Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAKALAH

TOKOH SUFI NUSANTARA: SYEKH NURUDDIN AR-RANIRI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tasawuf Nusantara yang
diampu oleh Dr. H. Syaifan Nur, M.A.

OLEH:

Yositha Hamidah (18105010012)


Ahmad Nurcholish (18105010013)
Miftah Arifatun Nisa (18105010015)

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2020
Pendahuluan
Tasawuf merupakan salah satu ajaran penting dalam Islam. Secara umum,
tasawuf mengajarkan manusia tentang cara menyucikan diri dengan baik dan benar.
Penyucian tersebut dilakukan dengan proses peribadatan yang panjang. Selain itu,
proses tersebut juga berbeda antara satu tarekat dengan tarekat lainnya dalam
tasawuf. Tujuan penyucian diri dalam tasawuf adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
Dalam konteks Indonesia, ajaran tasawuf telah masuk sejak Islam telah
melembaga di Indonesia. Tasawuf berkembang pada masa berdirinya kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia. Hal ini membuat ajaran tasawuf dikenal baik pada
lingkungan masyarakat maupun kerajaan.
Salah satu tokoh tasawuf terkenal dari Nusantara adalah Syekh Nuruddin ar-
Raniri. Dia merupakan tokoh tasawuf yang memiliki banyak karya dan tulisan.
Salah satu tulisannya yang paling terkenal adalah kritiknya terhadap ajaran Syekh
Hamzah Fansuri.
Dari uraian di atas, pada tulisan ini, penulis akan mendeskripsikan tentang
pemikiran Syekh Nuruddin ar-Raniri. Selain itu, penulis juga akan mencoba untuk
menguraikan kritik Syekh Nuruddin ar-Raniri terhadap Syekh Hamzah Fansuri.

Biografi Singkat
Nama lengkapnya ialah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid
Ar-Raniry. Dia berasal dari Ranir (Rander) Gujarat. Mengenai riwayat hidupnya
yang lengkap belum ditemukan sampai sekarang. Namun yang jelas hidupnya pada
abad 17 Masehi. Waktu mudanya pernah belajar di Hadramaut kepada seorang guru
yang bernama Abu Nafs Umar bin Abdullah Basayiban. Ia datang ke Aceh pada
tanggal 6 Muharram 1075 H / 1637 M. dan diduga tinggal di Aceh sampai tahun
1644M. Kemasyurannya tersiar jauh keluar Aceh. Walaupun ia berasal dari India,
tapi karangan-karangannya ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu.1
Menurut cerita ayahnya adalah keturunan Arab Qurasy dari Hadramaut dan
ibunya seorang muslimat bangsa India. Mereka merupakan keluarga yang

1
..., Pengantar Ilmu Tasawuf, hlm 218
terpandang ditengah-tengah masyarakat umumnya. Menurut Ismail Yacob, Ranir
yang disebut sebagai tempat lahirnya Nuruddin sebenarnya adalah kampung
Raneuer, masuk bagian Langeuen Kecamatan calang Kabupaten Aceh Barat. Di
daerah ini masih terdapat karangan Nuruddin dalam bahasa Arab. akan tetapi
peneliti dari Belanda belum banyak menjamah daerah ini, karena adanya bebarapa
pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda saat itu.2
Dalam sederetan perjalannya, digambarkan bahwa Nuruddin pernah
bermukim di Pahang (malaysia) pada masa pemerintahan Iakandar Muda di Aceh.
Hal ini terlihat dari penetahuan beliau yang begitu banyak dan baik tentang bahasa
dan sejarah Melayu pada umumnya dan silsilah Kesultanan Pahang pada
khususnya. Disamping itu beliau juga berhubungan baik pula dengan Sultan
Iskandar Tsani, menantu dan pengganti Iskandar Muda, ketika beliau kembali
berada di Aceh.3
Di Aceh ia mulai menegakan ajaran ahlul sunnah waljamaah dan membasmi
paham wujudiyyah dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, Ar-Raniry
berperan penting karena berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan tasawuf
falsafinya Hamzah Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat islam
awam terutama yang baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-
Hallaj, Ibn Arabi, dan Suhrawardi yang khas dengan doktrin Wahdatul Wujud
(menyatukan kewujudan).
maka dengan tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab ynag tidak diketahui, Nuruddin
kembali lagi ke Ranir untuk selama-lamanya, seperti yang dilaporkan oleh
muridnya pada akhir kitabnya yang diberi judul jawahir al-‘ulum. Diduga bahwa
kepergiannya yang mendadak ini disebabkan karena tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh Sultanah Safiatuddin, isteri dari Sultan Iskandar Tsani, sementara
orang-orang yang tidak menyetujuinya bertahta pada kerajaan Aceh. Bedasarkan
tradisi dan hukum islam yang berlaku pada waktu itu, kehadirannya sebagai seorang
sultan merupakan suatu hal yang baru, sudah pasti ada reaksi dan oposisi yang kuat
menentangnya. Setelah sultan Iskandar Tsani wafat, maka Nuruddin kembali ke

2
..., Pengantar Ilmu Tasawuf, hlm 219
3
..., Pengantar ilmu Tasawuf, hlm 219-220
negeri asalnya Ranir tahun 1644 M. Namun setelah itu berkunjung lagi ke Aceh
pada zaman Sultanah Tajul Alam (isteri Sultan Iskandar Tsani). Kemudian kembali
lagi ke Ranir dan meninggal disana pada tahun 1666 M.

Karya dan Tulisan


Karangan Nuruddin al-Raniri terdiri dari 29 judul. Ditulis dalam waktu tujuh
tahun ketika ia berada di Aceh. Sebagian kitab-kitabnya ditulis atas permintaan
sahabat-sahabatnya, sedangkan kitab-kitab di Aceh ditulis atas permintaan Sultan.
Karangannya meliputi berbagai ilmu pengetahuan, seperti: ilmu fiqih, Hadis,
akidah, tasawuf, sejarah, dan sebagian besar adalah ditulis untuk menyanggah dan
menentang ajaran wujudiyah milik Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.4
Berikut beberapa kitab-kitab hasil karangan Nuruddin al-Raniri, di antaranya:
1. Al-Shirath al-Mustaqim (ditulis pada tahun 1044 H/1634 M), kitab ini berisi
ajaran mengenai ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan hukum kurban,
berburu, serta hukum halal dan haram dalam makanan.
2. Darurat al-Faraid bi Syarh al-Aqaid. Ajaran dalam kitab ini adalah mengenai
akidah. Darurat al-Faraid bi Syarh al-Aqaid adalah saduran dan terjemahan
dalam bahasa melayu dari kitab Syarh al-Aqaid an-Nafsiyah karangan Imam
Sa'dudin al-Taftazani.
3. Hidayat al-Habib fi al Targhib wa al-Tarhib (ditulis pada tahun 1045 H/1635),
kitab Hadis ini berisi 831 Hadis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab ini
ditulis di Semenanjung Tanah Melayu dan dibawa ke Aceh pada zaman Sultan
Iskandar Tsani.
4. Bustan al-Salathin fi dzikir al-Awwalin al-Akhirin. Kitab ini adalah kitab
sejarah yang merupakan karya terbesar Nuruddin ar-Raniri. Kitab ini ditulis
pada 17 Syawal 1047 H/1637 M di Aceh. Kitab ini terdiri dari tujuh bab,
berikut penjelasan mengenai isinya:
A. Bab pertama, terdiri dari 10 pasal, menerangkan kejadian tujuh susunan
langit dan tujuh susunan bumi.

4
Dr. Hj. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana,
2006, hlm, 95-98
B. Bab kedua, terdiri dari 13 pasal, yang menerangkan sejarah para nabi dan
raja-raja.
C. Bab ketiga, terdiri dari 10 pasal, menerangkan tentang raja-raja yang adil
dan menteri-menteri yang bijaksana.
D. Bab keempat, terdiri dari 2 pasal, menerangkan raja-raja yang bertapa dan
para aulia yang saleh.
E. Bab kelima, terdiri dari 2 pasal, menerangkan tentang raja dan menteri
yang zalim.
F. Bab keenam, terdiri dari 2 pasal, menerangkan orang-orang pemurah,
mulia, dan berani.
G. Bab ketujuh, menerangkan tentang kematian, ilmu, firasat, ilmu
kedokteran, sifat-sift perempuan dan hikayat-hikayat ajaib.
5. Nubdzah fi da'wa al-zhill ma'a shahibih. Ditulis dalam bahasa Arab,
menerangkan tentang kesesatan ajaran wujudiyah.
6. Asror al-Lisan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman, kitab berbahasa Arab dan
Melayu yang membahas manusia, terutama ruh, sifat, hakikatnya serta
hubungannya dengan Tuhan.
7. Hill al-Zill, sebuah kitab berbahsa Melayu yang membahas polemik kebatilan
ajaran wujudiyah.
8. Ma’ al-Hayat li Ahl al-Mamat, sebuah kitab berbahasa Melayu tentang
kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam dan manusia dengan
Tuhan, keqadiman jiwa dan perbedaan syariat dengan hakikat.
9. Akhbar al-Akhirah fi al-Ahwal al-Qiyamah (ditulis pada tahun 1052 H/1642
M) atas permintaan sultan Safiatuddin. Kitab ini sangat terkenal di Aceh dan
banyak orang yang membacanya, terdiri dari tujuh bab dan menerangkan
tentang Nur Muhammad, kejadian Nabi Adam, hal Ikhwal kiamat, surga,
neraka, dan sebagainya.
10. Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
11. Aina al-A’lam Qalb an Yukhlaq.
12. Syifa’ al-Qulub, menerangkan tentang makna kalimah syahadat yang telah
diubah pengertiannya oleh penganut ajaran wujudiyah dan menjelaskan cara-
cara berdzikir kepada Allah.
13. Hujjat al-Shidiq li daf’i al-Zindiq.
14. Al-Fath al-Mubin ‘ala al-Muhidin.
15. Al-Lam’an fi Tafkir man Qala bi al-Khalaq al-Quran.
16. Shawarim al-Shiddiq li Qath’i al-Zindiq. Kitab ini ditulis untuk membantah
ajaran Hazah Fansuridan Syamsuddin.
17. Rahiq al-Muhammadiyah fi Thariq al-Shufiyah.
18. Ba'du Khalq al-Samawat wa al-Ardh.
19. Kaifiyat al-Shalat, menerangkan tata cara beribadah sholat.
20. Syadar al-Mazid.
21. 'Alaqat Allah bi al-'Alam.
22. 'Aqa'id al-Shufiyyat al-Muwahhidin.
23. Al-Fath al-Wadud fi Bayan Wahdah al-Wujud.
24. 'Ain al-Jawad fi Bayan Wahdah al-Wujud.
25. Awdah al-Sabil wa al-Dalil laisa li Abathil al-Mulhiddin.
26. Awdah al-Sabil laisa li Kalam al-Mulhidin Ta'wil.
27. Hidayat al-Imam biFadhl al-Manam.
28. Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan.
29. Lathaif al-Asrar.

Kritik dan Pemikirannya


Pandangan tasawuf ar-Raniri terbilang berbeda dengan pandangan lain di
masanya. Corak tasawuf ar-Raniri lebih bersifat akhlaki dan tradisional. Sementara,
corak yang berkemang sebelum itu adalah corak tasawuf yang filosofis dan
transendental. Sehingga, muncullah berbagai kritik yang dilontarkan oleh ar-Raniri
terhadap pengembang ajaran tasawuf Wujudiyyah, termasuk ajaran Hamzah
Fansuri.
Pemikiran ar-Raniri tentang Islam secara umum sangat luas. Ar-Raniri tidak
hanya berbicara tentang tasawuf saja, tetapi juga hal-hal lain yang berkaitan dengan
masalah agama. Secara umum, pemikiran ar-Raniri dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.
1. Tentang Tuhan. Pendirian Ar-Raniry dalam masalah ketuhanan pada umumnya
bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan
paham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa ungkapan
“wujud Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah
dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn
‘Arabi. Namun, ungkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa alam ini tidak ada.
Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah.
Pandangan Ar-Raniry hampir sama dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam ini
merupakan tajalli Allah. Namun, tafsirannya di atas membuatnya terlepas dari
label panteisme Ibn’Arabi.
2. Tentang Alam. Ar-Raniry berpendapat bahwa alam ini diciptakan Allah
melalui tajalli. Ia menolak teori al-faidh (emanasi) al-Farabi karena akan
membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh
kepada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan wadah tajalli
asma dan sifat Allah dalam bentuk yang konkret. Sifat ilmu ber-tajalli pada
alam akal; nama Rahman ber-tajalli pada arsy; nama Rahim ber-tajalli pada
kursy; nama Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh; dan seterusnya.
3. Tentang Manusia. Menurut Ar-Raniry merupakan, makhluk Allah yang paling
sempurna di dunia ini. Sebab, merupakan khalifah Allah di bumi yang
dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Juga, karena ia merupakan mazhhar (tempat
kenyataan asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan
kamil, katanya, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang telah digariskan
Ibn ‘Arabi.
4. Wujudiyyah. Inti ajaran wujudiyyah, menurut Ar-Raniry, berpusat pada wahdat
al-wujud, yang disalahartikan kaum Wujudiyyah dengan arti kemanunggalan
Allah dengan alam.5

5
Abdul Majid, Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniry, Substantia Vol. 17 No. 2,
Oktober 2015, hal. 183 – 184.
Dalam kaitannya dengan konsep Wujudiyyah, ar-Raniri merupakan sufi yang
paling kritis terhadap ajaran ini. Dia mengkritik ajaran Wujudiyyah sebagai suatu
aliran yang sesat. Secara umum, ada empat argumentasi utama mengapa ar-Raniri
menolak konsep Wujudiyyah.
1. Semua Wujud adalah satu sehingga Allah, manusia, dan alam adalah satu
identitas yang sama. Kita dapat menyimpulkan bahwa segala hal adalah Allah
termasuk hal-hal buruk atau pun hal-hal yang menyalahi kodrat Allah termasuk
Allah. Hal ini jelas tidak logis.
2. Karena semua Wujud adalah Allah, maka manusia memiliki sifat-sifat seperti
Allah. Sehingga, manusia mampu untuk mencipta dan mengetahui segala
sesuatu seperti Allah. Anggapan ini juga jelas bertentangan dengan kodrat
Allah.
3. Wujud Allah dan manusia adalah satu. Sehingga, ada empat kemungkinan yang
dapat terjadi. Pertama, Intiqal, yaitu Wujud Allah berpindah ke makhluk.
Kedua, Ittihad, yaitu Wujud Allah bersatu dengan makhluk. Ketiga, Hulul,
yaitu Wujud Allah masuk ke dalam makhluk. Keempat, Ittishal, yaitu Wujud
Allah berhubungan dengan makhluk. Keempat hal ini juga tidak mungkin
terjadi.
4. Paham Wujudiyyah membedakan antara syariat dengan hakikat. Menurut
paham ini, Allah dan makhluk berbeda pada tataran syariat, sedangkan pada
tataran hakikat, mereka adalah satu. Ar-Raniri mendasarkan pandangannya
pada beberapa tokoh, seperti Abu Hafs Suhruardy dan Abu Qasim al-Qusyairi
yang menyatakan bahwa hakikat tanpa syariat merupakan sesuatu yang sia-
sia.6
Dalam konsep mistik, ar-Raniri memiliki pendapat sendiri tentang tasawuf.
Menurut Daudy, ada empat pokok ajaran mistik dari ar-Raniri, yaitu:
1. Ontologi. Hanya Allah yang Ada. Allah adalah nama bagi suatu Dzat yang
Mutlak dan tidak ada sesuatu yang menyamainya. Di samping Dzat, Allah
mempunyai sifat-sifat atau nama-nama yang merepresentasikan

6
Rusdiyanto, Ajaran Wujudiyah Menurut Nuruddin Ar-Raniri, Potret Pemikiran Vol. 22 No. 1, Juni
2018, hal. 5.
kesempurnaannya (Asmaul Husna). Dari segi Wujud, sifat dan Dzat Allah
adalah sama (‘ain dzat). Sedangkan dari segi pengertian, keduanya berbeda.
Allah berkendak melihat kesempurnaan diri-Nya, sehingga ia ber-tajalli
melalui sifat dan asma-Nya. Tajalli ini terjadi dalam tiga martabat, yaitu:
martabat wahidah (tajalli sifat), martabat wahidiyyah melahirkan a’yan
tsabithah yang merupakan hakikat alam. Oleh karena sifat identik dengan Dzat,
maka hakikat alam itu (a’yan tsabithah) berada dalam Dzat Allah. Pada
martabat Ilahi ini, hakikat alam identik dengan Allah, yakni satu hakikat. Akan
tetapi pada martabat selanjutnya, a’yan tsabithah yang berwatak potensial itu
beralih ke dalam wujud aktual sehingga lahirlah a’yan kharijiyyah, yakni alam
empiris ini. Alam ini merupakan madhhar dari tajalli sifat dan asma Allah,
sedangkan Allah tidak ada, atau tidak imanen dalam alam ini
2. Kosmologi. Alam ini dijadikan Allah melalui tajalli. Alam ini terdiri dari alam
tinggi dan alam bawah. Alam tinggi terdiri dari alam falak dan akal yang
masing-masing terdiri dari Sembilan falak dan akal, hal ini sama seperti teori
al-Farabi dan Ibn Sina. Alam bawah adalah alam anasir yang terdiri dari air,
api, udara dan tanah. Alam tinggi memberi pengaruh alam bawah, sehingga
lahirlah tumbuhan, hewan, jamaddat, dan manusia di bumi ini. Manusia adalah
makhluk yang paling sempurna di bumi ini. Dengan lahirnya manusia,
selesailah penciptaan alam ini seluruhnya.
3. Manusia. Manusia terdiri dari ruh (jiwa ) dan jasad. Akan tetapi hakikat
manusia adalah ruh, karena ruh kekal setelah terpisah dengan jasad. Jiwa
adalah jauhar ruhani yang dijadikan Allah dari nur Muhammad dua ribu tahun
sebelum jasad. Walaupun jasad merupakan alat bagi jiwa, keduanya saling
memerlukan. Hubungan jiwa dengan jasad bersifat aksidental, sehingga ketika
jasad hancur jiwa terpengaruh. Bila manusia mati, jiwanya akan kembali kea
lam falak. Dan pada hari kiamat, akan dimintai pertanggung jawaban.
4. Agama. Agama terdiri dari Iman, Islam, makrifat dan tauhid. Orang yang
beragama tidak hanya harus beriman, artinya ia tidak sekadar percaya dengan
kebenaran wahyu Allah dan melakukan kewajiban lahiriah sesuai dengan yang
diajarkan syariat. Akan tetapi, setiap orang yang beriman juga harus
memperoleh pengalaman ruhani melalui suluk dan tarekat. Makrifat atau
pengalaman ruhani hanya dapat dialami saat seseorang dalam keadaan fana.
Dengan makrifat tersebut, maka akan diperoleh keyakinan yang hakiki tentang
makna tauhid yang sebenarnya, yaitu “tidak ada sesuatu kecuali Allah”.7

Kesimpulan
Nuruddin ar-Raniri merupakan salah satu ulama mahsyur pada masanya. Dia
memiliki berbagai macam karya di bidang agama, khususnya tasawuf. Corak
tasawuf Nuruddin ar-Raniri lebih bersifat tradisional. Ar-Raniri menolak konsep
Wujudiyah yang dikembangkan Hamzah Fansuri karena dianggap menyalahi
kodrat Allah sehingga ajaran tersebut dianggap sesat. Tetapi, walaupun demikian,
ar-Raniri juga tidak melupakan aspek mistik dalam ajarannya. Ar-Raniri juga
membahas hal-hal yang bersifat metafisis dan kosmologis. Ar-Raniri juga
merupakan tokoh yang mementingkan dua landasan dalam Islam, yaitu syariat dan
hakikat.

7
Ibid., hal. 6 – 7.
DAFTAR PUSTAKA

IAIN Sumatera Utara. 1981/1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan: IAIN


Sumatera Utara
Majid, Abdul. 2015. Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniry.
Substantia Vol. 17 No. 2 (hlm. 179 – 190). Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Ar-Raniry
Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,
Jakarta: Kencana.
Rusdiyanto. 2018. Ajaran Wujudiyah Menurut Nuruddin Ar-Raniri. Potret
Pemikiran Vol. 22 No. 1 (hlm. 1 – 10). Manado: IAIN Manado.

Anda mungkin juga menyukai