Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tasawuf Nusantara yang
diampu oleh Dr. H. Syaifan Nur, M.A.
OLEH:
Biografi Singkat
Nama lengkapnya ialah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid
Ar-Raniry. Dia berasal dari Ranir (Rander) Gujarat. Mengenai riwayat hidupnya
yang lengkap belum ditemukan sampai sekarang. Namun yang jelas hidupnya pada
abad 17 Masehi. Waktu mudanya pernah belajar di Hadramaut kepada seorang guru
yang bernama Abu Nafs Umar bin Abdullah Basayiban. Ia datang ke Aceh pada
tanggal 6 Muharram 1075 H / 1637 M. dan diduga tinggal di Aceh sampai tahun
1644M. Kemasyurannya tersiar jauh keluar Aceh. Walaupun ia berasal dari India,
tapi karangan-karangannya ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu.1
Menurut cerita ayahnya adalah keturunan Arab Qurasy dari Hadramaut dan
ibunya seorang muslimat bangsa India. Mereka merupakan keluarga yang
1
..., Pengantar Ilmu Tasawuf, hlm 218
terpandang ditengah-tengah masyarakat umumnya. Menurut Ismail Yacob, Ranir
yang disebut sebagai tempat lahirnya Nuruddin sebenarnya adalah kampung
Raneuer, masuk bagian Langeuen Kecamatan calang Kabupaten Aceh Barat. Di
daerah ini masih terdapat karangan Nuruddin dalam bahasa Arab. akan tetapi
peneliti dari Belanda belum banyak menjamah daerah ini, karena adanya bebarapa
pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda saat itu.2
Dalam sederetan perjalannya, digambarkan bahwa Nuruddin pernah
bermukim di Pahang (malaysia) pada masa pemerintahan Iakandar Muda di Aceh.
Hal ini terlihat dari penetahuan beliau yang begitu banyak dan baik tentang bahasa
dan sejarah Melayu pada umumnya dan silsilah Kesultanan Pahang pada
khususnya. Disamping itu beliau juga berhubungan baik pula dengan Sultan
Iskandar Tsani, menantu dan pengganti Iskandar Muda, ketika beliau kembali
berada di Aceh.3
Di Aceh ia mulai menegakan ajaran ahlul sunnah waljamaah dan membasmi
paham wujudiyyah dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, Ar-Raniry
berperan penting karena berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan tasawuf
falsafinya Hamzah Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat islam
awam terutama yang baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-
Hallaj, Ibn Arabi, dan Suhrawardi yang khas dengan doktrin Wahdatul Wujud
(menyatukan kewujudan).
maka dengan tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab ynag tidak diketahui, Nuruddin
kembali lagi ke Ranir untuk selama-lamanya, seperti yang dilaporkan oleh
muridnya pada akhir kitabnya yang diberi judul jawahir al-‘ulum. Diduga bahwa
kepergiannya yang mendadak ini disebabkan karena tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh Sultanah Safiatuddin, isteri dari Sultan Iskandar Tsani, sementara
orang-orang yang tidak menyetujuinya bertahta pada kerajaan Aceh. Bedasarkan
tradisi dan hukum islam yang berlaku pada waktu itu, kehadirannya sebagai seorang
sultan merupakan suatu hal yang baru, sudah pasti ada reaksi dan oposisi yang kuat
menentangnya. Setelah sultan Iskandar Tsani wafat, maka Nuruddin kembali ke
2
..., Pengantar Ilmu Tasawuf, hlm 219
3
..., Pengantar ilmu Tasawuf, hlm 219-220
negeri asalnya Ranir tahun 1644 M. Namun setelah itu berkunjung lagi ke Aceh
pada zaman Sultanah Tajul Alam (isteri Sultan Iskandar Tsani). Kemudian kembali
lagi ke Ranir dan meninggal disana pada tahun 1666 M.
4
Dr. Hj. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana,
2006, hlm, 95-98
B. Bab kedua, terdiri dari 13 pasal, yang menerangkan sejarah para nabi dan
raja-raja.
C. Bab ketiga, terdiri dari 10 pasal, menerangkan tentang raja-raja yang adil
dan menteri-menteri yang bijaksana.
D. Bab keempat, terdiri dari 2 pasal, menerangkan raja-raja yang bertapa dan
para aulia yang saleh.
E. Bab kelima, terdiri dari 2 pasal, menerangkan tentang raja dan menteri
yang zalim.
F. Bab keenam, terdiri dari 2 pasal, menerangkan orang-orang pemurah,
mulia, dan berani.
G. Bab ketujuh, menerangkan tentang kematian, ilmu, firasat, ilmu
kedokteran, sifat-sift perempuan dan hikayat-hikayat ajaib.
5. Nubdzah fi da'wa al-zhill ma'a shahibih. Ditulis dalam bahasa Arab,
menerangkan tentang kesesatan ajaran wujudiyah.
6. Asror al-Lisan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman, kitab berbahasa Arab dan
Melayu yang membahas manusia, terutama ruh, sifat, hakikatnya serta
hubungannya dengan Tuhan.
7. Hill al-Zill, sebuah kitab berbahsa Melayu yang membahas polemik kebatilan
ajaran wujudiyah.
8. Ma’ al-Hayat li Ahl al-Mamat, sebuah kitab berbahasa Melayu tentang
kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam dan manusia dengan
Tuhan, keqadiman jiwa dan perbedaan syariat dengan hakikat.
9. Akhbar al-Akhirah fi al-Ahwal al-Qiyamah (ditulis pada tahun 1052 H/1642
M) atas permintaan sultan Safiatuddin. Kitab ini sangat terkenal di Aceh dan
banyak orang yang membacanya, terdiri dari tujuh bab dan menerangkan
tentang Nur Muhammad, kejadian Nabi Adam, hal Ikhwal kiamat, surga,
neraka, dan sebagainya.
10. Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
11. Aina al-A’lam Qalb an Yukhlaq.
12. Syifa’ al-Qulub, menerangkan tentang makna kalimah syahadat yang telah
diubah pengertiannya oleh penganut ajaran wujudiyah dan menjelaskan cara-
cara berdzikir kepada Allah.
13. Hujjat al-Shidiq li daf’i al-Zindiq.
14. Al-Fath al-Mubin ‘ala al-Muhidin.
15. Al-Lam’an fi Tafkir man Qala bi al-Khalaq al-Quran.
16. Shawarim al-Shiddiq li Qath’i al-Zindiq. Kitab ini ditulis untuk membantah
ajaran Hazah Fansuridan Syamsuddin.
17. Rahiq al-Muhammadiyah fi Thariq al-Shufiyah.
18. Ba'du Khalq al-Samawat wa al-Ardh.
19. Kaifiyat al-Shalat, menerangkan tata cara beribadah sholat.
20. Syadar al-Mazid.
21. 'Alaqat Allah bi al-'Alam.
22. 'Aqa'id al-Shufiyyat al-Muwahhidin.
23. Al-Fath al-Wadud fi Bayan Wahdah al-Wujud.
24. 'Ain al-Jawad fi Bayan Wahdah al-Wujud.
25. Awdah al-Sabil wa al-Dalil laisa li Abathil al-Mulhiddin.
26. Awdah al-Sabil laisa li Kalam al-Mulhidin Ta'wil.
27. Hidayat al-Imam biFadhl al-Manam.
28. Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan.
29. Lathaif al-Asrar.
5
Abdul Majid, Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniry, Substantia Vol. 17 No. 2,
Oktober 2015, hal. 183 – 184.
Dalam kaitannya dengan konsep Wujudiyyah, ar-Raniri merupakan sufi yang
paling kritis terhadap ajaran ini. Dia mengkritik ajaran Wujudiyyah sebagai suatu
aliran yang sesat. Secara umum, ada empat argumentasi utama mengapa ar-Raniri
menolak konsep Wujudiyyah.
1. Semua Wujud adalah satu sehingga Allah, manusia, dan alam adalah satu
identitas yang sama. Kita dapat menyimpulkan bahwa segala hal adalah Allah
termasuk hal-hal buruk atau pun hal-hal yang menyalahi kodrat Allah termasuk
Allah. Hal ini jelas tidak logis.
2. Karena semua Wujud adalah Allah, maka manusia memiliki sifat-sifat seperti
Allah. Sehingga, manusia mampu untuk mencipta dan mengetahui segala
sesuatu seperti Allah. Anggapan ini juga jelas bertentangan dengan kodrat
Allah.
3. Wujud Allah dan manusia adalah satu. Sehingga, ada empat kemungkinan yang
dapat terjadi. Pertama, Intiqal, yaitu Wujud Allah berpindah ke makhluk.
Kedua, Ittihad, yaitu Wujud Allah bersatu dengan makhluk. Ketiga, Hulul,
yaitu Wujud Allah masuk ke dalam makhluk. Keempat, Ittishal, yaitu Wujud
Allah berhubungan dengan makhluk. Keempat hal ini juga tidak mungkin
terjadi.
4. Paham Wujudiyyah membedakan antara syariat dengan hakikat. Menurut
paham ini, Allah dan makhluk berbeda pada tataran syariat, sedangkan pada
tataran hakikat, mereka adalah satu. Ar-Raniri mendasarkan pandangannya
pada beberapa tokoh, seperti Abu Hafs Suhruardy dan Abu Qasim al-Qusyairi
yang menyatakan bahwa hakikat tanpa syariat merupakan sesuatu yang sia-
sia.6
Dalam konsep mistik, ar-Raniri memiliki pendapat sendiri tentang tasawuf.
Menurut Daudy, ada empat pokok ajaran mistik dari ar-Raniri, yaitu:
1. Ontologi. Hanya Allah yang Ada. Allah adalah nama bagi suatu Dzat yang
Mutlak dan tidak ada sesuatu yang menyamainya. Di samping Dzat, Allah
mempunyai sifat-sifat atau nama-nama yang merepresentasikan
6
Rusdiyanto, Ajaran Wujudiyah Menurut Nuruddin Ar-Raniri, Potret Pemikiran Vol. 22 No. 1, Juni
2018, hal. 5.
kesempurnaannya (Asmaul Husna). Dari segi Wujud, sifat dan Dzat Allah
adalah sama (‘ain dzat). Sedangkan dari segi pengertian, keduanya berbeda.
Allah berkendak melihat kesempurnaan diri-Nya, sehingga ia ber-tajalli
melalui sifat dan asma-Nya. Tajalli ini terjadi dalam tiga martabat, yaitu:
martabat wahidah (tajalli sifat), martabat wahidiyyah melahirkan a’yan
tsabithah yang merupakan hakikat alam. Oleh karena sifat identik dengan Dzat,
maka hakikat alam itu (a’yan tsabithah) berada dalam Dzat Allah. Pada
martabat Ilahi ini, hakikat alam identik dengan Allah, yakni satu hakikat. Akan
tetapi pada martabat selanjutnya, a’yan tsabithah yang berwatak potensial itu
beralih ke dalam wujud aktual sehingga lahirlah a’yan kharijiyyah, yakni alam
empiris ini. Alam ini merupakan madhhar dari tajalli sifat dan asma Allah,
sedangkan Allah tidak ada, atau tidak imanen dalam alam ini
2. Kosmologi. Alam ini dijadikan Allah melalui tajalli. Alam ini terdiri dari alam
tinggi dan alam bawah. Alam tinggi terdiri dari alam falak dan akal yang
masing-masing terdiri dari Sembilan falak dan akal, hal ini sama seperti teori
al-Farabi dan Ibn Sina. Alam bawah adalah alam anasir yang terdiri dari air,
api, udara dan tanah. Alam tinggi memberi pengaruh alam bawah, sehingga
lahirlah tumbuhan, hewan, jamaddat, dan manusia di bumi ini. Manusia adalah
makhluk yang paling sempurna di bumi ini. Dengan lahirnya manusia,
selesailah penciptaan alam ini seluruhnya.
3. Manusia. Manusia terdiri dari ruh (jiwa ) dan jasad. Akan tetapi hakikat
manusia adalah ruh, karena ruh kekal setelah terpisah dengan jasad. Jiwa
adalah jauhar ruhani yang dijadikan Allah dari nur Muhammad dua ribu tahun
sebelum jasad. Walaupun jasad merupakan alat bagi jiwa, keduanya saling
memerlukan. Hubungan jiwa dengan jasad bersifat aksidental, sehingga ketika
jasad hancur jiwa terpengaruh. Bila manusia mati, jiwanya akan kembali kea
lam falak. Dan pada hari kiamat, akan dimintai pertanggung jawaban.
4. Agama. Agama terdiri dari Iman, Islam, makrifat dan tauhid. Orang yang
beragama tidak hanya harus beriman, artinya ia tidak sekadar percaya dengan
kebenaran wahyu Allah dan melakukan kewajiban lahiriah sesuai dengan yang
diajarkan syariat. Akan tetapi, setiap orang yang beriman juga harus
memperoleh pengalaman ruhani melalui suluk dan tarekat. Makrifat atau
pengalaman ruhani hanya dapat dialami saat seseorang dalam keadaan fana.
Dengan makrifat tersebut, maka akan diperoleh keyakinan yang hakiki tentang
makna tauhid yang sebenarnya, yaitu “tidak ada sesuatu kecuali Allah”.7
Kesimpulan
Nuruddin ar-Raniri merupakan salah satu ulama mahsyur pada masanya. Dia
memiliki berbagai macam karya di bidang agama, khususnya tasawuf. Corak
tasawuf Nuruddin ar-Raniri lebih bersifat tradisional. Ar-Raniri menolak konsep
Wujudiyah yang dikembangkan Hamzah Fansuri karena dianggap menyalahi
kodrat Allah sehingga ajaran tersebut dianggap sesat. Tetapi, walaupun demikian,
ar-Raniri juga tidak melupakan aspek mistik dalam ajarannya. Ar-Raniri juga
membahas hal-hal yang bersifat metafisis dan kosmologis. Ar-Raniri juga
merupakan tokoh yang mementingkan dua landasan dalam Islam, yaitu syariat dan
hakikat.
7
Ibid., hal. 6 – 7.
DAFTAR PUSTAKA