, Syirkatu Maktabatu waMathba’atu Mushthafâ al-
Bâbî al-Halabî, 1975), h. 29.
12
Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, al-Juz al-Khômis, h. 28
5
kedudukan mereka dengan seorang mujahid di medan perang, perjalanannya Allah
yang jamin, dan bahkan kalau seorang penuntut ilmu gugur atau meninggal, maka
Dari beberapa pandangan para sahabat, tabi’ dan tabiin tentang ilmu
apa-apa yang telah digariskan oleh al-Qur’an dan al-Hadits tentang konsep ilmu
dalam kenyataan dan tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
konteks sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial yang merupakan bagian dari
masyarakat. Baik dalam hubungannya dengan Allah SWT. secara vertikal maupun
C. Klasifikasi Ilmu
Materi ilmu dalam al-Qur’an dalam tradisi intelektual Islam klasik abad pertengahan, dapat
1. Al-Farabi
meliputi antara lain sebagai berikut :14 a. Ilmu bahasa. b. Logika. c. Sain persiapan;
13
Nama lengkapnya adalah Abu Nasr al-Farabi. Ia lahir pada tahun 258 H/870 M dan meninggal pada tahun 339
H/950 M. Beliau adalah pembangun agung sistem filsafat, ia telah membuktikan diri untuk berfikir dan
merenung, menjauh dari kegiatan politik, gangguan dan kekisruhan masyarakat. Ia telah meninggalkan sejumlah
risalah penting. Karya-karya beliau dapat dibagi menjadi dua, satu di antaranya logika dan lainnya mengenai
bidang lain. Karya-karya tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari Organon-nya Aristoteles, baik
yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagian
besar dari naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedangkan karyakarya kelompok kedua menyangkut berbagai
cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, metafisika, etika, dan politik. Sebagian di antaranya telah
ditemukan, dan hal ini memperjelas berbagai aspek pemikiran filosofis al-farabi. Tetapi sebagian lainnya
meragukan dan kepenulisan tentangnya merupakan masalah kontroversial, seperti dalam Fulus al-Hikam
(Permata Kebijaksanaan) atau al-Mufarriqât (Keterpisahan). Di dalam kelompok ini, studi ilmiah yang
sebenarnya tidak dilakukan; al-Farabi malah tidak menyinggung masalah kedokteran, dan pembahasannya
tentang kimia cendrung sekedar mempertahankan pendapat daripada bentuk dan analisis. Lihat dalam M.M.
Syarif (editor), Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), h. 55- 58.
14
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 135
6
terdiri dari ilmu berhitung, geometri, optika, sain tentang benda-benda samawi seperti
instrumen, dan lain sebagainya. d. Fisika (ilmu alam) dan metafisika (ilmu tentang
alam di balik alam nyata). Ilmu fisika terdiri dari berbagai jenis ilmu, seperti ilmu-
ilmu yang berkaitan dengan benda alam, dan elemen-elemennya, ciri-ciri dan hukum-
benda atau sifat-sifatnya yang membentuk benda itu, ilmu-ilmu mineral, tumbuh-
tumbuhan, dan hewan. e. Sedangkan yang merupakan ilmu metafisika meliputi ilmu
tentang hakikat benda, ilmu tentang sains khusus dan sains pengamatan, ilmu tentang
benda yang tidak berjasad. Ilmu kemasyarakatan terdiri dari jurisprudensi (hukum
2. Ibnu Sina.
macam, yaitu ilmu sementara dan ilmu abadi (hikmah). Ilmu hikmah terdiri dari ilmu
sebagai tujuan dan ilmu sebagai alat atau logika. Ilmu hikmah sebagai tujuan dibagi
dua, yaitu teoritis yang meliputi ilmu tabi’i, matematika, metafisika, dan ilmu
dan syari’ah.16
3. Imam al-Ghazali.
15
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husayn ibn Abdillah ibn Sina. Ia lahir di Afshanah Buhara tahun 370/980
dan meninggal tahun 429/1073 di Hamadan Persia (Iran). Ia adalah seorang ahli filsafat dan kedokteran (tabib)
dari Persia. Dialah filosof dan dokter di dunia Islam yang paling terkenal. Ibn Sina meninggalkan kurang lebih
267 buku. Tiga di antaranya adalah buku ensiklopedi yang abadi: dua dalam bidang filsafat, yaitu al-Isyârât wa
al-Tanbîhât dan alSyifâ’; satu buku dalam bidang kedokteran, yaitu al-Qonûn fî al-Thibb. Dalam bidang filsafat,
Ibn Sina termasuk segelintir pemikir Muslim yang berupaya mewujudkan salah satu kewajiban yang ditetapkan
oleh Tuhan bahwa akal manusia mesti dipakai untuk memikirkan hal-hal yang ada di alam semesta ini. Dalam
hal metafisika, dia banyak memakai kaidah Aristoteles dan Plato–yang dijelaskan kembali oleh para filosof
Yunani–untuk diterapkan terhadap akidah Islam. Lihat dalam Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam
Sejarah Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h.157
16
Lihat dalam Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 35-36
7
Al-Ghazali17 membagi ilmu ke dalam tiga pendekatan: a. Ilmu dilihat dari segi
sumbernya. Dilihat dari segi sumbernya, ada ilmu yang bersumber dari syariat (Al-
Qur’an dan al-Hadits), dan ilmu yang sumbernya bukan dari syariat.
Ilmu yang bersumber dari syariat terdiri dari ilmu ushûl (ilmu pokok), yaitu
ilmu al-Qur’an, Sunnah Nabi, pendapat sahabat dan ijma, ilmu furu’ (cabang), yaitu
fikih, ilmu bahasa, dan gramatika, serta ilmu pelengkap (mutammiman), yaitu ilmu
qirâat, Makhârij al-Hurûf wa al-Alfâdz, ilmu tafsir, Nasikh dan Mansukh, lafadz
umum dan khusus, lafaz nash dan dzahir, serta biografi dan sejarah perjuangan
sahabat.
Adapun ilmu yang bukan berasal dari syariat, terdiri atas: (1) ilmu terpuji,
yaitu imu kedokteran, ilmu berhitung, dan ilmu perusahaan. Ilmu perusahaan
diperinci menjadi: (a) pokok dan utama, yaitu pertanian, pertenunan, pembangunan,
dan tata pemerintahan; (b) penunjang, yang terdiri dari pertukangan besi dan industry
sandang; (c) pelengkap, yang terdiri dari pengolahan pangan, pertenunan; (2) ilmu
yang diperbolehkan (tidak merugikan), antara lain kebudayaan, sastra, sejarah dan
puisi; dan (3) ilmu yang tercela, yaitu ilmu tenun, sihir, dan bagian tertentu dari
filsafat. b. Dari segi objeknya: (1) ada ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak,
baik sedikit apalagi banyak, seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan
nasib. (2) ilmu pengetahuan yang terpuji baik sedikit apalagi banyak, seperti ilmu
17
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Dia dilahirkan di
desa Ghuzala daerah Thus. Salah satu kota di Khurasan, Persia pada tahun 450 H/1085 M. Sejak kecil hingga
dewasa orang tuanya memberi nama padanya Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Kemudian
setelah menikah dan dikaruniai seorang anak lakilaki yang diberi nama Hamid, maka beliau dipanggil dengan
panggilan akrab Abu Hamid (Bapak si Hamid). Karena kedudukannya yang tinggi dalam Islam, maka dia
digelari dengan ”Hujjatul Islam”. Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam yang sangat produktif, umurnya
yang tidak begitu lama, yakni sekitar 55 tahun dia gunakan untuk berjuang di tengah-tengah masyarakat dan
mengarang berbagai karya ilmiah yang sangat terkenal di seluruh penjuru dunia (Barat dan Timur), sampai-
sampai para orientalis Barat pun juga mengadopsi pemikiran-pemikirannya. Puluhan karya ilmiah yang
ditulisnya meliputi berbagai disiplin keilmuan, mulai filsafat, politik, kalam, fiqih, ushul fiqih, tafsir, tasawuf,
pendidikan dan lain sebagainya. Lihat dalam Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Studi
Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Semarang: Lemkoto, 2002), h. 126. Lihat Juga dalam Abu Muhammad
Iqbal, Konsep Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Madiun: Jaya Star Nine, 2013), h. 1 & 10
8
agama dan ilmu tentang beribadat. (3) ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu
terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti filsafat naturalisme. Karena ilmu-
ilmu tersebut jika diperdalam akan menimbulkan kekacauan pikiran dan keraguan,
yang akhirnya cendrung mendorong manusia kepada kufur dan ingkar. c. Dilihat dari
digolongkan kepada: (1) ilmu fardu’ain yang wajib dipelajari oleh setiap individu,
seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya; (2) ilmu fardlu kifayah. Contohnya adalah
4. Ibnu Khaldun.
Ibnu khaldun19 membagi materi ilmu dan tepatnya kurikulum yang perlu
diajarkan kepada siswa atau peserta didik ke dalam tiga kategori sebagaimana berikut:
a. Kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup ilmu
bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah, dan syair. b. Kurikulum sekunder, yaitu mata
kuliah atau mata pelajaran yang menjadi pendukung untuk memahami Islam.
Kurikulum ini meliputi ilmu-ilmu hikmah falsafi, seperti loqika, fisika, metafisika,
dan matematika, yang tergolong dalam al-‘ulûm al- ‘aqlîyah. c. Kurikulum primer,
yaitu mata kuliah atau mata pelajaran yang menjadi inti ajaran Islam. Kurikulum ini
18
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 162-177. Lihat
juga dalam Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Islam
dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 85-93.
19
Ibnu Khaldun dilahirkan pada tanggal 7 Mei 1332 di Tunisia. Oleh ayahnya ia diberi nama Abdur Rahman
Abu Zayd ibn Muhammad Ibn Kahldun. Ia berasal dari kelurga politisi, intelektual, dan aristokrat. Keluarganya
sebelum menyeberang ke Afrika, adalah pemimpin politik di Moorish, Spanyol selama beberapa abad. Latar
belakang keluarga dan situasi saat dilahirkan tampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam
perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya, sedangkan
masa ketika ia hidup yang ditandai oleh jatuh bangunnya dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan
dinasti Abbasiyah memberikan kerangka berfikir dan teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya. Pendidikan
masa kecilnya berlangsung secara tradisoanal. Artinya, ia harus belajar membaca alQur’an. Hadits, Fiqih,
Sastra, dan Nahwu Sharraf dengan sarjana-sarjana terkenal pada waktu itu. Dan karyanya yang monumental,
yaitu Muqaddimah dan kitab Sejarah Alam Semesta. Lihat dalam Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, h.
221- 228
9
meliputi semua bidang al-‘ulûm alnaqlîyah, seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu
qiro’at, ilmu ushul fiqih dan fiqih, ilmu kalam. Tasawwuf, dan lain sebagainya.20
Dari penjelasan di atas tentang klasifikasi ilmu dalam Islam yang telah dilakukan oleh
ulama abab klasik, tepatnya para ulama abad pertengahan tampak, bahwa mereka
benar-benar memadukan antara iman, ilmu dan amal dalam bentuk sangat terintegrasi
antara ketiganya dalam tingkah laku nyata sehari-hari dan sangat jauh dari praktek
D. Objek Ilmu
Dalam Islam terdapat dua alam yang disebutkan dalam al- Qur’an, yaitu alam
non-fisik (‘alam al-ghayb) dan alam fisik atau yang tampak (‘alam al-syaha>dah).
ontologisnya. Selama ini para filsuf Barat hanya mengakui keberadaan objek yang
memiliki status ontologis yang jelas dan materil, yakni objek-objek fisik. Berbeda
dengan para filsuf Muslim yang mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak
hanya terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga pada entitas non-fisik, seperti konsep-
alam fisik dan metafisik, namun keduanya tidak dapat dipisahkan yang satu dengan
lainnya. Karena tujuan mempelajari alam fisik adalah menunjukkan ilmu tentang alam
metafisik.21
Manusia diberkahi qalb atau hati yang dapat menerima pengalaman tentang alam
metafisik. Mengetahui alam metafisik ini tidak dapat dilakukan secara langsung namun
20
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam : Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2014), h. 212-213.
21
Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), 88-89.
10
harus melalui perantara wahyu. Ilmu tanpa bimbingan wahyu hanya akan menyebabkan
kerusakan. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak bisa terlepas dari wahyu
sebagaimana dinyatakan dalam Surah al- ‘Alaq [96]: 5 bahwa “Dia (Allah SWT)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa objek ilmu dalam Islam tidak
semata berkaitan dengan objek fisik atau yang tampak pada indra dan akal manusia.
Namun ia mencakup objek fisik dan metafisik. Oleh karena itu, kebenaran ilmu
kebenaran ilmu atau hal-hal yang mengandung nilai ilmiah dalam Islam, tidak hanya
yang bisa diverifikasi atau difalsifikasi oleh fakta empiris dan dirasionalkan melalui
Islam menegaskan bahwa semua ilmu datang dari Allah SWT. Klasifikasi ilmu
pengetahuan yang telah diberikan oleh para ahli filsafat, pakar, dan orang bijaksana,
khususnya para ahli sufi dapat diterima seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Hazm,
Imam al-Ghazali, dan al-Suyuti. Al-Attas juga mengakui kebenaran klasifikasi ilmu
yang mereka berikan.22 Pada hakikatnya terdapat kesatuan di balik hierarki semua
ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan pendidikan seorang Muslim. Ilmu dapat
Sudah disinggung di awal, bahwa objek ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada
kajian fisik empiris saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan epistemologi Barat Modern.
Hal ini berimplikasi pada sumber atau saluran dari ilmu dalam Islam yang mempunyai
22
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Petaling Jaya: ABIM, 1980), 44.
23
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 140-141.
11
perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat. Jikalau Barat hanya mengakui indra dan
rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya, maka dalam pandangan filsuf Muslim, ilmu
yang datang dari Tuhan dapat diperoleh melalui 3 cara: indra yang sehat, laporan yang
Pertama, indra yang sehat (h}awa>s sali>mah) terdiri dari dua bagian,
yaitu panca indra eksternal dan internal. Panca indra eksternal terdiri dari peraba
(sight). Sedangkan panca indra internal adalah akal sehat (common sense/ al-h}iss al-
mutakhayyilah). 24
yang terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu yang dibawa oleh Nabi SAW
berdasarkan wahyu dari al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.25 Contoh dari
otoritas mutlak adalah seperti otoritas ketuhanan, al-Qur’an, otoritas kenabian, serta
otoritas nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang-orang yang
terpercaya secara umum.26 Ketiga, intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu
akal sehat (sound reason/ ratio), dan ilham (intuition).27Sebagai penjelasan bahwa
Islam tidak pernah mengecilkan peranan indra, yang dasarnya merupakan saluran
empiris. Dalam hal ini metode yang bersangkutan dengan indra disebut dengan
24
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena…, h. 151-154.
25
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and The Philosophy..., h. 12-13.
26
Adi Setia, “Epistemologi Islam menurut al-Attas, Satu Uraian Ringkas”, dalam Islamia, Tahun 1 No. 6,
September 2005, h. 54.
27
Ibid. h. 54.
28
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu..., h. 132.
12
observasi ini biasanya mengguna- kan sumber pengetahuan panca indra. Namun,
dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jelas, yaitu perkara-
perkara yang bisa dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa
dicerap dengan indra. Akal bukan hanya rasio, ia adalah mental logika.29
Sedangkan metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut dengan ‘irfan>
i atau dzauqi. Metode ini adalah langsung dari Tuhan tidak melalui perantara,
sehingga disebut dengan muka>s yafah langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia
tentang rahasia-rahasia dari realitas yang ada. Dalam hal ini, para filsuf dan sufi
menyebut metode ini dengan ‘ilm hu} du>r}.i. Di sini objek yang diteliti dikatakan hadir
dalam diri atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara subjek dan
objek.30 Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap
bahwa intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan
tetapi pemahaman mengenai kandungan- nya atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya
bisa ditrans- formasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah adalah
yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan
yang tertinggi dialami oleh para nabi. Menurut Iqbal, dari intuisi mengenai sesuatu yang
ada di luar dirinya, akhirnya bisa mengalami intuisi mengenai Allah. Sebuah
pandangan yang disepakati oleh al-Attas karena kesesuaiannya dengan hadis Nabi
29
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik..., h. 159.
30
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu..., h. 54.
31
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik..., h. 160
13
F. Hubungan Sains, Filsafat, dan Agama
Banyak sumber yang bisa dibaca untuk menelusuri hubung- an antara sains,
filsafat, dan agama. Bahkan, saat ini sedang marak diperbincangkan masalah
keterkaitan dan hubungan antara ketiga hal di atas, baik itu oleh ilmuwan Islam,
maupun Barat. Hal ini dikarenakan adanya berbagai krisis multi dimensional yang
diakibat- kan hegemoni sains modern Barat yang menjadikan sains hanya meliputi
dunia fisik dan alam raya ini. Dengan keangkuhannya, sains modern telah
memperlakukan alam dengan semena-mena, dan agama telah ditiadakan.32 Maka ada
kecenderungan masa kini untuk menemukan solusi bagi krisis tersebut dengan
Jika ditelusuri, pada awalnya antara ketiga hal di atas bersatu dalam satu
kesatuan, yaitu ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengemukakan
bahwa ilmu yang terdiri dari dua bagian, yaitu ‘aqliyyah dan naqliyyah,
berbagai ayat atau tanda keberadaan-Nya. Para ilmuwan Muslim terdahulu, seperti
Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Nashiruddin al-Thusi, dan
lainnya juga tidak pernah memper- masalahkan ketiganya pada level pertentangan.
Bahkan tidak jarang ketika hal tersebut bersatu pada satu sosok ilmuwan Muslim.
Muslimin saat ini adalah problem ilmu. Sebabnya, peradaban Barat yang
mendominasi peradaban dunia saat ini telah menjadikan ilmu sebagai problematis.
32
Seperti yang dijelaskan oleh para filsuf postivisme bahwa agama adalah tidak ada artinya dan tidak
berguna. Lihat Mahmud Utsman, al-Fikr al-Ma>di> al-H{adi>ts wa Mawqif al-Isla>m Minhu, (Kairo: Da>r al-
Isla>miyyah, Cet. 2, 1984), h. 79-110.
14
Selain telah salahmemahami makna ilmu, peradaban tersebut telah
menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun peradaban Barat modern telah
menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun, tidak dapat dinafikan bahwa peradaban
tersebut juga telah menghasilkan ilmu yang telah merusak khususnya kehidupan
hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan, sekaligus telah melenyapkan Wahyu
Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu
keraguan sebagai alat epistemology yang sah dalam keilmuan, menolak Wahyu dan
kepercayaan agama dalam ruang lingkup keilmuan dan menjadikan spekulasi filosofis
Ilmu pengetahuan modern yang saat ini dihasilkan oleh peradaban Barat
tidak sertamerta harus diterapkan di dunia Muslim. Sebabnya, ilmu bukan bebasnilai
(valuefree), tetapi sarat nilai (value laden).34 Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat
halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu
antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu,
kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme
33
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 134.
34
ibid. h. 134.
15
dan pragmatism sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains.
Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir
sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat
Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya,
zaman. Tanpa Wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini
mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah
mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga
sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa.
ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide
35
ibid. h. 135.
16
Daftar Pustaka
Abdu al-Rahmân bin Nâshir bin Abdullah al-Sa'dî. 2000. Taisîru al-Karîmu al-Rahman fîe
Tafsîri Kalâmi al-Mannan. T.tt: Muassasatu al-Risâlah.
Abu al-Fidâ’ Isma’îl Ibnu ‘Umar Ibnu Katsîr al-Qurasyî al-Basharî, 1999. Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Adhîm, al- Juz al-Râbi’. Ttt: Dâru Thayyibah.
Ahmad Amin, Husayn. 2001. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
17
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur:
ISTAC. Edisi kedua.
_____. 1989. Islam and the Philosophy of Science. Kuala Lumpur: ISTAC.
Arifin, M. 2011. Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan
Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.
Husaini, Adian. 2013. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani
Press.
Jalâluddin Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad al-Mahallî dan Jalâluddin ‘Abdur
Rahman Ibnu Abî Bakar al-Suyuthî. Tafsîru al-Jalâlain, al-Juz al-Awwal, Al-
Qâhirah:
Dâru al-Hadîts.
Muhammad Iqbal, Abu. 2013. Konsep Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan. Madiun:
Jaya Star Nine.
Nâshir al-Dîn Abû Sa’îd Abdullah ibn Umar ibn Muhammad al-Syairâzî al-Baidhâwî. 1418.
Anwâr al-Tanzîl wa Asrâru al-Ta’wîl, al-Juz al-Tsânî. Beirût: Dâru Ihyâ al-
Turâts al-
‘Arabî.
Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam, 2011. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
18
Setia, Adi. Tahun 1 No. 6, September 2005.. “Epistemologi Islam menurut al-Attas, Satu
Uraian
Ringkas”, dalam Islamia.
Wan Daud, Wan Mohd. Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
Mohd.
Naquib al-Attas, Terj. Hamid Fahmy, dkk. Bandung: Mizan.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2004. “Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Postmodern”,
19